pembayaran angsuran atas barang yang telah dikuasai oleh debitur, dimana ketidakmampuan tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama,
sehingga pihak kreditur mengambil tindakan penyitaan atas barang yang telah diletakkan perjanjian sewa beli tersebut.
Tindakan penyitaan yang oleh kreditur merupakan hal yang lumrah terjadi dalam praktek pelaksanaan perjanjian sewa beli, namun terkadang ketika eksekusi
atau penyitaan atas benda sewa beli itu dilakukan, terkadang kreditur mendapati bahwa benda yang akan disita sudah tidak sesuai dengan keadaan ketika benda
tersebut diserahkan, sehingga kreditur menganggap bahwa debitur telah melakukan penggelapan atas benda sewa beli tersebut.
Skripsi ini menguraikan tentang aspek pidana penggelapan benda yang diikat dalam perjanjian sewa beli serta pertanggungjawaban pidana debitur yang
melakukan penggelapan atas benda sewa beli kendaraan bermotor.
B. Permasalahan
Yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah: 1.
Bagaimana aspek pidana penggelapan atas benda-benda yang menjadi objek sewa beli?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana debitur dalam perjanjian sewa beli
secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan oleh kreditur?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
Universitas Sumatera Utara
a. Untuk mengetahui aspek pidana penggelapan atas benda-benda yang
menjadi objek sewa beli b.
Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana debitur dalam perjanjian sewa beli secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda
motor dalam hal terjadinya penyitaan oleh kreditur
2. Manfaat Penulisan
a. Secara Teoritis
1. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum
pidana, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana debitur dalam sewa beli sepeda motor secara kredit yang
menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan karena kredit macet.
2. Dapat memberi masukan kepada masyarakat, lembaga
kenotariatan, pemerintah, aparat penegak hukum tentang eksistensi Undang-undang serta pasal-pasal yang berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana debitur dalam sewa beli sepeda motor secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal
terjadinya penyitaan karena kredit macet yang terdapat dalam berbagai Undang-undang.
b. Secara Praktis
Dapat diajukan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan-rekan mahasiswa, masyarakat, lembaga penegak hukum, praktisi hukum dan
Universitas Sumatera Utara
pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana debitur dalam sewa beli sepeda motor secara
kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan karena kredit macet.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Pertanggungjawaban Pidana Debitur dalam Sewa Beli Sepeda Motor
Secara Kredit yang Menggelapkan Alat-alat Sepeda Motor dalam Hal Terjadinya Penyitaan Karena Kredit Macet Studi Kasus Putusan PN Medan Nomor
2516Pid.B2009PN.Mdn” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh
penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga
penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab
sepenuhnya.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Kredit dan Kredit Macet
a. Pengertian Kredit
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara
Universitas Sumatera Utara
kreditur dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
5
Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa kredit itu merupakan perjanjian pinjam meminjam uang antara kreditur selaku pemberi kredit dengan
nasabah sebagai debiturpenerima kredit. Dalam perjanjian ini pihak pemberi kredit percaya terhaap nasabahnya dalam jangka waktu yang telah disepakatinya
akan dikembalikan dibayar lunas. Tenggang waktu antara pemberian dan penerimaan kembali prestasi ini menurut Mgs. Edy Putra Aman, merupakan suatu
Dalam undang-undang Nomor 7 tahun 1992 pasal 1 butir 12 dan menurut undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan bahwa pengertian kredit
disebut sebagai berikut: Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.
Sedangkan dalam peraturan baru yang tertuang dalam undang-undang
nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, pengertian kredit tidak mengalami perbedaan definisi yang
mendasar, yang diatur dalam pasal 1 angka 11 sebagai berikut: Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
5
Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Universitas Sumatera Utara
hal yang abstrak, yang sukar diraba, karena masa antara pemberian dan penerimaan prestasi tersebut dapat berjalan dalam beberapa bulan, tetapi dapat
pula berjalan beberapa tahun.
6
b. Pengertian Kredit Macet
Kredit macet adalah suatu keadaan dimaan nasabah sudah tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh kewajibannya kepada bank seperti telah
diperjanjikan.
2. Pengertian Sewa Beli
Mengenai perjanjian sewa beli ini ada beberapa definisi dari para pakar di Indonesia diantaranya yaitu, Sewa beli sebenarnya semacam jual beli, setidak-
tidaknya sewa beli lebih mendekati jual beli dari pada sewa menyewa, meskipun ia merupakan campuran dari keduanya dan diberikan jual sewa menyewa.
7
Sewa beli adalah jual beli barang di mana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan
Menurut Prof. Dr. Ny. Sri Soedewi Masychoen Sofyan, SH : 25 memberikan definisi perjanjian sewa beli sebagai berikut :
“Hire Puchase Huur Koop: ialah lembaga jaminan yang banyak terjadi dalam praktek di Indonesia namun sampai kini belum dapat pengaturannya
dalam Undang-Undang. Perjanjian sewa beli adalah perjanjian dimana hak tersebut akan berakih pada pembeli sewa jika harga barang tersebut sudah
dibayar lunas”. Menurut isi dari SK Menteri Perdagangan dan Kopersi No. 34 KP II
1980 adalah sebagai berikut:
6
Mgs. Edy Putra Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta, 1989, hal.10.
7
R. Subekti, Op.cit, hal. 52.
Universitas Sumatera Utara
oleh pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan telah diikat dalam suatu perjanjian serta hak milik atas barang
tersebut baru beralih dari penjual pada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli.
8
3. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan
Tindak pidana penggelapan diatur dalam pasal 372 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak suatu benda
yang sama sekali atau sebahagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan benda itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena
penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak Rp. 900,-“.
9
Dimana sering terjadi penggelapan di kalangan kawan-kawan maupun kenalan dalam kehidupan sosial. Terjadinya kejahatan penggelapan itu
karena ada hubungan kerja, hubungan dagang, baik penitipan benda Ditinjau dari segi yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan
tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang, untuk dapat melihat apakah perbuatan itu melanggar undang-undang atau harus diciptakan dulu
peraturan sebelum peristiwa agar mencegah tindakan sewenang-wenang dan memberi kepastian hukum, dari segi sosiologis kejahatan adalah perbuatan atau
tingkah laku yang selain merugikan penderita juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.
Perbuatan yang merusak kepercayaan ini serupa dengan mengingkari janji dengan iktikad yang tidak baik dan karena itu dalam KUHP digolongkan dengan
kejahatan penggelapan, selanjutnya R. Tresna, mengatakan:
8
Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34KPII80 tentang Perizinan Kegiatan Sewa Beli, Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa, Pasal 1 Huruf a.
9
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politea, Bogor, 1994, hal. 258.
Universitas Sumatera Utara
maupun pemberian kuasa atau seorang pegawai yang berhubungan dengan keadaan sosial masyarakat.
10
Dalam Memorie van Toelichting MvT mengenai pembentukan pasal 372 KUHP menerangkan bahwa memiliki adalah perbuatan menguasai suatu benda
seolah-olah ia memiliki benda itu. Kiranya pengertian ini dapat diterangkan demikian, bahwa petindak dengan melakukan perbuatan memiliki atas suatu
benda yang berada dalam kekuasaannya, adalah ia melakukan suatu perbuatan sebagaimana pemilik melakukan perbuatan terhadap benda itu. Menurut hukum,
hanyalah pemilik saja yang dapat melakukan sesuatu perbuatan terhadap benda miliknya.
11
Pengertian benda yang berada dalam kekuasaannya sebagai adanya suatu hubungan langsung dan sangat erat dengan benda itu, yang sebagai indikatornya
ialah apabila ia hendak melakukan perbuatan terhadap benda itu, dia dapat melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih
dahulu, adalah hanya terhadap benda-benda berwujud dan bergerak saja, dan tidak mungkin terjadi pada benda-benda yang tidak berwujud dan benda-benda tetap.
12
Tiap kejahatan yang diatur dalam KUHP maupun diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lain mempunyai unsur-unsur yang harus dipenuhi
sesuai dengan yang dilakukan. Untuk dapat mengemukakan unsur-unsur kejahatan penggelapan, maka sebaiknya diturunkan dari bunyi ketentuan pasal
372 KUHP, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa untuk dapat dinyatakan
10
R. Tresna, Asas-asas Hukum Pidana Disertai Pembahasan Beberapa Perbuatan yang Penting, PT. Tiara, Jakarta, 1979, hal. 241.
11
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayumedia, Malang, 2003, hal. 72.
12
Ibid, hal. 77.
Universitas Sumatera Utara
seseorang melakukan kejahatan penggelapan harus terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. yang bersalah harus bermaksud memiliki benda itu,
b. benda itu harus kepunyaan orang lain, baik seluruhnya atau sebahagian,
c. benda itu harus sudah ada di tangan yang melakukan perbuatan itu, bukan
dengan jalan suatu kejahatan, d.
memiliki benda itu harus tanpa hak.
4. Pengertian Pertanggungjawaban pidana
Setiap sistem hukum modern seyogyanya, dengan berbagai cara, mengadakan pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan orang
yang telah melakukan tindak pidana. Dikatakan dengan berbagai cara karena pendekatan yang berbeda mengenai cara bagaimana suatu sistem hukum
merumuskan tentang pertanggungjawaban pidana, mempunyai pengaruh baik dalam konsep maupun implementasinya.
Baik negara-negara Civil Law maupun Common Law, umumnya pertanggungjawaban pidananya dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti, dalam
hukum pidana Indonesia, sebagaimana Civil Law System lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan tem lainnya, undnag-undang justru
merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan.
13
13
Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1983, hal. 260.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, yang diatur adalah keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipidana strafuitsluitingsgronden, yang untuk
sebagian adalah alasan penghapus kesalahan. Sedangkan dalam praktik peradilan di negara-negara common law, diterima berbagai alasan umum pembelaan
general defence ataupun alasan umum peniadaan pertanggungjawaban general excusing of liability
Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan-alasan penghapus pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal liability dapat dilakukan
sepanjang pembuat tidak memiliki defence, ketika melakukan suatu tindak pidana. Dalam lapangan acara pidana, hal ini berarti seorang terdakwa dipandang
bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika tidak dapat membukt ikan bahwa dirinya mempunyai ‘defence’ ketika melakukan tindak
pidana itu. Konsep demikian itu membentuk keseimbangan antara hak mendakwa dan menuntut dari penuntut umum, dan hak menyangkal mengajukan pembelaan
dari terdakwa. Penuntut Umum berhak untuk mendakwa dan menuntut seseorang karena melakukan tindak pidana. Untuk itu, penuntut umum berkewajiban
membuktikan apa yang didakwa dan dituntut itu, yaitu membuktika hal-hal yang termuat dalam rumusan tindak pidana. Sementara itu, terdakwa dapat mengajukan
pembelaan atas dasar adanya alasan-alasan penghapus pidana. Untuk menghindari dari pengenaan pidana, terdakwa harus dapat membuktikan bahwa dirinya
mempunyai alasan penghapus pidana ketika melakukan tindak pidana.
14
14
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 62.
Universitas Sumatera Utara
Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal
yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana. Pengecualian pengenaan pidana diplomasii sini dapat dibaca sebagai pengecualian adanya
pertanggungjawaban pidana. Dalam hal tertentu dapat berarti pengecualian adanya kesalahan.
Merumuskan pertanggunjawaban pidana secara negatif, terutama berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini, dipertanggung-
jawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan
untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana. Sementara itu, berpangkal tolak pada gagasan monodualistik daad en dader strafrecht,
proses wajar due process penentuan pertanggungjawaban pidana, bukan hanya dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi juga
kepentingan pembuatnya itu sendiri. Proses tersebut bergantung pada dapat dipenuhinya syarat dan keadaan dapat dicelanya pembuat tindak pidana, sehingga
sah jika dijatuhi pidana.
15
Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat
diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana tidak hanya berarti
rightfully sentenced” tetapi juga “rightfully accused”. Pertanggungjawaban pidana
15
Ibid, hal. 62-63.
Universitas Sumatera Utara
pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidana. Kemudian pertanggungjawaban pidana juga berarti
menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan. Dengan demikian, pengkajian dilakukan dua arah.
Pertama, pertanggungjawaban pidana ditempatkan dalam konteks sebagai syarat- syarat faktual conditioning facts dari pemidanaan, karenanya mengemban aspek
preventif. Kedua, pertanggungjawaban pidana merupakan akibat hukum legal consequences dari keberadaan syarat hukum pidana. Pertanggungjawaban pidana
berhubungan erat dengan keadaan yang menjadi syarat adanya pemidanaan dan konsekuensi hukum atas adanya hal itu.
16
Konsep pertanggungjawaban pidana berkenaan dengan mekanisme yang mennetukan dapat dipidananya pembuat, sehingga hal tersebut terutama
berpengaruh bagi hakim. Hakim harus mempertimbangkan keseluruhan aspek tersebut, baik dirumuskan secara positif maupun negatif. Hakim harus
mempertimbangkan hal itu sekalipun penuntut umum tidak membuktikannya. Sebaliknya, ketika terdakwa mengajukan pembelaan yang didasarkan pada alasan
yang menghapus kesalahan, maka hakim berkewajiban untuk memasuki masalahnya lebih dalam. Dalam hal ini, hakim berkewajiban menyelidiki lebih
jauh apa yang oleh terdakwa dikemukakannya sebagai keadaan-keadaan khusus dari peristiwa tersebut, yang kini diajukannya sebagai alasan penghapus
kesalahannya. Lebih jauh daripada itu, sekalipun terdakwa tidak mengajukan pembelaan berdasar pada alasan penghapus kesalahan, tetapi tetap diperlukan
16
Ibid, hal. 64.
Universitas Sumatera Utara
adanya perhatian bahwa hal itu tidak ada pada diri terdakwa ketika melakukan tindak pidana. Hakim tetap berkewajiban memperhatikan bahwa pada diri
terdakwa tidak ada alasan penghapus kesalahan, sekalipun pembelaan atas dasar hal itu, tidak dilakukannya. Hal ini akan membawa perubahan mendasar dalam
proses pemeriksaan perkara di pengadilan.
17
Tidak semua perbuatan yang oleh masyarakat dipandang sebagai perbuatan tercela, ditetapkan sebagai tindak pidana,
Dalam menentukan pertanggungjawaban pidana, hakim harus mempertimgbangkan hal-hal tertentu, sekalipun tidak dimasukkan dalam surat
dakwaan oleh penuntut umum dan tidak diajukan oleh terdakwa sebagai alasan pembelaan. Hal ini mengakibatkan perlunya sejumlah ketentuan tambahan
mengenai hal ini, baik dalam hukum pidana materil KUHP, apalagi dalam hukum formalnya KUHAP.
Sementara itu, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Hal ini yang menjadi pangkal
tolak pertalian antara pertanggungjawaban pidana dan tindak pidana yang dilakukuan pembuat. Pertanggungjawaban pidana yang merupakan rembesan sifat
dari tindak pidana yang dilakukan pembuat. Dapat dicelanya pembuat, justru bersumber dari celaan yang ada pada tindak pidananya. Oleh karena itu, ruang
lingkup pertanggungjawaban pidana mempunyai korelasi penting dengan struktur tindak pidana.
18
17
Ibid, hal.65.
18
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 13.
merupakan konsekuensi
Universitas Sumatera Utara
logis pandangan tersebut. Artinya, ada perbuatan yang sekalipun oleh masyarakat dipandang tercela, tetapi bukan merupakan tindak pidana. Menurut Harkristuti
Harkrisnowo, dalam hal ini, mungkin ada sejumlah perilaku yang dipandang tidak baik atau bahkan buruk dalam masyarakat, akan tetapi karena tingkat ancamannya
pada masyarakat dipandang tidak terlalu besar, maka perilaku tersebut tidak dirumuskan sebagai suatu tindak pidana, maka hukum memandang perbuatan
tersebut tidak dirumuskan sebagai suatu tindak pidana.
19
19
Harkristuti Harkrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab Undang- undang Hukum Pidana, dalam Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan,
Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, hal. 180.
Sebaliknya, sekali perbautan ditetapkan sebagai tindak pidana, maka hukum memandang perbuatan-
perbuatan tersebut sebagai tercela. Hukum bahkan mengharapkan sistem moral dapat mengikutinya. Artinya, masyarakat diarahkan juga untuk mencela perbuatan
tersebut. Dengan demikian, celaan yang ada pada tindak pidana yang sebenarnya lebih pada celaan yang bersifat yuridis, diharapkan suatu saat mendapat tempat
sebagai celaan dari segi moral. Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap
tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan ornag itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya
pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu
mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Penolakan masyarakat terhadap suatu perbuatan, diwujudkan dalam bentuk larangan atas perbuatan tersebut. Hal ini merupakan cerminan, bahwa
masyarakat melalui negara telah mencela perbuatan tersebut. Barang siapa atau setiap orang yang melakukannya akan dicela pula.
Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan terhadap pembuat karena perbuatannya yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan yang
terlarang. Pertanggungjawaban pidana karenanya menyangkut proses peralihan celaan yang ada pada tindak pidana karena pembuatnya. Mempertanggungjawab-
kan seseorang dalam hukum pidana adalah meneruskan celaan secara objektif ada pada perbuatan pidana secara subjektif terhadap pembuatnya.
20
Celaan yang ada pada tindak pidana tetap terus melekat sepanjang perbuatan itu tidak didekriminalisasikan. Dengan demikian, relatif permanen
sifatnya, ekcuali undang-undang mengatakan sebaliknya. Sementara celaan yang ada pada pembuat tindak pidana hanya melekat pada orang itu sepanjang masa
pemidanaannya. Setelah masa itu, mestinya celaan akan hilang dengan sendirinya. Celaan pada pembuat tindak pidana bersifat lebih kontemporer.
21
Celaan yang ada pada perbuatan melakukan sesuatu, tentu berbeda dengan ketika suatu tindak pidana merupakan larangan atas perbuatan tidak melakukan
sesuatu. Demikian pula halnya terhadap tindak pidana yang berupa pelarangan timbulnya akibat tertentu. Dalam hal ini, tingkat celaan dalam kesalahan menjadi
berbeda-beda tergantung celaan pada tindak pidananya. Apabila celaan-celaan tersebut diteruskan terhadap pembuatnya, maka bukan hanya bentuk kesalahan
20
Roelan Saleh, Op.cit, hal. 71.
21
Chairul Huda, Op.cit, hal. 69.
Universitas Sumatera Utara
kesengajaan, atau kealpaan yang menentukan tingkat kesalahan pembuat, tetapi juga bentuk tindak pidananya. Sifat melawan hukum tindak pidana pun karenanya
menentukan berat ringannya kesalahan pembuat.
F. Metode Penelitian