cix
Penyelenggara sertifikasi elektronik berwenang untuk:
163
1. pemeriksaan calon pemilik danatau pemegang sertifikat elektronik;
2. penerbitan sertifikat elektronik;
3. perpanjangan masa berlaku sertifikat elektronik;
4. pemblokiran dan pencabutan sertifikat elektronik;
5. validasi sertifikat elektronik;
6. pembuatan daftar sertifikat elektronik yang aktif dan yang dibekukan.
Pengawasan Penyelenggara sertifikasi elektronik ini dilaksanakan oleh Menteri.Pengawasan ini meliputi pengakuan, dan pengoperasian fasilitas
penyelenggara sertifikasi elektronik induk bagi penyelenggara sertifikasi.
B. Bentuk Pertanggungjawaban Penyelenggara Sertifikasi Elektronik terhadap
Konsumen ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Transaksi elektronik jarak jauh electronic distance selling yang memanfaatkan teknologi komunikasi seperti; internet, telepon dan telefax terbukti
menimbulkan masalah baru terkait dengan perlindungan hak dan kewajiban konsumen. Persoalan mulai muncul ketika konsumen melakukan pembelian barang
atau jasa dari penjual yang berada di negara lain. Salah satu persoalan yang paling
163
Pasal 60 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik Nomor 82 Tahun 2012.
cx
sering muncul adalah tindakan curang dan penipuan. Tentu saja masih terdapat persoalan lain yang juga sering dihadapi konsumen seperti:
164
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumenselanjutnya disebut dengan UUPKmendefinisikan hukum perlindungan
konsumen dalam hubungan dan berbagai masalahnya dengan penyediaan barang danatau jasa konsumen. Hubungan hukum antar keduanya melahirkan kewajiban dan
hak yang mendasari terciptanya suatu tanggungjawab. Suatu tanggungjawab pada prinsipnya sama yaitu merupakan bagian dari konsep kewajiban hukum. Norma dasar
kemudian dirumuskan kewajiban untuk mengikuti hukum dan mempertanggungjawabkan kewajibannya untuk mengikuti aturan aturan hukum
tersebut.Pada prinsipnya, pelaku usaha dapat dimintai pertanggungjawaban apabila timbul kerugian konsumen akibat tidak terlaksananya kewajiban hukum dari pelaku
usaha pada jenis transaksi dengan berbagai medium. Perlindungan hukum para pihak pada intinya sama yaitu adanya peran pemerintah untuk melindungi kepentingan
produsen dan konsumen dalam kerangka perdagangan. Untuk itu perlindungan yang dapat diberikan pemerintah kepada para produsen dan konsumen adalah dengan
non-delivery of good ordered. Long delivery delays, slow reimbursement deposit or amounts paid, inadequate nature of good delivered, dan lain
sebagainya. Terjemahan bebasnya:
Pengiriman barang yang cacat produk, keterlambatan pengiriman, pengembalian retur yang lambat, kurangnya sifat penyampaian barang
yang baik, dan lain sebagainya.
164
Karim Benyekhlef, Dematerialzed Transactions on Electonic Pathways: A Panorama of Legal Issue, 1995, hlm. 105.
cxi
memberikan peraturan hukum yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh kedua belah pihak baik konsumen maupun produsen.Oleh maka itu pemerintah mengeluarkan
UUPK untuk memberikan perlindungan kepada para konsumen sebagai pihak yang posisinya sering kali lebih lemah dibandingkan produsen.
165
Adapun pengertian konsumen secara harafiah diartikan sebagai “seseorang atau sesuatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa
tertentu.”; atau “sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang.” Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini memberikan perlindungan terhadap konsumen di Indonesia secara umum.Tetapi
dalam UUPK ini tidak mengatur secara khusus dan mengantisipasi perkembangan teknologi informasi yang semakin berkembang.Dalam dunia penggunaan digital
signature tersebut memiliki dua pihak yakni pihak Certification Authority dan Subscriber.CA memiliki hubungan dimana CA sebagai pelaku usaha dalam UUPK
sedangkan subscriber itu sendiri adalah konsumen. Berdasarkan asumsi tersebut maka CA memiliki tanggungjawab hak dan kewajiban yang sama sebagai pelaku
usaha, begitu juga terhadap subscriber yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan konsumen. Untuk mengerti lebih lanjut mengenai CA sebagai pelaku usaha
dan subscriber sebagai konsumen, maka akan dijabarkan pengertian lebih lanjut mengenai konsumen dan pelaku usaha.
165
Apriyanti, Perlindungan hukum terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce ditinjau dari hukum perikatan,Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.
cxii
pembedaaan konsumen sebagai orang alami atau pribadi kodrati dan dengan konsumen sebagai perusahaan atau badan hukum.Banyak negara secara tegas
menetapkan siapa yang disebut sebagai konsumen dalam perundang-undangannya, konsumen dibatasi sebagai “setiap orang yang membeli barang yang disepakati, baik
menyangkut harga dan cara-cara pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk dijual kembali atau untuk kepentingan komersial
Consumer Protection Act No: 68 of 1986; Pasal 7 huruf C.
166
Biasanya pada kelompok pemakai atau pengguna barang konsumen, umumnya terdiri dari :
Perancis mendefinisikan konsumen sebagai berikut; “A privat person using goods and series for privat ends.”. Sementara Spanyol menganut definisi konsumen
sebagai berikut: Any individual or company who is the ultimate buyer or user of personal or
real proparty, products, services, or activities, regardless of whether the seller,
supplier, or producer is a public or private entity, acting alone or collectively.
Terjemahan bebasnya: Tiap individu atau perusahaan yang merupakan pembeli utama atau
pengguna dari asset pribadi atau properti aslu, produk, layanan, atau aktivitas, terlepas dari apakah penjual, pemasok atau produsen adalah
badan publik atau swasta, bertindak secara sendiri atau bersama-sama.
167
1. pemakai atau pengguna konsumen barang atau jasa dengan tujuan memproduksi
barang atau jasa lain, atau mendapatkan barang atau jasa itu untuk dijual kembali tujuan komersial, dan
166
Abdul Halim dan Teguh Prasetyo, Op.Cit., hlm. 142.
167
Azwir Agus, Arbitrase Konsumen, Gambaran dalam Perubahan Hukum Perlindungan Konsumen, Medan: USU Press, 2013, hlm. 13.
cxiii
2. pemakai atau pengguna barang atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan
diri sendiri, keluargam atau rumah tangganya. untuk tujuan non komersil. Berdasarkan pengelompokan pemakaipengguna barang atau jasa diatas dapat
diketahui dua kategori konsumen yang dalam literature ekonomi modern dikenal dengan dua istilah, yaitu sebagai berikut :
168
1. Derived buyer atau derived consumer atau consumer of industrial market atau
intermediate consumer, yaitu konsumen barang atau jasa dengan tujuan memproduksi barang atau jasa lain. Konsumen mendapatkan barang atau jasa
bertujuan komersil dengan menjual kembali barang atau jasa terebut. Barang atau jasa keperluan usahanya didapatkan dari ‘pasar industri’ yang disebut sebagai
‘pasar produsen’ dimana seseorang atau suatu organisasi konsumen pasar produsen mendapatkan barang atau jasa yang dia butuhkan untuk menjalankan
kegiatan usahanya. 2.
Ultimate consumer atau final consumer atau end user, yaitu konsumen pemakai atau pengguna barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga
atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Konsumen mendapatkan barang atau jasa bertujuan non komersil atau sebagai konsumen
akhir dari ‘pasar konsumen’ yang pada umumnya mengedarkan produk konsumen.Kategori kedua diatas telah diadopsi menjadi pengertian konsumen
secara yuridis formal yang dituangkan dalam UUPK. Subyek yang disebut
168
AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar Jakarta: Daya Widya,, 1999, hlm. 19.
cxiv
sebagai konsumen berarti ‘setiap orang’ yang berstatus sebagai pemakai barang atau jasa produk
169
, sedangkan kata pemakai ditekankan pada pengertian konsumen akhir end user
170
.
171
Pasal 1 butir 2 UUPK mendefinisikan konsumen sebagai : Pengertian konsumen dalam undang-undang ini
adalah konsumen akhir.
“Setiap orang pemakai barang danatau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
172
Pelaku usaha adalah subjek yang melakukan kegiatan usaha atau melakukan kegiatan ekonomi. Pelaku usaha sama dengan pelaku ekonomi dimana pelaku
ekonomi adalah subjek yang melakukan kegiatan ekonomi, yang dapat memproduksi barang danatau jasa, atau mendistribusikan barang danatau jasa.
173
Menurut Pasal 1 butir 1UUPK, pengertian pelaku usaha dijelaskan sebagai berikut :
174
169
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT. Grasindo, 2000, hlm. 6, dikatakan “berkaitan dengan istilah barang atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut
digunakan kata produk.Saat ini ‘produk’ sudah berkonotasi barang atau jasa.Semula kata produk hanya mengacu pada pengertian barang.
170
Konsumen akhir end user adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk
171
AZ Nasution, Op.cit.,hlm. 15.
172
Pasal 1 butir 2 Undang Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.
173
Sri Redjeki Hartono, Hukum Ekonomi Indonesia, Malang: Bayumedia, 2007, hlm. 98.
174
Pasal 1 Butir 1 Undang Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.
“Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
cxv
Penyedia barang atau penyelenggara jasa, umumnya terdiri dari :
175
1. penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau jasa investor;
2. penghasil atau pembuay barangjasa produsen;
3. penyalurbarang atau jasa distributor.
Dalam pengertian diatas bahwa pelaku usaha adalah perusahaan, BUMN, koperasi, importir, pedagang,distributor, dan lain- lain. Berarti pelaku usaha tidak hanya
sebatas produsen pabrik yang menghasilkan barang danatau jasa tetapi juga para rekanan, termasuk para agen, distributor, serta jaringan-jaringan yang melaksanakan
fungsi pendistribusian dan pemasaran barang danatau jasa kepada masyarakat luas selaku pemakai danatau pengguna barang danatau jasa.
176
Sebelum mengulas lebih lanjut mengenai tanggung jawab pelaku usaha, perlu diketahui hal penting mengenai prinsip-prinsip konsumen yaitu :
Jenis pelaku usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik PMSE meliputi pedagang merchant dan Penyelenggara Perdagangan Secara Elektronik PPSE,
terdiri atas penyelenggara komunikasi elektronik, iklan elektronik, penawaran elektronik, penyelenggara sistem aplikasi transaksi elektronik, penyelengara jasa dan
sistem aplikasi pembayaran dan penyelenggara jasa dan sistem aplikasi pengiriman barang.
177
1. Prinsip let the buyer beware atau caveat emptor.
175
AZ.Nasution, Konsumen dan Hukum, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, hlm. 18.
176
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 5.
177
Azwir Agus, Ibid.,hlm. 22.
cxvi
Asas ini berasumsi bahwa pelaku usaha da konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu proteksi apapun bagi konsumen.Konsumen
secara mandiri melindungi dirinya karena menurut prinsip ini, dalam suatu hubungan jual beli keperdataan misalnya wajib berhati-hati adalah pembeli. Kesalahan pembeli
jika ia sampai membeli dan mengkonsumsi produk yang tidak layak. 2.
Prinsip the due care theory atau let the seller beware ataucaveat venptor, Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajbian untuk
berhati-hati dalam memasarkan produknya.Selama berhati-hati maka pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan.
3. Prinsip the privity of contract.
Pelaku usaha memiliki kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal tersebut baru dapat dilakukan jika diantara mereka ada terjadi hubungan kontraktual
privity of contract Pelaku usaha tidak dapat disalahkan diluar yang diperjanjikan. Dengan kata lain konsumen boleh menggugat berdasarkan wanprestasi negliance.
Prinsip kontrak bukanlah suatu syarat, merupakan perkembangan dari privity of contract.Prinsip tanggunbjawab pelaku usaha berdasarkan kelalaian dengan
persyaratan hubungan kontrak.Prinsip prinsip ini harus diketahui oleh para pelaku usaha dalam menjalankan usahanya karena jika prinsip ini dabaikan dan dilanggar
maka pelaku usaha dapat dimintai pertanggungjawaban. Selain hubungan CA dan Subscriber, ada pihak lain yang ikut memiliki
kepentingan antar kedua belah pihak tersebut. Pihak lain tersebut adalah relying
cxvii
partyyang tugasnya adalah menghubungkan dirinya dengan subscriber dari sebuah CA. Hubungan tersebut dapat berupa hubungan transaksi antar para pihak yang
berkepentingan dengan subscriber.
178
Mencermati hubungan hukum para pihak yang berkontribusi dalam penyelenggaraan sistem elektronik, maka paling tidak tanggungjawab hukum para
penyelenggara sertifikasi elektronik meliputi:
179
1. Tanggungjawab secara pidana kepada setiap pihak terhadap setiap perbuatan
penyalahgunaan yang diancam berdasarkan ketentuan pidana contohnya adalah pemalsuan surat, kesaksian palsu, akses illegal, intersepsi illegal, interfensi data
dan atau sistem, pemalsuan data, penyalahgunaan perangkat, distribusi konten illegal dan sebagainya.
2. Tanggungjawab administratif dari setiap instansi yang memberikan aturan sesuai
dengan kewenangan yang dimilikinya,pelanggaran terhadap hal ini administrasi negara yang terkait akan bertanggungjawab terhadap tindakan pembiaran yang
merugikan publik. Kemungkinan besar hal tersebut akan mengalir sebagai class action dari para konsumen yang dirugikan.
3. Tanggungjawab perdata yang bisa lahir karena Undang-Undang atau lahir karena
hubungan kontraktual para pihak.
178
Farida Dewi, “Tanggungjawab hukum Penyelenggara Tanda Tangan Digital Tersertifikasi yang berinduk Analisis Komparatif terhadap Kasus DigiNotary di Belanda,” Jurnal Fakultas Hukum
UI, 2012.
179
Edmon Makarim, Op.Cit., hlm. 128.
cxviii
Pada dasarnya tanggungjawab perdata akan merujuk pada konsep dan penerapan perbuatan melawan hukum yang dapat ditentukan dalam empat elemen
yaitu:
180
1. Adanya perbuatan melawan hokum.
2. Adanya kesalahan pelaku baik karena sengaja maupun tidak disengaja dalam
menjalankan kewajiban kehati-hatian. 3.
Perbuatan tersebut telah merugikan para pihak. 4.
Adanya hubungan kausalitas antara kerugian dengan perbuatan tersebut. Perlu diketahui bahwa dalam UUPK mengatur mengenai hak dan kewajiban
pelaku usaha. Ketentuan ini berlaku juga bagi Penyelenggara Sertifikasi Elektronik sebagai pelaku usaha jasa.Telah disebutkan dalam Pasal 6 UUPK secara rinci tentang
hak pelaku usaha adalah:
181
1. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai barang danatau jasa yang diperdagangkan; 2.
hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen 3.
yang beritikad buruk; 4.
hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
5. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang danatau jasa yang diperdagangkan; 6.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam Pasal 7 UUPK telah diatur dengan jelas apa saja menjadi kewajiban bagi para
pelaku usaha, yakni:
182
180
Loc.cit.
181
Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen, Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran Banjarmasin: FH Unlam Press, 2008, hlm. 36.
182
Ibid., hlm. 37.
cxix
1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang danatau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif; 4.
menajamin mutu barang danatau jasa yang diproduksi danatau diperdagangkan bersasarkan ketentuan standar mutu barang danatau jasa yang berlaku;
5. memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji danatau mencoba
barang danatau jasa tertentu serta member jaminan danatau yang diperdagangkan;
6. memberikan kompensasi, ganti rugi danatau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang danatau jasa yang diperdagangkan;
7. memberikan kompensasi ganti rugi danatau penggantian apabila barang danatau
jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Sesuai dengan hukum positif di Indonesia, seorang konsumen jika dirugikan
maka berhak untuk menggugat pihak yang menimbulkan kerugian tersebut.Kualifiasi gugatan yang lazim digunakan di berbagai Negara, termasuk Indonesia adalah
wanprestasi default dan perbuatan melawan hukum tort. Tanggungjawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam UUPK diatur
khusus dalam satu bab , yaitu Bab VI, dimulai dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28. Dari 10 Pasal tersebut dapat dipilah menjadi beberapa bagian yaitu:
183
1. Tujuh pasal, yaitu Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal
27 yang mengatur mengenai pertanggungjawaban pelaku usaha. 2.
Dua pasal, yaitu Pasal 22 dan Pasal 28 yang mengatur pembuktian. 3.
Satu pasal, yaitu Pasal 23 yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa dalam hal pelaku usaha tidak memenuhi kewajibannya dalam memberikan ganti rugi
kepada konsumen.
Dari 7 Pasal tersebut yang mengatur mengenai pertanggungjawaban pelaku usaha, secara prinsip dapat dibedakan ke dalam beberapa bagian lagi yaitu:
183
Ibid., hlm. 69.
cxx
1. Pasal-Pasal yang secara tegas mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha atas
kerugian yang diderita konsumen yaitu dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21. 2.
Pasal 24 yang mengatur peralihan tanggungjawab dari satu pelaku usaha kepada pelaku usaha lainnya, mengatakan bahwa:
“Pelaku usaha yang menjual barang danatau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggungjawab atas runtutan ganti rugi danatau gugatan konsumen apabila:
a. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa
pun atas barang danatau jasa tersebut; b.
Pelaku usaha lain, di dalam transaski jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang danatau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak
sesuai dengan contoh, mutu dan komposisi.”
Dalam UUPK ada 3 tiga Pasal yang menggambarkan sistem tanggungjawab produk dalam hukum perlindungan konsuemen yaitu pasal 19, pasal 23, dan pasal 28.
Pasal 19 UUPK merumuskan tanggungjawab produk sebagai berikut:
184
1. Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, danatau jasa yang dihasilkan atas perdagangkan. 2.
Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa pengembalian uang atau pengembalian barang danatau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan danatau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 tujuh hari setelah
tanggal transaksi. 4.
Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian
lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. 5.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan
konsumen.
Ketentuan Pasal 19 kemudian dikembangkan dalam Pasal 23 yang menyatakan bahwa:
“Pelaku usaha yang menolak danatau member tanggapan danatau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
184
Pasal 19 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
cxxi
ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4, dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan gugatan ke badan peradilan di tempat
kedudukan konsumen.”
185
1. Bahwa Pasal 19 UUPK menganut prinsip praduga lalaibersalah presumption of
neglagiance. Prinsip ini berangkat dari asumsi bahwa apabila produsen tidak melakukan kesalahan, maka konsumen tidak mengalami kerugian, berarti
produsen telah melakukan kesalahan. Sebagaimana konsekuensinya berdasarkan UUPK maka diberikan batas waktu pembayaran ganti kerugian selama 7 tujuh
hari setelah transaksi dilakukan. Ini tidak dimaksudkan untuk menjalani proses pembuktian, hanya sebagai kesempatan bagi produsen untuk membayar atau
mencari solusi lain termasuk penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Rumusan Pasal 23 UUPK nampaknya muncul berdasarkan kerangka
pemikiran, yaitu:
186
2. Pemikiran bahwa UUPK Pasal 19 ayat 1 menganut prinsip praduga bersalah
paling tidak didasarkan pada perbedaan rumusannya dengan Pasal 1365 KUHPerdata, yaitu Pasal 1365 KUHPerdata secara tegas memuat tanggungjawab
karena kesalahan atau karena kelalauiian seseorang, tetapi dalam Pasal 19 ayat 1 tidak mencantumkan kata kesalahan tersebut. Pada Pasal 19 ini menegaskan
bahwa tanggungjawab pelaku usaha muncul apabila mengalami kerugian akibat mengkomsumsi produk yang diperdagangkan. Pasal 1365 KUHPerdata tidak
mengatur mengenai jangka waktu tetapi dalam Pasal 19 ini menetapkan jangka waktu pembayaran yaitu 7 hari. Pemikiran kedua yang terkandung dalam Pasal 23
UUPK ini adalah produsen tidak membayarkan ganti rugi dalam batas waktu yang ditentukan maka akan membuka peluang bagi konsimen untuk mengajukan
gugatan ke pengadilan atau penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Ketentuan lanjutan yang relevan dan singnifikan dengan Pasal 23 UUPK adalah sebagai berikut:
185
Pasal 23 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
186
Abdul Halim Barkatulah, Op.Cit., hlm. 72
cxxii
“ Pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam gugatan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22 dan Pasal 23
merupakan beban tanggung jawab pelaku usaha.” Rumusan ini yang kemudian dikenal dengan sistem pembuktian
terbalik.Rumusan Pasal 23 memperlihatkan bahwa prinsip tanggungjawab yang juga dianut dalam UUPK adalah prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab
presumption of liability principle. Prinsip ini adalah modifikasi dari prinsip tanggungjawab berdasarkan kelalaian kesalahan dengan beban pembuktian terbalik.
Intinya adalah bahwa UUPK merupakan prinsip tanggungjawab berdasarkan bersalah lalai atsu produsen sudah dianggap bersalah maka tidak perlu dibuktikan
lagi kesalahannya presumption of negliance dan prinsip untuk selalu bertanggungjawab dengan beban pembuktian terbalik presumption of liability
principle. Konsumen harus memiliki sikap untuk menaati kewajiban sebagai konsumen
yang keseluruhannya telah diatur dalam peraturan UUPK.Adapun kewajiban konsumen tersebut yang telah diatur sedemikian rupa dalam UUPK Pasal 5 yaitu:
187
1. Membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang danatau jasa demi keamanan dan keselamatan. 2.
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang danatau jasa. 3.
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. 4.
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
187
Pasal 5 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
cxxiii
Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga telah mengatur tentang hak konsumen yakni:
188
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
danatau jasa. 2.
Hak untuk memilih barang danatau jasa serta mendapatkan barang danatau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang danatau jasa. 4.
Hak untuk didengarkan pendapat dan keluhannya atas barang danatau jasa yang digunakan.
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindngan dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut. 6.
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen. 7.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi danatau penggantian, apabila
barang danatau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak nsebagaimana mestinya.
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
Ada hak lain yang sangat penting tetapi kurang dapat direalisasikan dalam transaksi e-commerce adalah hak akan jaminan kerahasiaan data-data pribadi milik
konsumen oleh pelaku usaha, hak tersebut belum terakomodir di dalam UUPK tetapi sudah tercermindari beberapa peraturan perundang-undangan seperti :
189
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kearsipan; 2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan; 3.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan; 4.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan; 5.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Hal yang menarik dari keberadaan Undang - Undang tersebut adalah
terbukanya pemahaman mengenai keberadaan suatu informasi yang tersimpan secara
188
Pasal 6 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
189
Edmon Makarim I, Op.Cit.,hlm. 177.
cxxiv
elektronik.Jaminan akan kerahasiaan data pribadi sangat penting untuk dijaga oleh pelaku usaha demi keamanan dan kenyamanan konsumen dalam
bertransaksi.Macam-macam data danatau informasi pribadi di internet yaitu :
190
1. informasi pribadi dalam basis data online
2. informasi pribadi dalam transaksi online
a. cookies;
b. pendaftaran online online registration;
c. perdagangan online online commerce.
3. catatan yang dimiliki pemerintah
4. tujuan pengumpulan data di internet
Jika pelaku usaha tersebut bertindak curang dengan memperjualbelikan data pribadi konsumen kepada pihak lain untuk kepentingan promosi. Ini sangat merugikan bagi
pihak konsumen karena data pribadinya disalahgunakan oleh pelaku usaha untuk kepentingan pelaku usaha itu sendiri tanpa melihat dampak kerugian yang
diakibatkan terhadap konsumen.
C. Upaya hukum Pemegang Sertifikat Elektronik dalam Hal Upaya