Iman Menurut Disiplin Ilmu Yang Lain

bahwa Allah telah menentukan segala sesuatu dalam azal, ya’ni sebelum menciptakan makhluk sudah ada ketentuan rencana yang akan terjadi pada makhluk, dan apa yang ditakdirkan pasti terjadi sedang yang tidak ditakdirkan tidak akan terjadi, dan Allah menjadikan kebalikannya, ya’ni : baik, buruk, sehat, sakit, manis, pahit, yang halal dan yang haram sebelum menjadikan alam semuanya, maka semua alam berlaku menurut ketentuan takdir dan putusan Allah semata-mata. 8

B. Iman Menurut Disiplin Ilmu Yang Lain

Imam Abu Hanifah tentang pengertian iman, beliau berkata bahwasanya iman itu iqrar pengakuan dan tashdiq pembenaran, dan kata beliau lagi, iman itu adalah iqrar dengan lisan dan tasdhiq dengan hati. Iqrar saja belum disebut iman. Bahkan beliau mengemukakan bahwasanya iman itu tidak bertambah dan tidak pula berkurang. 9 Menurut saya pendapat Imam Abu Hanifah bahwa iman itu tidak bertambah dan berkurang dan bahwa yang disebut iman itu adalah tashdiq dalam hati dan iqrar dalam lisan, sementara itu perbuatan amal tidak termasuk dalam pengertian iman, adapun masalah yang membedakan antara beliau dengan imam-imam Islam yang lain, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Ishaq, Imam Bukhari dan lain-lain. Maka yang benar adalah pendapat para imam itu sementara pendapat Imam Abu Hanifah 8 Salim Bahreisy, Irsyadul ‘Ibad Ilasabilirrasyad, Darussaggaf, Surabaya, h. 8-9. 9 Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais, Aqidah Empat Imam, cet. II : Muharram 1424 Maret 2003 M, PT. Megatama Sofwa Pressindo, h. 26-27. adalah tidak benar, namun dengan demikian beliu tetap mendapat pahala, baik hasil dari ijtihad beliau benar atau salah. Bahkan Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, al-Auza’i, Ishaq bin Rahawauh, dan segenap ulama ahli hadis serta ahlul madinah ulama madinah, semoga Allah merahmati mereka semua, dan demikian juga para pengikuT madzhab Zhahiriyyah dan sebagian ulama mutakallimin berpendapat bahwa definisi iman itu adalah pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Dan para ulama salaf menjadikan amal termasuk dalam unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagai mana amal dapat bertambah dan berkurang. 10 Bahkan juga Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, “Aku telah bertemu dengan lebih dari seribu orang ulama dari berbagai penjuru neegeri, aku tidak pernah melihat mereka berselisih bahwasanya iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang.” 11 Jadi iman itu berupa pembenaran hati artinya hati menerima semua ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu alaihi wa sallam. Pengakuan dengan lisan artinya mengucapkan dua kalimat syahadat, sedangkan perbuatan dengan anggota badan artinya amal hati yang berupa keyakinan-keyakinan dan beramal dengan anggota badan lainnya dengan melakukan ibadah-ibadah sesuai dengan kemampuannya. 10 Ensiklopedi Karya Syaikh Al-Bani, Defisi Iman, Posted on December 28, 2008 by Abu Mushlih. 11 Fathul Bari, I 60. Imam Malik tentang iman beliau berkata iman itu adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Bahkan Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Asyhab bin Abdul Aziz, katanya Imam Malik berkata : “Ketika umat islam shalat ke Baitul Maqdis selama enam belas bulan, mereka kemudian diperintahkan untuk menghadap ke Masjidil Haram pada waktu shalat. Kemudian turun ayat : ﻢﹸﻜﻧﺎﳝﹺﺇ ﻊﻴﻀﻴﻟ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻥﺎﹶﻛ ﺎﻣﻭ “Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kamu”. Maksud iman dalam ayat itu adalah shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis, kata Imam Malik lagi, menurut paham golongan Murji’ah shalat itu tidak termasuk iman. 12 Sedangkan pendapat Imam Syafi’i iman itu adalah ucapan, perbuatan, dan keyakinan i’tiqad di dalam hati. Tahukah kamu iman Allah: ﻢﹸﻜﻧﺎﳝﹺﺇ ﻊﻴﻀﻴﻟ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻥﺎﹶﻛ ﺎﻣﻭ “Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kamu”. 13 Maksud dari kata imanakum iman kamu adalah shalatmu ketika menghadap ke Baitul Maqdis. Allah menamakan shalat itu iman, dan shalat adalah ucapan, perbuatan, dan i’tiqad. 14 Bahkan dalam ayat di atas Allah telah menamakan shalat dengan iman, maka siapa kelak bertemu dengan 12 Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais, Aqidah Empat Imam, cet. II : Muharram 1424 Maret 2003 M, PT. Megatama Sofwa Pressindo, h. 45-47. 13 Q.S. al-Baqarah : 143. 14 Aqidah Empat Imam, h. 77-78. Allah dengan menjaga shalat-shalatnya, menjaga anggota badannya, mengerjakan dengan seluruh anggota badannya apa yang diperintahkan dan diwajibkan Allah Swt, maka ia bertemu dengan Allah dengan iman yang sempurna dan ia termasuk penghuni surga. Sebaliknya siapa yang anggota badanya dengan sengaja meninggalkan dengan perintah-perintah Allah, maka ia akan bertemu Allah dalam keadaan imannya berkurang. Begitulah penjelasan Imam Syafi’i tentang iman. 15 Imam Syafi’i mengatakan, sekiranya iman itu satu, tidak ada yang tambah dan kurang, maka tidak ada kelebihan apa-apa bagi seseorang dan semua manusia sama. Tetapi dengan sempurnanya iman orang mu’min akan masuk ke surga, dan dengan tambahnya iman pula orang mu’min akan memperoleh keunggulan tingkatan di dalam surga. Sebaliknya bagi orang-orang yang imanya kurang, mereka akan masuk neraka. Kemudian Allah akan mendahulukan orang beriman terlebih dahulu. Manusia akan memperoleh haknya berdasarkan kedahuluannya dalam beriman. Setiap orang akan memperoleh haknya, tidak dikurangi sedikitpun. Yang datang belakang tidak akan didahulukan, yang tidak mulia karena rendahnya iman tidak akan didahulukan dari pada yang mulia karena ketinggian iman. Itulah kelebihan orang-orang terdahulu dari ummat ini. Seandainya orang-orang yang beriman lebih dahulu itu tidak mempunyai kelebihan, niscaya akan sama nilainya orang yang beriman belakangan dengan orang-orang yang beriman lebih dulu. 16 15 Aqidah Empat Imam, h. 94-95 16 Aqidah Empat Imam, h. 97-98. Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Muhammad az-Zubairi, katanya, ada seorang bertanya kepada Imam Syafi’i, “Apakah amal yang paling utama? “Imam Syafi’i menjawab : “Yaitu sesuatu yang apabila hal itu tidak ada, maka semua amal tidak akan diterima.” “Apakah itu?”, tanya orang itu lagi. Dijawab oleh Imam Syafi’i, “Yaitu iman kepada Allah di mana tidak ada tuhan yang hak disembah selain dia. Iman adalah amal yang paling tinggi derajatnya, paling mulia kedudukanya, dan paling bagus buah yang dipetik darinya.” Orang tadi bertanya lagi : “Bukankah iman itu ucapan dan perbuatan, atau ucapan tanpa perbuatan?“ Imam Syafi’i menjawab : “Iman itu adalah perbuatan untuk Allah, dan ucapan adalah itu merupakan sebagian dari amal tersebut.” Ia bertanya lagi, “Saya belum paham bagaimana itu, coba jelaskan lagi.” Lalu Imam Syafi’i menjelaskan, “Iman itu memiliki tingkatan- tingkatan, ada iman yang sangat sempurna, ada iman yang berkurang yang jelas kekuranganya dan ada juga iman yang bertambah.” “Apakah iman itu ada yang tidak sempurna, berkurang dan bertambah?”, tanya orang itu. “Ya”, jawab Imam Syafi’i. “Apakah buktinya?”, tanyanya lagi. Imam Syafi’i menjawab, “Allah telah mewajibkan iman atas anggota-anggota badan manusia. Allah membagi iman itu atas semua anggota badan. Tidak ada satupun anggota badan manusia kecuali telah diserahi iman secara berbeda- beda. Semua itu berdasarkan kewajiban yang ditetapkan Allah Swt. 17 17 Aqidah Empat Imam, h.78-90. Oleh karena itu dalam karyanya al-Tawhid, al-Maturidi 18 menguraikan bahwa pendapat yang benar mengenai keimanan ialah bahwa ia merupakan sesuatu yang tersimpan dalam hati. Pengertian ini ia dasari dengan dua argumen, pertama, berdasarkan penjelasan syara : 1. Maka sebuah ayat yang menerangkan orang munafik ialah “orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka : “Kami telah beriman”, padahal hati mereka belum beriman”. 19 2. Firman Allah Swt, ketika seorang suku badui Arab mengaku telah beriman : “Katakanlah kepada mereka : ‘Kamu belum beriman,’ tetapi katakanlah : ‘kami telah tunduk,’ karena iman itu belum masuk ke hatimu”. 20 Dari kedua ayat al-Qur’an di atas, terlihat jelas bahwa hakikat iman berada di dalam hati. Seandainya iman adalah bahasa lisan, tentu ketika badui menyatakan keimanannya akan dibenarkan, tapi ternyata hal itu disangkal. 21 Lalu yang kedua, berdasarkan pendekatan nalar aqli. Keimanan sebagai dasar agama mengharuskan kesinambungan antara nalar dan nurani, namun demikian, beriman dalam arti menyakini kebenaran syari’at yang dibawa Nabi Saw adalah sesuatu yang bersifat qalbiyyah dan esoteris batin yang 18 Nama lengkapnya ialah Abu Manshur Muhammad ibn Mahmud al-Hanafi al- Mutakallim al-Maturidi al-Samarqandi wafat, Samarkand, 333 H 944 M. Ia seorang mutakallim ahli ilmu kalam teolog muslim yang banyak menghasilkan pemikiran mengenai masalah kalam. Pemikiranya banyak dianut olehkaum muslim yang dikenal dengan aliran al- Maturidiyyah, aliran ini termasuk ke dalam kelompok Ahlussunnah wal Jamaah. Abu Manshur belajar ilmu pengetahuan pada paru kedua abad ke 3 H. Pada saat itu terjadi pertentangan hebat antara golongan Muktazilah dan para ulama karena pendapat Muktazilah dianggap menyesatkan umat islam. Al-Maturidi bermadzhab Hanafi. Ensiklopedi Islam, pen. PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, vol. III, 1999, h. 206. 19 Q.S. al-Maidah : 41. 20 Q.S. al-Hujurat : 14. 21 Tim Saluran Teologi Lirboyo 2005, Akidah Kaum Sarungan, Tamatan Aliyah Lirboyo Angkatan 2005, h. 181. tidak dapat diketahui oleh sarana lahir. Maka untuk mengetahuinya diperlukan sarana yang membuatnya dapat dijangkau, hal itu adalah mengucapkan kalimat syahadat yang kemudian dilanjutkan dengan pengamalan ajaran islam. Kesempurnaan iman seseorang diukur melalui keteguhan hati, ucapan, dan amal perbuatan yang sesuai dengan ajaran yang disampaikan Nabi Saw. Perbedaan dalam memandang tiga komponen keimanan yaitu pembenaran dengan hati, ungkapan dengan lisan, pembuktian dengan pengamalan, maka dari tiga tersebut berakibat pada perbedaan dalam memandang keselamatan seseorang di akhirat, maka al-Ghaz}ali menjelaskan secara baik dengan penjelasan bertingkat : 22 1. Orang yang melakukan seluruh pilar keimanan , semua ulama sepakat bahwa di akhirat kelak ia akan memperoleh surga. 2. Seseorang yang membenarkan dengan hati dan mengucapkan dengan lisan, namun hanya menjalankan sebagai perintah agama dan hanya menjauhi sebagian laranganya. Menurut Muktazilah, jika dia melakukan dosa besar berati ia telah keluar dari keimanannya, berada di antara mukmin dan kafir. Bukan golongan beriman juga bukan golongan kafir. Di akhirat kelak ia berada di tengah-tengah antara dua posisi manzilah banyn manzilatain. Tetapi menurut Ahlussunnah wal Jamaah, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada Allah Swt. Manusia tidak mempunyai hak untuk menentukan. 22 Abu Hamid Muhammad al-Ghaz}ali, Qawaid al-Aqaid, h. 231-250. 3. Golongan yang membenarkan dalam hati dan bersaksi dengan lisan, akan tetapi sama sekali tidak menjalankan perintah agama. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Abu Thalib al-Makki mengatakan bahwa amal perbuatan termasuk syarat iman. Pendapat Abu Thalib dilandasi oleh ayat al-Quran surat al-Buruj : ﻢﻬﹶﻟ ﺕﺎﺤﻟﺎﺼﻟﺍ ﺍﻮﹸﻠﻤﻋﻭ ﺍﻮﻨﻣَﺁ ﻦﻳﺬﱠﻟﺍ ﺭﺎﻬﻧﹶﺄﹾﻟﺍ ﺎﻬﺘﺤﺗ ﻦﻣ ﻱﹺﺮﺠﺗ ﺕﺎﻨﺟ ﻚﻟﹶﺫ ﺯﻮﹶﻔﹾﻟﺍ ﲑﹺﺒﹶﻜﹾﻟﺍ “Orang-orang beriman dan beramal kebaikan bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, itulah keberuntungan yang besar”. 23 Al-Ghaz}ali justru berkomentar, bahwa ayat ini justru menunjukkan perbedaan iman dan amal saleh. Dalam ayat ini iman dan amal diposisikan dalam karangka makna yang berbeda, pendapat yang lain menyatakan, bahwa amal perbuatan bukan bagian integral dari iman, melainkan penyempurna saja. Artinya, seseorang yang beriman tetapi tidak beramal, keputusannya kembali kepada kebijakan Allah Swt di akhirat kelak. Sebab, menurut pendapat ini, jika amal dikategorikan sebagai bagian integral dari iman, tentu seseorang yang tidak beramal dinilai sebagai orang kafir, dan pelakunya berada di neraka selama- lamanya. Padahal orang berpendapat sebagaimana pandangan pertama tidak mengatakan demikian. Pendapat yang disebut belakangan adalah pandangan mayoritas ulama Ahlussunnah. 4. Orang yang membenarkan dalam hati, namun sebelum sempat mengakui dengan ucapan ia terlebih dahulu meninggal dunia. Menurut Ahlussunnah 23 Q.S. al-Buruj : 11. wal Jamaah, dia mati dalam keadaan beriman di sisi Allah Swt, berdasarkan firman Allah Swt dalam hadis qudsinya : “ Akan keluar dari neraka seseorang yang dalam hatinya masih tersimpan iman meski seberat semut”. Sementara kelompok kedua mengatakan, bahwa ia bukan termasuk orang beriman dan akan kekal selamanya di neraka. Mereka berpandangan bahwa pengakuan dengan ucapan merupakan syarat mutlak bagi keimanan seseorang. 5. Orang yang membenarkan, tetapi menunda pengucapan syahadat. Padahal dia tahu bahwasanya adalah syarat sesorang dapat disebut seorang muslim, maka orang sperti ini menurut Ahlussunnah wal Jamaah disamakan dengan orang yang meninggalkan sholat. Di akhirat akan mendapatkan siksa walaupun tidak selamanya. Sedangkan Murji’ah 24 berpandangan bahwa orang seperti itu tidak akan masuk neraka, tapi dipastikan masuk surga. Pendapat ini berbeda dengan pandangan mayoritas umat Islam. 6. Seseorang yang mengucapkan syahadat, namun sebenarnya hatinya mengingkari. Orang yang melakukan tindakan ini diancam dengan neraka, karena sebenarnya ia tergolong orang kafir. Jadi walaupun selama hidupnya ia diakui sebagai seorang muslim, karena telah mengucapkan dua kalimat syahadat, namun di akhirat kelak ia akan kekal di jurang jahannam. Orang yang memiliki karakteristik semacam ini dikenal 24 Mereka adalah sebuah golongan yang berpendapat bahwa perbuatan durhaka ma’shiyah tidak memberi pengaruh apapun apabila seseorang beriman, sebagaimana ketaatan tidak berguna bila yang melakukan adalah orang kafir. Baca Syarif ‘Ali bin Muhammad al- Jurjani, al-Ta’rifat, Dar al-Kitab al-Ilmiyah, Beirut, h. 208. sebagai orang munafik, yakni seseorang yang menggunakan ungkapan syahadat untuk memperoleh keamanan duniawi semata.

C. Urgensi Iman Pada periode awal salaf umat islam, ulama mendefinisikan iman sebagai