Fausbøll, Five Jātakas, hal. 14 dan 39; Rhys Davids, Buddhist Birth Stories, p. v. Ini adalah Ass in the Lion’s Skin oleh Aesop.

88 Fausbøll, Five Jātakas, hal. 14 dan 39; Rhys Davids, Buddhist Birth Stories, p. v. Ini adalah Ass in the Lion’s Skin oleh Aesop.

sehingga tidak berani mendekatinya. Mereka lari pulang ke rumah dan memberikan tanda bahaya. Para penduduk desa

Setelah uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan menyiapkan senjata dan buru-buru ke ladang, berteriak dan

kisah kelahiran mereka:—“Pada masa itu, Kokālika (Kokalika) meniup terompet serta menabuh genderang. Keledai itu menjadi

adalah keledai, dan petani bijak adalah diri-Ku sendiri.” sangat ketakutan dan mengeluarkan suara keledainya. Kemudian, setelah melihat bahwa dia adalah seekor keledai, Bodhisatta mengulangi bait pertama berikut:

Bukan singa bukan harimau yang kulihat,

No. 190.

juga bukan seekor macan tutul: SĪLĀNISAṀSA-JĀTAKA.

Melainkan seekor keledai—makhluk tua yang malang dengan kulit singa di punggungnya!

[111] “Melihat buah perbuatan dari keyakinan,” dan

seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam Segera setelah para penduduk desa tahu dia hanyalah di Jetavana, tentang seorang upasaka yang berkeyakinan. Dia seekor keledai, mereka memukulnya dengan kayu sampai

adalah seorang siswa mulia yang berkeyakinan dan bajik. Suatu tulang-tulangnya patah dan pergi dengan membawa kulit

petang, dalam perjalanannya ke Jetavana, dia sampai ke tepi singanya. Ketika pedagang itu datang dan menemukan

Sungai Aciravatī setelah para tukang perahu merapatkan perahu keledainya dalam keadaan yang menyedihkan demikian, dia

mereka ke daratan untuk pergi mendengarkan Dhamma. Karena mengulangi bait kedua:—

tidak ada perahu yang terlihat di tepi sungai tersebut dan pikiran

upasaka ini dipenuhi oleh pemikiran-pemikiran yang sangat Keledai, kalau saja dia pintar,

menyenangkan tentang Buddha, dia pun berjalan ke sungai mungkin gandum hijau dapat dimakannya

tersebut 89 . Kakinya tidak tenggelam masuk ke dalam air. Dia dalam waktu yang lama

berjalan jauh ke tengah sungai seperti berjalan di daratan; tetapi dengan penyamarannya berupa kulit singa:

kemudian di sana dia melihat adanya ombak. Kemudian Tetapi dia mengeluarkan suara keledai, dan dipukuli!

ketenangan pikirannya menjadi kacau dan kakinya mulai

tenggelam. Dia kemudian memusatkan pikirannya kembali dan Ketika dia sedang mengucapkan kata-kata ini, keledai itu

mati. Pedagang tersebut meninggalkannya dan pergi sendirian.

89 Kemiripan dengan St Peter dalam Sea of Galilee sangatlah men c olok.

berjalan melewati sungai itu. Kemudian dia sampai ke Jetavana, makan.” Dia berpikir di dalam dirinya, “Di tempat seperti ini, tidak memberi salam kepada Sang Guru dan duduk di satu sisi. Sang

ada pertolongan kecuali Tiga Permata 90 ,” dan kemudian dia Guru beruluk salam dengannya dan berkata, “Upasaka, Ku-

merenungkan kualitas-kualitas bagus dari Tiga Permata. Ketika harap,” kata Beliau, “tidak ada halangan di dalam perjalananmu.”

dia merenungkan dan merenungkan, seekor raja nāga (naga) “Oh, Bhante,” balasnya, “dalam perjalananku, saya sangat

yang lahir di pulau tersebut mengubah dirinya menjadi sebuah meresapi renungan-renungan tentang Buddha hingga saya

kapal yang besar. Kapal tersebut dipenuhi dengan tujuh jenis melangkahkan kaki ke sungai; tetapi saya melangkah di atasnya

batu berharga. [112] Dewa laut menjadi nahkodanya. Ketiga seperti di atas daratan yang kering!” “Ah, Upasaka,” kata Sang

tiang terbuat dari batu nilam, layar dari emas, tali-tali dari perak Guru, “Anda bukanlah satu-satunya orang yang selamat dengan

dan papan-papan kapal berwarna keemasan. merenungkan kualitas-kualitas bagus Buddha. Di masa lampau,

Dewa laut tersebut berdiri di atas kapal dan berkata para upasaka yang berkeyakinan mengalami kapal karam di

dengan keras—“Apakah ada penumpang ke Jambudīpa (India)?” tengah lautan dan selamat dengan merenungkan kualitas bagus

Upasaka tersebut berkata, “Ya, itu adalah tujuan kami.” “Naiklah Buddha.“ Kemudian, atas permintaan orang tersebut, Beliau

ke kapal!” Dia naik ke kapal dan berniat untuk memanggil menceritakan sebuah kisah masa lampau.

temannya, si tukang pangkas. “Anda boleh naik,“ kata nahkoda, “tetapi dia tidak boleh.” “Mengapa tidak boleh?” “Dia bukanlah

Dahulu kala, di masa Sammāsambuddha Kassapa, seorang yang memiliki kualitas moral yang bagus, itulah seorang siswa mulia yang telah mencapai tingkat kesucian Sotā-

alasannya,” katanya, “saya membawa kapal ini untuk dirimu, panna, melakukan perjalanan dengan kapal bersama dengan

bukan untuk dirinya.” “Baiklah — semua derma yang telah seorang tukang pangkas yang cukup kaya. Istri dari tukang

kuberikan, kebajikan yang telah kulakukan, kekuatan yang telah pangkas ini memberikan tanggung jawab untuk menjaga

kukembangkan — kuberikan kepadanya buah dari semua suaminya kepada siswa mulia tersebut, dalam keadaaan suka

perbuatan baikku itu!” “Terima kasih, Tuan!” kata tukang pangkas atau duka.

itu. “Sekarang,” kata dewa laut, “saya dapat membawamu ikut Seminggu kemudian, kapal tersebut karam di tengah

berlayar.” Kemudian dia membawa mereka ke lautan dan lautan. Kedua orang tersebut yang berpegangan erat pada satu

berlayar menuju ke Benares. Di sana, dengan kekuatannya, dia potongan papan terdampar sampai ke sebuah pulau. Di sana

memunculkan sebuah gudang harta untuk mereka berdua, dan tukang pangkas tersebut membunuh beberapa burung dan

kemudian berkata kepada mereka, “Bertemanlah dengan mereka memasaknya, menawarkan sebagian makanannya kepada upasaka itu. “Tidak, terima kasih,” katanya, “saya tidak mau 90 Tiga Permata adalah Buddha, Dhamma dan Saṅgha. Untuk tujuh batu berharga, lihat

Childers, hal. 402 b.

yang bijaksana dan bajik. Seandainya saja tukang pangkas ini

No. 191.

tidak berteman dengan sang upasaka, dia pastilah telah binasa di dalamnya lautan.” Kemudian dia mengucapkan bait-bait

RUHAKA-JĀTAKA.

berikut untuk menyanjung persahabatan dengan yang bijak dan “Bahkan tali busur yang putus,” dan seterusnya. Kisah

baik: ini diceritakan Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, mengenai

godaan yang timbul dari mantan istri. Cerita pembuka ini akan Melihat buah perbuatan dari keyakinan, moralitas

dijelaskan di dalam Buku VIII, pada Indriya-Jātaka 91 . Kemudian dan kemurahan hati,

Sang Guru mengatakan kepada bhikkhu ini, “Itu adalah wanita seekor naga dalam bentuk kapal membawa

yang mencelakakanmu. Pada masa lampau, dia juga orang baik tersebut melewati lautan.

mempersulitmu di depan raja dan seluruh pejabatnya dan

memberimu alasan yang tepat untuk meninggalkan rumahmu.” Jalinlah persahabatan hanya dengan yang baik

Kemudian Beliau menceritakan kisah masa lampau. dan jadilah teman yang baik;

Karena bersahabat dengan yang baik, tukang pangkas Dahulu kala ketika Raja Brahmadatta memerintah di

ini bisa dengan selamat melihat rumahnya kembali. Benares, Bodhisatta dilahirkan oleh permaisurinya. Ketika dia

tumbuh dewasa, ayahnya wafat; dan dia menjadi raja yang [113] Demikianlah dewa laut itu memberikan nasihatnya

memerintah secara adil.

dengan berdiri di udara, kemudian pergi menghilang. Akhirnya Bodhisatta memiliki seorang pendeta kerajaan bernama

dia kembali ke kediamannya dengan membawa naga Ruhaka, dan Ruhaka ini menikahi seorang wanita brahmana tua.

bersamanya. Raja memberikan brahmana itu seekor kuda yang dilengkapi

dengan perhiasan-perhiasannya, lalu dia menunggangi kuda itu Sang Guru, setelah mengakhiri uraian ini, memaklumkan

dan pergi untuk melayani raja. Ketika dia sedang menunggangi kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka: — Di

kudanya yang penuh perhiasan, orang-orang di samping kiri dan akhir kebenarannya, upasaka tersebut mencapai tingkat

kanannya memuji dengan suara keras: “Lihat kuda yang bagus kesucian Sakadāgāmi:—“Pada masa itu, upasaka yang telah

itu!” teriak mereka, “cantik sekali!”

memasuki arus tersebut mencapai nibbāna; Sāriputta adalah raja naga, dan dewa laut adalah diri-Ku sendiri.”

91 No. 423.

Ketika pulang, dia masuk ke rumahnya dan mengatakan tempat dia tinggal selama empat atau lima hari. Sewaktu raja kepada istrinya, [114] “Istriku yang baik,” katanya, “kuda kita

mendengar tentang hal ini, dia memanggil pendeta kerajaannya berjalan dengan baik! Orang di samping kanan dan kiri semua

dan berkata kepadanya, “Guruku, semua wanita melakukan memujinya.” Istrinya tidak lebih baik dari yang seharusnya dan

kesalahan, Anda harus memaafkan wanita ini.” Kemudian penuh dengan kebohongan; jadi dia membalas suaminya

dengan tujuan membuatnya memaafkan istrinya, dia demikian, “Ah, Suamiku, Anda tidak mengerti di mana keindahan

mengucapkan bait pertama:

kuda ini. Semuanya terletak pada perhiasannya yang bagus. Jika Anda ingin membuat dirimu sebagus kuda itu, pakailah perhiasan

Bahkan tali busur yang putus dapat diperbaiki itu pada dirimu dan berjingkrak-jingkraklah di jalanan seperti

dan menjadi utuh kembali;

seekor kuda 92 . Anda akan menemui raja dan dia akan memujimu, Maafkanlah istrimu dan janganlah menyimpan semua orang akan memujimu.”

kemarahan di dalam dirimu.

Brahmana bodoh ini mendengar semua itu, tetapi tidak mengetahui apa yang direncanakan istrinya. Jadi dia percaya

[115] Mendengar ini, Ruhaka mengucapkan bait kedua: kepadanya dan melakukan sesuai apa yang dikatakannya. Semua yang melihatnya tertawa terbahak-bahak: “Ini guru yang

Selama masih ada bahan 93 dan pekerja juga, hebat!” semua berkata. Lalu raja berteriak malu terhadapnya

akan mudah membeli tali busur yang baru. “Kenapa, Guruku,” katanya, “apakah ada yang salah dengan

Saya akan mencari istri yang baru; pikiranmu? Apakah Anda gila?” Pada saat itu brahmana tersebut

sudah cukup terhadap yang satu ini. sadar dia telah berbuat salah dan dia merasa sangat malu. Jadi dia marah pada istrinya dan dia pulang dengan tergesa-gesa,

Demikianlah dia mengusirnya dan menikahi wanita berkata pada dirinya sendiri, “Wanita itu telah membuatku malu

brahmana lain sebagai istrinya.

di depan raja dan seluruh pasukannya; saya akan menghukumnya dan mengusirnya!”

Sang Guru, setelah mengakhiri uraian ini, memaklumkan Tetapi wanita yang licik itu mengetahui bahwa dia pulang

kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran dalam keadaan marah; dia mengambil langkah terlebih dulu dan

mereka:—Di akhir kebenaran-kebenaran itu, bhikkhu yang berangkat dari pintu samping kemudian pergi menuju istana,

tergoda dikukuhkan pada tingkat kesucian Sotāpanna—“Pada