Aturan moralitas ketiga: tidak melakukan perilaku yang salah berkenaan dengan kesenangan-kesenangan indra.

3. Aturan moralitas ketiga: tidak melakukan perilaku yang salah berkenaan dengan kesenangan-kesenangan indra.

Aturan moralitas ketiga dibaca: Kamesu micchacara veramani sikkhapadam samadiyami, “Saya mengambil aturan latihan untuk tidak melakukan perilaku yang salah berkenaan dengan

kesenangan-kesenangan indra.” Kata kama memiliki arti umum berupa kesenangan indra atau nafsu indrawi, namun kitab-kitab

komentar menjelaskannya sebagai hubungan-hubungan seksual (methunasamacara), sebuah interpretasi yang didukung oleh

sutta-sutta. Micchacara berarti jenis-jenis yang salah dari perilaku. Dengan demikian, aturan moralitas tersebut menyarankan untuk tidak melakukan hubungan-hubungan seksual yang tidak pantas atau terlarang.

Perilaku yang salah adalah berkenaan dengan kesenangan- kesenangan indra secara formal didefinisikan sebagai “kehendak dengan niat seksual yang terjadi melalui pintu fisik, menyebabkan

pelanggaran dengan seorang pasangan yang terlarang.” [8] Pertanyaan utama yang terlontar dari definisi ini adalah: siapa yang memenuhi pelanggaran dengan seorang pasangan yang terlarang.” [8] Pertanyaan utama yang terlontar dari definisi ini adalah: siapa yang memenuhi

terlarang. Hal ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori: (1) seorang wanita yang masih dalam perlindungan orang yang lebih tua ataupun pihak berwenang lain yang bertanggung jawab merawatnya, sebagai contoh, seorang gadis yang dirawat oleh

orang tuanya, oleh kakak laki-laki ataupun perempuannya, oleh kerabatnya yang lain, atau oleh keluarganya secara keseluruhan; (2) seorang wanita yang dilarang oleh konvensi, yaitu, kerabat dekat dilarang dalam tradisi keluarga, bhikkhuni dan wanita lain yang bersumpah untuk menjalankan hidup selibat sebagai suatu disiplin spritual, dan mereka yang dilarang sebagai pasangan di bawah hukum yang berlaku di tempat tersebut; dan (3) seorang wanita yang telah menikah atau bertunangan dengan pria lain, bahkan seorang wanita yang terikat dengan pria lain melalui suatu perjanjian sementara. Dalam kasus wanita, bagi mereka yang menikahi pria manapun selain suaminya adalah pasangan yang terlarang. Bagi semua wanita, seorang pria yang dilarang oleh tradisi atau aturan-aturan religius adalah dilarang untuk dijadikan sebagai pasangan. Bagi kedua pihak baik pria maupun wanita, kekejaman, pemaksaan, ataupun penyatuan paksa, baik melalui paksaan fisik ataupun tekanan psikologis, dapat dianggap sebagai sebuah pelanggaran aturan moralitas bahkan ketika pasangannya bukanlah pasangan yang terlarang. Namun bagi seorang pria atau seorang wanita yang menjanda atau telah bercerai dapat dengan bebas menikah kembali sesuai dengan pilihannya.

Teks-teks menyebutkan empat faktor yang harus hadir untuk sebuah pelanggaran aturan moralitas terjadi: (1) pasangan yang terlarang, sebagaimana didefinisikan di atas; (2) pemikiran atau kehendak untuk terlibat dalam penyatuan seksual dengan orang tersebut; (3) tindakan yang melibatkan ke dalam penyatuan; dan (4) penerimaan penyatuan tersebut. Faktor akhir ini ditambahkan untuk tidak memasukan ke dalam pelanggaran mereka yang secara Teks-teks menyebutkan empat faktor yang harus hadir untuk sebuah pelanggaran aturan moralitas terjadi: (1) pasangan yang terlarang, sebagaimana didefinisikan di atas; (2) pemikiran atau kehendak untuk terlibat dalam penyatuan seksual dengan orang tersebut; (3) tindakan yang melibatkan ke dalam penyatuan; dan (4) penerimaan penyatuan tersebut. Faktor akhir ini ditambahkan untuk tidak memasukan ke dalam pelanggaran mereka yang secara

Kadar keseriusan moral yang terlibat di dalam pelanggaran adalah ditentukan oleh kekuatan dari hawa nafsu yang memotivasi perbuatan

dan kualitas-kualitas orang yang menjadi korban pelanggaran. Jika pelanggaran melibatkan seseorang dengan kualitas-kualitas spiritual yang tinggi, hawa nafsu yang kuat, dan menggunakan pemaksaan, kecelaan ini adalah lebih berat dibandingkan ketika pasangannya memiliki kualitas-kualitas spiritual yang lebih tidak berkembang, hawa nafsu yang lemah, dan tidak adanya pemaksaan. Pelanggaran-pelanggaran yang paling serius adalah hubungan sedarah dan pemerkosaan terhadap seorang arahat (baik arahat pria maupun arahat wanita). Akar yang mendasarinya adalah selalu keserakahan yang didampingi dengan kebodohan batin.