Budaya Massa/Populer, Perdebatan tanpa Ujung

C. Budaya Massa/Populer, Perdebatan tanpa Ujung

Sampai sekarang perdebatan seputar Budaya Massa tidak pernah usai. Ironisnya, di Indonesia, penggunaan terminologi antara Budaya Massa atau budaya Pop tidak pernah usai dibicarakan. Dalam kehidupan sehari-hari kosa kata Pop selalu dihubungkan dengan segala sesuatu yang tidak serius, santai dan piisan. Sehingga dengan demikian, kebudayaan pop selalu berada di luar kategori kebudayaan tinggi yang sudah mapan. Demikian pula dengan seni pop, selalu kesulitan menembus media yang diperuntukkan bagi pertunjukan seni serius yang biasanya dihadiri oleh para petinggi

kesenian, seperti di taman Ismail Marzuki. 28 Sehingga secara samar terlihat bahwa kebudayaan pop tidak mendapat pengakuan, terutama dari beberapa kelas atas yang tetap menjaga kebudayaan mereka dengan alasan sebagai warisan adiluhung.

Pada dasarnya konsep kebudayaan pop merupakan ikutan dari konsep seni pop yang memasuki sektor-sektor budaya lainnya. Merebaknya bentuk-bentuk kesenian pop kemudian ingin memperlihatkan sebuah bentuk perlawanan terhadap budaya adiluhung, dan ternyata mendapat sambutan dari beberapa kalangan. Di tingkat apresiasi, sesungguhnya persoalan dualisme ini tidak terlalu menjadi soal, sebab seni memiliki kriterianya sendiri tanpa punya pretensi mengkategorikan selera masyarakat.

Kebudayaan pop dalam penyebarannya lebih menekankan kemampuan komunikasi produk dan aktivitasnya daripada penghargaan kritis dari khalayak ramai. Dengan kata lain lebih mengutamakan estetika resepsi ketimbang estetika kreasi. Karena itulah kebudayaan pop mudak berganti seiring perputaran waktu. Kebudayaan pop lebih mempertimbangakn cakupan ruang yang luas dibanding resapan waktu dan tingginya kualitas kreasi. Hal ini disebabkan salah satunya sebagai gejala masyarakat industri ia mempunyai dua ciri: pada satu pihak ia cenderung menjadi kebudayaan massa, disaat lain menjadi kebudayaan sesaat. Kebudayaan pop ikut atau menciptakan

tren dalam waktu tertentu dan biasanya berubah cepat. 29

Menurut Edward Shill kebudayaan pop merupakan konsep yang timbul akibat dari terciptanya masyarakat industri modern sebagai model masyarakat baru yang

28 Ignas Kleden, Kebudayaan Pop: Kritik dan Pengakuan, Prisma Nomor 5, Mei 1985. 29 Ibid.

memiliki kesamaan kepentingan dan produk yang merekatkan sesama mereka. Gejala ini mulai berkembang seiring dengan tebentuknya budaya urban akibat migrasi penduduk yang meliputi beberapa generasi sebagai prasyarat pertama terciptanya

masyarakat massa juga sebagai model-model penyebarannya. 30

Prasyarat kedua adalah, meskipun terjadi migrasi besar-besaran, tetapi masyarakat yang berpindah tersebut sama sekali tidak terserabut penuh dari akar tradisinya dari daerah asal. Secara teratur mereka masih ikut dalam irama ritual tanah asal. Gejala ini dapat dilihat pada ritual tahunan Lebaran yang mengakibatkan gelombang mudik besar-besaran. Atau tradisi Rasulan di Gunungkidul, masih menjadi ajang pertemuan antara penduduk setempat dengan para perantau.

Prasyarat ketiga budaya massa, dari interaksi antara masyarakat urban dengan masyarakat desa asalnya yang mulai menerima identitas urban yang dipadukan dengan identitas etnis masing-masing. Sehingga terjadi sinkretisasi kebudayaan baru yang diterima bersama. Kasus penemuan konsep musik Campur Sari dapat dikatakan sebagai perpaduan antara kebudayaan asli masyarakat jawa di pedesaan dengan masyarakat urban yang lebih modern. Pertemuan antara instrumen gamelan yang sakral serta syair klenengan yang masih setia pada pakem bertemu dengan instrumen musik modern serta partitur lagu populer kemudian menghasilkan konsep musik campur sari. Jenis musik ini kemudian menjadi identitas baru yang diterima oleh semua orang jawa di manapun berada, baik yang melakukan urbanisasi di Jawa, maupun yang berada di pulau lain melalui proyek transmigrasi. Campur Sari adalah identitas yang mempersatukan emosi orang Jawa yang sudah terpencar oleh migrasi.

Prasyarat keempat adalah perkembangan yang tidak hanya diakibatkan oleh proses industrialisasi, tetapi juga oleh perlakuan administrasi dan birokrasi pemerintah. Misalnya pada penyebaran populasi pada transmigrasi yang besar pengaruhnya terhadap

penyebaran kebudayaan ke daerah-daerah baru. 31 Identifikasi Umar Kayam melalui empat tahap prasyarat tercipta dan menyebarnya budaya massa merupakan gambaran awal. Meskipun pada perkembangan lebih lanjut, ketika prakondisi tersebut telah terpenuhi dan pola sebaran mencapai tahap optimal perkembangan budaya masa memperlihatkan aktivitas yang berubah. Peran media banyak berpengaruh terhadap pengenalan identitas budaya baru. Temuan-temuan ini kemudian berkolaborasi dengan idustri kapitalisme untuk menciptakan masyarakat massa yang konsumtif belaka. Pada

30 Umar Kayam, Budaya Massa Indonesia , Prisma Nomor 11, November 1981. 31 Ibid.

konteks inilah pemahaman tentang budaya massa dengan budaya populer tetap menjadi perdebatan sampai sekarang.

Budaya populer yang berkembang di Barat didasari oleh sebuah perlawanan. Penggagasnya berangkat dari sebuah pertentangan ideologis, atau setidaknya protes terhadap kondisi tertentu suatu negara yang memperlihatkan kemunduran peradaban. Misalnya keputusan keterlibatan Amerika pada perang Vietnam, melahirkan perlawanan generasi muda berupa terbentuknya flower generation sebagai kelompok penentang perang.

Salah satu kelompok itu adalah orang-orang Hippy yang menciptakan sebuah gerakan sosial pada tahun 60-an. Gerakan ini pada awalnya adalah sebuah protes kelas menengah dalam banyak dimensi pada berbagai macam tingkatan, sebuah protes melawan etika kerja protestan dan etika sexual puritan. Protes para pelajar, protes tentang hak sipil, anti perang dan kampanye pelucutan senjata nuklir adalah bagian dari

protes gerakan Hippy. 32

Dalam ekspresi protes mereka sering sekali menggunakan simbol yang melekat pada tubuh dan pakaian misalnya potongan rambut dan model pakaian yang menciptakan komoditi dan tren tersendiri. Apa yang dikenakan selalu merupakan perlawanan dari sesuatu yang sudah mapan. Pakaian asal-asalan untuk melawan segala kerapian yang dianjurkan orang tua mereka. Gerakan ini banyak digandrungi kaum muda yang anti terhadap kemapanan, sampai akhirnya surut, kemudian merebak gerakan-gerakan serupa lainnya seperti gerakan Skinhead dengan ciri rambut yang dicukur pendek sebagai tentangan tehadap kaum Hippy yang senang pada rambut panjang. Kemudian ada kelompok Rocker Punk dan Sex Pistols yang berjaya pada tahun

1976 di sekitar pantai Inggris. 33

Demikian terus menerus terjadi perlawanan-perlawanan baik antara kelompok- kelompok dengan penguasa maupun antara kelompok sendiri saling mengekspresikan pertentangan dan permainan simbol yang menjadi trensetter. Nampaknya konser-konser musik menjadi simpul penyebaran simbol-simbol yang digunakan dan para bintang berperan sebagai pusat perhatian segenap fansnya untuk mengadopsi hal-hal baru, mulai dari potongan rambut sampai mode busana dan kegemaran lainnya.

32 Anthony Synnott, Tubuh Sosial, Simbolisme, Diri dan Masyarakat, Jalasutra Yogyakarta, 2003, hlm. 211.

33 Ibid, hlm. 212-213.

Dari sanalah semua menyebar menjadi nilai bersama yang banyak digandrungi kaum muda, sehingga sering dikonotasikan bahwa budaya populer adalah budaya anak muda.

Sementara di Indonesia proses penemuan dan penyebarannya tidaklah demikian, sehingga memunculkan perdebatan, apakah fenomena di Indonesia merupakan budaya populer atau budaya massa. Banyak perdebatan diantara beberapa pemikir kebudayaan yang mempertentangkan istilah tersebut. Bagi yang sinis, menggunakan terminologi Budaya Massa pernah mendominasi pandangan pemikir kebudayaan. Menurut mereka, budaya massa yang timbul dari kebudayaan kota industrial hanyalah sampah bikinan pabrik hiburan. Ini siasat kaum kapitalis yang melakukan manipulasi fantasi dan mimpi kaum buruh kelas menengah yang terasing di kota-kota, jauh dari adat kampung dan tidak mampu menggapai seni tinggi dari pusat kebudayaan maupun akademik. Seleranya dianggap kampungan, harganya kacangan. Kalau ada isinya yang verbal atau naratif,

maka biasanya berwatak melankolik, vulgar atau membodohi nalar. 34 Bagi yang berseberangan mengatakan bahwa tidak semua kebudayaan kota

adalah sampah industri. Kehidupan kota diyakini mempunyai “budaya pop”, bukan “budaya massa.” Yakin budaya yang bangkit dari kalangan rakyat jelata kota,

dikonsumsi oleh dan untuk mereka sendiri tanpa campur tangan industri. 35 Kenyataan yang terjadi di masyarakat urban kedua pola batasan definisi antara

budaya massa dengan budaya pop dapat ditemukan. Budaya pop, misalnya dapat dilihat pada beberapa kebudayaan sub urban “anak yang hidup di jalan”, kebanyakan dari

mereka keluar dari rumah dengan sebuah ideologi yang melawan apa yang diinginkan orang tua mereka terutama menjadi anak yang baik dan penurut. Anak yang hidup di jalan selalu menampilkan identitas yang berlawanan dengan identitas dominan yang menurut mereka telah mengalami manipulasi dan penjinakan. Mereka menolak itu, keluar dari rumah dan membentuk tatanannya sendiri, menjadi budaya pop sub urban dengan aliran yang bermacam-macam.

Sementara budaya massa seperti dengan sinis dikatakan sebagai sampah perkotaan justeru yang paling banyak menyita perhatian para pemerhati budaya. Misalnya merebaknya musik dangdut serta animo masyarakat terhadap goyang, dianggap sebagai ekspresi yang mengeksploitasi naluri purba manusia, yakni mempermainkan gairah dan syahwat. Demikian juga bentuk-bentuk seni lainnya, setelah mengalami komersialisasi dan menjadi komoditi, disambut gempita oleh masyarakat,

34 Ariel Heryanto, Pop, Kompas, Edisi 2 Maret 2003 35 Ibid .

namun di sisi lain menciptakan pseudo liberalisme, terhadap selera karena sesungguhnya hasil kebudayaan massa telah dimainkan oleh para cukong semata untuk meraih keuntungan.

Terlepas dari perdebatan tersebut, ada baiknya dipaparkan beberapa pandangan tentang pengertian antara budaya “Pop” dengan budaya “Massa”. Konsep Massa menurut DwightMacDonald melihat massa tidak semata sebagai satuan jumlah melainkan juga dalam kategori kualitas sosial. Massa menurutnya adalah kumpulan besar orang yang telah kehilangan identitas kemanusiaannya. Mereka adalah orang- orang yang tidak bisa mengekspresikan dirinya sendiri sebagai manusia, karena pada dasarnya hubungan yang terjalin bukan hubungan antar individu, atau anggota

komunitas, melainkan oleh sesuatu yang jauh, non-human dan abstrak. 36 MacDonald melihat massa merupakan kumpulan dari unsur terkecil yang terkucil, kemudian bergabung tetapi tidak mengalami pendefinisian. Ia dapat dikatakan sebagai suatu kerumunan.

Pada kesempatan lain ia memberi komentar yang lebih radikal lagi bahwa masyarakat massa benar-benar menyerupai gerombolan yang strukturnya sangat longgar, brutal dan primitif, berselera rendah dan dungu. Skalanya sangat besar sebab

meliputi banyak orang. 37

Sementara Daniel Bell sedikit lebih maju dengan memberikan identivikasi berbeda antara konsep massa dengan konsep kelas melalui lima hal: 1) Berbeda denga konsep kelas, massa merupakan audiens yang sangat beragam, heterogen, dan anonim;

2) Massa sebagai kategori penilaian terhadap orang yang tidak memiliki kompetensi, sehingga yang dihasilkan tak lebih dari sesuatu yang dangkal, murahan dan merupakan selera massa; 3) Massa merupakan masyarakat yang bersifat mekanis, meskipun jumlahnya sangat banyak dan merupakan bagian paling besar dalam masyarakat, tetapi mereka tidak terintegrasi dan fragmatis; 4) Massa merupakan kelompok masyarakat yang telah mengalami proses birokrasi; 5) Masyarakat massa merupakan kelompok orang yang keadaannya inferior di hadapan masyarakat. Dengan kata lain tidak memiliki sebuah ide-ide besar untuk melakukan perubahan besar dalam masyarakat. Suatu hal yang berbeda dengan konsep kelas yang mampu melakukan sebuah perlawanan bahkan

memiliki konsep revolusi dan banyak dijalankan di negara-negara sosialis. 38

36 Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hlm. 104-105. 37 Ibid. 38 Ibid, hlm. 106.

Lewat dua pengertian tentang budaya massa, dapat disimpulkan bahwa budaya massa menunjuk pada berbagai produk atau praktik-praktik kultural yang melibatkan sekumpulan besar orang tanpa organisasi sosial, adat, tradisi, struktur, peran dan status, tidak memiliki kompetensi dalam menilai kualitas suatu produk budaya, dan berselera dangkal. Kalau berdasar pada garis tegas perbedaan antara budaya pop dan budaya massa, pertanyaan selanjutnya adalah, adakah budaya pop di Indonesia.

Budaya massa, kalau boleh diklaim demikian banyak sekali dipertontonkan dalam produk seni dan hiburan. Berbeda dengan fenomena di Barat yang berangkat dari sebuah penegasan identitas dan pertentangan ideologi. Yang terjadi di Indonesia tidak lebih dari sekadar peniruan. Mulai dari penggunaan simbol identitas sampai pada konsumsi sehari-hari tak lebih dari sebuah peniruan terhadap apa yang marak di negara Barat. Ketika demam punk rocker yang muncul sebagai perlawanan identitas terhadap kelompok Hippy dan Skinhead, di Indonesia gaya rambut serupa dipertontonkan lewat Film Lupus. Demikian pula dengan munculnya kelompok musik sering kali meniru apa yang digandrungi di negara Barat. Dalam konteks inilah wajar apabila budaya pop di Indonesia masih patut dipertanyakan

Memasuki dekade 90-an perdebatan terminologi antara pop atau massa, mulai jauh dari substansi. Ini disebabkan oleh makin maraknya media yang setiap hari menayangkan komoditi hiburan yang sering disebut pop (terlepas dari perdebatan substansial). Pertentangan wacana antara Pop dan Massa tenggelam oleh arus penayangan hiburan pop yang dangkal yang me-massa melalui media massa yang tumbuh subur pada masa-masa tersebut. Di layar televisi, hampir semua jam-jam utama dipenuhi oleh tayangan drama ringan yang sulit dibedakan dengan judul yang lain, bahkan yang ditayangkan di stasiun lainnya. Belum lagi produk impor yang merupakan hasil kebudayaan massa dipaksakan masuk meskipun tentu saja dengan konteks yang berbeda. Kenyataannya, banyak sekali kekhawatiran yang muncul mengingat sambutan budaya massa dari luar yang masuk ke Indonesia mendapat sambutan luar biasa, bahkan melebihi penerimaan di negara asalnya.

Sebagai contoh demam sinema India, dimana Shahrukh Khan sebagai ikon, disambut histeria massa di Indonesia. Shahrukh mendapat sambutan jauh lebih ramai dibanding penerimaan khalayak di negerinya sendiri. 39 Histeria yang bergelora pada

39 Wawancara dengan Melina Nathan 17 Juli 2003. Melina adalah keturunan India yang sekarang giat sebagai peneliti. Ia banyak berkeliling ke beberapa negara dan mengamati histeria orientasi India pada

jagad hiburan (TV) di Indonesia. Ia juga sempat heran mengapa sambutan Shakhrukh Khan di Indonesia terlalu berlebihan. Hal yang sama dialami oleh kelompok F4 yang membintangi opera sabun Taiwan “Meteor Garden”, juga sambutan luar biasa dialami oleh Siti Nurhalizah, penyanyi dari Malaysia.

khalayak di Indonesia, penyebab utamanya adalah tinfkat sebaran budaya massa yang tinggi sebagai upaya kapitalisasi kebudayaan massa oleh media yang semakin ramai memasuki tahun 2000-an, apalagi Indonesia tergolong sebagai bangsa yang masyarakatnya mempunyai jam menonton televisi sangat tinggi. Dengan keadaan itulah, sehingga sahih apabila kebudayaan massa di Indonesia lebih kelihatan dibanding kebudayaan pop yang beberapa bisa ditemukan (justeru di jalanan), setelah mengalami peminggiran wacana. Masyarakat Indonesia menemukan identitasnya justeru setelah dianonimkan oleh media, menjadi elemen-elemen, terkumpul dalam jumlah yang luar biasa besar, tetapi lemah dalam basis sosial budaya dan kesadaran kritis serta kreasi picisan. Kebudayaan massa yang ada di Indonesia tidak lain adalah hasil peniruan dan penggiringan. Peniruan dari budaya massa dari luar dan digiring oleh kepentingan para juragan industri hiburan yang memerlukan mereka sebagai pasar produk kebudayaan massa.

Bukti kekhawatiran terhadap fenomena impor budaya massa, sempat direspon dalam forum Konfres Kebudayaan Nusantara du Jakarta pada 8 – 10 Maret 1990. ada sembilan poin yang direkomendasikan sebagai masalah dan tantangan dalam pembentukan kebudayaan nasional, setelah sebelumnya ditemukan 24 bentuk masalah kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia. Kesembilan rekomendasi tersebut, meliputi: 1) Masalah komersialisasi kebudayaan; 2) Konsumerisme dan materialisme; 3) Ketahanan budaya dan konflik nilai; 4) Pendidikan dan penerusan nilai; 5)Adaptasi hukum dalam pembangunan pariwisata; 6) Sex dan kesehatan; 7) Sekularisasi kehidupan beragama; 8) Pengembangan potensi masyarakat dalam upaya mengambil manfaat optimal dari pariwisata dan interaksi antar bangsa; 9) Pengembangan kemampuan

selektif terhadap pengaruh kebudayaan asing. 40

Kesembilan poin rekomendasi di atas, sebagian besar memuat kekhawatiran terhadap pengaruh budaya asing yang masuk melalui pintu interaksi antar bangsa dan pariwisata. Dari sana akan muncul pemaknaan baru terhadap kebudayaan sebagai hasil interaksi sebagaimana dikemukakan oleh Edward Shill. Terbukti bahwa dengan interaksi kemudian ditambah dengan penyebaran model-model produk kebudayaan dunia melalui media dalam bingkai hegemoni kapitalisme kebudayaan Indonesia dikhawatirkan baik dari ketahanan maupun orientasinya ke depan.

Bagaimanapun juga kebudayaan apakah itu pop maupun massa, memiliki corak yang ingin menyeragamkan selera. Ia selalu disiapkan oleh para penentu selera trensetter

40 Usman Pelly, Demokrasi dalam Kehidupan Budaya , Jurnal Analisis CSIS, Tahun XX, Nomor I, Januari – Februari 1991.

menjadi menu tunggal audiens. Jadi kalau masyarakat massa sangat heterogen, pada hal- hal tertentu mereka mengalami penyeragaman mode dan selera. Media kemudian berperan penting untuk memperkuat hegemoni pusat-pusat kebudayaan dan menciptakan masyarakat massa menjadi masyarakat konsumen.

Selama berlangsung penyebaran dan penanaman hegemoni oleh pusat-pusat budaya massa, selama itu terjadi penanaman nilai kapitalisme dan menumbuhkan apa yang disebut economic of entertainment (ekonomi hiburan). Jenis ekonomi ini adalah sebuah upaya hedonisasi untuk memompakan terus semangan konsumsi. Pusat-pusat budaya massa memiliki strategi yang sangat ampuh untuk menebarkan pengaruhnya. Para artis biasanya dijadikan ujung tombak kampanye atau etalase produk budaya massa.

Para trensetter selalu mengerahkan selera masyarakat untuk mengonsumsi sebanyak mungkin, sama dengan model komunikasi agenda setting. Walaupun tanpa ideologi yang kuat, mereka mengikuti strategi pola penyebaran yang dilakukan lewat pertentangan simbol kelompok-kelompok pencipta budaya pop. Para bintang (selebritis) dijadikan sebagai pusat impian massa (patron). Apa yang diperbuat dan dikenakan oleh patron budaya massa selalu berdampak signifikan dan cepat terhadap kliennya. Pengaruhnya sangat besar.

Demikian pula dengan patron budaya massa yang top saat ini, mendapat perlakuan sama dari kliennya. Seiring dengan jalinan hubungan patron klien yang mengeksploitasi persoalan hedonistik dan fetishisme kebendaan. Apa yang menjadi orientasi hubungannya biasanya seputar persoalan hiper realitas kehidupan, misalnya bentuk tubuh, model pakaian dan rambut, sampai pola makan. Sehingga tidak heran bila apa yang sering menjadi bahan perbincangan mereka yang direkam dalam media biasanya sesuatu yang sama sekali tidak penting dan jauh dari substansi kehidupan. Anehnya semakin ramai kegiatan para simbol-simbol budaya massa diliput dan dibicarakan, sepertinya membuat kita semakin jauh dari realitas kehidupan.

Sebuah negara yang memiliki strategi kebudayaan tentu saja mampu mengarahkan pandangan hidup masyarakatnya yang mampu mempertahankan kesadaran dan kebudayaannya yang sejati. Negara Malaysia perlu dicatat sebagai salah satu bangsa di Asia tenggara yang berhasil melakukan strategi kebudayaan yang terintegrasi dan dihayati. Pengenalan konsep “Melayu Baru” oleh pemerintahan Mahathir Mohammad, memberikan orientasi negara Malaysia memasuki abad baru tanpa kehilangan identitas kemelayuannya. Kalau itu masih dikritik banyak kalangan sebagai utopia orang melayu berhadapan dengan kekuatan rezim global, setidaknya Sebuah negara yang memiliki strategi kebudayaan tentu saja mampu mengarahkan pandangan hidup masyarakatnya yang mampu mempertahankan kesadaran dan kebudayaannya yang sejati. Negara Malaysia perlu dicatat sebagai salah satu bangsa di Asia tenggara yang berhasil melakukan strategi kebudayaan yang terintegrasi dan dihayati. Pengenalan konsep “Melayu Baru” oleh pemerintahan Mahathir Mohammad, memberikan orientasi negara Malaysia memasuki abad baru tanpa kehilangan identitas kemelayuannya. Kalau itu masih dikritik banyak kalangan sebagai utopia orang melayu berhadapan dengan kekuatan rezim global, setidaknya