Abses Serebri Pada Tetralogy Of Fallot

(1)

ABSES SEREBRI PADA

TETRALOGY Of FALLOT

FASIHAH IRFANI FITRI

NIP : 198307212008012007

DEPARTEMEN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN USU/

RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN


(2)

I.

Pendahuluan

Lesi intrakranial sering terjadi berkaitan dengan malformasi jantung kongenital1 dan dapat muncul nyata pada saat lahir atau bermanifestasi pada usia dewasa.2 Dua komplikasi pada susunan saraf pusat yang paling serius yang berkaitan dengan penyakit jantung bawaan (PJB) adalah trombosis serebral dan abses serebri.1,2 Abses serebri adalah infeksi intraserebral fokal yang muncul sebagai area serebritis lokal dan berkembang menjadi kumpulan pus yang dikelilingi oleh kapsul yang bervaskularisasi baik.1 Abses sereri adalah infeksi parenkim otak yang relatif jarang dijumpai namun dapat bersifat fatal.3,4 Abses serebri dapat berasal dari (1) penyebaran langsung dari infeksi jaringan non-neuronal di sekitarnya seperti sinusitis paranasal, otitis media, mastoiditis, atau infeksi gigi; (2) penyebaran hematogen dari tempat infeksi yang jauh seperti endokarditis, infeksi paru, infeksi gastrointestinal; (3) akibat trauma kepala atau tindakan pembedahan yang menyebabkan infeksi langsung pada otak. 4-6 Faktor predisposisi untuk terjadinya abses serebri mencakup penyakit jantung bawaaan (PJB) dengan right-to-left shunt; infeksi telinga tengah, mastoid, sinus paranasal dan jaringan lunak pada wajah, orbita atau scalp; luka tembus atau fraktur tulang tengkorak; pembedahan intrakranial; dan abnormalitas sistem imun.3,4

Pasien dengan PJB sianotik (dengan right-to-left shunt) memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita abses serebri dimana PJB sianotik merupakan faktor risiko pada 12.8-69.4% dari seluruh kasus abses serebri. Studi dari Menon et al melaporkan bahwa dari 75 pasien abses serebri, enam diantaranya (8%) memiliki PJB sianotik dan keseluruhannya merupakan penderita ToF.

1

Pada negara-negara maju PJB sianotik adalah faktor risiko yang paling sering dijumpai pada kasus abses serebri pada pasien immunokompeten.1 Insiden abses serebri pada pasien dengan PJB sianotik adalah antara 5 dan 18.7%.1,3,7 Tetralogy of Fallot adalah anomali jantung yang paling sering berhubungan dengan abses serebri.1,4,7 Defek septum atrial5, atresia trikuspid, atresia pulmonal, defek septum ventrikel, transposition of great vessels, atresia trikuspid, stenosis pulmonal dan double outlet right ventricle juga dilaporkan sebagai faktor predisposisi.4,8 Organisme penyebabnya mencakup Streptococcus milleri, Staphylococcus, Streptococcus spp dan Haemophillus. Lokasi abses serebri pada pasien dengan PJB sianotik paling sering berlokasi di perbatasan antara substansia alba dan substansia grisea karena area ini merupakan area dengan perfusi yang paling rendah sebagai konsekuensi dari hipoksia berat yang kronis, dan peningkatan viskositas darah yang dijumpai pada pasien PJB sianotik. Cara penyebaran hematogen merupakan alasan sering terbentuknya abses multipel pada pasien PJB.

Terlepas dari perkembangan dalam manajemen abses serebri, tingkat morbiditas dan mortalitasnya masih relatif tinggi. Kecurigaan klinis yang tinggi dan pemilihan alat diagnostik yang tepat adalah kunci untuk diagnosis dan tatalaksana yang tepat. Computed tomography


(3)

(CT) scan dengan kontras adalah alat yang cukup baik untuk menegakkan diagnosis karena CT scan saja tidak dapat mengidentifikasi semua abses serebri.

Adapun tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui dan memahami definisi, etiologi, patogenesis, gambaran klinis, penegakan diagnosis, dan penatalaksanaan abses serebri, terutama yang berkaitan dengan penyakit jantung kongenital seperti tetralogi fallot.

3

II.

Laporan Kasus

Seorang laki-laki, 38 tahun, masuk pada tanggal 17 Desember 2010, datang

dengan keluhan nyeri kepala yang telah dialami os sejak 3 bulan terakhir. Nyeri kepala

dirasakan di seluruh kepala, terutama di bagian belakang kepala, bersifat berdenyut

dengan intensitas sedang berat,frekuensi 3-4 kali perhari, lamanya lebih dari 1 jam,

memberat jika os batuk, bersin atau mengedan dan tidak hilang dengan obat penghilang

rasa nyeri. Nyeri kepala bertambah berat dalam 1 bulan sebelum masuk rumah sakit

dimana nyeri kepala dirasakan terus menerus dan diikuti dengan rasa panas dan kebas

pada tubuh sebelah kiri, sehingga os merasa sulit berjalan. Riwayat muntah menyembur

(+) 3 kali dalam 1 bulan terakhir. Riwayat kejang dijumpai, frekuensi 1 kali, lama

kejang 3 menit, kejang pada tubuh sebelah kiri, bersifat kaku dan menyentak, setelah

kejang os sadar. Riwayat trauma kepala tidak dijumpai. Riwayat demam tidak dijumpai

Sebelumnya os berobat ke RS luar dan dilakukan penarikan cairan darah 1 bulan

sebelum masuk RS HAM. Riwayat sesak nafas selama ini disangkal os. Selama ini os

juga mengeluhkan biru pada bibir dan ujung-ujung jari tangan dan kaki.Pada saat os

berusia 3 bulan os sudah diberitahu oleh dokter bahwa os menderita penyakit jantung

bawaan. Sejak bayi, os sering keluar masuk rumah sakit dengan keluhan membiru, dan

os juga sering mengalami batuk pilek. Sejak os berusia 7 tahun didapatkan keterbatasan

fisik, dimana os merasa sesak dan biru jika melakukan aktivitas seperti berlari dan

untuk mengurangi sesaknya,os berjongkok. Failure to thrive dijumpai, feeding difficulty

dijumpai. Riwayat kelahiran os tidak langsung menangis, biru, berat badan lahir 3700

gram. Os lahir ditolong dokter dengan ante natal care teratur dan os anak kedua dari

empat bersaudara.

Pada pemeriksaan fisik, didapati kesadaran compos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, denyut jantung 80 kali per menit, pernafasan 28 kali per menit, suhu tubuh 37°C. Konjungtiva tidak anemis dan sklera tidak ikterik. Tekanan vena jugularis R+2cmH2O. Jantung


(4)

S1 (N), S2 (N), murmur pansistolik gr 4/6 pada left sternal border dijumpai, gallop tidak dijumpai. Paru: suara pernafasan vesikuler, suara tambahan tidak dijumpai. Abdomen: soepel, hepar dan limpa tidak teraba, bising usus (N). Ekstremitas: akral hangat, edema pretibia tidak dijumpai.

Pada pemeriksaan neurologis, didapatkan sensorium compos mentis, tanda peningkatan tekanan intrakranial berupa nyeri kepala, muntah dan kejang dijumpai. Tanda perangsangan meningeal tidak dijumpai. Pemeriksaan nervus kranialis, pada nervus I : normosmia, nervus II:pupil isokor, refleks cahaya positif, diameter 3 mm, tidak dijumpai gangguan lapangan pandang, funduskopi dijumpai papil oedema, nervus III,IV,VI: gerakan bola mata normal, nervus V: motorik dan sensorik dalam batas normal, nervus VII : kerut kening dijumpai, menutup mata dalam batas normal, sudut mulut tertarik kekanan, nervus VIII: pendengaran dalam batas normal, nervus IX,X: uvula medial, nervus XI: mangangkat bahu dan menoleh kanan kiri dalam batas normal, N.XII: ujung lidah istirahat dan dijulurkan medial. Pada pemeriksaan motorik, dijumpai normotrofi dan normotonus, kekuatan motorik 5 pada ekstremitas superior dekstra dan ekstremitas inferior dekstra, dan 4 pada ekstremitas superior sinistra dan ekstremitas inferior sinistra. Pemeriksaan refleks, dijumpai peningkatan refleks APR/KPR dan Bisep/Trisep kiri, tidak dijumpai refleks patologis. Pemeriksaan sensibilitas eksteroseptif dan proprioseptif dalam batas normal. Tanda perangsangan radikuler tidak dijumpai. Gejala serebelar, ekstrapiramidal, dan gerakan involunter tidak dijumpai. Pemeriksaan fungsi luhur: memori, atensi, berbahasa, fungsi eksekutif dan visuospasial dalam batas normal.

Dari pemeriksaan laboratorium: Hb 18,5g/dl; Ht 53,9 %; WBC 13.610/mm3; PLT 184.000/mm3

Dari pemeriksaan elektrokardiografi menunjukkan irama sinus, QRS rate 90 kali permenit, QRS axis RAD, durasi QRS 0,06”, P wave dalam batas normal, PR interval 0,16 s, r/s di V1 >1, S persisten di V5 V6, hipertrofi ventrikel kiri tidak dijumpai, VES dijumpai. Kesan: sinus ritme dengan deviasi aksis ke kanan, hipertrofi ventrikel kanan dan VES.

; Ur 13 g/dl; Cr 0,53 g/dl; SGOT 14 U/L; SGPT 16 U/L; Na 132 mEq/L; Kalium 3,6 mEq/L; Chlorida 101 mEq/L; KGD ad random 108 mg/dl;

Dari pemeriksaan foto toraks didapatkan CTR 50%, segmen aorta dalam batas normal, segmen pulmonal cekung, pinggang jantung dijumpai, apex upward, kongesti tidak dijumpai, infiltrat tidak dijumpai. Kesan: boot-shaped appearance.

Dari pemeriksaan ekokardiografi:Katup mitral baik. Katup aorta mengalami regurgitasi dengan PHT 390 ms. Katup trikuspid baik. Katup pulmonal mengalami stenosis dengan velocity

4,32 m/s dan PG 74,66 mmHg. Atrial situs sollitus. AV-VA concordance. Vena-vena bermuara pada tempatnya. IVS mengalami defek dengan diameter 14,4 mm,dengan malalignment aorta


(5)

terhadap IVS > 50% .IAS intact. PDA tidak dijumpai. RA-RV dilatasi. Ejection fraction 53,2 %. Kesan : Tetralogy of Fallot

Dari pemeriksaan Head CT Scan potongan aksial : tampak lesi bulat hipodens multipel di lobus temporal dan occipito-parietal kanan disertai finger-like oedema yang mendorong dan menekan ventrikel lateralis kanan dan ventrikel III ke kiri menyebabkan

midline shift ke kiri sejauh ± 1 cm. Kortikal sulci dan fissure sylvii hemisfer kanan menyempit dengan gyri yang tidak jelas. Kesan : abses serebri DD/ SOL intraserebral.

Dari pemeriksaan Head CT Scan dengan kontras potongan aksial: tampak lesi hipodens bulat multipel dengan enhancement berbentuk ring pasca kontras di lobus temporal dan occipitoparietal kanan disertai finger-like oedema yang menyebabkan midline shift ke kiri <0,5 cm. Kortikal sulci dan fissura sylvii hemisfer kanan menyempit dengan gyri yang tidak jelas. Kesan : Abses multiple lobus temporal dan occipito-parietal kanan dengan herniasi subfalcine ringan dan edema hemisfer kanan.

Penderita didiagnosa dengan secondary headache + hemiparese sinistra + parese N.VII sinistra tipe UMN + focal seizure ec. Abses Serebri Multipel + Tetralogi Fallot dan diberikan penatalaksanaan tirah baring, ivfd Rsol 10 tetes mikro per menit, injeksi Ceftriaxone 2 gram/12 jam/IV, IVFD Metronidazole 500 mg/8 jam, injeksi Dexamethasone 8mg/IV dilanjutkan 4mg/6 jam/IV, tappering off per 3 hari, injeksi Ranitidin 50mg/12 jam/IV, Aspilet 1X160 mg, Ultracet 3x1.

Pasien kemudian dikonsulkan ke bagian Bedah Saraf untuk dilakukan tindakan operatif setelah 3 minggu dirawat. Pasien menjalani tindakan operatif burr hole untuk drainase abses setelah lebih kurang mendapat terapi antibiotika selama 4 minggu. Pasien kemudian diterapi dengan IVFD Rsol 10 tetes mikro per menit, injeksi Varcep 0,5 gram/6jamIV, IVFD

Metronidazole 500 gram/8jam/IV, injeksi Phenytoin 100 mg/8 jam/IV, injeksi Tramadol 100mg/8 jam/IV, injeksi Ranitidin 50 mg/12jam/IV.


(6)

Gambar 1. EKG pada tanggal 20 Desember 2010


(7)

(8)

(9)

Gambar 5. Head CT Scan Contrast 31 Desember 2010

III.

Diskusi Kasus

Tetralogy of Fallot, pertama kali diuraikan pada tahun 1988 oleh dokter

berkebangsaan Perancis,merupakan salah satu PJB sianotik yang paling sering dijumpai

dengan perkiraan insiden 5% dari seluruh pasien PJB. Empat temuan karakteristik

adalah (1) defek septum ventrikel,(2) stenosis pulmonal, (3) overriding aorta, (4)

hipertrofi ventrikel kanan. Harapan hidup pada pasien ToF yang tidak menjalani operasi

adalah sekitar 10 tahun dan hanya 3% dapat mencapai dekade kelima. Suatu studi

melaporkan bahwa survival pasien ToF tanpa pembedahan adalah 66% pada usia 1

tahun, 40% pada usia 3 tahun, 11% pada usia 20 tahun, 6% pada usia 30 tahun dan 3%

pada usia 40 tahun. Studi dari Yang, et al, melaporkan bahwa penderita yang bertahan

yang tidak dioperasi cenderung memiliki tiga gambaran utama, yaitu arteri pulmonal

hipoplastik dengan obstruksi subpulmonal yang lambat berkembang, hipertrofi ventrikel

kiri, atau kolateral arteri sistemik-pulmonal untuk aliran darah pulmonal. Para ahli

mempostulatkan bahwa terjadinya hipertrofi ventrikel kiri merupakan suatu faktor

penyeimbang terhadap terjadinya right-to-left shunt. Komplikasi akibat right-to-left

shunt, mencakup sianosis, eritrositosis, peningkatan risiko emboli paradoksikal dan

terbentuknya endokarditis dan abses serebri.

Abses serebri adalah infeksi intraserebral fokal yang berawal dari area serebrittis lokal dan berkembang menjadi kumpulan pus yang dikelilingi oleh kapsul yang bervaskularisasi dengan baik.

7

Insiden abses serebri di Amerika serikat adalah sekitar 1500-2500 kasus per tahun dan insiden yang lebih tinggi dijumpai pada negara berkembang. Terdapat lebih banyak penderita laki-laki


(10)

dibanding wanita, dengan rasio dari 1,3:1 hingga 3:1. Rentang usia pasien adalah dari bayi hingga usia lanjut.

Pada pasien dengan PJB sianotik, right-to-left shunt dalam jantung memungkinkan resirkulasi darah yang tidak teroksigenasi dengan baik ke sirkulasi sistemik. Kondisi ini menyebabkan hipoksia pada sirkulasi sistemik dan jaringan, termasuk otak. Hipoksia pada otak dapat menyebabkan pembentukan area nekrotik yang menjadi predisposisi untuk infeksi otak.

6

9

Hipoksia juga menyebabkan polisitemia dan hiperviskositas yang menyebabkan aliran darah lambat pada mikrosirkulasi serebral sehingga memungkinkan terbentuknya mikrotrombi dan ensefalomalasia fokal.4,9 Pasien dengan PJB tampaknya memiliki area dengan perfusi rendah pada otak akibat hipoksemia berat yang kronis, juga peningkatan viskositas darah akibat polisitemia sekunder. Area dengan perfusi rendah ini biasanya berlokasi di batas antara substansia grisea dan substansia alba, dan area ini rentan terhadap penyebaran mikroorganisme yang mungkin terdapat di aliran darah. Cara penyebaran hematogen ini berperan dalam terbentuknya abses multipel.

Pembentukan abses serebri pada pasien ToF juga dipengaruhi oleh paparan otak terhadap bakterimia. Pertama, bakterimia dapat disebabkan oleh terlewatinya sistem sirkulasi pulmonal, karena sistem ini memiliki efek penyaringan bakteri melalui fagositosis.

8

9 Pada pasien

dengan PJB sianotik, terdapat right-to-left shunt yang memungkinkan darah vena di jantung, tidak melalui sirkulasi pulmonal2,8 sehingga bakteri di aliran darah tidak disaring melalui sirkulasi pulmonal, dimana biasanya bakteri-bakteri ini akan disingkirkan oleh fagositosis.4,5,8 Kedua, jantung itu sendiri menjadi predisposisi untuk terbentuknya vegetasi pada katup. Jika terjadi bakterimia, bakteri akan berada pada vegetasi. Ini kemudian akan menjadi sumber emboli yang jika mencapai otak akan menyebabkan terbentuknya abses otak.Maka,terdapat dua kondisi yang diperlukan untuk terbentuknya abses otak yaitu bakterimia dan ensefalomalasia fokal.

Lokasi dan kondisi predisposisi abses memberi petunjuk tentang kemungkinan penyebabnya. Abses otak yang berhubungan dengan penyebaran langsung dari sinus atau fokus odontogenik cenderung berlokasi di frontal dan disebabkan oleh streptococci aerob atau

anaerob (termasuk streptococcus milleri), enterobacteriaceae, staphylococcus aureus. Abses sekunder dari infeksi telinga biasanya berlokasi di temporal atau serebellar, dengan organisme penyebab mencakup streptococci dan pseudomonas aeruginosa. Abses otak pasca trauma biasanya disebabkan oleh S.aureus, streptococci atau enterobacteriaceae. Penyebaran hematogen dari fokus yang jauh biasanya menyebabkan abses multipel di distribusi arteri serebri media. Haemophillus aphrophillus, relatif sering dijumpai pada PJB sianotik, sedangkan

S.aureus adalah penyebab utama abses pada endokarditis.

9


(11)

mikroorganisme penyebab yang paling sering adalah cocci gram-positive, Streptococcus milleri, Streptococcous viridans, microaerophilic, Staphylococcus aureus dan streptococci anaerob.

Abses serebri terjadi sebagai respon parenkim terhadap infeksi bakteri piogenik, yang dimulai dengan area serebritis lokal dan berlanjut menjadi lesi supuratif yang dikelilingi oleh kapsul fibrotik yang bervaskularisasi baik. Stadium abses otak pada manusia didasarkan pada temuan CT scan. Tahap awal atau early cerebritis terjadi dari hari 1 hingga 3 dan ditandai dengan akumulasi neutrofil, nekrosis jaringan dan edema. Aktivasi mikroglia dan astrosit juga nyata pada tahap ini dan menetap sepanjang perkembangan abses. Tahap late cerebritis, terjadi dari hari ke 4 hingga 9 berkaitan dengan dominasi infiltrasi limfosit dan makrofag. Tahap akhir atau pembentukan kapsul terjadi dari hari ke 10 hingga seterusnya dan berkaitan dengan pembentukan dinding abses yang bervaskularisasi dengan baik, untuk membatasi lesi dan melindungi jaringan parenkim dari kerusakan lebih lanjut. Tahap early capsul formation

berlangsung pada hari ke 10 hingga 13 dan cenderung lebih tipis pada sisi medial abses dan lebih rentan untuk ruptur. Setelah hari ke 14 adalah tahap late capsule formation, dengan pembentukan lapisan gliotik kolagen dan granulasi.

3,4,6

Gambaran klinis mencakup nyeri kepala yang konstan dan progresif yang refrakter terhadap terapi, muntah, papil edema, defisit neurologis fokal, konvulsi,meningismus dan perubahan kesadaran.

6,8,11

3 Tidak ada tanda patognomonis: sebagian besar pasien menunjukkan

tanda klinis yang bergantung pada lokasi lesi; nyeri kepala, muntah, demam, perubahan kesadaran, seizure dan kelamahan motorik adalah gejala yang paling sering dijumpai. Demam tidak selalu dijumpai, dan hanya 30-55% dari pasien mengalami demam >38.5°C. Defisit neurologis fokal dijumpai pada 40-60% pasien, bergantung lokasi lesi. Maka, trias gejala abses otak, yaitu demam, nyeri kepala dan defisit neurologis hanya terlihat pada 15-30% pasien. 6,8 Penurunan kesadaran dengan kaku kuduk dapat terjadi pada kasus dimana terdapat peningkatan efek massa yang menyebabkan herniasi atau pada kasus-kasus terjadinya ruptur intraventrikel dari abses serebri.

Pemeriksaan CT scan dengan kontras membantu dalam deteksi awal, menentukan lokasi abses, ukuran dan staging abses, jumlah, efek massa, edema, dan pergeseran dan ada tidaknya ruptur intraventrikuler.

8

3,8 Gambaran imejing dari abses serebri bergantung pada

stadium pada saat dilakukan imejing dan sumber infeksi. Sebagian besar abses menunjukkan edema yang cukup nyata di sekelilingnya, yang umumnya muncul pada tahap late cerebritis

atau early capsule formation, sekunder akibat efek massa. Abses yang terjadi akibat penyebaran hematogen, yang biasanya dijumpai pada pasien PJB sianotik, biasanya multipel dan terletak di daerah gray-white matter junction dan berlokasi di teritori arteri serebri media. Pada fase awal,


(12)

massa dan pada fase lanjut ring enhancement hampir selalu terlihat.6 Tumor metastase, high grade glioma, infark serebri, limfoma, hematoma atau kontusio serebri yang mengalami penyembuhan, toksoplasmosis, penyakit demielinating dan nekrosis radiasi harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding abses serebri, yang juga terlihat sebagai lesi ring-enhancing. Lingkaran cincin pada abses biasanya lebih tipis jika dibandingkan dengan lesi neoplastik.6

Manajemen abses serebri pada pasien PJB sianotik sedikit lebih rumit. Pasien-pasien ini tidak hanya memiliki risiko kardiovaskular namun juga sejumlah defek koagulasi yang meningkatkan risiko anestesi dan pembedahan.

3 Manajemen yang ideal dari abses otak

bertujuan untuk mengurangi efek massa dan tekanan intrakranial dan kontrol yang efektif terhadap proses infeksinya.12 Terdapat 3 pilihan terapi untuk abses serebri : 1) obat-obatan; 2) aspirasi; atau 3) eksisi total. Dalam memilih terapi yang tepat sejumlah faktor harus diperhatikan yaitu : skor Karnofsky performance scale; infeksi primer; status predisposisi; dan jumlah, ukuran lokasi dan stadium abses.

Lokasi anatomis, jumlah dan ukuran abses, stadium abses, usia dan status neurologis pasien dapat mempengaruhi strategi penanganan abses otak. Pada pasien dengan durasi penyakit < 2 minggu, terapi obat-obatan saja dapat berhasil jika kondisi berikut ini terpenuhi : 1) agen penyebab diketahui dengan tingkat akurasi yang tinggi sebagai hasil dari kultur cairan serebrospinal atau drainase dari telinga atau sinus; 2) pasien tidak menunjukkan gangguan fungsi neurologis; 3) tidak dijumpai tanda peningkatan tekanan intrakranial; dan 4) ukuran diameter abses kurang dari < 3 cm.

6

10

Terapi obat-obatan saja juga dapat dipertimbangkan jika pasien adalah kandidat yang buruk untuk intervensi bedah menurut kriteria berikut: jika lesi mutipel; diameter <1,5 cm; berlokasi di area eloquent; atau jika terdapat infeksi tambahan seperti meningitis atau ependimitis. Terapi obat-obatan juga akan lebih berhasil jika dimulai pada stadium serebritis; jika diameter lesi <1,5 cm; durasi gejala < 2 minggu dan jika pasien menunjukkan perbaikan klinis dalam minggu pertama.6

Antibiotik sistemik diberikan selama 6 minggu, namun kini ada yang menganjurkan 2 minggu antibiotika parenteral diikuti dengan 4 minggu antibiotik oral.

6 Antibiotik empiris untuk

lesi yang disebabkan oleh PJB sianotik adalah cefotaxime atau ceftriaxone dan metronidazole

yang kemudian harus diganti berdasarkan hasil uji sensitivitas. Durasi terapi antibiotik bergantung pada organisme dan respon terhadap terapi, namun biasanya 4-6 minggu.3 Kortikosteroid direkomendasikan pada pasien-pasien dengan edema di sekitar lesi yang signifikan tapak secara radiologis.6 Jika kondisi neurologis pasien memburuk atau terdapat peningkatan ukuran abses atau terapi antibiotik selama 2 minggu gagal untuk mengecilkan ukuran abses, maka aspirasi untuk tujuan diagnostik dapat dilakukan.3,10


(13)

Aspirasi pus dari abses melalui burr hole telah digunakan secara luas dan menjadi pilihan utama terapi. Aspirasi pus, dapat menurunkan tekanan intrakranial dan menyediakan pus untuk kultur dan uji sensitivitas dan memungkinkan irigasi rongga abses dan instilasi antibiotik ke dalam abses.

Drainase bedah yang diikuti dengan terapi antimikroba adalah terapi pilihan untuk sebagian besar abses serebri. Jika ukuran diameter abses <2.5 cm dan tidak menimbulkan efek massa, dianjurkan untuk CT-guided stereotactic aspiration untuk kepentingan diagnosis dan pemilihan antibiotik.

12

10

Terapi abses otak terdiri dari aspirasi abses atau eksisi abses diikuti dengan terapi antibiotik parenteral. Pemeriksaan CT scan tiap minggu atau tiap dua minggu harus dilakukan untuk memonitor ukuran abses setelah aspirasi dan aspirasi berulang mungkin saja diperlukan.

Kraniotomi dan eksisi dilakukan untuk abses yang membesar setelah 2 minggu terapi antibiotik atau yang tidak mengecil setelah terapi 3-4 minggu.

8

8

Tindakan kraniotomi dianjurkan pada keadaan : terdapat peningkatan tekanan intrakranial akibat efek massa dari abses otak; kesulitan diagnosis; jika abses disebabkan oleh trauma yang menyebabkan adanya benda asing; jika lesi berada di fossa posterior.6 Eksisi abses melalui kraniotomi merupakan pilihan terapi untuk abses yang telah memiliki kapsul berbatas tegas. Eksisi abses memiliki keuntungan dapat mengangkat semua materi purulen pada abses, sehingga menurunkan tekanan intrakranial dengan cepat dan memperpendek durasi pemberian antibiotik.12 Komplikasi yang paling sering dari abses serebri adalah herniasi, hidrosefalus obstruktif, ruptur abses ke ruang subarakhnoid atau ventrikel. Herniasi dapat diketahui dengan adanya kompres batang otak progresif. Keadaan ini membutuhkan penanganan darurat dengan tindakan pembedahan segera.13

IV.

Kesimpulan

Lesi pada susunan saraf pusat sering terjadi berkaitan dengan malformasi jantung kongenital. Dua komplikasi yang paling sering adalah trombosis serebri dan abses serebri. Tetralogy of Fallot merupakan PJB sianotik yang paling sering berhubungan dengan abses serebri. Kelainan ini terdiri dari (1) defek septum ventrikel,(2) stenosis pulmonal, (3) overriding aorta, (4) hipertrofi ventrikel kanan. Abses serebri adalah infeksi intraserebral fokal yang berawal dari area serebritis lokal dan berkembang menjadi kumpulan pus yang dikelilingi oleh kapsul yang bervaskularisasi dengan baik.

Pada pasien dengan PJB sianotik, right-to-left shunt dalam jantung memungkinkan resirkulasi darah yang tidak teroksigenasi dengan baik ke sirkulasi sistemik. Kondisi ini menyebabkan hipoksia pada otak. Hipoksia pada otak dapat menyebabkan pembentukan area nekrotik yang menjadi predisposisi untuk infeksi otak. Hipoksia juga menyebabkan polisitemia


(14)

sehingga memungkinkan terbentuknya mikrotrombi dan ensefalomalasia fokal. Pada pasien dengan PJB sianotik, terdapat right-to-left shunt yang memungkinkan darah vena di jantung, tidak melalui sirkulasi pulmonal

Tidak ada gejala dan tanda patognomonis: sebagian besar pasien menunjukkan tanda klinis yang bergantung pada lokasi lesi; nyeri kepala, muntah, demam, perubahan kesadaran,

seizure dan kelamahan motorik adalah gejala yang paling sering dijumpai. Pada fase awal, CT scan tanpa kontras hanya menunjukkan abnormalitas berupa area hipodens dengan efek massa dan pada fase lanjut ring enhancement hampir selalu terlihat. Manajemen yang ideal dari abses otak bertujuan untuk mengurangi efek massa dan tekanan intrakranial dan kontrol yang efektif terhadap proses infeksinya.Terdapat 3 pilihan terapi untuk abses serebri : 1) obat-obatan; 2) aspirasi; atau 3) eksisi total. Dalam memilih terapi yang tepat sejumlah faktor harus diperhatikan yaitu : skor Karnofsky performance scale; infeksi primer; status predisposisi; dan jumlah, ukuran lokasi dan stadium abses.

sehingga bakteri di aliran darah tidak disaring melalui sirkulasi pulmonal, dimana biasanya bakteri-bakteri ini akan disingkirkan oleh fagositosis. Maka,terdapat dua kondisi yang diperlukan untuk terbentuknya abses otak yaitu bakterimia dan ensefalomalasia fokal. Pada PJB mikroorganisme penyebab yang paling sering adalah cocci gram-positive, Streptococcus milleri, Streptococcous viridans, microaerophilic, Staphylococcus aureus dan streptococci anaerob.

Komplikasi yang paling sering dari abses serebri adalah herniasi, hidrosefalus obstruktif, ruptur abses ke ruang subarakhnoid atau ventrikel


(15)

DAFTAR PUSTAKA

1. Menon S, Bharadwaj R, Howdhary A, et al. Current epidemiology of intracranial abscess: a prospective 5 year study. Journal of Medical Microbiology. 2008 ; 57 ; 1259-1268.

2. Matson DD, Salam M. Brain abscess in Congenital Heart Disease. Pediatris. 1961; 27: 772-789.

3. Ghafor T, Amin MU. Multiple brain abscesses in a child with congenital cyanotic heart disease. J Pak Med Assoc. 2006 ; 56 (12) ; 603-605.

4. Mehnaz A, Syed AU, Saleem AS, et al. Clincal features and outcome of cerebral abscess in congenital heart disease. J Ayub Med Coll Abbottabad. 2006 ; 18 (2) ; 21-24. 5. Sung CW, Jung J, Choi S, et al. Brain absess in an adult with atrial septal defectCli

Cardiol. 2010. 33 (4) ; E51-E53.

6. Erdogan E, Cansever T. Pyogenic Brain Abscess. Neurosurg Focus. 2008 ; 24(6); E2. 7. Jacob G< Matthews C. Unrepaired tetralogy of fallot presenting with brain abscess. 8. Moorthy RK, Rajshekhar V. Management of brain abscess. Neursurg Focus. 2008.

24(6); E3.

9. Ontoseno T. Iron deficiency, low arterial oxygen saturation and high hematocrit level as a major micro-enviromental risk factors in the development of brain abscess in patients with tetralogy of fallot. Folia Medica Indonesiana. 2004 ; 40 (3); 86-89.

10. Cavusoglu H, Kaya Alper R, Turkmenoglu O, et al. Brain abscess analysis of results in a series of 51 patients with a combined surical and medical approach during an 11-year period. Neurosurg Focus. 2008 ; 24(6); E9.

11. Kielian T. Immunpathogenesis of brain abscess. Journal of Neuroinflammation. 2004 ; I; 16.

12. Kocherry XG, Hedge T, sastry K, et al. Efficacy of stereotactic aspiration in deep seated and eloquent-region intracranial pyogenic abscesses. Neurosurg Focus. 2008 ; 24 96) E13.

13. Thomas LE. Brain Abscess. 2010. Available from :


(16)

(1)

mikroorganisme penyebab yang paling sering adalah cocci gram-positive, Streptococcus milleri, Streptococcous viridans, microaerophilic, Staphylococcus aureus dan streptococci anaerob.

Abses serebri terjadi sebagai respon parenkim terhadap infeksi bakteri piogenik, yang dimulai dengan area serebritis lokal dan berlanjut menjadi lesi supuratif yang dikelilingi oleh kapsul fibrotik yang bervaskularisasi baik. Stadium abses otak pada manusia didasarkan pada temuan CT scan. Tahap awal atau early cerebritis terjadi dari hari 1 hingga 3 dan ditandai dengan akumulasi neutrofil, nekrosis jaringan dan edema. Aktivasi mikroglia dan astrosit juga nyata pada tahap ini dan menetap sepanjang perkembangan abses. Tahap late cerebritis, terjadi dari hari ke 4 hingga 9 berkaitan dengan dominasi infiltrasi limfosit dan makrofag. Tahap akhir atau pembentukan kapsul terjadi dari hari ke 10 hingga seterusnya dan berkaitan dengan pembentukan dinding abses yang bervaskularisasi dengan baik, untuk membatasi lesi dan melindungi jaringan parenkim dari kerusakan lebih lanjut. Tahap early capsul formation berlangsung pada hari ke 10 hingga 13 dan cenderung lebih tipis pada sisi medial abses dan lebih rentan untuk ruptur. Setelah hari ke 14 adalah tahap late capsule formation, dengan pembentukan lapisan gliotik kolagen dan granulasi.

3,4,6

Gambaran klinis mencakup nyeri kepala yang konstan dan progresif yang refrakter terhadap terapi, muntah, papil edema, defisit neurologis fokal, konvulsi,meningismus dan perubahan kesadaran.

6,8,11

3 Tidak ada tanda patognomonis: sebagian besar pasien menunjukkan tanda klinis yang bergantung pada lokasi lesi; nyeri kepala, muntah, demam, perubahan kesadaran, seizure dan kelamahan motorik adalah gejala yang paling sering dijumpai. Demam tidak selalu dijumpai, dan hanya 30-55% dari pasien mengalami demam >38.5°C. Defisit neurologis fokal dijumpai pada 40-60% pasien, bergantung lokasi lesi. Maka, trias gejala abses otak, yaitu demam, nyeri kepala dan defisit neurologis hanya terlihat pada 15-30% pasien. 6,8 Penurunan kesadaran dengan kaku kuduk dapat terjadi pada kasus dimana terdapat peningkatan efek massa yang menyebabkan herniasi atau pada kasus-kasus terjadinya ruptur intraventrikel dari abses serebri.

Pemeriksaan CT scan dengan kontras membantu dalam deteksi awal, menentukan lokasi abses, ukuran dan staging abses, jumlah, efek massa, edema, dan pergeseran dan ada tidaknya ruptur intraventrikuler.

8

3,8 Gambaran imejing dari abses serebri bergantung pada stadium pada saat dilakukan imejing dan sumber infeksi. Sebagian besar abses menunjukkan edema yang cukup nyata di sekelilingnya, yang umumnya muncul pada tahap late cerebritis atau early capsule formation, sekunder akibat efek massa. Abses yang terjadi akibat penyebaran hematogen, yang biasanya dijumpai pada pasien PJB sianotik, biasanya multipel dan terletak di daerah gray-white matter junction dan berlokasi di teritori arteri serebri media. Pada fase awal, CT scan tanpa kontras hanya menunjukkan abnormalitas berupa area hipodens dengan efek


(2)

massa dan pada fase lanjut ring enhancement hampir selalu terlihat.6 Tumor metastase, high grade glioma, infark serebri, limfoma, hematoma atau kontusio serebri yang mengalami penyembuhan, toksoplasmosis, penyakit demielinating dan nekrosis radiasi harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding abses serebri, yang juga terlihat sebagai lesi ring-enhancing. Lingkaran cincin pada abses biasanya lebih tipis jika dibandingkan dengan lesi neoplastik.6

Manajemen abses serebri pada pasien PJB sianotik sedikit lebih rumit. Pasien-pasien ini tidak hanya memiliki risiko kardiovaskular namun juga sejumlah defek koagulasi yang meningkatkan risiko anestesi dan pembedahan.

3 Manajemen yang ideal dari abses otak bertujuan untuk mengurangi efek massa dan tekanan intrakranial dan kontrol yang efektif terhadap proses infeksinya.12 Terdapat 3 pilihan terapi untuk abses serebri : 1) obat-obatan; 2) aspirasi; atau 3) eksisi total. Dalam memilih terapi yang tepat sejumlah faktor harus diperhatikan yaitu : skor Karnofsky performance scale; infeksi primer; status predisposisi; dan jumlah, ukuran lokasi dan stadium abses.

Lokasi anatomis, jumlah dan ukuran abses, stadium abses, usia dan status neurologis pasien dapat mempengaruhi strategi penanganan abses otak. Pada pasien dengan durasi penyakit < 2 minggu, terapi obat-obatan saja dapat berhasil jika kondisi berikut ini terpenuhi : 1) agen penyebab diketahui dengan tingkat akurasi yang tinggi sebagai hasil dari kultur cairan serebrospinal atau drainase dari telinga atau sinus; 2) pasien tidak menunjukkan gangguan fungsi neurologis; 3) tidak dijumpai tanda peningkatan tekanan intrakranial; dan 4) ukuran diameter abses kurang dari < 3 cm.

6

10

Terapi obat-obatan saja juga dapat dipertimbangkan jika pasien adalah kandidat yang buruk untuk intervensi bedah menurut kriteria berikut: jika lesi mutipel; diameter <1,5 cm; berlokasi di area eloquent; atau jika terdapat infeksi tambahan seperti meningitis atau ependimitis. Terapi obat-obatan juga akan lebih berhasil jika dimulai pada stadium serebritis; jika diameter lesi <1,5 cm; durasi gejala < 2 minggu dan jika pasien menunjukkan perbaikan klinis dalam minggu pertama.6

Antibiotik sistemik diberikan selama 6 minggu, namun kini ada yang menganjurkan 2 minggu antibiotika parenteral diikuti dengan 4 minggu antibiotik oral.

6 Antibiotik empiris untuk lesi yang disebabkan oleh PJB sianotik adalah cefotaxime atau ceftriaxone dan metronidazole yang kemudian harus diganti berdasarkan hasil uji sensitivitas. Durasi terapi antibiotik bergantung pada organisme dan respon terhadap terapi, namun biasanya 4-6 minggu.3 Kortikosteroid direkomendasikan pada pasien-pasien dengan edema di sekitar lesi yang signifikan tapak secara radiologis.6 Jika kondisi neurologis pasien memburuk atau terdapat peningkatan ukuran abses atau terapi antibiotik selama 2 minggu gagal untuk mengecilkan ukuran abses, maka aspirasi untuk tujuan diagnostik dapat dilakukan.3,10


(3)

Aspirasi pus dari abses melalui burr hole telah digunakan secara luas dan menjadi pilihan utama terapi. Aspirasi pus, dapat menurunkan tekanan intrakranial dan menyediakan pus untuk kultur dan uji sensitivitas dan memungkinkan irigasi rongga abses dan instilasi antibiotik ke dalam abses.

Drainase bedah yang diikuti dengan terapi antimikroba adalah terapi pilihan untuk sebagian besar abses serebri. Jika ukuran diameter abses <2.5 cm dan tidak menimbulkan efek massa, dianjurkan untuk CT-guided stereotactic aspiration untuk kepentingan diagnosis dan pemilihan antibiotik.

12

10

Terapi abses otak terdiri dari aspirasi abses atau eksisi abses diikuti dengan terapi antibiotik parenteral. Pemeriksaan CT scan tiap minggu atau tiap dua minggu harus dilakukan untuk memonitor ukuran abses setelah aspirasi dan aspirasi berulang mungkin saja diperlukan.

Kraniotomi dan eksisi dilakukan untuk abses yang membesar setelah 2 minggu terapi antibiotik atau yang tidak mengecil setelah terapi 3-4 minggu.

8

8

Tindakan kraniotomi dianjurkan pada keadaan : terdapat peningkatan tekanan intrakranial akibat efek massa dari abses otak; kesulitan diagnosis; jika abses disebabkan oleh trauma yang menyebabkan adanya benda asing; jika lesi berada di fossa posterior.6 Eksisi abses melalui kraniotomi merupakan pilihan terapi untuk abses yang telah memiliki kapsul berbatas tegas. Eksisi abses memiliki keuntungan dapat mengangkat semua materi purulen pada abses, sehingga menurunkan tekanan intrakranial dengan cepat dan memperpendek durasi pemberian antibiotik.12 Komplikasi yang paling sering dari abses serebri adalah herniasi, hidrosefalus obstruktif, ruptur abses ke ruang subarakhnoid atau ventrikel. Herniasi dapat diketahui dengan adanya kompres batang otak progresif. Keadaan ini membutuhkan penanganan darurat dengan tindakan pembedahan segera.13

IV.

Kesimpulan

Lesi pada susunan saraf pusat sering terjadi berkaitan dengan malformasi jantung kongenital. Dua komplikasi yang paling sering adalah trombosis serebri dan abses serebri. Tetralogy of Fallot merupakan PJB sianotik yang paling sering berhubungan dengan abses serebri. Kelainan ini terdiri dari (1) defek septum ventrikel,(2) stenosis pulmonal, (3) overriding aorta, (4) hipertrofi ventrikel kanan. Abses serebri adalah infeksi intraserebral fokal yang berawal dari area serebritis lokal dan berkembang menjadi kumpulan pus yang dikelilingi oleh kapsul yang bervaskularisasi dengan baik.

Pada pasien dengan PJB sianotik, right-to-left shunt dalam jantung memungkinkan resirkulasi darah yang tidak teroksigenasi dengan baik ke sirkulasi sistemik. Kondisi ini menyebabkan hipoksia pada otak. Hipoksia pada otak dapat menyebabkan pembentukan area nekrotik yang menjadi predisposisi untuk infeksi otak. Hipoksia juga menyebabkan polisitemia dan hiperviskositas yang menyebabkan aliran darah lambat pada mikrosirkulasi serebral


(4)

sehingga memungkinkan terbentuknya mikrotrombi dan ensefalomalasia fokal. Pada pasien dengan PJB sianotik, terdapat right-to-left shunt yang memungkinkan darah vena di jantung, tidak melalui sirkulasi pulmonal

Tidak ada gejala dan tanda patognomonis: sebagian besar pasien menunjukkan tanda klinis yang bergantung pada lokasi lesi; nyeri kepala, muntah, demam, perubahan kesadaran, seizure dan kelamahan motorik adalah gejala yang paling sering dijumpai. Pada fase awal, CT scan tanpa kontras hanya menunjukkan abnormalitas berupa area hipodens dengan efek massa dan pada fase lanjut ring enhancement hampir selalu terlihat. Manajemen yang ideal dari abses otak bertujuan untuk mengurangi efek massa dan tekanan intrakranial dan kontrol yang efektif terhadap proses infeksinya.Terdapat 3 pilihan terapi untuk abses serebri : 1) obat-obatan; 2) aspirasi; atau 3) eksisi total. Dalam memilih terapi yang tepat sejumlah faktor harus diperhatikan yaitu : skor Karnofsky performance scale; infeksi primer; status predisposisi; dan jumlah, ukuran lokasi dan stadium abses.

sehingga bakteri di aliran darah tidak disaring melalui sirkulasi pulmonal, dimana biasanya bakteri-bakteri ini akan disingkirkan oleh fagositosis. Maka,terdapat dua kondisi yang diperlukan untuk terbentuknya abses otak yaitu bakterimia dan ensefalomalasia fokal. Pada PJB mikroorganisme penyebab yang paling sering adalah cocci gram-positive, Streptococcus milleri, Streptococcous viridans, microaerophilic, Staphylococcus aureus dan streptococci anaerob.

Komplikasi yang paling sering dari abses serebri adalah herniasi, hidrosefalus obstruktif, ruptur abses ke ruang subarakhnoid atau ventrikel


(5)

DAFTAR PUSTAKA

1. Menon S, Bharadwaj R, Howdhary A, et al. Current epidemiology of intracranial abscess: a prospective 5 year study. Journal of Medical Microbiology. 2008 ; 57 ; 1259-1268.

2. Matson DD, Salam M. Brain abscess in Congenital Heart Disease. Pediatris. 1961; 27: 772-789.

3. Ghafor T, Amin MU. Multiple brain abscesses in a child with congenital cyanotic heart disease. J Pak Med Assoc. 2006 ; 56 (12) ; 603-605.

4. Mehnaz A, Syed AU, Saleem AS, et al. Clincal features and outcome of cerebral abscess in congenital heart disease. J Ayub Med Coll Abbottabad. 2006 ; 18 (2) ; 21-24. 5. Sung CW, Jung J, Choi S, et al. Brain absess in an adult with atrial septal defectCli

Cardiol. 2010. 33 (4) ; E51-E53.

6. Erdogan E, Cansever T. Pyogenic Brain Abscess. Neurosurg Focus. 2008 ; 24(6); E2. 7. Jacob G< Matthews C. Unrepaired tetralogy of fallot presenting with brain abscess. 8. Moorthy RK, Rajshekhar V. Management of brain abscess. Neursurg Focus. 2008.

24(6); E3.

9. Ontoseno T. Iron deficiency, low arterial oxygen saturation and high hematocrit level as a major micro-enviromental risk factors in the development of brain abscess in patients with tetralogy of fallot. Folia Medica Indonesiana. 2004 ; 40 (3); 86-89.

10. Cavusoglu H, Kaya Alper R, Turkmenoglu O, et al. Brain abscess analysis of results in a series of 51 patients with a combined surical and medical approach during an 11-year period. Neurosurg Focus. 2008 ; 24(6); E9.

11. Kielian T. Immunpathogenesis of brain abscess. Journal of Neuroinflammation. 2004 ; I; 16.

12. Kocherry XG, Hedge T, sastry K, et al. Efficacy of stereotactic aspiration in deep seated and eloquent-region intracranial pyogenic abscesses. Neurosurg Focus. 2008 ; 24 96) E13.

13. Thomas LE. Brain Abscess. 2010. Available from :


(6)