Landasan Teoretis

2.2.6 Hambatan-Hambatan Membaca Cepat

Orang yang tidak mendapat bimbingan, latihan khusus membaca cepat, sering mudah lelah dalam membaca karena lamban membaca, tidak ada gairah, merasa bosan, tidak tahan membaca buku, dan terlalu lama untuk bisa menyelesaikan buku yang tipis sekalipun.

Untuk dapat membaca dengan cepat, hal-hal dapat menghambat kelancaran atau kecepatan membaca harus dihilangkan. Beberapa faktor yang dapat menghambat kecepatan membaca adalah sebagai berikut.

Vokalisasi atau membaca dengan bersuara sangat memperlambat membaca. Karena itu berarti mengucapkan kata demi kata dengan lengkap. Menggumam, sekalipun dengan mulut terkatup dan suara tidak terdengar, jelas termasuk membaca dengan bersuara.

Menggerakkan bibir atau komat-kamit sewaktu membaca, sekalipun tidak mengeluarkan suara, sama lambatnya dengan membaca bersuara. Semasa kanak-kanak penglihatan kita memang masih sulit menguasai penampang bacaan. Akibatnya adalah bahwa kita menggerakkan kepala kiri ke kanan untuk dapat membaca baris-baris secara lengkap.

Cara membaca dengan menunjuk dengan jari atau benda lain itu sangat menghambat membaca sebab gerakan tangan lebih lambat daripada gerakan mata.

Sering kali mata bergerak kembali ke belakang untuk membaca ulang suatu kata atau beberapa kata sebelumnya. Gerakan tersebut disebut regresi. Selain menghambat kecepatan membaca, regresi bahkan dapat mengaburkan pemahaman bacaan. Menurut Soedarso (2002:8) beberapa alasan seorang pembaca melakukan regresi adalah sebagai berikut: (1) pembaca merasa kurang yakin dalam memahami tulisan yang dibacanya; (2) pembaca merasa ada kesalahan cetak pada tulisan yang dibacanya, kemudian mempertanyakan hal tersebut dalam hati; (3) pembaca merasa ada kesalahan ejaan; (4) ada kata sulit atau baru; (5) pembaca terpaku pada detail; (6) pembaca salah persepsi, misalnya bertanya-tanya angka ang baru dibacanya 266 atau 267; (7) pembaca merasa ada sesuatu yang tertinggal.

Menurut Redway dalam Wahyuningsih (2000: 15) dengan berlatih terus dan kecepatan membaca meningkat, maka usaha mencegah regresi ini akan lebih mudah lagi. Kecepatan akan memaksa si pembaca untuk berkonsentrasi lagi.

Hasilnya akan lebih meningkatkan pemahaman secara keseluruhan dan akan mendorong pembaca untuk lebih siap mengantisipasi.

Subvokalisasi atau melafalkan dalam batin atau pikiran kata-kata yang dibaca dilakukan oleh pembaca yang kecepatannya lebih tinggi. Subvokalisasi juga menghambat karena kita menjadi lebih memperhatikan bagaimana melafalkan secara benar daripada berusaha memahami ide yang dikandung dalam kata-kata yang kita baca itu (Soedarso 2002: 8).

Wiryodijoyo dalam Wahyuningsih (2000: 13) mengungkapkan bahwa subvokalisasi ini merupakan pengaruh kebiasaan dalam pengajaran membaca di sekolah dasar, yaitu: (1) mengeja kata-kata menjadi suku kata, kata menjadi huruf; dan (2) mengucapkan berulang-ulang hal yang dianggap penting oleh guru. Usaha menghilangkan sama sekali cara membaca dengan menghafalkan dalam hati hal yang kita baca, memang tidak mungkin. Namun ada cara lain untuk memperkecil akibat buruk dari subvokalisasi, yaitu dengan cara melebarkan jangkauan mata sehinga satu fiksasi (pandangan mata) dapat menangkap beberapa kata sekaligus dan langsung menyerap idenya. Cara ini lebih baik daripada melafalkannya (Soedarso 2002: 9).

Ketiadaan perhatian hampir sama dengan ketidaksiapaan mental. Pembaca mengalami kesulitan dalam memahami isi bacaan karena ia terpaksa mempelajari bahan bacaan yang tidak menarik perhatiannya. Masalah ini lebih serius lagi bila ada kosa kata yang sulit atau baru dan belum dipahami oleh pembaca. Selain itu, pikiran pembaca tidak sepenuhnya tertuju pada bacaan karena masih ada masalah lain yang lebih menarik dan menganggu perhatiannya.

Hambatan dalam membaca cepat yang terakhir adalah kurang motivasi. Motivasi ini dapat berasal dari dalam diri sendiri, dapat pula dari luar. Ini sangat penting karena dengan adanya motivasi, pembaca terpacu untuk membaca dengan sungguh-sungguh. Dalam membaca cepat motivasi juga perlu diperhatikan.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hambatan-hambatan dalam membaca cepat adalah vokalisasi, gerakan bibir, gerakan kepala, menunjuk dengan jari, regresi, subvokalisasi, ketiadaan perhatian, kurang motivasi.

2.2.7 Teknik Membaca Cepat

Untuk dapat membaca cepat dengan efisien kunci utamanya adalah sering berlatih. Ada beberapa teknik membaca cepat, yaitu gerakan mata dalam membaca, melebarkan jangkauan mata, gerakan otot mata, dan meningkatkan konsentrasi. Berikut penjelasannya.

Gerakan mata tinggal tergantung pada jarak benda yang bergerak di lapangan yang luas, mata akan bergerak halus dan rata. Akan tetapi, apabila mata melihat benda-benda yang berjarak dekat seperti melihat gambar atau membaca gerakan mata akan cepat, tersentak-sentak dalam irama tarikan-tarikan kecil melompat. Dalam membaca mata tidak boleh mengambang liar, tetapi mengarah ke suatu sasaran (kata) sebentar lalu melompat ke sasaran berikutnya (satu atau dua kata berikutnya) melompat, berhenti, melompat dan seterusnya. Pemberhentian ini disebut fiksasi. Pada saat berhenti itulah mata membaca. Dan saat melompat mata tidak mengamati apa-apa.

Pembaca yang tidak efisien dalam fiksasi hanya dapat satu atau dua kata yang terserap. Pembaca yang efisien dapat menyerap tiga atau empat kata. Kesulitan fiksasi bukan karena kesulitan fisik, melainkan karena kesulitan mental. Bukan karena otot mata, melainkan karena ketidakmampuan dari pikiran menyerap dengan cepat dan tanpa salah informasi berikutnya (Soedarso 2002: 29).

Untuk mendapatkan kecepatan dan efisien dapat digunakan hal berikut.

1. Melebarkan jangkauan mata dan lompatan mata, yaitu satu fiksasi meliputi 2 atau 3 kata.

2. Membaca satu fiksasi untuk suatu unit pengertian. Cara ini lebih mudah diserap oleh otak.

Contoh: Saya suka baju lengan panjang. Lebih mudah daripada Saya suka baju lengan panjang.

3. Selalu membaca untuk mendapatkan isinya, artinya bukan untuk menghafalkan kata-katanya.

4. Mempercepat peralihan dari fiksasi ke fiksasi, tidak terlalu lama berhenti dalam satu fiksasi. Percepat gerak mata dari satu fiksasi ke fiksasi berikutnya. Semakin sedikit waktu untuk berhenti semakin baik.

Pada saat mata berhenti, jangkauan mata dapat menangkap beberapa kata sekaligus. Kata-kata dalam jangkauan mata itu dapat dikenali sekalipun pembaca tidak memfokuskan pada setiap kata (Soedarso 2002:30).

Gerakan mata dikendalikan oleh enam otot kecil yang kuat. Otot-otot ini bersama-sama menarik mata dalam rangkaian tarikan-tarikan kecil tatkala Gerakan mata dikendalikan oleh enam otot kecil yang kuat. Otot-otot ini bersama-sama menarik mata dalam rangkaian tarikan-tarikan kecil tatkala

Kurangnya daya konsentrasi pada setiap orang disebabkan oleh hal-hal yang berbeda. Ada orang yang memerlukan tempat yang tenang untuk membaca, sementara orang lain perlu ditemani radio. Kurangnya konsentrasi dapat juga disebabkan oleh kurangnya minat perhatian terhadap apa yang dibaca, karena tidak menarik, terlalu sulit atau terlalu mudah atau memang membosankan. Dapat juga memang orang itu belum siap membaca misalnya karena badan terlalu lelah sehingga perhatiannya pecah.

Untuk meningkatkan daya konsentrasi ada dua kegiatan penting, yaitu (1) menghilangkan atau menjauhi hal-hal yang dapat menyebabkan pikiran menjadi kusut dan; (2) memusatkan perhatian secara sungguh-sungguh. Hal ini termasuk memilih tempat dan waktu yang sesuai dengan dirinya, serta memilih bahan-bahan yang menarik. Teknik–teknik membaca seperti survai bahan bacaan sebelum memulai membaca, dan menentukan tujuan membaca, termasuk cara- cara untuk berkonsentrasi (Soedarso 2002:50).

2.2.8 Pembelajaran Kontekstual

Pendekatan apapun yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar diharapkan selalu mendudukkan siswa sebagai pusat perhatian. Peranan guru Pendekatan apapun yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar diharapkan selalu mendudukkan siswa sebagai pusat perhatian. Peranan guru

Pendekatan kontekstual merupakan suatu konsep belajar di mana menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang di milikinya dengan keluarga dan masyarakat. Hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi anak untuk memecahkan persoalan, berpikir kritis, dan melaksanakan observasi serta menarik kesimpulan dalam kehidupan jangka panjang (Nurhadi 2003:4).

Nurhadi (2003:5) menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran kontekstual adalah salah satu pendekatan pembelajaran yang menekankan pentingnya lingkungan alamiah itu diciptakan dalam proses belajar agar kelas lebih “hidup”dan lebih “bermakna” karena siswa mengalami sendiri apa yang dipelajarinya. Pendekatan kontekstual merupakan pendekatan yang memungkinkan siswa untuk menguatkan, memperluas dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik mereka dalam berbagai macam tatanan kehidupan baik sekolah maupun di luar sekolah.

Pembelajaran kontekstual dikembangkan untuk meningkatkan kinerja kelas yang “hidup” diharapkan menghasilkan output yang bermutu tinggi.

Beberapa defnisi pembelajaran yang pernah ditulis dalam beberapa sumber menyatakan sebagai berikut (Nurhadi 2003:12).

Johnson (dalam Nurhadi 2003:12) merumuskan sistem CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan budayanya.

The Washington State Consortium for Contextual Teaching and Learning (dalam Nurhadi 2003:12) pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa memperkuat, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademisnya dalam berbagai lahan sekolah dan di luar sekolah untuk memecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata.

Menurut para penulis NWREL (Johnson dalam Nurhadi 2003:12), ada tujuh atribut yang mencirikan konsep CTL, yaitu kebermaknaan, penerapan ilmu, berpikir tingkat tinggi, kurikulum yang digunakan harus standar, berfokus pada budaya, keterlibatan siswa secara aktif, dan authentic assessment.

Center on Education and Work at the University of Wisconsin-Madison, yang disebut TEACHNET (dalam Nurhadi 2003:12) mengemukakan pula bahwa pengajaran dan pembelajaran kontekstual adalah suatu konsepsi belajar mengajar yang membantu guru menghubungkan isi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan siswa sebagai anggota masyarakat, dan pekerja serta meminta ketekunan belajar.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar di mana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari; sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari proses mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupanya sebagai anggota masyarakat.

Pembelajaran Kontekstual akan menciptakan ruang kelas yang dialaminya, siswa akan menjadi peserta aktif bukan pengamat yang pasif dan bertanggung jawab terhadap belajarnya. Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa di dalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individual siswa dan peranan guru (Nurhadi 2003:19).

Karakteristik pembelajaran berbasis kontekstual adalah (1) kerja sama; (2) saling menunjang; (3) menyenangkan, tidak membosankan; (4) belajar dengan gairah; (5) pembelajaran terintegrasi; (6) menggunakan berbagai sumber; (7) siswa aktif; (8) sharing dengan teman; (9) siswa kritis guru kreatif; (10) dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor, dan lain-lain; (11) laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa, dan-lain-lain (Depdiknas 2002: 20-21).

Blanchard (2001) (dalam Depdiknas 2004:48) mengembangkan strategi pembelajaran metode kontekstual dengan: (1) menekankan pemecahan masalah; (2) menyadari kebutuhan pengajaran dan pembelajaran yang terjadi dalam berbagai konteks seperti rumah, masyarakat, dan pekerjaan; (3) mengajarkan siswa memonitor dan mengarahkan pembelajaran mereka sendiri sehingga menjadi mandiri; (4) mengaitkan pengajaran pada konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda; (5) mendorong siswa untuk belajar dari sesama teman dan belajar bersama; dan (6) menerapkan penilaian authentic.

Pengajaran dan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) menawarkan strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa dalam belajar lebih bermakna dan menyenangkan. Strategi yang ditawarkan dalam CTL ini diharapkan dapat membantu siswa aktif dan kreatif. Untuk itu, dalam menjalankan strategi ini, guru dituntut lebih kreatif pula.

Dalam strategi pembelajaran kontekstual ini ada tujuh komponen utama pembelajaran yang mendasari penerapan pembelajaran kontekstual di kelas. Menurut Nurhadi (2003:31), ketujuh komponen utama itu adalah Konstruktivisme (Constructivism), Bertanya (Questioning), Menemukan (Inquiry), Masyarakat Belajar (Learning Community), Pemodelan (Modeling), Refleksi (Reflection), dan Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assessment).

2.2.9 Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assessment)

Penilaian yang sebenarnya (authentic assessment) merupakan bagian dari strategi pembelajaran kontekstual. Assessment adalah proses pengumpulan Penilaian yang sebenarnya (authentic assessment) merupakan bagian dari strategi pembelajaran kontekstual. Assessment adalah proses pengumpulan

Penilaian otentik (authentic assessment) adalah nama lain dari penilaian berbasis kelas (PBK). Landasan teoretis penilaian berbasis kelas terangkum dalam landasan authentic assessment (Nurhadi 2004: 167). Penilaian berbasis kelas dilakukan untuk memberikan keseimbangan pada ketiga ranah kognitif, afektif, dan psikomotor dengan menggunakan berbagai bentuk dan model penilaian secara resmi maupun tidak resmi dengan berkesinambungan. Penilaian Berbasis Kelas merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa dengan menerapkan prinsip- prinsip penilaian, pelaksanaan berkelanjutan, bukti-bukti otentik, akurat dan konsisten sebagai akuntabilitas publik. PBK dilakukan dengan pengumpulan kerja siswa (portofolio), hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja (performance), tes tertulis (paper and pencil) (Depdiknas 2002:1-2).

Tujuan penilaian berbasis kelas adalah untuk memberikan (1) informasi tentang kemajuan hasil kerja siswa secara individual dalam mencapai tujuan belajar sesuai dengan kegiatan belajar yang dilakukan; (2) informasi yang dapat digunakan untuk membina kegiatan belajar lebih lanjut, baik terhadap

masing-masing siswa maupun terhadap siswa seluruh kelas; (3) informasi yang dapat digunakan oleh guru dan siswa untuk mengetahui tingkat kemampuan siswa, menetapkan tingkat kesulitan/kemudahan untuk melaksanakan remedial, pendalaman atau pengayaan; (4) motivasi belajar siswa dengan cara memberikan informasi kemajuannya dan rangsangannya untuk melakukan usaha pemantapan atau perbaikan; (5) informasi semua aspek kemajuan setiap siswa dan pada gilirannya guru dapat membantu pertumbuhannya secara afektif untuk menjadi anggota masyarakat dan pribadi yang utuh; (6) bimbingan yang tepat untuk memilih sekolah atau jabatan yang sesuai dengan keterampilan, minat, dan kemampuannya (Depdiknas 2002: 6).

Ditinjau dari dimensi kompetensi yang ingin dicapai, ranah yang perlu dinilai dalam penilaian berbasis kelas meliputi ranah kognitif, psikomotor, dan afektif (Depdiknas 2002:17-18).

a. Ranah Kognitif Kompetensi ranah kognitif meliputi tingkatan menghafal, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi. (1) Tingkatan hafalan mencakup kemampaun menghafal verbal atau

menghafal parafrase materi pembelajaran berupa fakta, konsep, prinsip, dan prosedural.

(2) Tingkatan pemahaman meliputi kemampuan membandingkan (menunjukkan persamaan dan perbedaan), mengidentifikasi karakteristik, menggeneralisasi, dan menyimpulkan.

(3) Tingkatan aplikasi mencakup kemampuan menerapkan rumus, dalil atau

prinsip terhadap kasus-kasus nyata yang terjadi di lapangan. (4) Tingkatan analisis meliputi kemampuan mengklasifikasi, menggolongkan,

memerinci, menguraikan suatu objek. (5) Tingkatan sintesis meliputi kemampuan memadukan berbagai unsur atau

komponen, menyusun, membentuk bangunan, mengarang, melukis, menggambar, dan sebagainya.

(6) Tingkatan evaluasi/penilaian mencakup kemampuan menilai terhadap objek studi menggunakan kriteria tertentu. Penguasaan kognitif diukur dengan menggunakan tes lisan di kelas atau berupa tes tulis. Ranah kognitif juga dapat diukur menggunakan portofolio. Portofolio adalah kumpulan tugas/pekerjaan seseorang. Hal yang penting pada penilaian yang didasarkan pada portofolio adalah mampu mengukur kecepatan membaca dan menulis yang luas, siswa menilai kemajuan sendiri, mewakili sejumlah karya siswa.

b. Ranah Psikomotor Berkenaan dengan ranah psikomotor, kompetensi yang dicapai meliputi tingkatan gerakan awal, semi rutin. Penilaian terhadap pencapaian kompetensi tersebut adalah

(1) Tingkatan penguasaan gerakan awal berisi kemampuan siswa dalam menggerakkan sebagian anggotanya. (2) Tingkatan semi rutin meliputi kemampuan melakukan atau menirukan gerakan yang melibatkan seluruh anggota badan.

(3) Tingkatan gerakan rutin berisi kemampuan melakukan gerakan sempurna dan sampai pada tingkatan otomatis. Tes untuk mengukur aspek psikomotor adalah tes untuk mengukur penampilan/perbuatan atau kinerja (performance) yang telah dikuasai siswa.

c. Ranah Afektif Berkenaan dengan ranah afektif, ada dua hal yang perlu dinilai, yaitu pertama kompetensi afektif, dan kedua sikap dan minat siswa terhadap mata pelajaran dan proses pembelajaran. Kompetensi yang ingin dicapai dalam pembelajaran meliputi tingkatan pemberian respon, apresiasi, penilaian, dan internalisasi.

Kemampuan afektif merupakan bagian dari hasil belajar dan memiliki peran yang penting. Keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotor sangat ditentukan oleh kondisi afektif siswa. Siswa yang memiliki minat belajar dan sikap positif terhadap pelajaran akan merasa senang mempelajari mata pelajaran tersebut, sehingga dapat diharapkan akan mencapai hasil belajar yang optimal (Depdiknas 2004: 4).

Berbagai jenis tingkatan ranah afektif yang dinilai adalah kemampuan siswa dalam: (1) memberikan respon atau reaksi terhadap nilai-nilai yang dihadapkan

kepadanya; (2) menikmati atau menerima nilai, norma, serta objek yang mempunyai nilai

etika dan estetika;

(3) menilai ditinjau dari segi baik buruk, adil tidak adil, indah tidak indah

terhadap objek studi; (4) menerapkan atau mempraktikkan nilai, norma, etika dan estetika dalam

perilaku kehidupan sehari-hari. Penekanan penilaian berbasis kelas yaitu pada proses pembelajaran. Oleh karena itu, data yang dikumpulkan pun harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat proses pembelajaran. Guru yang ingin mengetahui perkembangan belajar bahasa Indonesia siswanya harus mengumpulkan data dari kegiatan nyata saat siswa menggunakan Bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan, bukan pada saat para siswa mengerjakan tes bahasa Indonesia. Data authentic adalah data yang dikumpulkan dari kegiatan siswa pada saat siswa melakukan kegiatan berbahasa Indonesia, baik di kelas maupun di luar kelas.

Ada beberapa teknik penilaian diantaranya adalah sebagai berikut (Depdiknas 2003a:25-28).

1. Penilaian Kinerja (Performance Assessment). Penilaian kinerja dikembangkan untuk mengetes kemampuan siswa dalam mendemostrasikan pengetahuan dan keterampilannya pada berbagai situasi nyata dan konteks tertentu.

2. Observasi Sistematik (Systematic Observation), yang bermanfaat untuk menyajikan informasi tentang dampak aktivitas pembelajaran terhadap siswa.

3. Portofolio (Portofolio) adalah koleksi/kumpulan dari berbagai keterampilan, ide, minat, dan keberhasilan atau prestasi siswa selama jangka waktu tertentu.

Portofolio pada kurikulum 2004 diposisikan sebagai tugas penilaian yang terstruktur. Portofolio berisi hasil karya siswa atau tugas terstruktur yang diberikan oleh guru. Jenis portofolio dibedakan menjadi dua macam, yaitu portofolio untuk beberapa/semua mata pelajaran, dan portofolio untuk satu mata pelajaran. Portofolio untuk semua mata pelajaran menggambarkan profil kemampuan dari siswa. Portofolio untuk satu mata pelajaran disusun untuk satu mata pelajaran tertentu seperti matematika, sains, pengetahuan sosial, kesenian atau pendidikan jasmani. Isi portofolio ini terdiri dari hasil karya siswa yang menggambarkan ketercapaian Kompetensi Dasar dari mata pelajaran tertentu (Depdiknas 2004a: 5-6).

4. Jurnal Sains (Journal) merupakan suatu proses refleksi di mana siswa berpikir tentang proses belajar dan hasilnya, kemudian menuliskan ide-ide, minat, dan pengalamannya.

Prinsip yang dipakai dalam penilaian serta ciri-ciri penilaian authentic adalah sebagai berikut: (1) harus mengukur semua aspek pembelajaran: proses, kinerja, dan produk; (2) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung; (3) menggunakan berbagai cara dan berbagai sumber; (4) tes hanya salah satu alat pengumpul data penilaian; (5) tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus mencerminkan bagian-bagian kehidupan siswa yang nyata setiap hari, mereka lakukan setiap hari; (6) penilaian harus menekankan kedalaman pengetahuan dan keahlian siswa, bukan keluasannya (kuantitas).

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65