Acute Disseminated Encephalomyelitis

(1)

ACUTE DISSEMINATED

ENCEPHALOMYELITIS

FASIHAH IRFANI FITRI

NIP : 198307212008012007

DEPARTEMEN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN


(2)

I. PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Acute disseminated encephalomyelitis (ADEM) merupakan salah satu penyakit demielinasi inflamasi idiopatik pada susunan saraf pusat (SSP) yang diperantarai oleh sistem imun dan sering muncul setelah infeksi atau vaksinasi.1-3 Penyakit demielinasi inflamasi idiopatik terdiri dari sejumlah kelainan SSP yang diduga bersifat autoimun dan terdiri dari ADEM, multiple sclerosis (MS), Devic’s disease, myelitis transversalis dan neuritis optik.3-5 Acute disseminated encephalomyelitis sering mengenai anak-anak dengan usia dibawah 10 tahun dengan rentang usia 5-8 tahun.1,3 Diagnosis ADEM cukup sering ditegakkan di negara-negara tropis dimana kejadian infeksi masih tinggi.

Acute disseminated encephalomyelitis selama ini dianggap sebagai penyakit demielinasi inflamasi yang monofasik dengan berbagai manifestasi klinis yang biasanya terdiri dari ensefalopati dan sejumlah sindroma fokal atau multifokal yang menunjukkan kelainan demielinasi inflamasi SSP, termasuk neuritis optik dan myelitis.

6

5

Walaupun ADEM biasanya memiliki perjalanan yang monofasik, namun relaps dapat diumpai pada 5 hingga 25% kasus, yang disebut sebagai multiphasic atau recurrent ADEM.2,3,5,7 Pada multiphasic ADEM terdapat gejala dan tanda baru yang melibatkan daerah SSP yang sebelumnya tidak terkena dan terjadi sekurangnya tiga bulan setelah kejadian pertama atau sekurangnya satu bulan setelah terapi steroid berhenti. Pada recurrent ADEM, relaps terjadi sekurangnya tiga bulan atau lebih setelah kejadian pertama atau sekurangnya satu bulan setelah terapi steroid berhenti dan memiliki gambaran neurologis dan radiologis yang sama, yang menunjukkan keterlibatan daerah SSP yang sama.3,5,7

Manifestasi klinis ADEM yang sangat beragam, dan tidak adanya penanda biologis spesifik, sering menyulitkan dalam penegakan diagnosisnya dan membedakannya dengan penyakit demielinasi inflamasi lainnya.

2,3,5

Hingga saat ini masih terdapat kesulitan untuk membedakan ADEM dengan MS pada anak-anak, terutama pada kasus multiphasic dan recurrent ADEM, dimana diperlukan pemantauan jangka panjang untuk mengidentifikasinya dengan tepat. Kriteria ADEM yang kini diterima secara luas adalah adanya gejala klinis berupa ensefalopati (perubahan status mental dan/atau perubahan perilaku) dan gambaran klinis polisimptomatis sebagai


(3)

presentasi awal yang penting. Temuan magnetic resonance imaging (MRI) dan cairan serebrospinal (CSS) serta riwayat infeksi dapat membantu menegakkan diagnosis.

Patogenesis ADEM belum sepenuhnya dimengerti, namun adanya autoantibodi terhadap glikoprotein oligodendrosit myelin mendukung hipotesis demielinasi yang dipicu oleh mekanisme autoimun.

3,5,7

3

Banyak dari penyebab infeksi pada meningoensefalitis tidak dapat dibedakan dari ADEM berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium yang ada. Diagnosis ADEM biasanya ditegakkan berdasarkan eksklusi dari diagnosis lain dan temuan imejing serta sangat jarang dikonfirmasi dengan temuan neuropatologi. Gambaran klinis, radiologis dan patologi ADEM menyerupai MS dan experimental autoimmune encephalomyelitis (EAE) pada hewan percobaan.8 Deteksi dini dan akurat sangat penting untuk membedakan ADEM dengan penyakit demielinasi lainnya pada anak-anak terutama MS. Hal ini berhubungan dengan prognosis dan penatalaksanaannya karena banyak pasien MS terutama yang memiliki penyakit fulminan agresif, dapat memperoleh manfaat dari terapi awal disease-modifying untuk menekan dan mencegah relaps.5,9

I.2. TUJUAN PENULIS

Tujuan dari penulisan refarat ini adalah untuk membahas secara singkat mengenai definisi, epidemiologi, patogenesis, gambaran klinis, prosedur diagnosis, kriteria diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis pada acute disseminated encephalomyelitis.


(4)

II. ISI

II.1. DEFINISI

Acute disseminated encephalomyelitis (ADEM) adalah penyakit demielinasi inflamasi idiopatik pada SSP yang dimediasi sistem imun dan terutama mengenai substansia alba pada otak dan medula spinalis.1

II.2. EPIDEMIOLOGI

ADEM lebih sering dijumpai pada anak-anak. Insidensi ADEM dilaporkan sekitar 0.4-0.8 per 100.000 per tahun. Rerata usia saat onset adalah 5 tahun, dengan rentang 10 bulan hingga 18 tahun.1,5,9,10 Perbandingan jenis kelamin tidak jauh berbeda, dengan kecenderungan sedikit lebih sering pada anak laki-laki.1-3 Insidensi ADEM meningkat sejak tahun 2000 jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, namun ini dapat disebabkan oleh penggunaan MRI yang lebih luas yang memfasilitasi identifikasi yang lebih akurat. Diperkirakan ADEM merupakan sepertiga dari seluruh pasien yang didiganosa menderita ensefalitis di Amerika Serikat.1

II.3. PATOGENESIS

Patogenesis ADEM dianggap berupa inflamasi dan demielinasi multifokal yang tersebar dan yang terkait dengan mekanisme autoimun di SSP. Hipotesis autoimun menunjukkan bahwa sel T yang menyerang antigen viral atau bakteri mengenali asam amino yang juga dimiliki oleh protein myelin. Sel T yang teraktivasi melewati sawar darah otak, memungkinkan rekrutmen dan migrasi sel-sel inflamasi lainnya yang berperan dalam proses demyelinasi. Target antigen mencakup myelin basic protein (MBP), proteolipid protein (PLP), myelin oligodendrocyte protein (MOP), myelin associated glycoprotein (MAG), oligodendrocyte basic protein, dan lain-lain.1,4 Molecular mimicry, atau kesamaan epitop virus dengan antigen myelin seperti MBP,MOG dan protein proteolipid merupakan salah satu penjelasan munculnya respon imun terhadap substansia alba SSP setelah infeksi. Sejumlah studi menyatakan bahwa sitokin proinflamasi berperan dalam patogenesis.8 Mekanisme molekuler pasti yang menyebabkan kematian oligodendrosit pada ADEM dan variannya masih belum diketahui; namun molekul sitokin, kemokin dan molekul perlekatan secara bersama-sama berkontribusi terhadap patogenesis ensefalomielitis inflamasi. Faktor kerentanan


(5)

genetik menjelaskan mengapa komplikasi ensefalomyelitis dijumpai hanya pada sejumlah kecil pasien yang mendapat infeksi atau imunisasi. Gen human leucocyte antigen (HLA) kelas II memiliki pengaruh yang paling signifikan. Nitric oxide juga tampaknya memperantarai kematian oligodendrosit. Mekanisme lainnya mencakup stress oksidatif yang menyebabkan kematian prematur dari oligodendrosit dan eksitoksisitas.1

II.4. PATOLOGI

Pemeriksaan makroskopis otak menunjukkan edema dengan tanda-tanda kongesti serebral. Gambaran histopatologis ADEM yang dapat membedakannya dengan kelainan lain adalah inflamasi dan demielinasi perivaskular, terutama perivena, yang terutama melibatkan substansia alba dari hemisfer serebri, batang otak, serebelum, medula spinalis dan nervus optikus.1,5,11 Proses inflamasi terutama dicirikan dengan infiltrasi perivaskular dari sel-sel inflamasi mononuklear (limfosit dan monosit), biasanya di sekitar vena dan venula dan proliferasi mikroglial reaktif. Terdapat edema vasogenik yang menyebabkan pembengkakan otak dan medulla spinalis. Dalam lesi tersebut dijumpau fragmentasi myelin dengan akson yang relatif utuh walaupun dapat juga dijumpai kerusakan aksonal yang nyata. Pada tahap akhir, respon inflamasi digantukam oleh gliosis fibrilari.1 Pada jaringan otak terutama dijumpai keterlibatan substansia alba dengan sejumlah focus demielinasi kecil. Secara histologis, terdapat reaksi inflamasi destruktif dengan sel limfosit dan sedikit sel plasma di sekitar vena-vena kecil di seluruh serebrum, batang otak, serebelum dan medula spinalis. Dijumpai sel-sel mikroglial fagositik pada lesi. Akson dan sel saraf relatif tidak terkena. Terdapat batas yang tegas antara fokus demielinasi dan daerah normal. Pada tahap lanjut, perluasan gliosis melebihi daerah demielinasi. Pada ADEM reaksi jaringan berada pada usia yang sama yang menggambarkan perjalanan yang monofasik dari penyakit ini.12

II.5. GAMBARAN KLINIS

Manifestasi neurologis dijumpai mulai 3 hari hingga 4 minggu setelah kejadian pencetus, yang dapat dijumpai pada tiga perempat pasien.1,4 Awalnya pasien mengeluhkan gejala non spesifik seperti nyeri kepala, demam, mialgia dan malaise. Hal ini kemudian diikuti dengan manifestasi neurologis dengan onset yang cepat, mencakup ensefalopati akut bersama dengan triad defisit neurologis fokal (hemiparesis,


(6)

quadriparesis), ataksia, dan perubahan status mental (mengantuk, sopor atau koma). Gejala dan tanda lainnya mencakup keterlibatan saraf kranial, meningismus, konvulsi, migren, mielopati, neuritis optik, afasia, gerakan involunter dan parestesi.1Ensefalopati kini ditekankan sebagai tanda kunci yang membedakan ADEM dari MS.5,13 Infeksi campak menunjukkan risiko yang paling tinggi untuk terjadinya ADEM, 1 dari 400 hingga 1 dari 1000 kasus, jika dibandingkan dengan 1 dari 10.000 kasus varisela dan 1 dari 20.000 kasus untuk rubella.1 Sejumlah keadaan yang berhubungan dengan ADEM, mencakup infeksi virus seperti mumps, coxsackie, influenza, Ebstein Barr virus, human immunodeficiency virus, herpes simplex virus, human herpes virus 6, hepatitis A, B, measles, rubella, varicella, cytomegalovirus, Japanese B; infeksi bakteri seperti group A ß hemolytic streptococci, campylobacter jejuni, salmonella, Chlamydia, mycoplasma, legionella, leptospira, Borrelia, and rickettsiae; infeksi fungi. Imunisasi yang berhubungan dengan terjadinya ADEM adalah imunisasi measles, mumps, rubella, diphteria-pertussis-tetanus (DPT), varisela, rabies, mumps parotitis, rubeola, influenza, japanese encephalitis type B, dan poliomyelitis.1,4 Infeksi tuberkulosis juga pernah dilaporkan berhubungan dengan ADEM.14 Keterlibatan SSP pada infeksi measles,walaupun jarang, menimbulkan spektrum penyakit yang cukup luas, yang dibedakan berdasarkanwaktu timbulnya sejak infeksi primer, mencakup ADEM, measles inclusion body encephalitis (MIBE), subacute sclerosing panencephalitis (SSPE) dan fulminant SSPE.

Walaupun ADEM sering dihubungkan dengan infeksi atau vaksinasi, adanya kejadian ini tidak termasuk dalam definisi ADEM pada sebagian besar studi, termasuk konsensus kriteria klinis terbaru.

15

5,7

Definisi ini menunjukkan bahwa terdapat proses immune-mediated yang unik pada SSP dengan patofisiologi yang khusus dan independen terhadap pencetus imun. Riwayat infeksi atau vaksinasi sebelumnya dapat meningkatkan kemungkinan ADEM namun juga sering dijumpai pada pasien dengan presentasi MS pertama. Oleh sebab itu, infeksi atau vaksinasi sebelumnya tidak spesifik dan sensitif untuk ADEM.5 Suatu studi melaporkan bahwa ADEM dapat dijumpai pada 30-40% pasien tanpa infeksi atau vaksinasi sebelumnya.6


(7)

II.6. PROSEDUR DIAGNOSIS

Diagnosis ADEM harus dipertimbangkan pada pasien dengan gejala dan tanda klinis yang sesuai dengan penyakit demielinasi dengan onset akut atau sub akut dengan gejala ensefalopati berupa perubahan tingkat kesadaran, perubahan perilaku atau gangguan kognitif.13 Diagnosis ADEM ditegakkan berdasarkan temuan MRI berupa demielinasi substansia alba yang multifokal pada pasien dengan disfungsi neurologis akut setelah periode laten yang didahului oleh infeksi sistemik, biasanya viral, atau imunisasi.

Sebelum menegakkan diagnosis ADEM, infeksi harus dsingkirkan dengan analisa dan kultur CSS.

1

5

Analisa CSS pada ADEM biasanya normal, namun dapat menunjukkan pleositosis sedang, jarang melebihi 100 sel/mm3, glukosa dalam batas normal, dan protein sedikit meningkat.1,5 Analisa CSS pada MS jarang menunjukkan pleositosis. Deteksi oligoclonal bands dapat membantu memprediksi diagnosis MS, namun angka ketepatannya tidak diketahui karena 29% pasien anak-anak dengan ADEM juga menunjukkan OCBs. Biasanya, bands ini menghilang pada ADEM namun lebih cenderung menetap pada MS.

Pemeriksaan MRI adalah pemeriksaan pilihan dalam menegakkan diagnosis ADEM yang harus didukung dengan riwayat klinis dan pemeriksaan neurologis. Lesi demielinisasi tampak hipointens pada T1 dan hiperintens pada T2 dan FLAIR.

5

1,5 Lesi biasanya asimetris dan bervariasi dalam ukuran dan jumlah. Tidak adanya keterlibatan periventrikular adalah salah satu gambaran kunci yang membantu membedakan ADEM dari MS.1,3,5 Beberapa penulis menyatakan bahwa lesi ADEM tidak berbatas tegas seperti halnya lesi MS.4 Beberapa gambaran ADEM yang tidak biasa pada MS adalah lesi bilateral simetris, tidak terkenanya substansia alba periventrikel dan keterlibatan substansia grisea.5,6 Keterlibatan talamus dan basal ganglia merupakan temuan tipikal pada ADEM namun tidak biasa pada MS dan dapat menjadi penanda yang bermanfaat untuk membedakannya. Pada ADEM lesi supratentorial cenderung asimetris, sedangkan lesi talamus dan basal ganglia sering simetris. Lesi meliputi substansia alba dalam dengan gangguan subkortikal, serebelum, batang otak dan medula spinalis yang bervariasi. Setelah pemberian kontras, lesi biasanya tidak menunjukkan enhancement, atau lebih sering menunjukkan enhancement yang homogen, yang menunjukkan bahwa lesi-lesi nya berada pada fase progresi yang sama.1


(8)

II.7. KRITERIA DIAGNOSIS

Kriteria diagnosis ADEM menurut International Pediatric MS Study Group adalah sebagai berikut :

1. Monophasic ADEM 5,7

a. Kejadian klinis pertama yang diduga disebabkan oleh proses demielinasi atau inflamasi, dengan onset akut atau subakut yang mengenai area multifokal pada SSP. Gambaran klinisnya harus polisimptomatik dan melibatkan ensefalopati, yang terdiri dari satu keadaan berikut atau lebih :

• Perubahan perilaku, seperti confusion, iritabilitas yang berlebihan

• Perubahan tingkat kesadaran, dari letargi hingga koma

b. Kejadian ini harus diikuti dengan perbaikan, baik secara klinis, pada MRI atau keduanya, namun dapat dijumpai gejala sisa.

c. Tidak ada riwayat kejadian klinis dengan gambaran demielinasi sebelumnya

d. Tidak ada penyebab lain yang dapat menjelaskan kejadian

e. Gejala/tanda dan temuan MRI baru yang dijumpaidalam 3 bulan sejak onset ADEM dianggap sebagai bagian dari kejadian yang sama

f. Pemeriksaan neuroimejing menunjukkan lesi fokal atau multifokal, yang terutama melibatkan substansia alba, tanpa bukti kerusakan substansia alba sebelumnya

• MRI otak T2 dan FLAIR menunjukkan lesi besar (ukuran >1 hingga 2 cm) yang multifocal, hiperintens dan berlokasi di substansia alba supratentorial atau infratentorial; substansia grisea, terutama basal ganglia dan thalamus,sering terlibat

• Pada kasus yang jarang, MRI otak menunjukkan lesi tunggal yang besar (≥1 hingga 2 cm), terutama pada substansia alba

• MRI medula spinalis dapat menunjukkan lesi intramedulari confluent dengan enhancement yang beragam, sebagai tambahan dari temuan MRI otak di atas


(9)

2. Recurrent ADEM

a. Kejadian ADEM baru dengan rekurensi gejala dan tanda awal, 3 bulan atau lebih setelah kejadian ADEM pertama, tanpa keterlibatan daerah baru berdasarkan riwayat, pemeriksaan atau neuroimejing

b. Kejadian tidak muncul sewaktu berada dalam terapi steroid, dan berlangsung sekurangnya satu bulan setelah terapi selesai

c. MRI tidak menunjukkan lesi baru; lesi awal dapat membesar d. Tidak ada penjelasan yang lebih baik

3. Multiphasic ADEM

a. ADEM yang diikuti dengan kejadian klinis yang baru yang memenuhi criteria ADEM, namun melibatkan area anatomi baru pada SSP yang dikonfirmasi dengan anamnesis, pemeriksaan neurologis dan neuroimejing

b. Kejadian berikutnya harus terjadi 1) setidaknya 3 bulan setelah onset awal dan 2) setidaknya 1 bulan setelah terapi steroid selesai

c. Kejadian berikutnya harus mencakup gambaran polisimptomatik terdiri dari enefalopati, dengan gejala dan tanda neurologi yang berbeda dai kejadian awal (perubahan status mental bias sama dengan kejadian awal) d. MRI otak harus menunjukkan keterlibatan area baru namun juga

menunjukkan resolusi komplit atau parsial dari lesi yang berkaitan dengan kejadian ADEM pertama

II.8. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding ADEM sangat luas. Pada pasien dengan perubahan status mental akut, gejala motorik fokal, demam, kejang parsial, diagnosis meningoensefalitis viral akut harus disingkirkan.1 Diagnosis banding ADEM meliputi sejumlah penyakit demielinasi inflamasi seperti MS, Schilder’s disease dan Devic disease.3 Studi dari Alper dkk (2009) menemukan beberapa karakteristik klinis yang menbedakan ADEM dengan MS, yaitu usia saat onset, gejala awal, analisa CSS dan gambaran MRI. Rerata usia saat onset lebih tua pada pasien MS (14 tahun) dibandingkan ADEM (7 tahun). Ensefalopati, demam dan seizure hanya dijumpai pada pasien ADEM. Pada pemeriksaan MRI lesi ovoid perpendikuler periventrikuler lebih sering dijumpai pada


(10)

pasien MS dibandingkan ADEM.9 Sejumlah studi menunjukkan beberapa karakteristik klinis, neuroimejing dan laboratorium ADEM yang dapat membantu membedakannya dengan MS. Secara umum, ADEM harus dipertimbangkan jika terdapat satu atau beberapa karakteritik berikut ini : bersifat multifokal, polisimptomatik, usia kurang dari 10 tahun, gejala dan tanda meningoensefalitis, ensefalopati, neuritis optik bilateral,pleositosis pada CSS tanpa oligoclonal bands, lesi pada MRI yang melibatkan struktur yang tidak biasanya terlibat pada MS seperti substansia grisea atau korteks, dan lesi pada MRI yang berukuran besar dan menunjukkan batas yang tidak tegas dan enhancement setelah pemberian kontras.5 Kasus ADEM dengan lesi yang besar pada MRI dengan efek massa harus dibedakan dengan tumor otak primer atau penyakit Schilder.1,3

II.9. PENATALAKSANAAN

Kortikosteroid dosis rendah tidak bermanfaat dan bahkan dikontraindikasikan. Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi sewaktu periode akut penyakit dianggap sebagai terapi spesifik terhadap proses imun infamasi. Penggunaan metilprednisolon intravena terutama diindikasikan untuk bentuk klinis dengan gangguan kesadaran yang berat atau keterlibatan nervus optikus atau medula spinalis dan pada gambaran neuroradiologis dengan efek massa. Dosis metilprednisolon yang direkomedasikan adalah 30 mg/kgBB per hari untuk anak-anak kurang dari 30 kg dan 1 gr/kgBB/hari untuk yang diatas 30 kg, selama 3 sampai 5 hari berturut-turut.1,3,5 Pada pasien dengan gambaran klinis yang kurang berat dapat digunakan kortikosteroid oral seperti metilprednisolon dosis 2 mg/kgBB per hari atau deflazacort dosis 3 mg/kgBB per hari, selama 10 sampai 15 hari berturut-turut. Pemberhentian kortikosteroid harus dilakukan secara bertahap selama 4 sampai 6 minggu. Penggunaan IgG intravena dilaporkan pada beberapa kasus dan serial kasus pada anak-anak dengan hasil yang baik, terutama pada kasus-kasus berat yang tidak respon dengan kortikosteroid. 1,3 Plasmaferesis merupakan pilihan terapi pada pasien dengan bentuk penyakit yang fulminan yang tidak membaik dengan steroid dan imunoglobulin.

Terapi suportif merupakan aspek yang penting dalam penatalaksanaan pasien ADEM. Hal ini terdiri dari ventilasi mekanis pada kasus-kasus dengan disfungsi batang otak yang berat, koreksi gangguan elektrolit, penatalaksanaan demam, penggunaan obat


(11)

antiepilepsi pada kasus-kasus dengan kejang, penggunaan antibiotik untuk mengatasi infeksi respirasi dan saluran kemih sekunder. 1

II.10. PROGNOSIS

Tingkat mortalitas yang tinggi (10 sampai 30%) dilaporkan pada minggu pertama penyakit. Penggunaan kortikosteroid awal dan agresif memperbaiki prognosis pasien ADEM. Pasien yang menunjukkan respon yang buruk terhadap terapi tampaknya mengalami kerusakan struktural menetap yang terjadi sebelum terapi dimulai.Walaupun ADEM memiliki prognosis yang baik , namun seerring dijumpai gejala sisa berupa defisit neurokognitif.1 Sebagian besar anak dengan ADEM menunjukkan gejala ensefalopati akut yang agresif dengan defisit neurologis multifokal. Sebagian besar menunjukkan kemajuan yang baik selama beberapa hari, minggu atau bulan tanpa gangguan neurologis. Sejumlah kecil pasien menunjukkan gejala sisi yang dapat ringan hingga berat, yang mencakup disabilitas motorik, gangguan visual, gangguan kognitif, gangguan perilaku, dan epilepsi.4 Suatu melaporkan beberapa faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko relaps: usia diatas 55 tahun, peningkatan albumin CSS> 100 mg/dL, jenis kelamin wanita, keterlibatan medulla spinalis dan susunan saraf perifer. 2

II.11. RINGKASAN

Acute disseminated encephalomyelitis (ADEM) merupakan salah satu penyakit demielinasi inflamasi idiopatik pada susunan saraf pusat (SSP) yang sering dijumpai pada anak-anak yang diperantarai oleh sistem imun dan sering muncul setelah infeksi atau vaksinasi. Manifestasi klinis ADEM sangat beragam yang biasanya berupa ensefalopati dan defisit neurologis fokal seperti hemiparesis, quadriparesis, ataksia, keterlibatan saraf kranial, neuritis optik, gerakan involunter, dan parestesi. Walaupun ADEM sering dihubungkan dengan infeksi atau vaksinasi namun hal ini tidak termasuk dalam kriteria diagnosis ADEM serta tidak spesifik dan sensitif untuk ADEM. Diagnosis ADEM ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinis demielinasi disertai gejala ensefalopati dengan onset akut atau subakut dan dibantu dengan temuan MRI, berupa demielinasi substanisa alba multifokal. Walaupun ADEM biasanya memiliki perjalanan yang monofasik, namun relaps dapat dijumpai pada sejumlah kasus yang dikenal dengan multiphasic atau recurrent ADEM. Diagnosis banding ADEM cukup


(12)

luas, mencakup meningoensefalitis dengan berbagai penyebab dan sejumlah penyakit demielinasi inflamasi seperti MS, Shilder’s disease dan Devic disease. Temuan MRI dapat membantu membedakan ADEM dari MS. Penatalaksanaan ADEM terdiri dari terapi obat-obatan yaitu dengan kortikosteroid dosis tinggi, immunoglobulin intravena, plasmaferesis dan terapi suportif. Walaupun ADEM memiliki prognosis yang baik secara umum, namun sering dijumpai gejala sisa berupa defisit neurologis multifokal.


(13)

DAFTAR PUSTAKA

1. Sarnat HB, Menkes JH. Autoimmune and Postinfectious Disease. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL, penyunting. Child Neurology. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006. h. 578-84

2. Marchioni E, Tavazzi E, Minoli L, et al. Acute Disseminated Encephalomyelitis. Curr Infect Dis Resp 2008; 10(4):307-14.

3. Spalice A, Parisi P, Papetti L, et al. Clinical and Pharmacological Aspects of Inflammatory Demyelinating Disease in Childhood: An Update. Current Neuropharmacology 2010;8:135-48.

4. Kamate M, Chetal V, Tonape V, et al. Central Nervous System Inflammatory Demyelinating Disorders of Childhood. Ann Indian Acad Neurol 2010; 13 (4): 289-92.

5. Young NP, Weishenker BG, Lucchinetti CF. Acute Disseminated Encephalomyelitis: Current Understanding and Controversies. Semin Neurol 2008;28(1):84-94.

6. Pandit L. Differential Diagnosis of White Matter Disease in The Tropics: An Overview. Ann Indian Acad Neurol. 2009; 12(1) : 12-21.

7. Krupp LB, Banwell B, Tenembaum S. Consensus Definitions Proposed for Pediatric Multiple Sclerosis and Related Disorders. Neurology 2007; 68 (Suppl 2):S2-S12.

8. Leake JA, Albani S, Kao AS, et al. Acute Disseminated Encephalomyelitis in Childhood : Epidemiologic, Clinical and Laboratory Features. Pediatric Infectious Disease Journal 2004; 23: 756-64.

9. Alper G, Heyman R, Wang L. Multiple Sclerosis and Acute Disseminated Encephalomyelitis Diagnosed in Children After Long-term Follow Up: Comparison of Presenting Features. Dev Med Child Neurol 2009; 51(6): 480-86. 10.Menge T, Kieseier BC, Nessler S, et al. Acute Disseminated Encephalomyelitis:

An Acute Hit Against The Brain. Current Opinion in Neurology 2007; 20 : 247-54.

11.Young NP, Weishenker BG, Parisi JE, et al. Perivenous Demyelination : Association With Clinically Defined Acute Disseminated Encephalomyelitis and


(14)

Comparison With Pathologically Confirmed Multiple Sclerosis. Brain 2010: 133 : 333-48.

12.Armstrong D, Hallidat W, Hawkins C, et al. Pediatric Neuropathology A Text Atlas.New York : Springer, 2007. h. 248-9.

13.Miller DH, Weinshenker BG, Filippi M, et al. Differential Diagnosis of Suspected Multiple Sclerosis: A Consensus Approach. Multiple Sclerosis 2008; 14 : 1157-74.

14.Masoodi I, Farooq O, Ahmad I, et al. Acute Disseminated Encephalomyelitis as The First Presentation of CNS Tuberculosis: report of a case with brief review. German Medical Science 2010; 8: 1-4.

15. Katrak SM, Mahadevan A, Taly AB, et al. A 16-year old male with cortical blindness and focalmotor seizures. Ann Indian Acad Neurol 2010; 13 (3): 225-32.


(1)

2. Recurrent ADEM

a. Kejadian ADEM baru dengan rekurensi gejala dan tanda awal, 3 bulan atau lebih setelah kejadian ADEM pertama, tanpa keterlibatan daerah baru berdasarkan riwayat, pemeriksaan atau neuroimejing

b. Kejadian tidak muncul sewaktu berada dalam terapi steroid, dan berlangsung sekurangnya satu bulan setelah terapi selesai

c. MRI tidak menunjukkan lesi baru; lesi awal dapat membesar d. Tidak ada penjelasan yang lebih baik

3. Multiphasic ADEM

a. ADEM yang diikuti dengan kejadian klinis yang baru yang memenuhi criteria ADEM, namun melibatkan area anatomi baru pada SSP yang dikonfirmasi dengan anamnesis, pemeriksaan neurologis dan neuroimejing

b. Kejadian berikutnya harus terjadi 1) setidaknya 3 bulan setelah onset awal dan 2) setidaknya 1 bulan setelah terapi steroid selesai

c. Kejadian berikutnya harus mencakup gambaran polisimptomatik terdiri dari enefalopati, dengan gejala dan tanda neurologi yang berbeda dai kejadian awal (perubahan status mental bias sama dengan kejadian awal) d. MRI otak harus menunjukkan keterlibatan area baru namun juga

menunjukkan resolusi komplit atau parsial dari lesi yang berkaitan dengan kejadian ADEM pertama

II.8. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding ADEM sangat luas. Pada pasien dengan perubahan status mental akut, gejala motorik fokal, demam, kejang parsial, diagnosis meningoensefalitis viral akut harus disingkirkan.1 Diagnosis banding ADEM meliputi sejumlah penyakit demielinasi inflamasi seperti MS, Schilder’s disease dan Devic disease.3 Studi dari Alper dkk (2009) menemukan beberapa karakteristik klinis yang menbedakan ADEM dengan MS, yaitu usia saat onset, gejala awal, analisa CSS dan gambaran MRI. Rerata usia saat onset lebih tua pada pasien MS (14 tahun) dibandingkan ADEM (7 tahun). Ensefalopati, demam dan seizure hanya dijumpai pada pasien ADEM. Pada pemeriksaan MRI lesi ovoid perpendikuler periventrikuler lebih sering dijumpai pada


(2)

pasien MS dibandingkan ADEM.9 Sejumlah studi menunjukkan beberapa karakteristik klinis, neuroimejing dan laboratorium ADEM yang dapat membantu membedakannya dengan MS. Secara umum, ADEM harus dipertimbangkan jika terdapat satu atau beberapa karakteritik berikut ini : bersifat multifokal, polisimptomatik, usia kurang dari 10 tahun, gejala dan tanda meningoensefalitis, ensefalopati, neuritis optik bilateral,pleositosis pada CSS tanpa oligoclonal bands, lesi pada MRI yang melibatkan struktur yang tidak biasanya terlibat pada MS seperti substansia grisea atau korteks, dan lesi pada MRI yang berukuran besar dan menunjukkan batas yang tidak tegas dan

enhancement setelah pemberian kontras.5 Kasus ADEM dengan lesi yang besar pada MRI dengan efek massa harus dibedakan dengan tumor otak primer atau penyakit

Schilder.1,3

II.9. PENATALAKSANAAN

Kortikosteroid dosis rendah tidak bermanfaat dan bahkan dikontraindikasikan. Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi sewaktu periode akut penyakit dianggap sebagai terapi spesifik terhadap proses imun infamasi. Penggunaan metilprednisolon intravena terutama diindikasikan untuk bentuk klinis dengan gangguan kesadaran yang berat atau keterlibatan nervus optikus atau medula spinalis dan pada gambaran neuroradiologis dengan efek massa. Dosis metilprednisolon yang direkomedasikan adalah 30 mg/kgBB per hari untuk anak-anak kurang dari 30 kg dan 1 gr/kgBB/hari untuk yang diatas 30 kg, selama 3 sampai 5 hari berturut-turut.1,3,5 Pada pasien dengan gambaran klinis yang kurang berat dapat digunakan kortikosteroid oral seperti metilprednisolon dosis 2 mg/kgBB per hari atau deflazacort dosis 3 mg/kgBB per hari, selama 10 sampai 15 hari berturut-turut. Pemberhentian kortikosteroid harus dilakukan secara bertahap selama 4 sampai 6 minggu. Penggunaan IgG intravena dilaporkan pada beberapa kasus dan serial kasus pada anak-anak dengan hasil yang baik, terutama pada kasus-kasus berat yang tidak respon dengan kortikosteroid. 1,3 Plasmaferesis merupakan pilihan terapi pada pasien dengan bentuk penyakit yang fulminan yang tidak membaik dengan steroid dan imunoglobulin.

Terapi suportif merupakan aspek yang penting dalam penatalaksanaan pasien ADEM. Hal ini terdiri dari ventilasi mekanis pada kasus-kasus dengan disfungsi batang otak yang berat, koreksi gangguan elektrolit, penatalaksanaan demam, penggunaan obat


(3)

antiepilepsi pada kasus-kasus dengan kejang, penggunaan antibiotik untuk mengatasi infeksi respirasi dan saluran kemih sekunder. 1

II.10. PROGNOSIS

Tingkat mortalitas yang tinggi (10 sampai 30%) dilaporkan pada minggu pertama penyakit. Penggunaan kortikosteroid awal dan agresif memperbaiki prognosis pasien ADEM. Pasien yang menunjukkan respon yang buruk terhadap terapi tampaknya mengalami kerusakan struktural menetap yang terjadi sebelum terapi dimulai.Walaupun ADEM memiliki prognosis yang baik , namun seerring dijumpai gejala sisa berupa defisit neurokognitif.1 Sebagian besar anak dengan ADEM menunjukkan gejala ensefalopati akut yang agresif dengan defisit neurologis multifokal. Sebagian besar menunjukkan kemajuan yang baik selama beberapa hari, minggu atau bulan tanpa gangguan neurologis. Sejumlah kecil pasien menunjukkan gejala sisi yang dapat ringan hingga berat, yang mencakup disabilitas motorik, gangguan visual, gangguan kognitif, gangguan perilaku, dan epilepsi.4 Suatu melaporkan beberapa faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko relaps: usia diatas 55 tahun, peningkatan albumin CSS> 100 mg/dL, jenis kelamin wanita, keterlibatan medulla spinalis dan susunan saraf perifer. 2

II.11. RINGKASAN

Acute disseminated encephalomyelitis (ADEM) merupakan salah satu penyakit demielinasi inflamasi idiopatik pada susunan saraf pusat (SSP) yang sering dijumpai pada anak-anak yang diperantarai oleh sistem imun dan sering muncul setelah infeksi atau vaksinasi. Manifestasi klinis ADEM sangat beragam yang biasanya berupa ensefalopati dan defisit neurologis fokal seperti hemiparesis, quadriparesis, ataksia, keterlibatan saraf kranial, neuritis optik, gerakan involunter, dan parestesi. Walaupun ADEM sering dihubungkan dengan infeksi atau vaksinasi namun hal ini tidak termasuk dalam kriteria diagnosis ADEM serta tidak spesifik dan sensitif untuk ADEM. Diagnosis ADEM ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinis demielinasi disertai gejala ensefalopati dengan onset akut atau subakut dan dibantu dengan temuan MRI, berupa demielinasi substanisa alba multifokal. Walaupun ADEM biasanya memiliki perjalanan yang monofasik, namun relaps dapat dijumpai pada sejumlah kasus yang dikenal dengan multiphasic atau recurrent ADEM. Diagnosis banding ADEM cukup


(4)

luas, mencakup meningoensefalitis dengan berbagai penyebab dan sejumlah penyakit demielinasi inflamasi seperti MS, Shilder’s disease dan Devic disease. Temuan MRI dapat membantu membedakan ADEM dari MS. Penatalaksanaan ADEM terdiri dari terapi obat-obatan yaitu dengan kortikosteroid dosis tinggi, immunoglobulin intravena, plasmaferesis dan terapi suportif. Walaupun ADEM memiliki prognosis yang baik secara umum, namun sering dijumpai gejala sisa berupa defisit neurologis multifokal.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

1. Sarnat HB, Menkes JH. Autoimmune and Postinfectious Disease. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL, penyunting. Child Neurology. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006. h. 578-84

2. Marchioni E, Tavazzi E, Minoli L, et al. Acute Disseminated Encephalomyelitis. Curr Infect Dis Resp 2008; 10(4):307-14.

3. Spalice A, Parisi P, Papetti L, et al. Clinical and Pharmacological Aspects of Inflammatory Demyelinating Disease in Childhood: An Update. Current Neuropharmacology 2010;8:135-48.

4. Kamate M, Chetal V, Tonape V, et al. Central Nervous System Inflammatory Demyelinating Disorders of Childhood. Ann Indian Acad Neurol 2010; 13 (4): 289-92.

5. Young NP, Weishenker BG, Lucchinetti CF. Acute Disseminated Encephalomyelitis: Current Understanding and Controversies. Semin Neurol 2008;28(1):84-94.

6. Pandit L. Differential Diagnosis of White Matter Disease in The Tropics: An Overview. Ann Indian Acad Neurol. 2009; 12(1) : 12-21.

7. Krupp LB, Banwell B, Tenembaum S. Consensus Definitions Proposed for Pediatric Multiple Sclerosis and Related Disorders. Neurology 2007; 68 (Suppl 2):S2-S12.

8. Leake JA, Albani S, Kao AS, et al. Acute Disseminated Encephalomyelitis in Childhood : Epidemiologic, Clinical and Laboratory Features. Pediatric Infectious Disease Journal 2004; 23: 756-64.

9. Alper G, Heyman R, Wang L. Multiple Sclerosis and Acute Disseminated Encephalomyelitis Diagnosed in Children After Long-term Follow Up: Comparison of Presenting Features. Dev Med Child Neurol 2009; 51(6): 480-86. 10.Menge T, Kieseier BC, Nessler S, et al. Acute Disseminated Encephalomyelitis:

An Acute Hit Against The Brain. Current Opinion in Neurology 2007; 20 : 247-54.

11.Young NP, Weishenker BG, Parisi JE, et al. Perivenous Demyelination : Association With Clinically Defined Acute Disseminated Encephalomyelitis and


(6)

Comparison With Pathologically Confirmed Multiple Sclerosis. Brain 2010: 133 : 333-48.

12.Armstrong D, Hallidat W, Hawkins C, et al. Pediatric Neuropathology A Text Atlas.New York : Springer, 2007. h. 248-9.

13.Miller DH, Weinshenker BG, Filippi M, et al. Differential Diagnosis of Suspected Multiple Sclerosis: A Consensus Approach. Multiple Sclerosis 2008; 14 : 1157-74.

14.Masoodi I, Farooq O, Ahmad I, et al. Acute Disseminated Encephalomyelitis as The First Presentation of CNS Tuberculosis: report of a case with brief review. German Medical Science 2010; 8: 1-4.

15. Katrak SM, Mahadevan A, Taly AB, et al. A 16-year old male with cortical blindness and focalmotor seizures. Ann Indian Acad Neurol 2010; 13 (3): 225-32.