d cara hidup dan kesusilaaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipecaya.
Dengan demikian, menurut Pasal 185 ayat 7 KUHAP, keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat
bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
B. Jenis-jenis Saksi
Dalam KUHAP dikenal beberapa jenis saksi, yaitu : 1.
Saksi A Charge saksi yang memberatkan terdakwa Saksi A Charge adalah saksi dalam perkara pidana yang dipilih dan diajukan
oleh penuntut umum, dikarenakan kesaksiannya yang memberatkan terdakwa.
45
Saksi A Charge saksi yang memberatkan terdakwa dalam hal ini termasuk saksi korban merupakan salah satu alat bukti yang utama di dalam pembuktian
peradilan pidana. Dalam proses pemeriksaan perkara tindak pidana alat bukti yang pertama sekali diperiksa adalah saksi A Charge. Mengingat peranan dan fungsinya
Dalam hal saksi yang meemberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara atau penuntut umum, selama berlangsungnya sidang atau belum
dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut. Pasal 160 ayat 1 c KUHAP.
45
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktek, Djaambatan, Jakarta, 1998, hal 137
Universitas Sumatera Utara
yang sangat penting maka pemerintah menjamin hak dan kewajiban seorang saksi A Charge dan memberikan perlindungan yang sebagaimana tealh diatur dalam Undang-
Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Syarat yang harus dipenuhi agar keterangan saksi A Charge dapat dikatakan sah adalah :
a. Syarat formil:
1 Seorang saksi harus mengucapkan sumpah dan janji baik sebelum maupun
setelah memberikan keterangan Pasal 160 ayat 3 dan 4 KUHAP. 2
Seorang saksi telah mencapai usia dewasa yang telah mencapai usia 15 tahun atau lebih atau sesudah menikah. Sedangkan orang yang belum mencapai usia
15 tahun atau belum menikah dapat memeberikan keterangan tanpa disumpah dan dianggap sebagai keterangan biasa Pasal 171 butir a KUHAP.
b. Syarat materil :
1 Melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana Pasal 1
butir 26 atau 27 KUHAP. 2
Seorang saksi harus dapat menyebutkan alasan dari kesaksiaannya itu Pasal 1 butir 27 KUHAP.
3 Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan
terdakwa unus testis nullus tertis Pasal 185 ayat 2 KUHAP. 2.
Saksi A De Charge saksi yang menguntungkan terdakwa
Universitas Sumatera Utara
Saksi A De Charge, adalah saksi yang dipilih atau yang diajukan oleh Penuntut Umum atau terdakwa atau penasihat hukum, yang sifatnya meringankan
terdakwa. Ketentuan mengenai saksi A De Charge ini diatur dalam Pasal 116 ayat 3 KUHAP:
“Dalam pemeriksaan kepada tersangka ditanyakan apakah tersangka menghendaki saksi yang meringankan atau disebut sedengan saksi A De Charge dan
bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara”.
Selain Pasal 116 ayat 3 KUHAP diatur juga dalam Pasal 65 KUHAP: “Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi
atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya”.
Saksi A De Charge yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara pemanggilannya dilakukan oleh penuntut umum. Akan tetapi saksi A De Charge yang
dimintakan oleh terdakwa atau penasihat hukum itu sendiri.Karena penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukum dapat saling menghadapi saksi.Hal ini sering
membawa kesulitan, dalam hal saksi A De Charge tersebut sedang berada dalam tahanan yang berwajib.Atau apabila saksi A De Charge tersebut telah dipanggil atau
diundang oleh terdakwa atau penasihat hukum dua kali berturut-turut secara patut, tetapi tidak mengindahkannya.Apakah ada saksi hukum yang dapat dikenakan
terhadap saksi tersebut? Pada hal menjadi saksi dalam perkara pidana adalah menjadi kewajiban dari setiap orang, artinya apabila saksi itu tidak mau hadir di muka sidang
pengadilan, maka ia dapat dihadapkan ke persidanagan secara paksa. Pasal 159 2 KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
3. Saksi Korban
Saksi korban adalah saksi yang memberikan keterangan di depan persidangan ataupun di depan penyidik, yang keterangannya itu diperoleh dari pengalaman saksi
sendiri yang mengalami perbuatan atau tindak pidana yang merugikan dirinya. 4.
Saksi Pelapor Saksi pelapor adalah saksi yang memberikan keterangan di depan persidangan
ataupun di depan penyidik berdasarkan suatu peristiwa yang di dengar ataupun yang dilihatnya sendiri.
5. Saksi Testimonium de Audituhearysay evidence
Testimonium de auditu adalah kesaksian yang berisi keterangan yang bersumber dari keterangan yang didapat atau didengar dari orang lain. Keterangan
saksi yang demikian bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 butir 27 KUHAP, yang mengatur tentang pengertian dari keterangan saksi, sehingga menurut M.Yahya
Harahap tidak bernilai sebagai alat bukti yang sah dan tidak memiliki kekuatan pembuktian untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Sesuai dengan penjelasan KUHAP yang mengatakan kesaksian de auditu tidak diperkenankan sebagai alat bukti, dan selaras pula dengan tujuan hukum acara
pidana yaitu mencari kebenaran materil, dan pula untuk perlindungan terhadap hak- hak asasi manusia, dimana keterangan seorang saksi yang hanya mendengarkan dari
Universitas Sumatera Utara
orang lain, tidak terjamin kebenarannya, maka kesaksian de auditu hearsay evidence, patut tidak dipakai di Indonesia pula.
46
Berhubung dengan tidak dicantumkannya pengamtan hakim sebagai alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP, maka kesaksian de auditu tidak dapat dijadikan alat bukti
melalui pengamatan hakim, mungkin melalui alat bukti petunjuk, yang penilaian dan pertimbangannya hendaknya diserahkan kepada hakim.
Namun demikian, kesaksian de auditu perlu pula didengar oleh hakim, walaupun tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi dapat memperkuat
keyakianan hakim yang bersumber kepada dua alat bukti yang lain.
47
6. Saksi Mahkota Kroon Getuige; Croown Witness
S.M Amin menolak kesaksian de auditu sebagai suatu alat bukti, ia mengatakan mengatakan, “ memberi daya bukti kepada kesaksian-kesaksian de
auditu berarti, bahwa syarat didengar, dilihat, atau dialami sendiri tidak dipegang lagi. Sehingga memperoleh juga dengan tidak langsung daya bukti, keterangan-
keterangan yang diucapkan oleh seseorang di luar sumpah”.Keterangan de auditu, rasanya lebih tepat, tidak diberi daya bukti, yang dapat dianggap mempunyai dasar
kebenaran. Dalam keterangan demikian, hanyalah diceritakan keterangan-keterangan tersebut kepada saksi de auditu.
Saksi mahkota disalahartikan di Indonesia.Seakan-akan para terdakwa dalam hal ikut serta medeplegen perkaranya dipisah dan kemudian bergantian menjadi
46
Andi Hamzah, Op Cit, hal 264
47
Ibid, hal 265
Universitas Sumatera Utara
saksi, disebut saksi mahkota.Ini merupakan kekeliruan besar.Terdakwa bergantian menjadi saksi atas perkara yang dia sendiri ikut serta di dalamnya. Sebenarnya
bertentangan dengan larangan mendakwa diri sendiri, karena dia sebagai saksi akan disumpah yang dia sendiri juga menjadi terdakwa atas perkara itu. Terdakwa tidak
disumpah, berarti jika dia berbohong tidak melakukan delik sumpah palsu.Jika saksi berbohong dapat dikenai sumpah palsu. Jadi, bergantian menjadi saksi dari para
terdakwa berarti mereka didorong untuk bersumpah palsu, karena pasti akan meringankan temannya, karena dia sendiri juga ikut melakukan delik itu, atau cuci
tangan dan memberatkan terdakwa.
48
Dalam praktik pengadilan , secara substansial dikenal 2 dua macam gradasi daripada saksi mahkota, yaitu pertama, saksi mahkota adalah seorang petugas yang
sengaja menjalankan perintah atasannya untuk melakukan tindak pidana. Kedua, saksi mahkota adalah orang yang betul-betul sebagai pelaku tindak pidana. Apabila
saksi mahkota adalah seorang petugas yang disengaja, dasar pemberian “mahkotanya” merujuk pada ketentuan Pasal 51 ayat 1 KUHP sebagai alasan
pemaaf karena petugas tersebut melakukan perintah jabatan, sedangkan untuk saksi mahkota pelaku tindak pidana, pemberian “mahkotanya” berupa pembebasan dari
tuntutan berdasarkan asas oputunitas sehingga secara fundamental seharusnya
48
Ibid, hal 271.
Universitas Sumatera Utara
penyidik dan penuntut umum tidaklah mudah untuk mengajukan saksi mahkota ke depan sidang, karena harus seizin Jaksa Agung untuk mendeponir perkaranya.
49
Doktrin hukum yang menyatakan prinsip saksi mahkota itu, tidak boleh digunakan, karena melanggar hak asasi manusia.Terdakwa tidak bisa menggunakan
hak mungkir ingkar, karena terikat sumpahnya ketika menjadi saksi.Penggunaan saksi mahkota di pengadilan menurut Adi Andojo Soetjipto Kompas, 20 Mei 1995
sudah salah kaprah.
50
Terkait dengan ini, Mahkamah Agung meluruskan tentang hal ini. Di dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1174 KPid1994 tanggal 29 April
1995 dengan terdakwa Ny. Mutiari, SH dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1952 KPid1994 tanggal 29 April 1995 dengan terdakwa Bambang Wuryangtoyo, Widayat
dan Ahmad Sutiyono Prayogi dengan ketua majelis hakim agung Adi Andojo Soetjipto, SH telah memberi pertimbangan sebagai berikut: “Oleh karena Judex Facti
telah salah menerapkan hukum pembuktian, di mana saksi adalah para terdakwa dalam perkara dengan dakwaan yang sama yang dipecah-pecah adalah bertentangan
dengan hukum acara pidana yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, lagipula para terdakwa telah mencabut keterangannya di depan penyidik dan pencabutan tersebut
dan beralasan karena adanya tekanan fisik maupun psikis dapat dibuktikan secara nyata, di samping itu keterangan saksi-saksi lain yang diajukan ada persesuaian satu
sama lain. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka terdakwa dibebaskan.
51
49
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan permasalahannya, Alumni, Bandung, 2007, hal 180
50
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op Cit, hal 52
51
Ibid, hal 52
Universitas Sumatera Utara
Dengan adanya Yurisprudensi Nomor 1174 KPid1994 dan Nomor 1592 KPid 1994 tersebut, praktek saksi mahkota seharusnya diakhiri karena bertentangan
dengan hukum acara pidana.
C. Tata Cara Pemeriksaan Saksi