Iman dalam perspektif tafsir imam al-ghazali

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ushuluddin

Universitas Islam Negeri

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Oleh:

ACHMAD DAILAMI NIM: 208034000007

JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

iii

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah.

Ciputat, 10 Mei 2012


(5)

iv

amat kokoh apabila seorang muslim memegangnya. Dengan keimanan hidup seorang muslim akan tentram dan damai, dan itu semua akan ada dampaknya ketika seorang muslim berada di dalam mua>malah keseharian. Karena apabila seorang muslim sudah benar-benar memegang teguh keimanannya maka, syari’at dan akhlak akan mengikutinya. Sehingga keberadaan seorang muslim tersebut akan dianggap apabila ia telah memiliki keimanan yang tegak dan kuat, sehingga keberadaan seorang muslim tersebut dapat menjadi tauladan di dalam kehidupan sehari-hari.

Iman itu merupakan pembenaran di dalam hati, menerima semua ajaran yang dibawa Rasulullah Saw yaitu dengan mengakui melalui lisan yakni mengucapkan dua kalimat syahadat, sedangkan perbuatan dengan anggota badan yakni amal hati yang berupa keyakinan-keyakinan dan beramal dengan anggota badan lainnya dengan melakukan ibadah-ibadah sesuai kemampuannya.


(6)

v

penulis masih diberikan kesehatan iman, islam, sehat badan sehingga penyusunan skeripsi yang berjudul “Tafsir Ima>m al-Ghaz}a>li>” ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw, yang telah mengangkat manusia dari lembah kesesatan aqidah menapaki terangnya Islam. Kepada sahabat-sahabatnya, ahlu baitnya, dan para tabiin, penulis sampaikan sebaik-baiknya salam.

Skripsi ini tidak akan bisa tuntas tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dukungan dan konstribusi dari banyak pihak. Oleh Karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, M.A., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Zainun Kamal, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Lilik Ummi Kalsum, M.A. selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.

2. Drs, Rifki Muchtar, MA. yang telah banyak membantu perkulihan penulis dari mulai awal masuk hingga akhir dan telah mendorong penulis agar cepat menyelesaikan skripsi ini. Dan sekaligus menjadi dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingannya, sehingga memudahkan penulis dalam


(7)

vi

pengetahuan, bimbingan, wawasan, dan pengalaman yang mendorong penulis selama menempuh studi. Seluruh staf Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Seluruh teman-teman Jurusan Tafsir Hadis yang telah bersama-sama berjuang dan berbagi dalam mencari pengetahuan dan pengalaman, khusus temen-temen ekstensi yang selalu ada dalam suka dan duka (Moh. Hidayat, Nazar, Hayat, Abdullah Said, dan yang lain).

6. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan FU UIN Syarif Hidayatullah serta Pusat Studi al-Qur’an (PSQ).

7. Kepada kedua orang tua penulis khususnya kepada ibunda tercinta yang dengan ketulusan dan kasih sayangnya senantiasa memotivasi, memberikan semangat, dan mendoakan anak-anaknya tanpa rasa bosan agar menjadi manusia yang bermanfaat dan berharga.

Akhirnya penulis pun menyadari dengan wawasan keilmuan penulis yang masih sedikit, referensi dan rujukan-rujukan lain yang belum terbaca, menjadikan penulisan skripsi ini jauh dari sempurna, Namun, penulis telah berupaya menyelesaikan skripsi ini dengan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan penulis sebagai manusia. Oleh karena itu, penulis meminta saran


(8)

vii

Semoga skripsi ini memberikan tambahan khazanah Islam dalam bidang tafsir khususnya tentang Iman.

Ciputat, 10 Mei 2012


(9)

viii Huruf

Arab

Nama Huruf Latin Nama

Alif ba’ ta’ sa’ jim ha’ kha dal zal ra’ zai sin syin sad dad ta - \b t th j h} kh d dh r z s sh s} d} t} Tidak dilambangkan be te th je

ha (dengan titik di bawah) ka dan ha

de dh er zet

es es dan ha

es (dengan titik dibawah) de (dengan titik di bawah)


(10)

ix fa qaf kaf lam mim nun waw ha’ hamzah ya f q k l m n w h , Y ef qi ka ‘el ‘em ‘en w ha Accent grave Ye

Konsonan Rangkap karena Syaddah ditulis Rangkap

ﺓﺩﺪﻌﺘﻣ ﺓﺪﻋ ditulis ditulis Muta’addidah ‘iddah


(11)

x ﺔﻤﻜﺣ

ﺔﻠﻋ

ditulis ditulis

H{ikmah ‘illah

(Ketentuan ini tidak diperlukan bagi kata-kata Arab yang sudah terserap dalam bahasa Indonesia, seperti salat, zakat, dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya).

Bila diikuti dengan kata sandang ‘al’ serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis dengan h.

ﺔﻣﺍﺮﻛ ﺀﺎﻴﻟﺅﻻﺍ

ﺓﺎﻛﺯ ﺮﻄﻔﻟﺍ

Ditulis Ditulis

Karamah al-auliya’ Zakah al-fitri

Vokal Pendek َ

ﻞﻌﻓ

Fathah ditulis

ditulis

A


(12)

xi ٌ

ﺐﻫﺬﻳ

ditulis yadhhabu

Vokal Panjang

1

2

3

4

Fathah + Alif

ﺔﻴﻠﻫﺎﺟ

Fathah + ya’ mati

ﻰﺴﻨﺗ

Kasrah + ya’ mati

ﱘﺮﻛ

Dammah + wawu mati

ﺽﻭﺮﻓ

Ditulis Ditulis Ditulis Ditulis Ditulis Ditulis Ditulis Ditulis

a Ja>hiliyyah

a> tansa>

i> kari>m

u> furu>d


(13)

xii

2

ﻢﻜﻨﻴﺑ

Fathah + wawu mati

ﻝﻮﻗ

Ditulis Ditulis Ditulis

Bainakum Au qaul

Vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata dipisahkan dengan apostrof ﻢﺘﻧﺃﺃ

ﺕﺪﻋﺃ ﻦﺌﻟ ﰎﺮﻜﺷ

Ditulis Ditulis Ditulis

a’antum u’iddat la’in syakartum

Kata Sandang Alif + Lam

Alif lam ta’rif (لا) dalam lafaz atau kalimat, baik yang bersambung dengan huruf

qamariyyah maupun syamsiyyah ditulis dengan huruf kecil (al), dan diikuti dengan kata penghubung “-“. Namun, jika terletak di awal kalimat, maka ia ditulis dengan huruf besar (Al). Contoh:

1.“al” ditulis dengan huruf kecil

- al-Qur’an = seperti, “sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an.” - al-Baihaqi = seperti, “menurut al-Baihaqi, bahwasanya…”


(14)

xiii ﻥﺃﺮﻘﻟﺍ

ﺱﺎﻴﻘﻟﺍ

ﺀﺎﻤﺴﻟﺍ

ﺲﻤﺸﻟﺍ

Ditulis Ditulis Ditulis Ditulis

Al-Qur’an Al-Qiya>s Al-Sama> Al-Syams

Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat

Ditulis menurut penulisannya

ﻱﻭﺫ ﺽﻭﺮﻔﻟﺍ

ﻞﻫﺍ ﺔﻨﺴﻟﺍ

Ditulis Ditulis

Zawi al-Furu>d Ahl al-Sunnah

Singkatan

Swt = Subh}a>nahu wa ta’a>la> H = Hijriyah

As = ‘Alaih al-Sala>m ra = Rad}iya Alla>h ‘anhu

M = Masehi W = Wafat


(15)

xiv

- Transliterasi ta’ marbu>t}ah adalah “h”

- Untuk terjemahan ayat al-Qur’an, penulis mengutip Terjemah digital yang dibuat oleh Mohamad Taufiq.


(16)

xv

ABSTRAK ii

KATA PENGANTAR iii

PEDOMAN PENULISAN TRANSLITERASI vi

DAFTAR ISI xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………..1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……….9

C. Tujuan Penelitian………10

D. Manfaat Penelitian………..11

E. Tinjauan Kepustakaan………11

F. Metodologi Penelitian……….13

G. Sistematika Penulisan……….14

BAB II Profil Tafsir Ima>m Al-Ghaz}a>li> dan Pengarangnya A. Tafsir Ima>m Al-Ghaz}a>li> 1. Metode Tafsir……….15

2. Data Filologis……….17

3. Sistematika Penulisan……….18


(17)

xvi

3. Pemikiran dan Karya Ima>m Al-Ghaz}a>li>……….22

4. Guru, Sahabat, dan Aktivitas Ima>m Al-Ghaz}a>li>………25

BAB III PENGERTIAN IMAN A. Iman Menurut Bahasa dan Istilah……….28

B. Iman Menurut Disiplin Ilmu Yang Lain………...32

C. Urgensi Iman……….40

D. Ciri-ciri Orang Beriman………42

BAB IV Iman Dalam Perspektif Al-Ghaz}a>li> A. Surat al-Baqarah : 177………...47

a. Abu Bakar Jabi>r al-Jaza>iri...55

b. Ahmad Mustafa> al-Mara>gi>...57

c. Hamka...59

d. M. Quraish Shihab...61

e. Syekh M. Mutawalli Sya’ra>wi>...64

f. Sayyid Quthb...65

B. Surat Ibra>hi>m : 27……….69

a. al-Misba>h...70


(18)

xvii

D. Analisis...76

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………78

B. Saran-saran……….. ………...79


(19)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Iman kepada Allah Swt adalah kalimat yang sudah tidak asing lagi ditelinga, namun dengan demikian, apakah yang sebenarnya yang dimaksudkan iman kepada Allah Swt?. Beriman kepada Allah Swt adalah membenarkan dengan yakin tentang adanya Allah Swt, membenarkan dengan yakin atas keesaanNya, baik dalam perbuatanNya menciptakan alam dan makhluk seluruhnya, maupun dalam menerima ibadah segenap makhlukNya, kemudian membenarkan dengan yakin, bahwa Allah memiliki sifat sempurna, suci dari pada sifat kekurangan dan suci pula dari segala menyerupai yang baru (makhluk). Sebuah pembenaran yang terealisir dalam hati, lisan, dan amal perbuatan.

Beriman kepada Allah Swt berarti meninggalkan segala bentuk penghambaan, bersandar, dan menyembah selain Allah Swt. Segala bentuk aktivitas kehidupan, baik bersifat lahir maupun batin, jasmani maupun rohani, semuanya hanya untuk beribadah kepada Allah Swt, untuk mendapatkan ridho dan rahmat Allah Swt.

Firman Allah Swt :

ﻪﻟﻮﺳﺭ ﻰﹶﻠﻋ ﹶﻝﺰﻧ ﻱﺬﱠﻟﺍ ﹺﺏﺎﺘﻜﹾﻟﺍﻭ ﻪﻟﻮﺳﺭﻭ ﻪﱠﻠﻟﺎﹺﺑ ﺍﻮﻨﻣَﺁ ﺍﻮﻨﻣَﺁ ﻦﻳﺬﱠﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃ ﺎﻳ

ﻪﺘﹶﻜﺋﺎﹶﻠﻣﻭ ﻪﱠﻠﻟﺎﹺﺑ ﺮﹸﻔﹾﻜﻳ ﻦﻣﻭ ﹸﻞﺒﹶﻗ ﻦﻣ ﹶﻝﺰﻧﹶﺃ ﻱﺬﱠﻟﺍ ﹺﺏﺎﺘﻜﹾﻟﺍﻭ

ﻪﻠﺳﺭﻭ ﻪﹺﺒﺘﹸﻛﻭ


(20)

“Wahai orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasulnya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasulnya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikatnya, kitab-kitabnya, rasul-rasulnya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya”.1

Menurut pandangan Islam, dalam diri manusia terdapat beberapa unsur yang diistimewakan Allah Swt, yaitu terkait dengan keimanan. Sayangnya, hal itu tidak mendapat perhatian yang semestinya, sering dilupakan bahwa perilaku keislaman harus didasari oleh keimanan yang teguh. Islam merupakan perbuatan lahir yang harus berdasarkan keyakinan dan keimanan yang kuat, fitroh manusia mendorongnya untuk berbuat sesuatu berdasarkan dorongan hati nurani dan dorongan manusiawi lainya. Karenanya, tindakan manusia yang tidak memiliki motivasi yang benar pada akhirnya, hanya akan melahirkan dampak buruk. Berpijak dari hal ini, sudah seharusnyalah iman menjadi landasan seluruh tingkah laku seorang muslim untuk mencapai kualitas hamba yang bertaqwa dalam ke hidupan masyarakat sehari-hari. Tertanamnya keimanan dalam hati akan melahirkan suatu tata nilai ketuhanan (rabbaniyyah) yaitu tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Allah Swt dan hanya menuju kepadanya. Tata nilai ketuhanan itu akan bisa digapai melalui tumbuhnya keyakinan dalam hati tentang kemaha tunggalan Allah Swt. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dialah penguasa segala yang ada, dan Dia pula pengatur semua ciptaan-Nya. Dengan demikian, prinsip pengesaan Tuhan (tawhi>d) adalah inti dan dasar ajaran Islam.2

1Q.S. An-Niss>a : 136.

2Tim Saluran Teologi Lirboyo 2005, Akidah Kaum Sarungan, Tamatan Aliyah Lirboyo Angkatan 2005, h. 184.


(21)

Di samping itu, agama Islam juga mengajarkan kepada umat manusia untuk selalu berserah diri dengan sepenuh hati, tulus dan pasrah kepada Allah Swt. Sikap berserah diri ini merupakan buah yang dihasilkan dari pengakuan atas kemahatunggalan dan kemahakuasaan-Nya. Jadi, jika pengakuan atas Keesaan Allah Swt adalah inti ajaran Islam, maka sikap pasrah adalah pengejawantahan dari pengakuan tersebut, sikap pasrah yang diwujudkan dengan pengamalan Islam yang dibawa oleh Nabi Saw. Dalam kehidupan sehari-hari. Inilah prinsip keimanan yang sejati.3

Iman sendiri merupakan landasan pokok bagi terbentuknya keislaman. Antara iman dan Islam bagaikan satu bangunan yang saling memperkuat satu sama lain. Iman tidak ada artinya tanpa amal shalih, dan amal shalih tidak akan sia-sia jika tidak dilandasi keimanan. Oleh karena itu, dapat dikatakan setiap muslim pasti mukmin dan setiap mukmin pasti muslim. Logikanya, orang yang percaya tentang kenabian Muhammad Saw. Tentu tunduk dan patuh pada pesan-pesan syari’atnya. Begitu pula orang yang patuh terhadapnya pasti didasari keyakinan dan kepercayaan atas kebenaran ajaran yang dibawanya. Dapat dikatakan, bahwa iman adalah perbuatan batin (akidah), sementara Islam adalah perbuatan lahirnya.

Secara teologis ulama berbeda pandangan dalam memaknai Islam. Penulis Syarh Aqi>dah al-Thahawiyyah, mencatat tiga pengertian Islam menurut pandangan beberapa mutakallim yang berbeda :

1. Kelompok yang menganggap Islam sebagai sebuah sebutan.

3Tim Saluran Teologi Lirboyo 2005, Akidah Kaum Sarungan, Tamatan Aliyah Lirboyo


(22)

2. Aliran yang menggambarkan Islam sebagaimana keterangan hadis, ketika Nabi Saw, ditanya tentang makna Iman dan Islam, beliau menafsirkan Islam dengan lima perbuatan lahir yang merupakan pilar ajaran Islam. 3. Golongan yang menyamakan antara Iman dan Islam . pendapat ketiga ini

juga merujuk pada hadis yang menerangkan bahwa Islam adalah persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah Swt.4 Mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu melaksanakannya.

Masing-masing kelompok mendasarkan pandangan mereka pada hadis-hadis Nabi Saw. Beberapa hadis-hadis yang nampak bertentangan, kemudian ditafsirkan secara berlainan oleh beberapa kelompok berbeda, sehingga melahirkan definisi yang berbeda pula. Namun setelah diteliti lebih dalam, ternyata tidak ada perbedaan mendasar dari masing-masing pendapat. Penulis Syarh Aqi>dah al-Thahawiyyah berkesimpulan bahwa ketiga definisi di atas memilki titik temu, yakni bila dua kata, iman dan Islam, terkumpul (disebut bersamaan) keduanya memiliki pengertian yang berbeda; sebuah perbedaan yang terjadi hanya dalam tingkat pengertian (definisi), bukan merupakan perbedaan substantif; makna keduanya justru saling melengkapi. Namun bila keduanya disebutkan secara terpisah, masing-masing justru menunjuk pada pengertian yang sama (muradif).5 Makna lain dari Islam adalah bahwa ia bernama agama (al-adi>n) yang diridhai Allah Swt. Sebagaimana dalam

4Hadis tersebut diriwayatkan oleh Muslim dari Umar ra. Lihat : dalam Yahya bin Syaraf al-Di>n al-Nawa>wi>, Syarah al-Arba’i>n al-Nawa>wi>, al-Hidayah, Surabaya, h. 16.

5Zaynudian Abi Faraj Abdurahman ibn Syihabuddin al-Bahgdadi ( Ibnu Rajab ), Jami’ al-Ulu>m wa al-Hika>m, Muassasah al-Risa>lah, vol. I, h. 108.


(23)

Qur’an. Dalam hal ini, nampak perbedaan pengertian dan makna antara Iman dan Islam.

Yang kemudian diperdebatkan adalah apakah Iman cukup diyakini dalam hati, harus diucapkan, atau bahkan harus dibuktikan secara lahir dalam bentuk perbuatan. Lalu apa hubungannya dengan Islam, apakah keimanan cukup tertanam dalam hati, sementara keislaman berbentuk perbuatan lahir. Ketika menjawab pertanyaan ini, kalangan mutakallimin (teolog) berbeda pendapat.

Oleh karena itu iman sebagai landasan hidup seseorang merupakan suatu benteng jiwa dan perisai hati dari segala bentuk kemusyrikan dan kemunafikan. Nah dari iman yang benar inilah akan tumbuh jiwa pengabdian yang tulus kepada maha pencipta dalam bentuk ibadat serta melaksanakan semua perintah dan mencegah atas segala apa yang dilarangnya. Pengertian iman yang benar tidak saja cukup dengan ucapan lisan, melainkan pengakuan hati dan ungkapan laku perbuatan juga menjadi suatu ukuran. Oleh karena itu perpaduan antara ucapan lisan, pengakuan hati, dan pembuktian melalui amal perbuatan merupakan suatu bukti kebenaran iman seseorang. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt :

ﹶﻥﻮﹸﻘﻔﻨﻳ ﻢﻫﺎﻨﹾﻗﺯﺭ ﺎﻤﻣﻭ ﹶﺓﺎﹶﻠﺼﻟﺍ ﹶﻥﻮﻤﻴﻘﻳﻭ ﹺﺐﻴﻐﹾﻟﺎﹺﺑ ﹶﻥﻮﻨﻣﺆﻳ ﻦﻳﺬﱠﻟﺍ

“Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, menafkahkan sebagian rizqi yang Kami anugrahkan kepada mereka”.6


(24)

Ayat ini merupakan keterangan yang nyata kadar dan nilai iman seseorang bahkan berdasarkan ayat ini pula kita dapat mengatakan palsulah iman seseorang yang hanya diucapkan lisanya saja tanpa pengakuan hati dan membuktikanya dengan amal perbuatan.

Maka oleh karena itu, bagi seorang mukmin sedikitnya tujuh belas kali dalam sehari semalam menyatakan pengakuan di hadapan Tuhanya, bahwasanya semua apa yang ada dan terjadi pada dirinya semata-mata adalah kepada Allah jua kembalinya. Inilah arti yang terkandung dalam doa iftitaahush shalaah :

ﻲﻜﺴﻧﻭ ﻲﺗﺎﹶﻠﺻ ﱠﻥﹺﺇ

ﲔﻤﹶﻟﺎﻌﹾﻟﺍ ﺏﺭ ﻪﱠﻠﻟ ﻲﺗﺎﻤﻣﻭ ﻱﺎﻴﺤﻣﻭ

“Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku, matiku hanyalah bagi Allah semata-mata”.

Dari pengakuan inilah terpancar sikap jiwa yang teguh dan tulus, perangai luhur dan akhlak terpuji yang tidak hanya mementingkan diri sendiri, penuh rasa kasih sayang sesamanya rela berkorban untuk menegakkan kebenaran. Pribadi-pribadi yang demikian inilah yang sangat diharapkan dalam islam, mereka pulalah yang sangat dinantikan oleh suatu masyarakat maupun bangsa dalam mencapai tujuan dan cita-cita perjuangannya.

Menyadari bahwa dalam kenyataan hidup sehari-hari banyak di jumpai keadaan yang mencemaskan, mana tidak sedikit saudara-saudara yang hidup dalam kepapaan dan kemiskinan, padahal di antara mereka terdapat pula orang-orang yang hidup serba berkecukupan, bergemilang, dan kemewahan.


(25)

Ketimpangan dalam kehidupan inilah yang merupakan batu ujian bagi seseorang yang mengaku dirinya beriman, sejauh mana mereka mengambil bagian dalam menyelamatkan saudara-saudaranya dari bencana dan malapetaka yang ditimbulkan dari kemiskinan dan kepapaan hidup ini.

Maka timbullah pertanyaan, sudahkah mereka melaksanakan amanat Allah yang diberikan kepadanya, baik yang berwujud harta kekayaan, tenaga maupun fikiran?

Firman Allah Swt :

ﱠﻥﹺﺇ ﺍﻮﻨِﺴﺣﹶﺃﻭ ﺔﹶﻜﹸﻠﻬﺘﻟﺍ ﻰﹶﻟﹺﺇ ﻢﹸﻜﻳﺪﻳﹶﺄﹺﺑ ﺍﻮﹸﻘﹾﻠﺗ ﺎﹶﻟﻭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹺﻞﻴﹺﺒﺳ ﻲﻓ ﺍﻮﹸﻘﻔﻧﹶﺃﻭ

ﲔﹺﻨِﺴﺤﻤﹾﻟﺍ ﺐﺤﻳ ﻪﱠﻠﻟﺍ

“Dan belanjakanlah harta bendamu di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinisaan dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.7 Dalam ayat lain dinyatakan pula :

ﻦﻣﻭ

ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺓﺎﺿﺮﻣ َﺀﺎﻐﺘﺑﺍ ﻪﺴﹾﻔﻧ ﻱﹺﺮﺸﻳ ﻦﻣ ﹺﺱﺎﻨﻟﺍ

ﺩﺎﺒﻌﹾﻟﺎﹺﺑ ﻑﻭُﺀﺭ ﻪﱠﻠﻟﺍﻭ

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhoan Allah Swt, dan Allah maha penyantun kepada hamba-hambanya”.8

Maka dengan merenungi kandungan ayat-ayat tadi, marilah buktikan kebenaran iman, yakni memadukan ucapan lisan yang juga membenarkan dalam hati dengan mengembuktikanya melalui amal perbuatan yang nyata.

7Q.S. al-Baqarah : 195. 8


(26)

Marilah sama-sama menggunakan kesempatan yang ada, baik harta kekayaan, tenaga, fikiran, dan umur untuk merlomba-lomba membuat kebaikan dan kebajikan, membantu saudara-saudara yang memerlukan, menolong mereka yang nyaris terjerumus ke dalam jurang kekafiran.

Berangkat dari banyaknya penjelasan di atas, penulis menganalisis bahwasannya prilaku manusia pada zaman sekarang sudah tidak lagi mengedepankan keimanannya, jadi mereka mengedepankan hawa nafsunya saja, sehingga banyak terjadi perbuatan kemaksiatan yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Disadari atau tidak, keimanan mayoritas manusia bahkan hampir semua orang kecuali orang-orang khusus masih dalam derajat taqlid. Karena mereka percaya atas Wujud Allah, sifat-sifatNya, dan pekerjaanNya sebatas hasil informasi dari guru-gurunya atau kefanatikannya terhadap orang-orang yang menginformasikan. Iman model ini sebenarnya masih diperselisihkan keabsahannya, bahkan ada yang mengatakan belum bisa dikategorikan beriman (masih dalam kekufuran). Diantaranya mereka memang ada yang sudah mampu mengeluarkan dalil-dalil keimanannya, namun masih belum mampu keluar dari belenggu taqlid. Sebab mereka beriman bukan atas dasar memahami dalil, melainkan paham dalil setelah beriman.

Berdasarkan konteks di atas penulis mencoba menganalisis penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang iman, untuk itu penulis mengangkatnya dalam sebuah penelitian dengan judul “Iman Dalam Persfektif Tafsi>r Ima>m al-Ghaz}a>li>” hal ini berasal dari asumsi penulis, bahwa


(27)

penafsiran dipengaruhi kondisi sosial, ekonomi, dan adanya sebuah kesenggangan sosial.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis dapat mengidentifikasi beberapa masalah yang relevan dengan penelitian tentang hubungan keimanan dalam kehidupan rutinitas keseharian atau bisa juga disebut sebagai iman sebagai landasan dalam kehidupan manusia. Pada bagian ini penulis akan membagi masalah ini menjadi tiga pembahasan, yaitu: 1. Identifikasi Masalah

Beberapa masalah yang teridentifikasi ialah:

a. Apakah yang melatarbelakangi masyarakat menjadi krisis imanya? b. Mengapa iman menjadi faktor yang esensial untuk manusia pada

zaman sekarang?

c. Apa saja dampak yang ditimbulkan oleh seorang yang tidak memiliki keimanan yang kuat?

d. Bagaimana cara agar seseorang memiliki tingkatan iman yang sebenarnya?

e. Apakah pendekatan agama relevan dan efektif untuk membendung kerisis iman pada zaman sekarang ini?

f. Apakah iman adalah solusi yang tepat untuk menjadikan kehidupan seseorang bertingkah laku mulia seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw?


(28)

2. Pembatasan Masalah

Supaya penelitian dapat terarah sesuai tujuan yang diharapkan, maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti dengan beberapa masalah:

a. Dalam pembatasan materinya penulis hanya membahas masalah yang terdapat dalam identifikasi masalah yang tercantum pada poin d, e, f. b. Adapun tafsir yang akan dibahas adalah tafsir yang baru diterbitkan

pada tahun 2010 yang bernuansa sufi, ditulis oleh Shaikh Muhammad ar-Ri>hani> dengan nama Tafsi>r Ima>m Al-Ghaz}a>li>.

c. Sedangkan ayat al-Qur’an yang akan dikaji, penulis hanya mengkaji beberapa ayat yang berbicara tentang iman.

3. Perumusan Masalah

Untuk membuat skripsi ini lebih terarah pembahasannya dan lebih komprehensif, maka penulis akan merumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini yaitu :

a. Apakah yang di maksud dengan iman menurut al-Ghaz}a>li>? b. Apa kriteria orang beriman yang disebutkan di dalam surat

al-Qur'an?

c. Apakah menurut al-Ghaz}a>li> iman itu dapat bertambah dan berkurang?

C.Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Memberikan penjelasan secara mendalam terhadap ayat-ayat yang berbicara mengenai iman, agar terkonsep sebuah pengertian yang


(29)

komprehensif mengenai iman.

2. Agar dapat mengetahui apakah Tafsi>r Ima>m Al-Ghaz}a>li> dapat dijadikan rujukan?

D.Manfaat Penelitian

Selain mempunyai tujuan, penelitan ini diharapkan mempunyai kontribusi dan manfaat dalam kehidupan masyarakat, khususnya mereka yang kesehariannya bergelut dengan kehidupan sehari-hari alias muamalah (pergaulan). Manfaat tersebut adalah:

1. Memperkenalkan kepada masyarakat, bahwasanya orang yang selalu terjaga hatinya yaitu memiliki rasa iman maka tidak ada satu orang pun yang mampu menjerumuskan ia, karena seseorang yang sudah memiliki iman yang kokoh maka ia akan selalu takut dengan apa-apa yang ia perbuat, khususnya perbuatan maksiat, karena ia beranggapan Allah akan selalu mengawasi ia di mana pun ia berada.

2. Memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa iman itu adalah salah satu cara untuk menjauhi sifat-sifat yang kurang terpuji.

3. Memberitahukan kepada mereka bahwa iman itu tidak bersifat sebagai individualitis, akan tetapi iman itu bersifat sosial (untuk masyarakat banyak).

E. Tinjauan Kepustakaan

Ketika melakukan tinjauan pustaka, penulis menemukan beberapa tulisan yang berkaitan dengan kajian yang akan dibahas oleh penulis baik berupa buku ataupun skripsi. Tulisan-tulisan tersebut adalah:


(30)

1. Aqidah Empat Imam, yaitu Imam Abu Hani>fah, Ma>lik, Sya>fi’i>, Ahmad bin Hambal, sebenarnya buku ini terjemahan dari I’tiqa>d Al’ima>mah al-Arba’ah, yang menterjemahkan dari judul aslinya ke dalam bahasa Indonesia adalah H. Ali Mustafa Yaqub, MA, sedangkan penulisnya Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais, penerbitnya kantor atase agama kedutaan besar saudi arabia di Jakarta, cetakan ke II Muharram 1424 / Maret 2003 M, buku ini berbicara tentang Aqidah Imam Empat, jadi di dalamnya dituliskan pendapat-pendapat mereka mengenai aqidah khususnya masalah iman.

2. Aqidah Kaum Sarungan, refleksi mengais kebeningan tauhid, buku ini telah ditulis oleh Tim Saluran Teologi Lirboyo 2005, sebagai pengantarnya oleh KH. Dr. Noer Iskandar al-Barsani MA, penerbit @ Tamatan Aliyah Lirboyo Angkatan 2005, cetakan pertama jumadil Tsania 1426 H / Agustus 2005, sedangkan cetakan ke dua Rajab 1429 H / Juli 2008 M, sedangkan cetakan ke tiga Jumadil Awal 1431 H / April 2010 M, buku ini membahas tentang masalah tauhid dan di dalamnya banyak perbandingan-perbandingan atau pendapat-pendapat dari para ulama mengenai tauhid atau kita sebut sebagai iman.

3. Metode Tafsir Sufistik Tafsi>r Ima>m Ghaz}a>li>, buku ini sebagai hasil penelitian Muhammad Ar-Ri>hani>. Buku ini membahas tentang tafsi>r Ima>m al-Ghaz}a>li> dari berbagai aspeknya baik mengenai latarbelakang, metode, pendekatan yang digunakan dan lain sebagainya.


(31)

4. Fiqih Tasawuf Syaikh Abdul Qa>dir Jai>la>ni>, yang di mana di dalamnya terdapat beberapa penjelasan mengenai muamalah dalam kehidupan sehari-hari, bahkan di dalam buku ini disinggung tentang permasalah iman, ibadah dan lain-lain.

5. Yang membedakan skeripsi ini dengan tulisan yang terdahulu adalah skeripsi ini menuliskan tentang ciri-ciri orang yang beriman dengan menggunakan sumber tafsir Ima>m al-Ghaz}a>li> yang ditulis oleh Muhammad Ar-Riha>ni> yang diterbitkan di Mesir pada tahun 2010 kemarin.

F. Metodologi Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, metode yang dipakai adalah metode pengumpulan data yaitu penelitian yang bersifat kepustakaan (library research). Dengan cara mengumpulkan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan pembahasan yang akan dikaji ini sesuai dengan karakteristik kajiannya, baik berupa buku, ensiklopedi, jurnal atau yang lainnya. Dalam pembahasannya, skeripsi ini menggunakan pendekatan deskriptif analitis. Pendekatan deskriptif tersebut diperlukan untuk memaparkan masalah iman, baik dari segi bahasa maupun istilah dan disertai dengan pendapat para ulama tentang masalah iman. Dan pendekatan analitis dimaksudkan untuk membuat analisa-analisa yang komprehensif terhadap masalah yang dibahas. Adapun teknik penulisannya penulis berpedoman pada buku "Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesisi, dan Disertasi)" yang disusun oleh Tim Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, terbitan UIN press, cet. 1 Januari 2007 M/1427 H.


(32)

G. Sistematika Penulisan

Adapun mengenai sistematika penulisan ini, penulis membagi pembahasan kedalam lima bab. Masing-masing bab mempunyai spesifikasi pembahasan mengenai topik-topik tertentu, yaitu:

Bab pertama, bab ini berisikan tentang pendahuluan yang berbicara mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua, dalam bab ini penulis membagi pembahasan menjadi dua bagian, pertama, tentang Tafsi>r Ima>m Al-Ghaz}a>li>, dari segi metode yang digunakan, sistematika penulisan ataupun dari orisinal penisbatan tafsir ini kepada pengarangnya. Kedua, berbicara tentang pengarangnya, yaitu biografi, kondisi sosio-kultural yang terjadi pada masanya dan terakhir mengenai pemikiran tasawuf dan karya-karyanya dan juga tentang guru-gurunya, sahabat-sahabatnya dan aktivitas keseharian beliau.

Bab ketiga, berbicara sekilas tentang iman, pengertian secara bahasa dan istilah, urgensi iman dan ciri-ciri orang yang ber-iman.

Bab keempat, pada bab ini penulis menjelaskan secara spesifik pengertian iman menurut versi Tafsi>r Ima>m Al-Ghaz}a>li> dengan mengambil beberapa contoh ayat.

Bab kelima, merupakan penutup serta kesimpulan umum yang akan penulis simpulkan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan serta saran dan kritik kemudian diakhiri dengan daftar pustaka yang penulis gunakan sebagai sumber-sumber dalam penelitian ini.


(33)

15

A. Tafsir Ima>m Al-Ghaz}a>li> 1. Metode Tafsir

Pada abad kontemporer, para ulama tafsir mengklasfikasikan metode tafsir menjadi empat1 bagian yang didasarkan pada penguraian suatu ayat, penghimpunan makna-maknanya, menjelaskan kandungan hukum dan hikmah.2

Dari keempat penjelasan bahwasanya yang ditawarkan oleh para ulama tafsi>r di atas, Tafsir Ima>m al-Ghaz}a>li>, nampaknya penafsiran ini lebih kepada metode al-Ijma>li>, hal ini terlihat dari upaya mendalam sang mufassir dalam menggabungkan makna yang tersirat maupun tersurat dengan cara, menjelaskan kandungan makna tersebut dengan cara global

1A. Ijma>li> yaitu menafsirkan al-Quran dengan cara singkat dan global tanpa uraian

panjang lebar. Metode ini menjelaskan ayat-ayat al-Quran secara ringkas tapi mencangkup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisanya mengikuti susunan ayat-ayat dalam mushaf sedangkan penyajianya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an, lihat Nasrudin Baidan, h. 13, B. Tahli>li> yaitu suatu metode yang menafsirkan arti ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, berdasarkan urutan-urutan ayat atau surah dalam mushaf, dengan menonjolkan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surah-surahnya, sebab-sebab turunya, hadis-hadis yang berhubungan denganya, pendapat-pendapat para mufassir terdahulu dan mufassir itu sendiri diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahlianya. C. Maudhu>’I yaitu penafsiran yang membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait denganya, seperti sebab al-Nuz}ul, kosa kata dan sebagainya. Semua itu dijelaskan dengan rinci, jelas dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, baik itu argumen yang berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional. D. Muqa>ran penafsiran sekelompok ayat al-Qur’an yang berbicara dalam suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau antara ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat ulama tafsi>r dengan menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan. Lihat Nashruddin Baidan, h. 13, 65, 151.

2 Yunus Hasan Abidu, Tafsir al-Qur’an. Penerjemah Qodirun Nur dan Ahmad


(34)

dan terperinci, sehingga pembaca dapat memahami makna tersebut dengan mudah dan singkat.

Tafsir ini kurang tepat apabila disebut dengan al-Tahli>li>, karena mufassir ini tidak menjelaskan sebab turunya ayat, tidak menganalisis kosa kata, tidak menjelaskan kandungan hukum dalam ayat ahkan, dan juga tidak memaparkan kandungan surat secara umum. Tafsir ini kurang tepat juga dianggap sebagai al-muqa>ran karena tidak ditemukan bentuk perbandingan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadis atau perbandingan pendapat ulama. Demikian pula tafsir ini bukan bagian dari al-mawdhu>’i, karena tidak nampak upaya menghimpun beberapa ayat dalam satuan tema besar.

Mengenai corak yang digunakan dalam penafsiran ini adalah, cenderung lebih ke dalam al-s}u>fi al-Isha>ri>3, karena berlandasan langsung kepada amaliah praktis seperti memperbanyak ibadah, hidup sederhana dalam ketaatan kepada Allah Swt. Tafsir ini bukan bagian dari s}u>fi

3Al-s}u>fi> al Isha>ri> adalah tafsir yang ditulis para sufi, ia berusaha menakwilkan

ayat-ayat al-Quran berdasarkan isyarat-isyarat tersembunyi, yang menurut para sufi, hanya diketahui oleh sufi ketika ia melakukan suluk. Karena tafsir ini sejalan dengan tasawuf amali,maka corak tafsir ini mengacu kepada amaliah praktis umumnya kaum sufi, seperti kehidupan sederhana, melakukan banyak ibadah, zuhud, dan sebagainya. Tafsir dengan corak ini tidak bisa semerta-merta diterima, melainkan harus memenuhu car sebagai berikut : a. tidak bertentangan dengan zahir ayat, b. terdapat penguat dari syara’, c. tidak bertentangan dengan syariat dan akal, d. mufassir tidak menganggap bahwa penafsirannya merupakan satu-satunya tafsir yang benar, tetapi juga harus mengakui terlebih dahulu pengertian zahir ayat. Al-s}u>fi al Isha>ri> adalah salah satu corak dari tujuh corak yang ada sebagai bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang terdapat dalam tafsir tahlili. Tujuh corak tersebut 1. Al-Tafsi>r bi Ma’thur, 2. Al-Tafsi>r bi al-Ra’y, 3. Tafsi>r al-Fiqhi, 4. Tafsi>r al-Sufi, 5. Tafsi>r al-Falsafi, 6. Tafsi>r al-Ilmi, 7. Al-Tafsi>r al-Adabi al-Ijtima’i. lihat Shihab dkk, Sejarah, h. 174-184.


(35)

nazari> yang berlandasan pada pemikiran filosofis.4

Sedangkan sumber dalam tafsir ini, menggunakan dua sumber yaitu al-ma’tsur dan al-Ra’yu5, al-ma’tsur yang dipakai dengan memasukkan ayat al-Qur’an, hadis Nabi, dan perkataan para sahabat maupun ta>biin. Sedangkan al-Ra’yu Imam al-Ghaz}a>li> menafsirkan dengan menggunakan Ijtihad yaitu, dengan menggunakan istinbat al-Ahka>m al-Fiqhiyyah, istinba>t al-Ma’a>ni al-Isya>riyyah, istinba>t al-Ma’a>ni al-Wa’dziyyah.6

2. Data Filologis

Sebelum menjelaskan sistematika tafsi>r ini, penulis akan menjelaskan data filologi terlebih dahulu. Sebagaimana tertulis dalam muqaddimahnya, tafsir ini berjudul Tafsir Ima>m al-Ghaz}a>li>. Tafsir ini ditulis dengan menggunakan bahasa arab dan cetak pertama kali pada 1431H./2010 M., menggunakan sampul hard cover berwarna hijau, serta tulisan berwarna kuning, diatasnya tertulis Tafsi>r Ima>m al-Ghaz}a>li> dan tanggal hidup sampai wafat beliau, sedangkan di

4Ulama tafsir yang sependapat pada teori ini berpendapat, bahwa pengertian harfiyah

al-Qur’an bukan pengertian yang dikehendaki, karena yang dikehendaki adalah pengertian batin. Karenanya mereka sering menggunakan takwil untuk menyesuaikan pengertian ayat-ayat al-Qur’an dengan teori tasawuf yang mereka anut. Menurut al-Farmawi, mereka sering melaksanakan diri untuk memahami dan menerangkan al-Qur’an dengan penjelasan yang menyimpang dari makna lahir ayat, makna yang sudah dikuatkan dengan syariat dan benar menurut kaedah bahasa. Lihat Shihab dkk, Sejarah h. 180.

5 Maksudnya adalah penafsuran al-Qur’an dengan ijtihad dan penalaran. Tafsir ini

muncul sebagai sebuah metodologi pada periode akhir pertumbuhan tafsi>r al-Ma’tsur, meskipun telah terdapat upaya sebagian kaum muslimin yang menunjukkan bahwa mereka telah melakukan penafsiran ijtihad dan istinbat. Perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud al-Ra’yu bukan semata-mata didasari pada penalaran akal dengan mengabaikan sumber riwayat secara mutlak. Dalam konteks ini , penafsiran dengan al-Ra’yu lebih selektif terhadap riwayat. Sehingga secara kuantitas posisi riwayat di dalam tafsi>rnya jauh lebih kecil disbanding dengan kadar ijtihad. Begitu pula dengan tafsir yang menggunakan metode riwayat, tidak sama sekali lepas dari penggunaan rasio meskipun jumlahnya sangat kecil. Lihat Muin Salim, Metodologi, h. 43.


(36)

tengah tertulis nama pengarang atau penulisnya yaitu Muhammad Ar-Ri>hani>, lalu di bawahnya ada nama penerbit Da>rus Sala>m, Mesir, menggunakan kertas berwarna putih dengan jumlah jilid sebanyak satu saja. Dengan jumlah jilid 398 halaman itu semua termasuk kata pengantar dan daftar isi serta tampilan manuskrip diawal, dimulai dari surat al-Fa>tihah sampai surat An-Na>s. Dan tak lupa Muhammad Ar-Ri>hani> sebagai penulis mencantumkan footnote pada setiap kata yang berbeda dengan manuskrip yang menjadi pegangannya.

3. Sistematika Penulisan

Tafsi>r ini ditulis sesuai dengan urutan surat al-Qur’an, yaitu dari surat al-Fa>tihah sampai An-Na>s, prolog dan diakhiri dengan epilog. Hal ini dimaksudkan agar pembaca bisa memahami dan menyimpulkan surat tersebut secara global. Dalam hal penempatan, ayat al-Qur’an ditempatkan di atas sedangkan tafsi>rnya diletakan di bawah. Salah satu sisi yang menonjol dari tafsiran ini adalah nuansa kebahasaan, tentu hal ini tidak lepas dari dunia sufistik yang melihat segala sesuatu dari sudut pandang keindahan.

4. Orisinalitas Penisbatan Tafsir al-Ghaz}a>li>

Sebagian banyak ulama mangakui tentang keberadaan tafsir ini, akan tetapi di antara mereka berselisih pendapat tentang penamaan tafsir ini, dari mereka ada yang menamakan Tafsir Yaqu>ti at-Ta’wi>li, ada juga yang menamakan Yaqu>tu at-Ta’wi>li Fi Tafsi>ri at-Tanzi>l, ada


(37)

juga yang menamakan Tafsir al-Qur’an al-Adzi>m, oleh karena itu Muhammad Ar-Ri>hani> tidak mengetahui tentang penamaan-penamaan tafsir itu semua, dia hanya menulis dan menerjemahkan secara jelas dan singkat dan di dalamnya Ar-Ri>hani> mencantumkan sumber-sumber yang dipakai dalam menafsirkan tafsi>r ini.7

B. Ima>m al-Ghaz}a>li> 1. Biografi

Nama lengkap sang Imam adalah Abu H<amid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghaz}a>li>, yang lebih dikenal dengan panggilan Hujjatul Isla>m Zainuddin al-Thusi, seorang al-faqi>h (ahli fiqih) yang bermazhabkan al Syafi’i. Orang orang yang datang kemudian menyebut laqab, panggilan beliau yang sesungguhnya dari Abi H<amid menjadi al-Ghaz}a>li>. Ada yang berpendapat, sebutan Ghazali dinisbatkan pada suatu wilayah yang cukup terkenal di dataran Thusi.8 Ada pula yang mengatakan dengan sebutan Ghazza>la>, menggunakan huruf zain yang ditekan dua kali, yang itu disandarkan pada pensifatan atas diri beliau sebagai seorang yang berusaha unuk senantiasa menyucikan diri dan melembutkan sanubari.9 Hanya Allah yang maha mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Nama beliau pada akhirnya dikenal

7Muhammad Ar-Ri>hani>, Tafsir Ima>m al-Ghaz}a>li>, Da>rus Sala>m, Mesir, h. 20-21.

8 Wilayah Thusi berada di sebuah distrik ( provinsi ) Khurasan, salah satu wilayah di

negeri persia, atau saat ini kita kenal dengan sebutan Iran. Ih>ya> Ulu>muddi>n, Jilid I, h. Vii.

9 Kata Ghazalla sendiri bermakna dalam bahasa aslinya sebagai pemintal benang dan

penenun kain. Dan kakek beliau merupakan seorang pengusaha tenun terkemuka di wilayahnya dan menjadi tokoh panutan yang cukup disegani. Ih>ya> Ulu>muddi>n, Jilid I, h. Vii.


(38)

dengan panggilan yang dibuat lebih mudah atau telah disepakati, yaitu al Ima>m al-Ghaz}a>li>.

Ima>m al-Ghaz}a>li> dilahirkan di kota Thusi, pada sekitar pertengahan abad ke 5 Hijrah ( 450 ). Abu Hamid memiliki seorang ayah yang lembut sanubarinya, sederhana pola hidupnya, pekerja keras, dan pedagang yang cukup sabar. Ayah sang Ima>m dikenal gemar menuntut ilmu ke banyak ulama pada masa itu, sering mengikuti h>alaqah (pengajian) mereka, dan gemar membantu kebutuhan sesama. Setiap pekan ayah sang Ima>m selalu menyempatkan diri mengunjungi kediaman para ulama, dari satu ulama ke ulama lainya, agar bisa memetik pelajaran berharga dari sisi mereka. Tak jarang ayah sang Ima>m ini menitikkan air mata mendengarkan tausiyah yang disampaikan oleh para ulama yang ia sedang datang ketika dalam menuntut ilmu. Pada suatu kesempatan karena didorong perasaan ingin memiliki keturunan yang ingin menguasai ilmu agama, maka ayah sang Ima>m berdoa kepada Allah Swt dengan rasa bersungguh-sungguh, agar dia berkenan memberinya keturunan putra yang memahami ilmu agama, dengan cara menggemari majlis yang di dalamnya dibacakan ilmu oleh para ulama. Doa beliau pun dikabulkan oleh Allah dengan menganugerahi dua putra yang shalih, putra pertamanya diberi nama Abu H<amid Muhammad, yang kedua saudara laki-laki dari Ima>m al-Ghaz}a>li> pun lahir, yang kemudian diberi nama Ahmad dengan nama aslinya Abu Futu>h Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad ath Thusi al-Ghaz}a>li>, dengan laqab (panggilan) Majduddin.


(39)

Ibnu Khalkan dalam buku al-Wifa>ya>t mengatakan, “Pada periode selanjutnya, Ima>m al-Ghaz}a>li> dipercaya menjadi salah satu pengajar di salah satu sekolah kenamaan, dimana sang adik juga menuntut ilmu di sana.10 Ima>m al-Ghaz}a>li> meninggal dunia pada hari senin, tanggal 14, bulan Jumadil Akhir, tahun 505 Hijrah. Jenazah beliau dikebumikan di pemakaman al-Tha>bira>n.

2. Kehidupan Keilmuan Ima>m al-Ghaz}a>li>

Kehidupan sang Imam dan saudara kandungnya yaitu ahmad yang ahli tasawuf itu di kelilingi oleh kebersahajaan dan dihiasi kesederhanaan. Wasiat dari mendiang sang ayah selalu dipegang oleh keduanya secara teguh, serta diwujudkan dalam takaran maksimal. Kegigihan keduanya dalam menuntut ilmu menjadikan kehidupan ekonomi sang Imam berada pada tataran kurang terperhatikan. Keduanya lebih memprioritaskan kebutuhan rohani berupa ilmu ketimbang makanan atau segala sesuatu yang bersifat kebendaan. Gemerlap perhiasan dunia sangat jauh dari kehidupan kedua saudara sekandung itu. Hari-hari mereka senantiasa diisi hanya menuntut ilmu, pagi maupun petang. Sampai akhirnya kedua pemuda yatim tersebut berhasil mengisi kebutuhan rohani mereka, sesuai harapan sang ayah, dalam kebersahajaan hidup. Sebagaimana kalimat indah yang sempat dirangkai al-Ghaz}a>li> dalam menggambarkan perjalanan kehidupannya meniti ilmu, “Titian ilmu yang kami jalani hanyalah apa yang dapat menyampaikan kami kehadirat Allah Swt.

10 Ima>m al-Ghaz}a>li>, Ih>ya> Ulu>muddi>n dalam terjemahan Ibnu Ibrahim Ba’adillah,


(40)

Dalam dekapan ridhanya, sesuai yang dititahkan oleh ayah kami.” Dengan kata lain, al-Ghaz}a>li> bersaudara itu menuntut ilmu berdasar pada keyakinan, bahwa apa saja dari ilmu yang mereka tempuh pasti berdampak baik, dan akan membuahkan hasil yang baik pula bagi kehidupan mereka, di dunia maupun di akhirat kelak.11

3. Pemikiran dan Karya Ima>m al-Ghaz}a>li>

Pemikiran al-Ghaz}a>li> yang penulis ambil atau kutip dari Ih>ya> Ulu>muddi>n ada tiga pemikiran :

a. Al-Aqliyyah al-Syar’iyyah

Pokok bahasan dari al-Aqliyyah al-Syar’iyyah oleh Ima>m al-Ghaz}a>li> disarikan dalam hukum-hukum yang berkaitan dengan persoalan fiqih dan ushulnya, yang itu dinukilkan dari sumber Islam terbesar yaitu al-Qur’an, hadis-hadis Rasulullah Saw, perkataan sahabat Rasulullah, tabi’in, serta disarikan pula dari pendapat para Imam madzhab, ditambah pula dari perkataan para ahli fiqih, ulama syari’ah, ulama hadis dan ta’wil. Meski demikian, kesemua itu tidak menyimpang dari keempat sandaran hukum pokok yang utama dalam Islam, yaitu al-Qur’an, al Hadis, perkataan para sahabat, dan ijma para ulama.

b. Al-Aqliyyah al-Falsafiyyah

Pokok bahasan dari ini oleh Ima>m al-Ghaz}a>li> disandarkan pada kemampuan akal manusia untuk memahami, sebagai sarana yang telah


(41)

Allah anugerahkan kepada setiap manusia yang mau menggunakan akal sesuai aturan dan petunjuknya. Sekaligus sebagai pembenar dan saksi atas kebenaran aturan hidup yang disampaikan, yang itu bertujuan untuk memudahkan kita dalam menjalani hidup, serta aturan yang diperintahkan Allah Swt di dalamnya. Penggunaan akal yang dimaksudkan di sini adalah metode berfikir yang dirancang untuk tidak menyimpang dari fitrahnya yang suci, dengan menggunakan logika yang lurus dan cara-cara berfikir yang shahih. c. Al-Aqliyyah al-Shu>fiyyah

Sedangkan pembahasan Aqliyyah Shu>fiyyah oleh Ima>m al-Ghaz}a>li> disandarkan untuk lebih mempersiapkan kepentingan urusan akhirat, melalui cara-cara seperti bersikap zuhud terhadap urusan dunia, menyucikan diri dari segala bentuk urusan yang meragukan, maupun usaha pembersihan jiwa dari kotoran yang sanggup melingkupinya. Di atas semua permasalahan tersebut, tujuan utamanya adalah membersihkan qalbu melalui pendekatan diri secara langsung kepada Allah Swt.12 Maupun karya-karyanya beliau adalah sebagai berikut :

1) Ih>ya> Ulu>muddi>n. 2) Taha>fut al-Fala>sifah. 3) Al-Iqtisha>d fi al-I tiqa>d. 4) Al-Munqidz min al-Dhala>l.


(42)

5) Jawa>hiru al-Qur’a>n. 6) Mi>za>nu al-‘Amal. 7) Al-Maqshid al-Asna>. 8) Al-Qistha>th al-Mustaqi>m. 9) Al-Mustazhhiri>.

10)H<ujjatu al-Haq. 11)Musfilu al-Khila>f. 12)Kaimiya>u al-Sa’a>dah. 13)Al-Basi>th.

14)Al-Wasi>th. 15)Al-Waji>z. 16)Al-Mustashfi>. 17)Al-Mankhu>l.

18)Al-Muntakhal fi>’Ilmi al-Jadal. 19)Al-Maqa>shid.

20)Misyka>tu al-Anwa>r. 21)Mi’ya>ru al-‘Ilmi.

Kesimpulannya adalah bahwa sandaran aqidah yang sang Ima>m gunakan bersumber dari keyakinan Ahlu Sunnah wal Jama’ah dan yang lebih penting lagi, semua yang beliau cantumkan merupakan amalan wajib bagi diri beliau sendiri, dan amalan tersebut ia uraikan dalam bentuk tulisan. Beliau adalah seorang ahli tasawuf yang menjalankan serta menyaksikan sendiri keagungan hidup yang berbalut kelembutan jiwa dalam sikap zuhud, tawakal, dan juga sifat yang


(43)

4. Guru, Sahabat, dan Aktivitas Ima>m al-Ghaz}a>li> a. Guru al-Ghaz}a>li>

Ima>m al-Ghaz}a>li> memulai rangkaian menuntut ilmu pada masa kecil beliau di negeri sendiri, Thusi, yang kemudian dilanjutkan dengan mengadakan perjalanan setelah ia lebih dewasa menuju wilayah bernama Jurjan.13 Dan belajar dengan seorang guru bernama Abi Nashr al-Isma’ili, setelah selesai beliau kembali ke Thusi. Sekembali dari Jurjan, al-Ghaz}a>li> menetap dan mengabdikan ilmu beliau di sana untuk beberapa waktu. Setelah itu, Imam al-Ghaz}a>li> kembali berangkat untuk menuntut ilmu ke wilayah Naisabur,14 guna mendalami ilmu fiqih dan mendalami bahasa Arab pada seorang guru besar, yang pernah menjadi Imam Haramain, bernama Abal Ma’ali al-Juwaini.

Selama menuntut ilmu di sana, Abal Ma’ali al-Juwaini mendapati Imam al-Ghaz}a>li> sebagai seorang murid yang sangat cerdas, memiliki potensi yang berkembang dengan sangat pesat, dan ketajaman berfikir yang sungguh luar biasa. Abal Ma’ali al-Juwaini merasa, bahwa Ima>m al-Ghaz}a>li> adalah satu-satunya murid yang bisa beliau jadikan sebagai pengisi kekosongan ulama manakala dirinya nanti dipanggil oleh Allah Swt. Di sana pula Ima>m al-Ghaz}a>li> meletakan dasar-dasar dimulainya diri beliau sebagai seorang penulis.

13 Jurjan adalah distrik yang terdekat dengan wilayah Thusi, Ih>ya> Ulu>muddi>n, h. Ix. 14 Naisabur saat ini adalah salah satu kota di negeri Iran, yang juga tempat kelahiran


(44)

Sedangkan beliau belajar ilmu tasawuf dengan seorang guru al-Ima>m Az-Za>hid Abu Ali al-Fadi>l ibn Muhammad ibn Ali al-Farumdi At-Thusi, lalu beliau belajar pula dengan Yusuf As-Sujaj.15

Sedangkan dalam ilmu hadis beliau belajar dengan seorang guru yang bernama Abu Sahl Muhammad ibn Ahmad Ibn Abdillah al-Haf’si, dan al-Hakim Abu al-Fath Nasr ibn Ali ibn Ahmad al-Hakimi at-Thusi.16

b. Sahabat al-Ghazali

Bersama sang Imam, ada pula beberapa tokoh yang belajar bersama di Naisabur, dan sempat menjadi sahabat terbaik sang Imam. Di antara mereka itu adalah seorang ulama bernama al-Kayya al-Harras ( meninggal dunia tahun 504 H./ 1110 M. ) dan juga seorang ulama bernama Abu al-Muzhfar al-Khawwafi ( meninggal dunia tahun 500 H./ 1106 M. ). Abal Ma’alial-Juwaini sempat mensifati tiga sahabat tersebut dengan, al-Ghaz]a>li> sebagai lautan yang tak bertepi, al-Kayya sebagai singa yang terlatih, dan al-Khawwali sebagai api yang membara.

c. Aktivitas al-Ghazali

Setelah guru sang Imam, yaitu Abal Ma’ali al-Juwaini meninggal dunia, al-Ghaz}a>li> melanjutkan perjalanan keluar Naisabur menuju wilayah yang bernama al-‘Askar.17 Untuk menemui pemuka negeri itu (Nizha>m al-Mulk), dan menyampaikan pesan sang guru yaitu Abal

15 Muhammad Ar-Ri>hani>, Tafsir Ima>m Al- Ghaz}a>li>, Da>rus Sala>m, mesir, h. 19. 16Tafsi>r Imam al-Ghaz}a>li>, h. 20.

17 Al-‘Askar adalah salah satu wilayah di kota Bagdad, irak, Ih>ya> Ulu>muddi>n, Ibid, h.


(45)

Ma’ali al-Juwaini. Di al-‘Askar, al-Ghaz}a>li> mendapat sambutan yang sangat hangat serta apresiasi yang luar biasa. Beliau dikenalkan dengan para pemuka agama dan tokoh-tokoh utama lainya di sana. Ima>m al-Ghaz}a>li> kemudian dipercaya untuk mengajar di lembaga pendidikan terkemuka di naungan pemuka negeri. Al-Ghaz}a>li> menetap dan mengajar di al-‘Askar sebagai guru besar untuk beberapa waktu. Tugas mengajar itu ditinggalkan al-Ghaz}a>li> pada sekitar bulan Dzul Qa’dah tahun 488 H, karena beliau hendak melanjutkan perjalanan menuju Makkah guna menunaikan rukun Islam yang kelima, yaitu ibadah haji. Sebelum itu Ima>m al-Ghaz]a>li> sempat menempuh jalan zuhud dan meninggalkan hingar-bingar keramain dunia.

Seusai menunaikan ibadah haji, Ima>m al-Ghaz}a>li> mengunjungi wilayah Syam,18 dan untuk sementara waktu menetap di kota Damsyiq (Damaskus), hingga kembali ke kota asal beliau, Thusi. Sesampainya di Thusi, al-Ghaz}a>li> sempat berbenah diri yaitu menata kembali hidup beliau.


(46)

28

A. Pengertian Iman Menurut Bahasa dan Istilah

Iman secara bahasa adalah percaya, setia, melindungi, dan menempatkan sesuatu di tempat yang aman. Terkait dengan akidah yang dimaksud adalah iman yang bermakna pembenaran terhadap suatu hal, pembenaran yang hakikatnya tidak dapat dipaksakan oleh siapapun, karena iman terletak dalam hati yang hanya bisa dikenali dan dipahami secara pribadi, maka seseorang tidak dapat mengetahui hakikat keimanan orang lain, apalagi memaksakanya.1

Iman secara istilah diartikan sebagai pembenaran terhadap ajaran Nabi Muhammad Saw, yakni beriman kepada Allah Swt, para Malaikat, para Nabi, para Rasul, hari Kiamat, qadha dan qadar. Demekian makna iman menurut hadis Nabi Saw.2

Sedangkan pengertian iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah ikrar dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota badan. Jadi iman itu mencangkup tiga hal :

1. Ikrar dengan hati.

2. Pengucapannya dengan lisan.

3. Pengamalannya dengan anggota badan.

1

Tim Saluran Teologi Lirboyo 2005, Akidah Kaum Sarungan, @Tamatan Aliyah Lirboyo Angkatan 2005, h. 179.

2

Tim Saluran Teologi Lirboyo 2005, Akidah Kaum Sarungan, @Tamatan Aliyah Lirboyo Angkatan 2005, h. 179


(47)

Jika keadaanya demikian, maka iman itu akan bisa bertambah atau bisa juga berkurang, lagi pula nilai ikrar itu tidak selalu sama. Ikrar atau pernyataan karena memperoleh satu berita, tidak sama dengan jika langsung melihat kepada persoalan dengan kepala mata sendiri. Pernyataan karena memperoleh berita dari satu orang tentu berbeda dari pernyataan dengan memperoleh berita dari dua orang. Demekian seterusnya. Oleh karena itu, Ibrahim ‘Alaihis Salam pernah berkata seperti yang dicantumkan oleh Allah Swt dalam al-Quran :

ﻦﻜﹶﻟﻭ ﻰﹶﻠﺑ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻦﻣﺆﺗ ﻢﹶﻟﻭﹶﺃ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻰﺗﻮﻤﹾﻟﺍ ﻲﹺﻴﺤﺗ ﻒﻴﹶﻛ ﻲﹺﻧﹺﺭﹶﺃ ﺏﺭ

ﻲﹺﺒﹾﻠﹶﻗ ﻦﺌﻤﹾﻄﻴﻟ

“ Ya Rabbku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana engkau menghidupkan orang-orang yang mati. Allah berfirman : ‘Apakah kamu belum percaya ‘. Ibrahim menjawab : ‘saya telah percaya, akan tetapi akan bertambah tetap hati saya”.3

Iman akan bertambah tergantung kepada pengikraran hati, ketenangan dan kemantapannya. Manusia akan mendapatkan hal itu dari dirinya sendiri, maka ketika menghadiri majelis zikir dan mendengarkan nasihat di dalamnya, disebutkan juga perihal surga dan neraka, maka imanya akan bertambah sehingga seakan-akan ia menyaksikanya dengan mata kepala. Namun ketika ia lengah dan meninggalkan majelis itu, maka bisa jadi keyakinan dalam hatinya akan berkurang.4

3

Q.S. al-baqarah : 260.

4

Cuplikan dari buku masalah Iman dan Tauhid, terbitan At-Tibyan Solo, yang isinya merupakan fatwa-fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.


(48)

Sedangkan pengertian iman secara bahasa menurut Syaikh Ibnu Utsaimin adalah pengakuan yang melahirkan sikap menerima dan tunduk. Kata beliau makna ini cocok dengan makna iman dalam istilah syari’at. Dan beliau mengkeritik orang yang memaknai iman secara bahasa hanya sekedar pembenaran hati (tashdi>q) saja tanpa ada unsur menerima dan tunduk. Kata iman adalah fi’il la>zim (kata kerja yang tidak butuh objek), sedangkan tashdi>q adalah fi’il muta’addi> (butuh objek) 5

Iman adalah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan memanifistasikan dengan amal perbuatan. Iman seseorang akan bertambah karena ketaatan dan akan berkurang karena kemaksiatan dan iman dapat diperkuat dengan ilmu dan dapat diperlemah dengan kebodohan.

Menurut bahasa, iman berarti pembenaran oleh hati disertai pengetahuan tentang apa yang dia benarkan. Sedangkan menurut syari’at, iman berarti pengetahuan tentang Allah dan sifat-sifatnya disertai ketaatan atas semua hal yang wajib dan yang sunat dan menghindari berbagai larangan dan maksiat atau iman berarti agama, syari’at, dan millah, karena agama berarti sesuatu yang dianut disertai dengan ketaatan dan penghindaran dari larangan dan segala yang haram, hal itu merupakan sifat iman. 6

Setiap Iman adalah Islam dan tidak setiap Islam berarti Iman, karena Islam berarti penyerahan dan ketundukan, karena setiap mu’min pasti menyerahkan diri dan tunduk kepada Allah Swt, dan tidak yang setiap berserah diri

5Ensiklopedi Karya Syaikh Al-Bani>, Defisi Iman, Posted on December 28, 2008 by Abu Mushlih.


(49)

beriman kepada Allah Swt, karena dia menyerahkan diri karena takut pedang. Dengan demikian iman merupakan nama yang mencakup berbagai sebutan, baik dalam wujud, perbuatan, maupun ucapan, sehingga mencakup segala bentuk ketaatan.7

Ketahuilah bahwa arti iman pada Allah Swt itu, percaya bahwa Allah itu satu (tunggal) tiada yang menyamainya dzat atau sifat-sifatnya, dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaanya, ketuhanannya. Juga percaya bahwa Allah itu dahulu tidak ada mulanya, dan kekal tidak ada kesudahannya dan iman kepada malaikat itu mempercayai bahwa mereka hamba Allah yang mulya. Tidak melanggar perintah dan berbuat semua yang ditugaskan pada mereka, mereka jujur dan benar dalam menurunkan ajran-ajaran Allah Swt. Sedangkan iman kepada kitab-kitab Allah, mempercayai kitab-kitab itu benar firman Allah yang azali yang berdiri sendiri, tanpa huruf dan suara, dan semua yang terkandung didalamnya hak benar, dan Allah telah menurunkanya pada sebagian utusannya terbentuk lembaran atau dengan lidah malaikat. Iman lepel rasul, yaitu bahwasannya Allah mengutus mereka kepada ummat manusia, dan memelihara mereka dari kekejian dan kekurangan-kekurangan, juga dipelihara dari dosa-dosa besar maupun kecil sebelum dan sesudah jadi nabi. Iman bilyaumil akhir, ya’ni percaya pada apa yang akan terjadi sesudah mati, yaitu pertanyaan dalam kubur, ni’mat dan siksa kubur, bangkit di hari qiya>mat, pembalasan atas semua amal, hisa>b, timbangan amal, shira>th, sorga dan neraka. Iman bil qadar, yaitu percaya

7


(50)

bahwa Allah telah menentukan segala sesuatu dalam azal, ya’ni sebelum menciptakan makhluk sudah ada ketentuan rencana yang akan terjadi pada makhluk, dan apa yang ditakdirkan pasti terjadi sedang yang tidak ditakdirkan tidak akan terjadi, dan Allah menjadikan kebalikannya, ya’ni : baik, buruk, sehat, sakit, manis, pahit, yang halal dan yang haram sebelum menjadikan alam semuanya, maka semua alam berlaku menurut ketentuan takdir dan putusan Allah semata-mata.8

B. Iman Menurut Disiplin Ilmu Yang Lain

Ima>m Abu Hani>fah tentang pengertian iman, beliau berkata bahwasanya iman itu iqrar (pengakuan) dan tashdi>q (pembenaran), dan kata beliau lagi, iman itu adalah iqrar dengan lisan dan tasdhi>q dengan hati. Iqrar saja belum disebut iman. Bahkan beliau mengemukakan bahwasanya iman itu tidak bertambah dan tidak pula berkurang.9

Menurut saya pendapat Ima>m Abu Hani>fah bahwa iman itu tidak bertambah dan berkurang dan bahwa yang disebut iman itu adalah tashdi>q dalam hati dan iqrar dalam lisan, sementara itu perbuatan amal tidak termasuk dalam pengertian iman, adapun masalah yang membedakan antara beliau dengan imam-imam Islam yang lain, seperti Ima>m Ma>lik, Ima>m Sya>fi’i>, Ima>m Ahmad, Ima>m Isha>q, Ima>m Bukha>ri> dan lain-lain. Maka yang benar adalah pendapat para imam itu sementara pendapat Ima>m Abu Hani>fah

8Salim Bahreisy, Irsya>dul ‘Iba>d Ilasabi>lirrasya>d, Da>russaggaf, Surabaya, h. 8-9.

9 Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais, Aqidah Empat Imam, cet. II :


(51)

adalah tidak benar, namun dengan demikian beliu tetap mendapat pahala, baik hasil dari ijtihad beliau benar atau salah.

Bahkan Ima>m Ma>lik, Sya>fi’i>, Ahmad, al-Auza>’i, Isha>q bin Rahawauh, dan segenap ulama ahli hadis serta ahlul madinah (ulama madinah), semoga Allah merahmati mereka semua, dan demikian juga para pengikuT madzhab Zha>hiriyyah dan sebagian ulama mutakallimin berpendapat bahwa definisi iman itu adalah pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Dan para ulama salaf menjadikan amal termasuk dalam unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagai mana amal dapat bertambah dan berkurang.10

Bahkan juga Ima>m Bukha>ri> rahimahullah mengatakan, “Aku telah bertemu dengan lebih dari seribu orang ulama dari berbagai penjuru neegeri, aku tidak pernah melihat mereka berselisih bahwasanya iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang.”11

Jadi iman itu berupa pembenaran hati artinya hati menerima semua ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu alaihi wa sallam. Pengakuan dengan lisan artinya mengucapkan dua kalimat syahadat, sedangkan perbuatan dengan anggota badan artinya amal hati yang berupa keyakinan-keyakinan dan beramal dengan anggota badan lainnya dengan melakukan ibadah-ibadah sesuai dengan kemampuannya.

10Ensiklopedi Karya Syaikh Al-Bani>, Defisi Iman, Posted on December 28, 2008 by Abu Mushlih.


(52)

Ima>m Ma>lik tentang iman beliau berkata iman itu adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Bahkan Ima>m Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Asyha>b bin Abdul Azi>z, katanya Ima>m Ma>lik berkata : “Ketika umat islam shalat ke Baitul Maqdis selama enam belas bulan, mereka kemudian diperintahkan untuk menghadap ke Masjidil Haram pada waktu shalat. Kemudian turun ayat :

ﻢﹸﻜﻧﺎﳝﹺﺇ ﻊﻴﻀﻴﻟ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻥﺎﹶﻛ ﺎﻣﻭ

“Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kamu”.

Maksud iman dalam ayat itu adalah shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis, kata Ima>m Ma>lik lagi, menurut paham golongan Murji’ah shalat itu tidak termasuk iman.12Sedangkan pendapat Ima>m Sya>fi’i> iman itu adalah ucapan, perbuatan, dan keyakinan (i’tiqad) di dalam hati. Tahukah kamu iman Allah:

ﻢﹸﻜﻧﺎﳝﹺﺇ ﻊﻴﻀﻴﻟ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻥﺎﹶﻛ ﺎﻣﻭ

“Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kamu”.13

Maksud dari kata imanakum (iman kamu) adalah shalatmu ketika menghadap ke Baitul Maqdis. Allah menamakan shalat itu iman, dan shalat adalah ucapan, perbuatan, dan i’tiqad.14 Bahkan dalam ayat di atas Allah telah menamakan shalat dengan iman, maka siapa kelak bertemu dengan

12

Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais, Aqidah Empat Imam, cet. II : Muharram 1424 / Maret 2003 M, PT. Megatama Sofwa Pressindo, h. 45-47.

13

Q.S. al-Baqarah : 143.

14


(53)

Allah dengan menjaga shalat-shalatnya, menjaga anggota badannya, mengerjakan dengan seluruh anggota badannya apa yang diperintahkan dan diwajibkan Allah Swt, maka ia bertemu dengan Allah dengan iman yang sempurna dan ia termasuk penghuni surga. Sebaliknya siapa yang anggota badanya dengan sengaja meninggalkan dengan perintah-perintah Allah, maka ia akan bertemu Allah dalam keadaan imannya berkurang. Begitulah penjelasan Ima>m Sya>fi’i> tentang iman.15

Ima>m Sya>fi’i> mengatakan, sekiranya iman itu satu, tidak ada yang tambah dan kurang, maka tidak ada kelebihan apa-apa bagi seseorang dan semua manusia sama. Tetapi dengan sempurnanya iman orang mu’min akan masuk ke surga, dan dengan tambahnya iman pula orang mu’min akan memperoleh keunggulan tingkatan di dalam surga. Sebaliknya bagi orang-orang yang imanya kurang, mereka akan masuk neraka. Kemudian Allah akan mendahulukan orang beriman terlebih dahulu. Manusia akan memperoleh haknya berdasarkan kedahuluannya dalam beriman. Setiap orang akan memperoleh haknya, tidak dikurangi sedikitpun. Yang datang belakang tidak akan didahulukan, yang tidak mulia (karena rendahnya iman) tidak akan didahulukan dari pada yang mulia (karena ketinggian iman). Itulah kelebihan orang-orang terdahulu dari ummat ini. Seandainya orang-orang yang beriman lebih dahulu itu tidak mempunyai kelebihan, niscaya akan sama nilainya orang yang beriman belakangan dengan orang-orang yang beriman lebih dulu.16

15

Aqidah Empat Imam, h. 94-95

16


(54)

Ima>m al-Baiha>qi> meriwayatkan dari Abu Muhammad az-Zubairi, katanya, ada seorang bertanya kepada Ima>m Sya>fi’i>, “Apakah amal yang paling utama? “Ima>m Sya>fi’i> menjawab : “Yaitu sesuatu yang apabila hal itu tidak ada, maka semua amal tidak akan diterima.” “Apakah itu?”, tanya orang itu lagi. Dijawab oleh Ima>m Sya>fi’i>, “Yaitu iman kepada Allah di mana tidak ada tuhan yang hak disembah selain dia. Iman adalah amal yang paling tinggi derajatnya, paling mulia kedudukanya, dan paling bagus buah yang dipetik darinya.” Orang tadi bertanya lagi : “Bukankah iman itu ucapan dan perbuatan, atau ucapan tanpa perbuatan?“ Ima>m Sya>fi’i> menjawab : “Iman itu adalah perbuatan untuk Allah, dan ucapan adalah itu merupakan sebagian dari amal tersebut.” Ia bertanya lagi, “Saya belum paham bagaimana itu, coba jelaskan lagi.” Lalu Ima>m Sya>fi’i> menjelaskan, “Iman itu memiliki tingkatan-tingkatan, ada iman yang sangat sempurna, ada iman yang berkurang yang jelas kekuranganya dan ada juga iman yang bertambah.” “Apakah iman itu ada yang tidak sempurna, berkurang dan bertambah?”, tanya orang itu. “Ya”, jawab Ima>m Sya>fi’i>. “Apakah buktinya?”, tanyanya lagi. Ima>m Sya>fi’i> menjawab, “Allah telah mewajibkan iman atas anggota-anggota badan manusia. Allah membagi iman itu atas semua anggota badan. Tidak ada satupun anggota badan manusia kecuali telah diserahi iman secara berbeda-beda. Semua itu berdasarkan kewajiban yang ditetapkan Allah Swt.17


(55)

Oleh karena itu dalam karyanya al-Tawhi>d, al-Ma>turi>di>18 menguraikan bahwa pendapat yang benar mengenai keimanan ialah bahwa ia merupakan sesuatu yang tersimpan dalam hati. Pengertian ini ia dasari dengan dua argumen, pertama, berdasarkan penjelasan syara :

1. Maka sebuah ayat yang menerangkan orang munafik ialah “orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka : “Kami telah beriman”, padahal hati mereka belum beriman”.19

2. Firman Allah Swt, ketika seorang suku badui Arab mengaku telah beriman : “Katakanlah kepada mereka : ‘Kamu belum beriman,’ tetapi katakanlah : ‘kami telah tunduk,’ karena iman itu belum masuk ke hatimu”.20 Dari kedua ayat al-Qur’an di atas, terlihat jelas bahwa hakikat iman berada di dalam hati. Seandainya iman adalah bahasa lisan, tentu ketika badui menyatakan keimanannya akan dibenarkan, tapi ternyata hal itu disangkal.21

Lalu yang kedua, berdasarkan pendekatan nalar (aqli). Keimanan sebagai dasar agama mengharuskan kesinambungan antara nalar dan nurani, namun demikian, beriman dalam arti menyakini kebenaran syari’at yang dibawa Nabi Saw adalah sesuatu yang bersifat qalbiyyah dan esoteris (batin) yang

18 Nama lengkapnya ialah Abu Manshur Muhammad ibn Mahmud Hana>fi

al-Mutakallim al-Ma>turi>di> al-Samarqandi (wafat, Samarkand, 333 H / 944 M). Ia seorang mutakallim (ahli ilmu kalam / teolog muslim) yang banyak menghasilkan pemikiran mengenai masalah kalam. Pemikiranya banyak dianut olehkaum muslim yang dikenal dengan aliran al-Ma>turi>diyyah, aliran ini termasuk ke dalam kelompok Ahlussunnah wal Jamaah. Abu Manshur belajar ilmu pengetahuan pada paru kedua abad ke 3 H. Pada saat itu terjadi pertentangan hebat antara golongan Muktazilah dan para ulama karena pendapat Muktazilah dianggap menyesatkan umat islam. Al-Ma>turi>di> bermadzhab Hana>fi. Ensiklopedi Islam, pen. PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, vol. III, 1999, h. 206.

19Q.S. al-Ma>idah : 41.

20 Q.S. al-Hujura>t : 14.

21 Tim Saluran Teologi Lirboyo 2005, Akidah Kaum Sarungan, @Tamatan Aliyah Lirboyo


(56)

tidak dapat diketahui oleh sarana lahir. Maka untuk mengetahuinya diperlukan sarana yang membuatnya dapat dijangkau, hal itu adalah mengucapkan kalimat syahadat yang kemudian dilanjutkan dengan pengamalan ajaran islam. Kesempurnaan iman seseorang diukur melalui keteguhan hati, ucapan, dan amal perbuatan yang sesuai dengan ajaran yang disampaikan Nabi Saw.

Perbedaan dalam memandang tiga komponen keimanan yaitu pembenaran dengan hati, ungkapan dengan lisan, pembuktian dengan pengamalan, maka dari tiga tersebut berakibat pada perbedaan dalam memandang keselamatan seseorang di akhirat, maka al-Ghaz}a>li> menjelaskan secara baik dengan penjelasan bertingkat :22

1. Orang yang melakukan seluruh pilar keimanan , semua ulama sepakat bahwa di akhirat kelak ia akan memperoleh surga.

2. Seseorang yang membenarkan dengan hati dan mengucapkan dengan lisan, namun hanya menjalankan sebagai perintah agama dan hanya menjauhi sebagian laranganya. Menurut Muktazi>lah, jika dia melakukan dosa besar berati ia telah keluar dari keimanannya, berada di antara mukmin dan kafir. Bukan golongan beriman juga bukan golongan kafir. Di akhirat kelak ia berada di tengah-tengah antara dua posisi (manzi>lah banyn manzi>latain). Tetapi menurut Ahlussunnah wal Jamaah, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada Allah Swt. Manusia tidak mempunyai hak untuk menentukan.


(57)

3. Golongan yang membenarkan dalam hati dan bersaksi dengan lisan, akan tetapi sama sekali tidak menjalankan perintah agama. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Abu Thalib al-Makki mengatakan bahwa amal perbuatan termasuk syarat iman. Pendapat Abu Thalib dilandasi oleh ayat al-Quran surat al-Buru>j :

ﻢﻬﹶﻟ ﺕﺎﺤﻟﺎﺼﻟﺍ ﺍﻮﹸﻠﻤﻋﻭ ﺍﻮﻨﻣَﺁ ﻦﻳﺬﱠﻟﺍ

ﺭﺎﻬﻧﹶﺄﹾﻟﺍ ﺎﻬﺘﺤﺗ ﻦﻣ ﻱﹺﺮﺠﺗ ﺕﺎﻨﺟ

ﻚﻟﹶﺫ

ﺯﻮﹶﻔﹾﻟﺍ

ﲑﹺﺒﹶﻜﹾﻟﺍ

“Orang-orang beriman dan beramal kebaikan bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, itulah keberuntungan yang besar”.23

Al-Ghaz}a>li> justru berkomentar, bahwa ayat ini justru menunjukkan perbedaan iman dan amal saleh. Dalam ayat ini iman dan amal diposisikan dalam karangka makna yang berbeda, pendapat yang lain menyatakan, bahwa amal perbuatan bukan bagian integral dari iman, melainkan penyempurna saja. Artinya, seseorang yang beriman tetapi tidak beramal, keputusannya kembali kepada kebijakan Allah Swt di akhirat kelak. Sebab, menurut pendapat ini, jika amal dikategorikan sebagai bagian integral dari iman, tentu seseorang yang tidak beramal dinilai sebagai orang kafir, dan pelakunya berada di neraka selama-lamanya. Padahal orang berpendapat sebagaimana pandangan pertama tidak mengatakan demikian. Pendapat yang disebut belakangan adalah pandangan mayoritas ulama Ahlussunnah.

4. Orang yang membenarkan dalam hati, namun sebelum sempat mengakui dengan ucapan ia terlebih dahulu meninggal dunia. Menurut Ahlussunnah


(58)

wal Jamaah, dia mati dalam keadaan beriman di sisi Allah Swt, berdasarkan firman Allah Swt dalam hadis qudsinya : “Akan keluar dari neraka seseorang yang dalam hatinya masih tersimpan iman meski seberat semut”. Sementara kelompok kedua mengatakan, bahwa ia bukan termasuk orang beriman dan akan kekal selamanya di neraka. Mereka berpandangan bahwa pengakuan dengan ucapan merupakan syarat mutlak bagi keimanan seseorang.

5. Orang yang membenarkan, tetapi menunda pengucapan syahadat. Padahal dia tahu bahwasanya adalah syarat sesorang dapat disebut seorang muslim, maka orang sperti ini menurut Ahlussunnah wal Jamaah disamakan dengan orang yang meninggalkan sholat. Di akhirat akan mendapatkan siksa walaupun tidak selamanya. Sedangkan Murji’ah24 berpandangan bahwa orang seperti itu tidak akan masuk neraka, tapi dipastikan masuk surga. Pendapat ini berbeda dengan pandangan mayoritas umat Islam.

6. Seseorang yang mengucapkan syahadat, namun sebenarnya hatinya mengingkari. Orang yang melakukan tindakan ini diancam dengan neraka, karena sebenarnya ia tergolong orang kafir. Jadi walaupun selama hidupnya ia diakui sebagai seorang muslim, karena telah mengucapkan dua kalimat syahadat, namun di akhirat kelak ia akan kekal di jurang jahannam. Orang yang memiliki karakteristik semacam ini dikenal

24 Mereka adalah sebuah golongan yang berpendapat bahwa perbuatan durhaka (ma’shiyah) tidak memberi pengaruh apapun apabila seseorang beriman, sebagaimana ketaatan tidak berguna bila yang melakukan adalah orang kafir. Baca Sya>rif ‘Ali bin Muhammad al-Jurja>ni>, al-Ta’rifat, Da>r al-Kita>b al-Ilmiyah, Beirut, h. 208.


(59)

sebagai orang munafik, yakni seseorang yang menggunakan ungkapan syahadat untuk memperoleh keamanan duniawi semata.

C. Urgensi Iman

Pada periode awal salaf umat islam, ulama mendefinisikan iman sebagai suatu keyakinan, pernyataan, dan pengamalan. Abu hasan Asy’ari menjelaskan, yang dimaksud iman ialah ucapan sekaligus tindakan. Ucapan dan tindakan sebagai pengejawantahan keyakinan hati bisa saja bertambah bisa saja berkurang. Kadar keimanan bisa bertambah dengan bertambahnya amal, dan amal pun dapat berkurang akibat menipisnya iman.

Maka dalam perkembangan selanjutnya, pengertian iman acap kali diposisikan berbeda dengan amal, amal adalah bagian tersendiri meskipun tetap menjadi penopang keimanan. Berikut beberapa pendapat mengenai pertautan iman dan amal :

1. Muktazilah dan Khawa>rij sepakat memasukan amaliah menjadi bagian integral dari keimanan. Sehingga menurut dari dua aliran ini, orang yang meninggalkan amaliah tidak dianggap beriman, menurut Khawa>rij ia menjadi kafir, sedangkan menurut Muktazilah ia ada pada posisi antara iman dan kafir.

2. Murji’ah menganggap amaliah bukan termasuk persyaratan iman. Persoalannya, keselamatan manusia terletak pada keyakinan, sehingga kebahagian di akhirat tidak berkaitan dengan amaliah, maka faktor yang terpenting menurut Murji’ah adalah soal kepercayaan hati.


(1)

faktor pendorong kekafiran dan kegelapan yang merupakan penghalang mata hati mereka.

Abu Ja’far berkata : pendapat yang telah kami sebutkan dari Mujahid dan dari Ubadah bin Abi Lubabah menunjukkan bahwa ayat ini maknanya khusus, karena ayat ini turun pada orang nasrani yang kafir kepada Nabi Muhammad Saw dan yang beriman kepadanya dari para penyembah berhala yang mereka tidak mengakui kenabian Isa As serta semua agama yang para pemeluknya mendustakan Nabi Isa As.32

“Mereka itu adalah penghuni neraka , mereka kekal di dalamnya.” Lalu Abu Ja’far berkata : maksudnya adalah mereka orang-orang kafir penghuni neraka yang kekal di dalamnya, artinya di neraka jahannam tidak ada selain mereka yakni orang-orang beriman, hingga tidak ada batas dan akhir selama-lamanya.33

D. Analisis

Kesempurnaan keimanan seseorang dalam pandangan Islam justru diukur dari kemantapan hati, ucapan, perbuatan, dan amal ibadah. Ke baikan yang hakiki tidak dapat diraih tanpa panduan agama. Beriman dalam arti membenarkan syariat Nabi Muhammad Saw. Adalah sesuatu yang esoteris (bathin) dan tidak dapat diketahui oleh orang lain.34 Untuk mengetahuinya, diperlukan sarana yang membuatnya

32 Tafsir Ath-Thabari, vol. 4, h. 479. 33 Tafsir Ath-Thabari, vol. 4, h. 481-482.

34 Di intern kaum Ahlusunnah Wal Jamaah, berselisih mengenai ikrar dengan lisan.

Menurut teolog muh>aqqiq Asy’ariyah dan Maturidiyah, ikrar hanya sebagai syarat-syarat sebagaimana amal untuk menentukan status seorang yang berdampak pemberlakuan hukum duniawi. Ini menjadi perhatian karena mu’min dan kafir ketentuan hukum ketika di dunia


(2)

77

dapat diketahui, mula-mula dengan lisan selanjutnya dengan perbuatan. Penilaian hati lebih ditekankan pada unsur-unsur keakhiratan karena berada di luar batas nalar manusia. Sementara untuk kepentingan duniawi, keimanan hati itu perlu diungkapkan dengan kalimat syaha>dat.

Untuk mendapat status mu’min sempurna, seseorang harus benar-benar menyakini dalam hati terhadap kebenar-benaran Islam, kemudian mengikrarkan keyakinan itu dengan media Syahadat, dan disempurnakan dengan amal perbuatan. Jika demikian adanya, maka orang tersebut dalam tataran hukum formal duniawi dianggap mu’min, dan di sisi Allah Swt pun juga mu’min.

dibedakan, misalkan hukum dibolehkan menikahi wanita muslim tapi tidak boleh menikahi wanita kafir. Sementara, Abu Hani>fah dan kelompok Asy’ariyah, berpendapat itu termasuk bahan-bahan keimanan (rukun). Jadi menurut pendapat ini, seorang yang hatinya membenarkan namun tidak berkesempatan mengucapkan, baik hukum dunia atau akhirat tetap diklaim sebagai non mu’min. Lihat Aqidah Kaum Sarungan h. 191


(3)

78

A. Kesimpulan

Penulis berkesimpulan bahwasanya, Tafsi>r Ima>m al-Ghaz}a>li> tidak menjelaskan iman secara panjang lebar, beliau hanya menerangkan iman secara ringkas, padat, dan jelas, sehingga para pembaca dari kitab yang beliau tuliskan, mampu memahami makna-maknanya atau maksud-maksud dari apa yang beliau paparkan, sehingga dapat diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari bagi pembaca. Iman adalah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan memanifestasikan dengan amal perbuatan. Iman seorang akan bertambah karena ketaatan dan akan berkurang karena kemaksiatan atau bisa juga iman itu dapat diperkuat dengan ilmu dan diperlemah dengan kebodohan.

Iman berarti agama, syariat, dan millah, karena agama berarti sesuatu yang dianut disertai dengan ketaatan dan penghindaran dari larangan dan segala yang haram, itulah merupakan sifat iman. Setiap iman adalah Islam dan tidak setiap Islam berarti beriman, karena Islam berarti penyerahan dan ketundukan, maka setiap mu’min pasti menyerahkan diri dan tunduk kepada Allah Swt, dan tidak setiap yang berserah diri beriman kepada Allah, dengan demikian iman merupakan nama yang mencngkup berbagai sebutan, baik yang berwujud ucapan maupun perbuatan, sehingga iman tersebut mencakup segala bentuk ketaatan.


(4)

79

B. Saran-saran

Inilah yang dapat penulis paparkan tentang iman, karena iman merupakan faktor yang paling esensial yang wajib dimiliki untuk setiap muslim, penelitian yang telah penulis lakukan tentang iman dalam Tafsi>r Ima>m al-Ghaz}a>li> mungkin kurang begitu sempurna dan berharap agar ke depannya penulis-penulis skripsi yang lain agar lebih banyak lagi yang menuliskan dan memaparkan tentang iman, karena iman ini merupakan landasan yang paling pokok yang harus diketahui bagi seorang muslim dan iman tidak bisa di permainkan begitu saja, sehingga seorang muslim meremehkan tentang keberadaan iman itu sendiri, oleh karena itu pembahasan iman harus dipaparkan dengan sungguh-sungguh, sehingga seorang muslim dapat memahami dan mengimplementasikan ke dalam aktivitas hidupnya sehari-hari, waallahua’lam.


(5)

Daftar Pustaka

Abidu, Yunus Hasan, Tafsir al-Qur’an. Jakarta : Gaya Media Pratama. 2007 al-Jaza>iri, Abu Bakar Jabi>r, Tafsir al-Aisar. Jakarta : Da>rus Sunnah. 2006. al-Mara>gi>, Ahmad Mustafa>, Tafsir al-Mara>ghi>. Semarang : Toha Putra. 2002. al-Khumais, Muhammad Abdurrahman, Aqidah Empat Imam, Jakarta: kantor atase agama kedutaan besar saudi arabia di Jakarta. Maret 2003.

Ar-Riha>ni>, Muhammad, Tafsir Ima>m al-Ghaz}a>li>. Mesir : Da>rus Sala>m. 2010 Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Pelajar. 1998

Ba’adillah, Ibnu Ibrahim, Terjemahan Ih>ya>ulu>muddi>n. Jakarta : Republika. 2011.

Fida Isma>’il, Ima>m al Ha>fizh 'Ima>duddi>n Abul, Tafsir Al Mulk, Terj,Sabiq Abu Yusuf. Jakarta : Media Tarbiyah. 2007.

Ghaz}a>li>, Abu H<amid Muhammad bin Muhammad, Fashl al-Tafriqah. Da>r al-Basya’ir. Beirut, cet. Pertama. 1996 M/1416 H.

..., al-Mustasyfa fi> ‘ilm al-Ushul. Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 2000 M.

..., al-Iqtisdhad fi> al-I’tiqad. Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Cet. Pertama. 1983.

………., al-Risalah al-Laduniyyah. Beirut : Da>r al-Fikr. 1996. Hamka, Tafsir al-Azha>r. Jakarta : Pustaka Panji Mas. 2002.

Islam, Ensiklopedi, Al-Ma>turi>di> bermadzhab Hana>fi, Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve. 1999.

Katsi>r, Ibnu, Tafsir Ibnu Katsi>r, Jilid I. Surabaya : Bina Ilmu.2004.

Lirboyo, Tim Saluran Teologi, Akidah Kaum Sarungan. Tamatan Aliyah Lirboyo Angkatan 2005.

Salim, Abd Muin, Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta : Teras. 2005. Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an. Bandung : Mizan. 1992 ………., Wawasan al-Qur’an. Bandung : Mizan. 1997 ..., Tafsir Al-Misba>h. Jakarta : Lentera Hati. 2002.


(6)

81

..., Sejarah dan Ulum al-Qur’an. Jakarta : Pustaka Firdaus. 2001. Surien, Bachtiar, Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Universitas Indonesia. 2002.

Syadid, Muhammad, Konsep Pendidikan Dalam Al-Qur’an. Jakarta: Penebar Salam, 2001.

Syakir, Syaikh Ahmad Muhammad dan Syaikh Mahmud Muhammad, Tafsir Ath-Thabari. Jakarta : Pustaka Azzam. 2007.

Sya’ra>wi>, Syeikh M. Mutawalli, Tafsir Sya’ra>wi>. Jakarta : Duta Azhar. 2004. Sa>biq, Sayyid, al-Aqa>id al-Islamiyyah. Bairut Libanon : Da>rul Fikr.

Quthb, Sayyid, Fi> Zhila>lil Qur’an. Jakarta : Gema Insani Press. 2000.