Latar Belakang Masalah Iman dalam perspektif tafsir imam al-ghazali

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Iman kepada Allah Swt adalah kalimat yang sudah tidak asing lagi ditelinga, namun dengan demikian, apakah yang sebenarnya yang dimaksudkan iman kepada Allah Swt?. Beriman kepada Allah Swt adalah membenarkan dengan yakin tentang adanya Allah Swt, membenarkan dengan yakin atas keesaanNya, baik dalam perbuatanNya menciptakan alam dan makhluk seluruhnya, maupun dalam menerima ibadah segenap makhlukNya, kemudian membenarkan dengan yakin, bahwa Allah memiliki sifat sempurna, suci dari pada sifat kekurangan dan suci pula dari segala menyerupai yang baru makhluk. Sebuah pembenaran yang terealisir dalam hati, lisan, dan amal perbuatan. Beriman kepada Allah Swt berarti meninggalkan segala bentuk penghambaan, bersandar, dan menyembah selain Allah Swt. Segala bentuk aktivitas kehidupan, baik bersifat lahir maupun batin, jasmani maupun rohani, semuanya hanya untuk beribadah kepada Allah Swt, untuk mendapatkan ridho dan rahmat Allah Swt. Firman Allah Swt : ﻪﻟﻮﺳﺭ ﻰﹶﻠﻋ ﹶﻝﺰﻧ ﻱﺬﱠﻟﺍ ﹺﺏﺎﺘﻜﹾﻟﺍﻭ ﻪﻟﻮﺳﺭﻭ ﻪﱠﻠﻟﺎﹺﺑ ﺍﻮﻨﻣَﺁ ﺍﻮﻨﻣَﺁ ﻦﻳﺬﱠﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃ ﺎﻳ ﻪﺘﹶﻜﺋﺎﹶﻠﻣﻭ ﻪﱠﻠﻟﺎﹺﺑ ﺮﹸﻔﹾﻜﻳ ﻦﻣﻭ ﹸﻞﺒﹶﻗ ﻦﻣ ﹶﻝﺰﻧﹶﺃ ﻱﺬﱠﻟﺍ ﹺﺏﺎﺘﻜﹾﻟﺍﻭ ﻪﻠﺳﺭﻭ ﻪﹺﺒﺘﹸﻛﻭ ﺍﺪﻴﻌﺑ ﺎﹰﻟﺎﹶﻠﺿ ﱠﻞﺿ ﺪﹶﻘﹶﻓ ﹺﺮﺧَﺂﹾﻟﺍ ﹺﻡﻮﻴﹾﻟﺍﻭ “Wahai orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasulnya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasulnya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat- malaikatnya, kitab-kitabnya, rasul-rasulnya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya”. 1 Menurut pandangan Islam, dalam diri manusia terdapat beberapa unsur yang diistimewakan Allah Swt, yaitu terkait dengan keimanan. Sayangnya, hal itu tidak mendapat perhatian yang semestinya, sering dilupakan bahwa perilaku keislaman harus didasari oleh keimanan yang teguh. Islam merupakan perbuatan lahir yang harus berdasarkan keyakinan dan keimanan yang kuat, fitroh manusia mendorongnya untuk berbuat sesuatu berdasarkan dorongan hati nurani dan dorongan manusiawi lainya. Karenanya, tindakan manusia yang tidak memiliki motivasi yang benar pada akhirnya, hanya akan melahirkan dampak buruk. Berpijak dari hal ini, sudah seharusnyalah iman menjadi landasan seluruh tingkah laku seorang muslim untuk mencapai kualitas hamba yang bertaqwa dalam ke hidupan masyarakat sehari-hari. Tertanamnya keimanan dalam hati akan melahirkan suatu tata nilai ketuhanan rabbaniyyah yaitu tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Allah Swt dan hanya menuju kepadanya. Tata nilai ketuhanan itu akan bisa digapai melalui tumbuhnya keyakinan dalam hati tentang kemaha tunggalan Allah Swt. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dialah penguasa segala yang ada, dan Dia pula pengatur semua ciptaan-Nya. Dengan demikian, prinsip pengesaan Tuhan tawhid adalah inti dan dasar ajaran Islam. 2 1 Q.S. An-Nissa : 136. 2 Tim Saluran Teologi Lirboyo 2005, Akidah Kaum Sarungan, Tamatan Aliyah Lirboyo Angkatan 2005, h. 184. Di samping itu, agama Islam juga mengajarkan kepada umat manusia untuk selalu berserah diri dengan sepenuh hati, tulus dan pasrah kepada Allah Swt. Sikap berserah diri ini merupakan buah yang dihasilkan dari pengakuan atas kemahatunggalan dan kemahakuasaan-Nya. Jadi, jika pengakuan atas Keesaan Allah Swt adalah inti ajaran Islam, maka sikap pasrah adalah pengejawantahan dari pengakuan tersebut, sikap pasrah yang diwujudkan dengan pengamalan Islam yang dibawa oleh Nabi Saw. Dalam kehidupan sehari-hari. Inilah prinsip keimanan yang sejati. 3 Iman sendiri merupakan landasan pokok bagi terbentuknya keislaman. Antara iman dan Islam bagaikan satu bangunan yang saling memperkuat satu sama lain. Iman tidak ada artinya tanpa amal shalih, dan amal shalih tidak akan sia-sia jika tidak dilandasi keimanan. Oleh karena itu, dapat dikatakan setiap muslim pasti mukmin dan setiap mukmin pasti muslim. Logikanya, orang yang percaya tentang kenabian Muhammad Saw. Tentu tunduk dan patuh pada pesan-pesan syari’atnya. Begitu pula orang yang patuh terhadapnya pasti didasari keyakinan dan kepercayaan atas kebenaran ajaran yang dibawanya. Dapat dikatakan, bahwa iman adalah perbuatan batin akidah, sementara Islam adalah perbuatan lahirnya. Secara teologis ulama berbeda pandangan dalam memaknai Islam. Penulis Syarh Aqidah al-Thahawiyyah, mencatat tiga pengertian Islam menurut pandangan beberapa mutakallim yang berbeda : 1. Kelompok yang menganggap Islam sebagai sebuah sebutan. 3 Tim Saluran Teologi Lirboyo 2005, Akidah Kaum Sarungan, Tamatan Aliyah Lirboyo Angkatan 2005, h. I84. 2. Aliran yang menggambarkan Islam sebagaimana keterangan hadis, ketika Nabi Saw, ditanya tentang makna Iman dan Islam, beliau menafsirkan Islam dengan lima perbuatan lahir yang merupakan pilar ajaran Islam. 3. Golongan yang menyamakan antara Iman dan Islam . pendapat ketiga ini juga merujuk pada hadis yang menerangkan bahwa Islam adalah persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah Swt. 4 Mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu melaksanakannya. Masing-masing kelompok mendasarkan pandangan mereka pada hadis- hadis Nabi Saw. Beberapa hadis yang nampak bertentangan, kemudian ditafsirkan secara berlainan oleh beberapa kelompok berbeda, sehingga melahirkan definisi yang berbeda pula. Namun setelah diteliti lebih dalam, ternyata tidak ada perbedaan mendasar dari masing-masing pendapat. Penulis Syarh Aqidah al-Thahawiyyah berkesimpulan bahwa ketiga definisi di atas memilki titik temu, yakni bila dua kata, iman dan Islam, terkumpul disebut bersamaan keduanya memiliki pengertian yang berbeda; sebuah perbedaan yang terjadi hanya dalam tingkat pengertian definisi, bukan merupakan perbedaan substantif; makna keduanya justru saling melengkapi. Namun bila keduanya disebutkan secara terpisah, masing-masing justru menunjuk pada pengertian yang sama muradif. 5 Makna lain dari Islam adalah bahwa ia bernama agama al-adin yang diridhai Allah Swt. Sebagaimana dalam Al- 4 Hadis tersebut diriwayatkan oleh Muslim dari Umar ra. Lihat : dalam Yahya bin Syaraf al-Din al-Nawawi, Syarah al-Arba’in al-Nawawi, al-Hidayah, Surabaya, h. 16. 5 Zaynudian Abi Faraj Abdurahman ibn Syihabuddin al-Bahgdadi Ibnu Rajab , Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, Muassasah al-Risalah, vol. I, h. 108. Qur’an. Dalam hal ini, nampak perbedaan pengertian dan makna antara Iman dan Islam. Yang kemudian diperdebatkan adalah apakah Iman cukup diyakini dalam hati, harus diucapkan, atau bahkan harus dibuktikan secara lahir dalam bentuk perbuatan. Lalu apa hubungannya dengan Islam, apakah keimanan cukup tertanam dalam hati, sementara keislaman berbentuk perbuatan lahir. Ketika menjawab pertanyaan ini, kalangan mutakallimin teolog berbeda pendapat. Oleh karena itu iman sebagai landasan hidup seseorang merupakan suatu benteng jiwa dan perisai hati dari segala bentuk kemusyrikan dan kemunafikan. Nah dari iman yang benar inilah akan tumbuh jiwa pengabdian yang tulus kepada maha pencipta dalam bentuk ibadat serta melaksanakan semua perintah dan mencegah atas segala apa yang dilarangnya. Pengertian iman yang benar tidak saja cukup dengan ucapan lisan, melainkan pengakuan hati dan ungkapan laku perbuatan juga menjadi suatu ukuran. Oleh karena itu perpaduan antara ucapan lisan, pengakuan hati, dan pembuktian melalui amal perbuatan merupakan suatu bukti kebenaran iman seseorang. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt : ﹶﻥﻮﹸﻘﻔﻨﻳ ﻢﻫﺎﻨﹾﻗﺯﺭ ﺎﻤﻣﻭ ﹶﺓﺎﹶﻠﺼﻟﺍ ﹶﻥﻮﻤﻴﻘﻳﻭ ﹺﺐﻴﻐﹾﻟﺎﹺﺑ ﹶﻥﻮﻨﻣﺆﻳ ﻦﻳﺬﱠﻟﺍ “Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, menafkahkan sebagian rizqi yang Kami anugrahkan kepada mereka”. 6 6 Q.S. al-Baqarah : 3. Ayat ini merupakan keterangan yang nyata kadar dan nilai iman seseorang bahkan berdasarkan ayat ini pula kita dapat mengatakan palsulah iman seseorang yang hanya diucapkan lisanya saja tanpa pengakuan hati dan membuktikanya dengan amal perbuatan. Maka oleh karena itu, bagi seorang mukmin sedikitnya tujuh belas kali dalam sehari semalam menyatakan pengakuan di hadapan Tuhanya, bahwasanya semua apa yang ada dan terjadi pada dirinya semata-mata adalah kepada Allah jua kembalinya. Inilah arti yang terkandung dalam doa iftitaahush shalaah : ﻲﻜﺴﻧﻭ ﻲﺗﺎﹶﻠﺻ ﱠﻥﹺﺇ ﲔﻤﹶﻟﺎﻌﹾﻟﺍ ﺏﺭ ﻪﱠﻠﻟ ﻲﺗﺎﻤﻣﻭ ﻱﺎﻴﺤﻣﻭ “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku, matiku hanyalah bagi Allah semata-mata”. Dari pengakuan inilah terpancar sikap jiwa yang teguh dan tulus, perangai luhur dan akhlak terpuji yang tidak hanya mementingkan diri sendiri, penuh rasa kasih sayang sesamanya rela berkorban untuk menegakkan kebenaran. Pribadi-pribadi yang demikian inilah yang sangat diharapkan dalam islam, mereka pulalah yang sangat dinantikan oleh suatu masyarakat maupun bangsa dalam mencapai tujuan dan cita-cita perjuangannya. Menyadari bahwa dalam kenyataan hidup sehari-hari banyak di jumpai keadaan yang mencemaskan, mana tidak sedikit saudara-saudara yang hidup dalam kepapaan dan kemiskinan, padahal di antara mereka terdapat pula orang-orang yang hidup serba berkecukupan, bergemilang, dan kemewahan. Ketimpangan dalam kehidupan inilah yang merupakan batu ujian bagi seseorang yang mengaku dirinya beriman, sejauh mana mereka mengambil bagian dalam menyelamatkan saudara-saudaranya dari bencana dan malapetaka yang ditimbulkan dari kemiskinan dan kepapaan hidup ini. Maka timbullah pertanyaan, sudahkah mereka melaksanakan amanat Allah yang diberikan kepadanya, baik yang berwujud harta kekayaan, tenaga maupun fikiran? Firman Allah Swt : ﱠﻥﹺﺇ ﺍﻮﻨِﺴﺣﹶﺃﻭ ﺔﹶﻜﹸﻠﻬﺘﻟﺍ ﻰﹶﻟﹺﺇ ﻢﹸﻜﻳﺪﻳﹶﺄﹺﺑ ﺍﻮﹸﻘﹾﻠﺗ ﺎﹶﻟﻭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹺﻞﻴﹺﺒﺳ ﻲﻓ ﺍﻮﹸﻘﻔﻧﹶﺃﻭ ﲔﹺﻨِﺴﺤﻤﹾﻟﺍ ﺐﺤﻳ ﻪﱠﻠﻟﺍ “Dan belanjakanlah harta bendamu di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinisaan dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. 7 Dalam ayat lain dinyatakan pula : ﻦﻣﻭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺓﺎﺿﺮﻣ َﺀﺎﻐﺘﺑﺍ ﻪﺴﹾﻔﻧ ﻱﹺﺮﺸﻳ ﻦﻣ ﹺﺱﺎﻨﻟﺍ ﺩﺎﺒﻌﹾﻟﺎﹺﺑ ﻑﻭُﺀﺭ ﻪﱠﻠﻟﺍﻭ “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhoan Allah Swt, dan Allah maha penyantun kepada hamba-hambanya”. 8 Maka dengan merenungi kandungan ayat-ayat tadi, marilah buktikan kebenaran iman, yakni memadukan ucapan lisan yang juga membenarkan dalam hati dengan mengembuktikanya melalui amal perbuatan yang nyata. 7 Q.S. al-Baqarah : 195. 8 Q.S. al-Baqarah : 207. Marilah sama-sama menggunakan kesempatan yang ada, baik harta kekayaan, tenaga, fikiran, dan umur untuk merlomba-lomba membuat kebaikan dan kebajikan, membantu saudara-saudara yang memerlukan, menolong mereka yang nyaris terjerumus ke dalam jurang kekafiran. Berangkat dari banyaknya penjelasan di atas, penulis menganalisis bahwasannya prilaku manusia pada zaman sekarang sudah tidak lagi mengedepankan keimanannya, jadi mereka mengedepankan hawa nafsunya saja, sehingga banyak terjadi perbuatan kemaksiatan yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Disadari atau tidak, keimanan mayoritas manusia bahkan hampir semua orang kecuali orang-orang khusus masih dalam derajat taqlid. Karena mereka percaya atas Wujud Allah, sifat- sifatNya, dan pekerjaanNya sebatas hasil informasi dari guru-gurunya atau kefanatikannya terhadap orang-orang yang menginformasikan. Iman model ini sebenarnya masih diperselisihkan keabsahannya, bahkan ada yang mengatakan belum bisa dikategorikan beriman masih dalam kekufuran. Diantaranya mereka memang ada yang sudah mampu mengeluarkan dalil- dalil keimanannya, namun masih belum mampu keluar dari belenggu taqlid. Sebab mereka beriman bukan atas dasar memahami dalil, melainkan paham dalil setelah beriman. Berdasarkan konteks di atas penulis mencoba menganalisis penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang iman, untuk itu penulis mengangkatnya dalam sebuah penelitian dengan judul “Iman Dalam Persfektif Tafsir Imam al-Ghaz}ali” hal ini berasal dari asumsi penulis, bahwa penafsiran dipengaruhi kondisi sosial, ekonomi, dan adanya sebuah kesenggangan sosial.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah