juga yang menamakan Tafsir al-Qur’an al-Adzim, oleh karena itu
Muhammad Ar-Rihani tidak mengetahui tentang penamaan-penamaan tafsir itu semua, dia hanya menulis dan menerjemahkan secara jelas
dan singkat dan di dalamnya Ar-Rihani mencantumkan sumber- sumber yang dipakai dalam menafsirkan tafsir ini.
7
B. Imam al-Ghaz}ali
1. Biografi Nama lengkap sang Imam adalah Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghaz}ali, yang lebih dikenal dengan panggilan
Hujjatul Islam Zainuddin al-Thusi, seorang al-faqih ahli fiqih yang bermazhabkan al Syafi’i. Orang orang yang datang
kemudian menyebut laqab, panggilan beliau yang sesungguhnya dari Abi
Hamid menjadi al-Ghaz}ali. Ada yang berpendapat, sebutan Ghazali
dinisbatkan pada suatu wilayah yang cukup terkenal di dataran Thusi.
8
Ada pula yang mengatakan dengan sebutan Ghazzala, menggunakan huruf
zain yang ditekan dua kali, yang itu disandarkan pada pensifatan atas diri beliau sebagai seorang yang berusaha unuk senantiasa menyucikan diri
dan melembutkan sanubari.
9
Hanya Allah yang maha mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Nama beliau pada akhirnya dikenal
7
Muhammad Ar-Rihani, Tafsir Imam al-Ghaz}ali, Darus Salam, Mesir, h. 20-21.
8
Wilayah Thusi berada di sebuah distrik provinsi Khurasan, salah satu wilayah di negeri persia, atau saat ini kita kenal dengan sebutan Iran.
Ihya Ulumuddin, Jilid I, h. Vii.
9
Kata Ghazalla sendiri bermakna dalam bahasa aslinya sebagai pemintal benang dan
penenun kain. Dan kakek beliau merupakan seorang pengusaha tenun terkemuka di wilayahnya dan menjadi tokoh panutan yang cukup disegani.
Ihya Ulumuddin, Jilid I, h. Vii.
dengan panggilan yang dibuat lebih mudah atau telah disepakati, yaitu al Imam al-Ghaz}ali.
Imam al-Ghaz}ali dilahirkan di kota Thusi, pada sekitar pertengahan abad ke 5 Hijrah 450 . Abu Hamid memiliki seorang ayah yang lembut
sanubarinya, sederhana pola hidupnya, pekerja keras, dan pedagang yang cukup sabar. Ayah sang Imam dikenal gemar menuntut ilmu ke banyak
ulama pada masa itu, sering mengikuti halaqah pengajian mereka, dan
gemar membantu kebutuhan sesama. Setiap pekan ayah sang Imam selalu menyempatkan diri mengunjungi kediaman para ulama, dari satu ulama
ke ulama lainya, agar bisa memetik pelajaran berharga dari sisi mereka. Tak jarang ayah sang Imam ini menitikkan air mata mendengarkan
tausiyah yang disampaikan oleh para ulama yang ia sedang datang ketika dalam menuntut ilmu. Pada suatu kesempatan karena didorong perasaan
ingin memiliki keturunan yang ingin menguasai ilmu agama, maka ayah sang Imam berdoa kepada Allah Swt dengan rasa bersungguh-sungguh,
agar dia berkenan memberinya keturunan putra yang memahami ilmu agama, dengan cara menggemari majlis yang di dalamnya dibacakan ilmu
oleh para ulama. Doa beliau pun dikabulkan oleh Allah dengan menganugerahi dua putra yang shalih, putra pertamanya diberi nama Abu
Hamid Muhammad, yang kedua saudara laki-laki dari Imam al-Ghaz}ali pun lahir, yang kemudian diberi nama Ahmad dengan nama aslinya Abu
Futuh Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad ath Thusi al- Ghaz}ali, dengan
laqab panggilan Majduddin.
Ibnu Khalkan dalam buku al-Wifayat mengatakan, “Pada periode
selanjutnya, Imam al-Ghaz}ali dipercaya menjadi salah satu pengajar di salah satu sekolah kenamaan, dimana sang adik juga menuntut ilmu di
sana.
10
Imam al-Ghaz}ali meninggal dunia pada hari senin, tanggal 14, bulan
Jumadil Akhir, tahun 505 Hijrah. Jenazah beliau dikebumikan di pemakaman
al-Thabiran. 2. Kehidupan Keilmuan Imam al-Ghaz}ali
Kehidupan sang Imam dan saudara kandungnya yaitu ahmad yang ahli tasawuf itu di kelilingi oleh kebersahajaan dan dihiasi kesederhanaan.
Wasiat dari mendiang sang ayah selalu dipegang oleh keduanya secara teguh, serta diwujudkan dalam takaran maksimal. Kegigihan keduanya
dalam menuntut ilmu menjadikan kehidupan ekonomi sang Imam berada pada tataran kurang terperhatikan. Keduanya lebih memprioritaskan
kebutuhan rohani berupa ilmu ketimbang makanan atau segala sesuatu yang bersifat kebendaan. Gemerlap perhiasan dunia sangat jauh dari
kehidupan kedua saudara sekandung itu. Hari-hari mereka senantiasa diisi hanya menuntut ilmu, pagi maupun petang. Sampai akhirnya kedua
pemuda yatim tersebut berhasil mengisi kebutuhan rohani mereka, sesuai harapan sang ayah, dalam kebersahajaan hidup. Sebagaimana kalimat
indah yang sempat dirangkai al-Ghaz}ali dalam menggambarkan perjalanan kehidupannya meniti ilmu, “Titian ilmu yang kami jalani
hanyalah apa yang dapat menyampaikan kami kehadirat Allah Swt.
10
Imam al-Ghaz}ali, Ihya Ulumuddin dalam terjemahan Ibnu Ibrahim Ba’adillah,
penerbit Republika, percetakan PT. Gramedia, Jakarta, h. Viii.
Dalam dekapan ridhanya, sesuai yang dititahkan oleh ayah kami.” Dengan kata lain, al-Ghaz}ali bersaudara itu menuntut ilmu berdasar pada
keyakinan, bahwa apa saja dari ilmu yang mereka tempuh pasti berdampak baik, dan akan membuahkan hasil yang baik pula bagi
kehidupan mereka, di dunia maupun di akhirat kelak.
11
3. Pemikiran dan Karya Imam al-Ghaz}ali Pemikiran al-Ghaz}ali yang penulis ambil atau kutip dari
Ihya Ulumuddin ada tiga pemikiran :
a. Al-Aqliyyah al-Syar’iyyah Pokok bahasan dari
al-Aqliyyah al-Syar’iyyah oleh Imam al- Ghaz}ali disarikan dalam hukum-hukum yang berkaitan dengan
persoalan fiqih dan ushulnya, yang itu dinukilkan dari sumber Islam terbesar yaitu al-Qur’an, hadis-hadis Rasulullah Saw, perkataan
sahabat Rasulullah, tabi’in, serta disarikan pula dari pendapat para Imam madzhab, ditambah pula dari perkataan para ahli fiqih, ulama
syari’ah, ulama hadis dan ta’wil. Meski demikian, kesemua itu tidak menyimpang dari keempat sandaran hukum pokok yang utama dalam
Islam, yaitu al-Qur’an, al Hadis, perkataan para sahabat, dan ijma para ulama.
b. Al-Aqliyyah al-Falsafiyyah Pokok bahasan dari ini oleh Imam al-Ghaz}ali disandarkan pada
kemampuan akal manusia untuk memahami, sebagai sarana yang telah
11
Imam al-Ghaz}ali, h. Ix.
Allah anugerahkan kepada setiap manusia yang mau menggunakan akal sesuai aturan dan petunjuknya. Sekaligus sebagai pembenar dan
saksi atas kebenaran aturan hidup yang disampaikan, yang itu bertujuan untuk memudahkan kita dalam menjalani hidup, serta
aturan yang diperintahkan Allah Swt di dalamnya. Penggunaan akal yang dimaksudkan di sini adalah metode berfikir yang dirancang
untuk tidak menyimpang dari fitrahnya yang suci, dengan menggunakan logika yang lurus dan cara-cara berfikir yang
shahih. c. Al-Aqliyyah al-Shufiyyah
Sedangkan pembahasan al-Aqliyyah al-Shufiyyah oleh Imam al- Ghaz}ali disandarkan untuk lebih mempersiapkan kepentingan urusan
akhirat, melalui cara-cara seperti bersikap zuhud terhadap urusan dunia, menyucikan diri dari segala bentuk urusan yang meragukan,
maupun usaha pembersihan jiwa dari kotoran yang sanggup melingkupinya. Di atas semua permasalahan tersebut, tujuan
utamanya adalah membersihkan qalbu melalui pendekatan diri secara langsung kepada Allah Swt.
12
Maupun karya-karyanya beliau adalah sebagai berikut :
1 Ihya Ulumuddin. 2 Tahafut al-Falasifah.
3 Al-Iqtishad fi al-I tiqad. 4 Al-Munqidz min al-Dhalal.
12
Ihya Ulumuddin, h. Xiv.
5 Jawahiru al-Qur’an. 6 Mizanu al-‘Amal.
7 Al-Maqshid al-Asna. 8 Al-Qisthath al-Mustaqim.
9 Al-Mustazhhiri. 10 Hujjatu al-Haq.
11 Musfilu al-Khilaf. 12 Kaimiyau al-Sa’adah.
13 Al-Basith. 14 Al-Wasith.
15 Al-Wajiz. 16 Al-Mustashfi.
17 Al-Mankhul. 18 Al-Muntakhal fi’Ilmi al-Jadal.
19 Al-Maqashid. 20 Misykatu al-Anwar.
21 Mi’yaru al-‘Ilmi. Kesimpulannya adalah bahwa sandaran aqidah yang sang Imam gunakan
bersumber dari keyakinan Ahlu Sunnah wal Jama’ah dan yang lebih penting lagi, semua yang beliau cantumkan merupakan amalan wajib bagi diri beliau sendiri,
dan amalan tersebut ia uraikan dalam bentuk tulisan. Beliau adalah seorang ahli tasawuf yang menjalankan serta menyaksikan sendiri keagungan hidup yang
berbalut kelembutan jiwa dalam sikap zuhud, tawakal, dan juga sifat yang lainnya.
4. Guru, Sahabat, dan Aktivitas Imam al-Ghaz}ali a. Guru al-Ghaz}ali
Imam al-Ghaz}ali memulai rangkaian menuntut ilmu pada masa kecil beliau di negeri sendiri, Thusi, yang kemudian dilanjutkan
dengan mengadakan perjalanan setelah ia lebih dewasa menuju wilayah bernama Jurjan.
13
Dan belajar dengan seorang guru bernama Abi Nashr al-Isma’ili, setelah selesai beliau kembali ke Thusi.
Sekembali dari Jurjan, al-Ghaz}ali menetap dan mengabdikan ilmu beliau di sana untuk beberapa waktu. Setelah itu, Imam al-Ghaz}ali
kembali berangkat untuk menuntut ilmu ke wilayah Naisabur,
14
guna mendalami ilmu fiqih dan mendalami bahasa Arab pada seorang guru
besar, yang pernah menjadi Imam Haramain, bernama Abal Ma’ali al- Juwaini.
Selama menuntut ilmu di sana, Abal Ma’ali al-Juwaini mendapati Imam al-Ghaz}ali sebagai seorang murid yang sangat cerdas, memiliki
potensi yang berkembang dengan sangat pesat, dan ketajaman berfikir yang sungguh luar biasa. Abal Ma’ali al-Juwaini merasa, bahwa Imam
al-Ghaz}ali adalah satu-satunya murid yang bisa beliau jadikan sebagai pengisi kekosongan ulama manakala dirinya nanti dipanggil oleh
Allah Swt. Di sana pula Imam al-Ghaz}ali meletakan dasar-dasar dimulainya diri beliau sebagai seorang penulis.
13
Jurjan adalah distrik yang terdekat dengan wilayah Thusi, Ihya Ulumuddin, h. Ix.
14
Naisabur saat ini adalah salah satu kota di negeri Iran, yang juga tempat kelahiran Imam Muslim, h. Ix.
Sedangkan beliau belajar ilmu tasawuf dengan seorang guru al- Imam Az-Zahid Abu Ali al-Fadil ibn Muhammad ibn Ali al-Farumdi
At-Thusi, lalu beliau belajar pula dengan Yusuf As-Sujaj.
15
Sedangkan dalam ilmu hadis beliau belajar dengan seorang guru yang bernama Abu Sahl Muhammad ibn Ahmad Ibn Abdillah al-
Haf’si, dan al-Hakim Abu al-Fath Nasr ibn Ali ibn Ahmad al-Hakimi at-Thusi.
16
b. Sahabat al-Ghazali Bersama sang Imam, ada pula beberapa tokoh yang belajar bersama
di Naisabur, dan sempat menjadi sahabat terbaik sang Imam. Di antara mereka itu adalah seorang ulama bernama al-Kayya al-Harras
meninggal dunia tahun 504 H. 1110 M. dan juga seorang ulama bernama Abu al-Muzhfar al-Khawwafi meninggal dunia tahun 500
H. 1106 M. . Abal Ma’alial-Juwaini sempat mensifati tiga sahabat tersebut dengan, al-Ghaz]ali sebagai
lautan yang tak bertepi, al-Kayya sebagai
singa yang terlatih, dan al-Khawwali sebagai api yang membara.
c. Aktivitas al-Ghazali Setelah guru sang Imam, yaitu Abal Ma’ali al-Juwaini meninggal
dunia, al-Ghaz}ali melanjutkan perjalanan keluar Naisabur menuju wilayah yang bernama al-‘Askar.
17
Untuk menemui pemuka negeri itu Nizham al-Mulk, dan menyampaikan pesan sang guru yaitu Abal
15
Muhammad Ar-Rihani, Tafsir Imam Al- Ghaz}ali, Darus Salam, mesir, h. 19.
16
Tafsir Imam al-Ghaz}ali, h. 20.
17
Al-‘Askar adalah salah satu wilayah di kota Bagdad, irak, Ihya Ulumuddin, Ibid, h.
X.
Ma’ali al-Juwaini. Di al-‘Askar, al-Ghaz}ali mendapat sambutan yang sangat hangat serta apresiasi yang luar biasa. Beliau dikenalkan
dengan para pemuka agama dan tokoh-tokoh utama lainya di sana. Imam al-Ghaz}ali kemudian dipercaya untuk mengajar di lembaga
pendidikan terkemuka di naungan pemuka negeri. Al-Ghaz}ali menetap dan mengajar di al-‘Askar sebagai guru besar untuk beberapa waktu.
Tugas mengajar itu ditinggalkan al-Ghaz}ali pada sekitar bulan Dzul Qa’dah tahun 488 H, karena beliau hendak melanjutkan perjalanan
menuju Makkah guna menunaikan rukun Islam yang kelima, yaitu ibadah haji. Sebelum itu Imam al-Ghaz]ali sempat menempuh jalan
zuhud dan meninggalkan hingar-bingar keramain dunia. Seusai menunaikan ibadah haji, Imam al-Ghaz}ali mengunjungi
wilayah Syam,
18
dan untuk sementara waktu menetap di kota Damsyiq Damaskus, hingga kembali ke kota asal beliau, Thusi.
Sesampainya di Thusi, al-Ghaz}ali sempat berbenah diri yaitu menata kembali hidup beliau.
18
Wilayah Syam saat ini bernama Syiria, Ihya Ulumuddin, h. xi.
28
BAB III
A. Pengertian Iman Menurut Bahasa dan Istilah