Pertanggungjawaban Pidana Debitur dalam Sewa Beli Sepeda Motor Secara Kredit yang Menggelapkan Alat-alat Sepeda Motor dalam Hal Terjadinya Penyitaan Karena Kredit Macet (Studi Kasus Putusan PN Medan Nomor 2516/Pid.B/2009/PN.Mdn)

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DEBITUR DALAM SEWA BELI SEPEDA MOTOR SECARA KREDIT YANG

MENGGELAPKAN ALAT-ALAT SEPEDA MOTOR DALAM HAL TERJADINYA PENYITAAN

KARENA KREDIT MACET

(Studi Kasus Putusan PN Medan Nomor 2516/PID.B/2009/PN.Mdn)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

NIM: 060200104

SITI MAIMANA SARI KETAREN

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DEBITUR DALAM SEWA BELI SEPEDA MOTOR SECARA KREDIT YANG

MENGGELAPKAN ALAT-ALAT SEPEDA MOTOR DALAM HAL TERJADINYA PENYITAAN

KARENA KREDIT MACET

(Studi Kasus Putusan PN Medan Nomor 2516/PID.B/2009/PN.Mdn) SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum OLEH:

NIM: 060200104

SITI MAIMANA SARI KETAREN

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

NIP: 196107021989031001 Abul Khair, SH, M. Hum

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M. Hum

NIP: 195102061980021001 NIP: 194808011980031003 Muhammad Nuh, SH. M. Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan yang tiada henti-hentinya akan kehadhirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kesempatan penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat dan salam tak lupa penulis panjatkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw yang telah memberikan jalan dan menuntun umatnya dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang yang disinari oleh nur iman dan Islam.

Skripsi ini berjudul: Pertanggungjawaban Pidana Debitur dalam Sewa Beli Sepeda Motor Secara Kredit yang Menggelapkan Alat-alat Sepeda Motor dalam Hal Terjadinya Penyitaan Karena Kredit Macet (Studi Kasus Putusan PN Medan Nomor 2516/Pid.B/2009/PN.Mdn).

Penulis menyadari bahwa di dalam pelaksanaan pendidikan ini banyak mengalami kesulitan-kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan adanya suatu masukan serta saran yang bersifat membangun di masa yang akan datang.


(4)

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp. A(K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU.

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU.

5. Bapak Muhammad Husni, SH, M. Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU.

6. Bapak Abul Khair, SH, M. Hum sebagai Ketua Jurusan Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Nurmalawaty, SH, M. Hum, sebagai Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M. Hum sebagai Dosen Pembimbing I, terima kasih atas bimbingan dan dukungan Bapak selama ini kepada penulis.

9. Bapak M. Nuh, SH, M. Hum, sebagai Dosen Pembimbing II, terima kasih atas bimbingan dan dukungan Bapak kepada penulis selama penulisan skripsi.


(5)

10. Seluruh staf Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU. 11. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum USU.

12. Kepada ayahanda ibunda tercinta, yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, dan memberi kesempatan pada penulis untuk berjuang menuntut ilmu sehingga dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi ini.

13. Kepada saudara-saudaraku terima kasih atas dukungan, doa dan perhatian yang sangat besar yang selalu mendukungku. Terima kasih kepada seluruh keluarga besarku yang memberikan dorongan semangat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan hingga selesai skripsi ini.

14. Kepada teman-temanku, khusunya stambuk 2006 Fakultas Hukum USU yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas segalanya.

15. Dan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi atas penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Demikianlah yang penulis dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan 01 Maret 2010


(6)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 4

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 6

F. Metode Penelitian ... 18

G. Sistematika Pembahasan ... 21

BAB II TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN SEWA BELI ... 23

A. Pengaturan Sewa Beli di Indonesia ... 23

B. Perbedaan Perjanjian Sewa Beli dengan Perjanjian Lainnya ... 24

C. Para Pihak dalam Perjanjian Sewa Beli ... 34

D. Bentuk dan Isi Perjanjian Sewa Beli... 35

E. Resiko dalam Sewa Beli ... 37

F. Berakhirnya Perjanjian Sewa Beli ... 37

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN ... 39

A. Jenis-jenis Tindak Pidana Penggelapan ... 39

B. Unsur-unsur Tindak Pidana Penggelapan ... 46 BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DEBITUR


(7)

ALAT-ALAT SEPEDA MOTOR DALAM HAL TERJADINYA

PENYITAAN ... 55

A. Kasus ... 55

B. Aspek Pidana Penggelapan dalam Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli dalam Hal Terjadinya Penyitaan Benda Sewa Beli oleh Kreditur... 61

C. Analisa Kasus ... 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 68

A. Kesimpulan... 68

B. Saran ... 69


(8)

ABSTRAKSI

Sistem penjualan yang paling marak dalam perdagangan sepeda motor adalah sistem beli sewa (hire purchase-huurkoop), jual beli dengan angsuran atau sewa (renting). Sistem ini dilaksanakan dengan cara pembeli mengansur biaya tertentu yang telah disepakati dan uang angsuran dianggap sebagai sewa sampai akhirnya setelah pelunasan, barulah dianggap uang angsuran itu sebagai uang pembelian sepeda motor yang dibeli sewa. Sering terjadi bahwa debitur yang tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya dalam perjanjian sewa beli sehingga pihak kreditur mengambil tindakan penyitaan atas barang yang telah diletakkan perjanjian sewa beli tersebut. Ketika eksekusi atau penyitaan atas benda sewa beli itu dilakukan, terkadang kreditur mendapati bahwa benda yang akan disita sudah tidak sesuai dengan keadaan ketika benda tersebut diserahkan, sehingga kreditur menganggap bahwa debitur telah melakukan penggelapan atas benda sewa beli tersebut.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimana aspek pidana penggelapan atas benda-benda yang menjadi objek sewa beli dan mengenai Bagaimana pertanggungjawaban pidana debitur dalam perjanjian sewa beli secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan oleh kreditur

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Tindakan dengan sengaja mengganti alat-alat kendaraan bermotor yang menjadi objek perjanjian sewa beli dengan mengambil keuntungan di dalamnya, sedangkan pembayarannya dalam keadaan macet dan berujung pada penarikan kendaraan oleh kreditur, merupakan tindak pidana penggelapan, sebab keadaan kendaraan sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan kendaraan ketika diserahkan kepada debitur. Tindakan tersebut merupakan tindak pidana penggelapan, sebab debitur dengan sengaja dan sadar menggelapkan alat-alat kendaraan yang sebagian atau seluruhnya bukan milik debitur, dimana kendaraan tersebut tidak diperoleh melalui tindak pidana, melainkan melalui pengajuan kredit yang disetujui oleh pihak kreditur. Debitur yang telah menggelapkan alat-alat kendaraan bermotor yang di atasnya melekat perjanjian sewa beli harus mempertanggungjawabkan secara pidana perbuatannya tersebut, sebab jelas kendaraan tersebut belum sepenuhnya menjadi milik debitur sebelum pelunasannya dilakukan.


(9)

ABSTRAKSI

Sistem penjualan yang paling marak dalam perdagangan sepeda motor adalah sistem beli sewa (hire purchase-huurkoop), jual beli dengan angsuran atau sewa (renting). Sistem ini dilaksanakan dengan cara pembeli mengansur biaya tertentu yang telah disepakati dan uang angsuran dianggap sebagai sewa sampai akhirnya setelah pelunasan, barulah dianggap uang angsuran itu sebagai uang pembelian sepeda motor yang dibeli sewa. Sering terjadi bahwa debitur yang tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya dalam perjanjian sewa beli sehingga pihak kreditur mengambil tindakan penyitaan atas barang yang telah diletakkan perjanjian sewa beli tersebut. Ketika eksekusi atau penyitaan atas benda sewa beli itu dilakukan, terkadang kreditur mendapati bahwa benda yang akan disita sudah tidak sesuai dengan keadaan ketika benda tersebut diserahkan, sehingga kreditur menganggap bahwa debitur telah melakukan penggelapan atas benda sewa beli tersebut.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimana aspek pidana penggelapan atas benda-benda yang menjadi objek sewa beli dan mengenai Bagaimana pertanggungjawaban pidana debitur dalam perjanjian sewa beli secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan oleh kreditur

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Tindakan dengan sengaja mengganti alat-alat kendaraan bermotor yang menjadi objek perjanjian sewa beli dengan mengambil keuntungan di dalamnya, sedangkan pembayarannya dalam keadaan macet dan berujung pada penarikan kendaraan oleh kreditur, merupakan tindak pidana penggelapan, sebab keadaan kendaraan sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan kendaraan ketika diserahkan kepada debitur. Tindakan tersebut merupakan tindak pidana penggelapan, sebab debitur dengan sengaja dan sadar menggelapkan alat-alat kendaraan yang sebagian atau seluruhnya bukan milik debitur, dimana kendaraan tersebut tidak diperoleh melalui tindak pidana, melainkan melalui pengajuan kredit yang disetujui oleh pihak kreditur. Debitur yang telah menggelapkan alat-alat kendaraan bermotor yang di atasnya melekat perjanjian sewa beli harus mempertanggungjawabkan secara pidana perbuatannya tersebut, sebab jelas kendaraan tersebut belum sepenuhnya menjadi milik debitur sebelum pelunasannya dilakukan.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan masyarakat terlihat pada lembaga yang ada pada masyarakat tersebut, baik itu lembaga di bidang ekonomi, sosial budaya, teknologi maupun hukum. Untuk meningkatkan kesehatan seluruh masyarakat, maka dilakuan pembangunan pada keseluruhan bidang tersebut. Pelaksanaan kegiatan pembangunan itu tidak hanya dilakukan oleh pihak pemerintah saja tetapi juga melibatkan peran serta pihak lain, yakni pihak swasta sebagai salah satu pilar kekuatan.

Sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan nasional di semua bidang, maka peran serta pihak swasta semakin meningkat dalam pelaksanaan pembangunan. Keadaan tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung menuntut lebih aktifnya kegiatan usaha. Salah satu bidang usaha pihak swasta yang mengalami perkembangan adalah di bidang perdagangan otomotif (sepeda motor).

Berbagai upaya dilakukan dalam meningkatan perdagangan sepeda motor, yang pada dasarnya menciptakan lebih banyak variasi sistem pemasaran barang yang telah ada. Semua ini sebagai akibat dari perkembangan kehidupan perekonomian pada umumnya dan industri pada khususnya. Pihak produsen melihat perkembangan perekonomian masyarakat sebagai peluang untuk memasarkan sepeda motor, sementara konsumen membutuhkan sepeda motor untuk mendukung kecepatan dalam mobilitasnya.


(11)

Sistem penjualan yang paling marak dalam perdagangan sepeda motor adalah sistem beli sewa (hire purchase-huurkoop), jual beli dengan angsuran atau sewa (renting). Sistem ini dilaksanakan dengan cara pembeli mengangsur biaya tertentu yang telah disepakati dan uang angsuran dianggap sebagai sewa sampai akhirnya setelah pelunasan, barulah dianggap uang angsuran itu sebagai uang pembelian sepeda motor yang dibeli sewa.

Sewa beli merupakan perjanjian campuran antara jual beli dan sewa menyewa yang tidak diatur dalam KUHPerdata. Perjanjian ini mula-mula timbul dari praktek karena adanya kebutuhan masyarakat yang berkeinginan memiliki barang tetapi tidak punya cukup uang. Oleh karena itu Subekti1 dan Sri Gambir Hatta2

1

R. Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 51.

2

Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Alumni, Bandung, 1999, hal. 3.

mengatakan bahwa niat utama dalam sewa beli adalah untuk memperoleh hak milik barang dan bukan sekedar memberikan hak memanfaatkan barang.

Meskipun tujuannya untuk memperoleh hak milik dan barangnya sudah diserahkan kepada debitur, akan tetapi hak kepemilikannya baru berpindah setelah seluruh angsuran dilunasi. Selama masih dalam masa angsuran, hak kepemilikan atas benda tersebut masih tetap pada penjual, sedangkan pembayarannya selama masa angsuran dianggap sebagai sewa. Kepemilikan benda baru berpindah setelah dilunasinya seluruh angsuran. Hal ini berbeda dengan jual beli angsuran, dimana dalam jual beli angsuran, meskipun pembayaran angusran belum dilunasi, akan tetapi objek perjanjian sudah menjadi milik pemberi sejak perjanjian itu ditutup.


(12)

Untuk melindungi kepentingan kreditur (penjual) dari keadaan yang tidak diinginkan, maka dibuat klausul-klausul yang banyak merugikan debitur (pembeli). Sri Gambir3

1. Penjual berhak menarik kembali barang dan perjanjiannya dianggap batal serta uang angsurannya dianggap sebagai sewa.

dalam penelitiannya menemukan berbagai klausul ketika pembeli tidak memenuhi pembayaran angsuran, antara lain:

2. Penjuaal berhak mengenakan denda;

3. Penjual berhak menuntut pembayaran sekaligus dan seketika atas sisa angsuran dan denda;

4. Pemberian kuasa mutlak kepada penjual untuk bebas bertindak atas barang;

5. Pembatalan perjanjian tanpa melalui hakim (pelepasan berlakunya pasal 1266 dan 1267);

6. Perjanjian bernilai eksekutorial.

Dalam banyak kasus masih ditemukan klausul-klausul lain, misalnya larangan bagi pembeli untuk memindahtangankan barang, penjual bebas memasuki rumah pembeli untuk menarik barang, penjual berhak menyita barang lain milik pembeli dalam hal barang objek perjanjian tidak dapat ditemukan, dan lain-lain.4

Sering terjadi dalam kenyataan, bahwa debitur yang tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya dalam perjanjian sewa beli yang telah dibuat dengan pihak kreditur, salah satunya adalah tidak mampunya debitur untuk melakukan

3

Ibid, hal. 170-189.

4


(13)

pembayaran angsuran atas barang yang telah dikuasai oleh debitur, dimana ketidakmampuan tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga pihak kreditur mengambil tindakan penyitaan atas barang yang telah diletakkan perjanjian sewa beli tersebut.

Tindakan penyitaan yang oleh kreditur merupakan hal yang lumrah terjadi dalam praktek pelaksanaan perjanjian sewa beli, namun terkadang ketika eksekusi atau penyitaan atas benda sewa beli itu dilakukan, terkadang kreditur mendapati bahwa benda yang akan disita sudah tidak sesuai dengan keadaan ketika benda tersebut diserahkan, sehingga kreditur menganggap bahwa debitur telah melakukan penggelapan atas benda sewa beli tersebut.

Skripsi ini menguraikan tentang aspek pidana penggelapan benda yang diikat dalam perjanjian sewa beli serta pertanggungjawaban pidana debitur yang melakukan penggelapan atas benda sewa beli kendaraan bermotor.

B. Permasalahan

Yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah:

1. Bagaimana aspek pidana penggelapan atas benda-benda yang menjadi objek sewa beli?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana debitur dalam perjanjian sewa beli secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal

terjadinya penyitaan oleh kreditur?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan


(14)

a. Untuk mengetahui aspek pidana penggelapan atas benda-benda yang menjadi objek sewa beli

b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana debitur dalam perjanjian sewa beli secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan oleh kreditur

2. Manfaat Penulisan a. Secara Teoritis

1. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana debitur dalam sewa beli sepeda motor secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan karena kredit macet.

2. Dapat memberi masukan kepada masyarakat, lembaga kenotariatan, pemerintah, aparat penegak hukum tentang eksistensi Undang-undang serta pasal-pasal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana debitur dalam sewa beli sepeda motor secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan karena kredit macet yang terdapat dalam berbagai Undang-undang.

b. Secara Praktis

Dapat diajukan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan-rekan mahasiswa, masyarakat, lembaga penegak hukum, praktisi hukum dan


(15)

pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana debitur dalam sewa beli sepeda motor secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan karena kredit macet.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Pertanggungjawaban Pidana Debitur dalam Sewa Beli Sepeda Motor Secara Kredit yang Menggelapkan Alat-alat Sepeda Motor dalam Hal Terjadinya Penyitaan Karena Kredit Macet (Studi Kasus Putusan PN Medan Nomor 2516/Pid.B/2009/PN.Mdn)” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Kredit dan Kredit Macet a. Pengertian Kredit

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara


(16)

kreditur dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.5

Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa kredit itu merupakan perjanjian pinjam meminjam uang antara kreditur selaku pemberi kredit dengan nasabah sebagai debitur/penerima kredit. Dalam perjanjian ini pihak pemberi kredit percaya terhaap nasabahnya dalam jangka waktu yang telah disepakatinya akan dikembalikan (dibayar) lunas. Tenggang waktu antara pemberian dan penerimaan kembali prestasi ini menurut Mgs. Edy Putra Aman, merupakan suatu

Dalam undang-undang Nomor 7 tahun 1992 pasal 1 butir 12 dan menurut undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan bahwa pengertian kredit disebut sebagai berikut:

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.

Sedangkan dalam peraturan baru yang tertuang dalam undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, pengertian kredit tidak mengalami perbedaan definisi yang mendasar, yang diatur dalam pasal 1 angka 11 sebagai berikut:

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

5


(17)

hal yang abstrak, yang sukar diraba, karena masa antara pemberian dan penerimaan prestasi tersebut dapat berjalan dalam beberapa bulan, tetapi dapat pula berjalan beberapa tahun.6

b. Pengertian Kredit Macet

Kredit macet adalah suatu keadaan dimaan nasabah sudah tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh kewajibannya kepada bank seperti telah diperjanjikan.

2. Pengertian Sewa Beli

Mengenai perjanjian sewa beli ini ada beberapa definisi dari para pakar di Indonesia diantaranya yaitu, Sewa beli sebenarnya semacam jual beli, setidak-tidaknya sewa beli lebih mendekati jual beli dari pada sewa menyewa, meskipun ia merupakan campuran dari keduanya dan diberikan jual sewa menyewa.7

Sewa beli adalah jual beli barang di mana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan Menurut Prof. Dr. Ny. Sri Soedewi Masychoen Sofyan, SH : 25 memberikan definisi perjanjian sewa beli sebagai berikut :

“Hire Puchase (Huur Koop): ialah lembaga jaminan yang banyak terjadi dalam praktek di Indonesia namun sampai kini belum dapat pengaturannya dalam Undang-Undang. Perjanjian sewa beli adalah perjanjian dimana hak tersebut akan berakih pada pembeli sewa jika harga barang tersebut sudah dibayar lunas”.

Menurut isi dari SK Menteri Perdagangan dan Kopersi No. 34 / KP/ II / 1980 adalah sebagai berikut:

6

Mgs. Edy Putra Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta, 1989, hal.10.

7


(18)

oleh pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan telah diikat dalam suatu perjanjian serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual pada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli.8

3. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan

Tindak pidana penggelapan diatur dalam pasal 372 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak suatu benda yang sama sekali atau sebahagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan benda itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak Rp. 900,-“.9

Dimana sering terjadi penggelapan di kalangan kawan-kawan maupun kenalan dalam kehidupan sosial. Terjadinya kejahatan penggelapan itu karena ada hubungan kerja, hubungan dagang, baik penitipan benda Ditinjau dari segi yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang, untuk dapat melihat apakah perbuatan itu melanggar undang-undang atau harus diciptakan dulu peraturan sebelum peristiwa agar mencegah tindakan sewenang-wenang dan memberi kepastian hukum, dari segi sosiologis kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan penderita juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.

Perbuatan yang merusak kepercayaan ini serupa dengan mengingkari janji dengan iktikad yang tidak baik dan karena itu dalam KUHP digolongkan dengan kejahatan penggelapan, selanjutnya R. Tresna, mengatakan:

8

Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 tentang Perizinan Kegiatan Sewa Beli, Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa, Pasal 1 Huruf a.

9

R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politea, Bogor, 1994, hal. 258.


(19)

maupun pemberian kuasa atau seorang pegawai yang berhubungan dengan keadaan sosial masyarakat.10

Dalam Memorie van Toelichting (MvT) mengenai pembentukan pasal 372 KUHP menerangkan bahwa memiliki adalah perbuatan menguasai suatu benda seolah-olah ia memiliki benda itu. Kiranya pengertian ini dapat diterangkan demikian, bahwa petindak dengan melakukan perbuatan memiliki atas suatu benda yang berada dalam kekuasaannya, adalah ia melakukan suatu perbuatan sebagaimana pemilik melakukan perbuatan terhadap benda itu. Menurut hukum, hanyalah pemilik saja yang dapat melakukan sesuatu perbuatan terhadap benda miliknya.11

Pengertian benda yang berada dalam kekuasaannya sebagai adanya suatu hubungan langsung dan sangat erat dengan benda itu, yang sebagai indikatornya ialah apabila ia hendak melakukan perbuatan terhadap benda itu, dia dapat melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dahulu, adalah hanya terhadap benda-benda berwujud dan bergerak saja, dan tidak mungkin terjadi pada benda-benda yang tidak berwujud dan benda-benda tetap.12

Tiap kejahatan yang diatur dalam KUHP maupun diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lain mempunyai unsur-unsur yang harus dipenuhi sesuai dengan yang dilakukan. Untuk dapat mengemukakan unsur-unsur kejahatan penggelapan, maka sebaiknya diturunkan dari bunyi ketentuan pasal 372 KUHP, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa untuk dapat dinyatakan

10

R. Tresna, Asas-asas Hukum Pidana Disertai Pembahasan Beberapa Perbuatan yang Penting, PT. Tiara, Jakarta, 1979, hal. 241.

11

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayumedia, Malang, 2003, hal. 72.

12


(20)

seseorang melakukan kejahatan penggelapan harus terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a. yang bersalah harus bermaksud memiliki benda itu,

b. benda itu harus kepunyaan orang lain, baik seluruhnya atau sebahagian, c. benda itu harus sudah ada di tangan yang melakukan perbuatan itu, bukan

dengan jalan suatu kejahatan, d. memiliki benda itu harus tanpa hak.

4. Pengertian Pertanggungjawaban pidana

Setiap sistem hukum modern seyogyanya, dengan berbagai cara, mengadakan pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan orang yang telah melakukan tindak pidana. Dikatakan dengan berbagai cara karena pendekatan yang berbeda mengenai cara bagaimana suatu sistem hukum merumuskan tentang pertanggungjawaban pidana, mempunyai pengaruh baik dalam konsep maupun implementasinya.

Baik negara-negara Civil Law maupun Common Law, umumnya pertanggungjawaban pidananya dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti, dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana Civil Law System lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan tem lainnya, undnag-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan.13

13


(21)

Dengan demikian, yang diatur adalah keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipidana (strafuitsluitingsgronden), yang untuk sebagian adalah alasan penghapus kesalahan. Sedangkan dalam praktik peradilan di negara-negara common law, diterima berbagai alasan umum pembelaan (general defence) ataupun alasan umum peniadaan pertanggungjawaban (general excusing of liability)

Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan-alasan penghapus pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal liability dapat dilakukan sepanjang pembuat tidak memiliki defence, ketika melakukan suatu tindak pidana. Dalam lapangan acara pidana, hal ini berarti seorang terdakwa dipandang bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika tidak dapat membukt ikan bahwa dirinya mempunyai ‘defence’ ketika melakukan tindak pidana itu. Konsep demikian itu membentuk keseimbangan antara hak mendakwa dan menuntut dari penuntut umum, dan hak menyangkal mengajukan pembelaan dari terdakwa. Penuntut Umum berhak untuk mendakwa dan menuntut seseorang karena melakukan tindak pidana. Untuk itu, penuntut umum berkewajiban membuktikan apa yang didakwa dan dituntut itu, yaitu membuktika hal-hal yang termuat dalam rumusan tindak pidana. Sementara itu, terdakwa dapat mengajukan pembelaan atas dasar adanya alasan-alasan penghapus pidana. Untuk menghindari dari pengenaan pidana, terdakwa harus dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai alasan penghapus pidana ketika melakukan tindak pidana.14

14

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 62.


(22)

Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana. Pengecualian pengenaan pidana diplomasii sini dapat dibaca sebagai pengecualian adanya pertanggungjawaban pidana. Dalam hal tertentu dapat berarti pengecualian adanya kesalahan.

Merumuskan pertanggunjawaban pidana secara negatif, terutama berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini, dipertanggung-jawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana. Sementara itu, berpangkal tolak pada gagasan monodualistik (daad en dader strafrecht), proses wajar (due process) penentuan pertanggungjawaban pidana, bukan hanya dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi juga kepentingan pembuatnya itu sendiri. Proses tersebut bergantung pada dapat dipenuhinya syarat dan keadaan dapat dicelanya pembuat tindak pidana, sehingga sah jika dijatuhi pidana.15

Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana tidak hanya berarti rightfully sentenced” tetapi juga “rightfully accused”. Pertanggungjawaban pidana

15


(23)

pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidana. Kemudian pertanggungjawaban pidana juga berarti menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan. Dengan demikian, pengkajian dilakukan dua arah. Pertama, pertanggungjawaban pidana ditempatkan dalam konteks sebagai syarat-syarat faktual (conditioning facts) dari pemidanaan, karenanya mengemban aspek preventif. Kedua, pertanggungjawaban pidana merupakan akibat hukum (legal consequences) dari keberadaan syarat hukum pidana. Pertanggungjawaban pidana berhubungan erat dengan keadaan yang menjadi syarat adanya pemidanaan dan konsekuensi hukum atas adanya hal itu.16

Konsep pertanggungjawaban pidana berkenaan dengan mekanisme yang mennetukan dapat dipidananya pembuat, sehingga hal tersebut terutama berpengaruh bagi hakim. Hakim harus mempertimbangkan keseluruhan aspek tersebut, baik dirumuskan secara positif maupun negatif. Hakim harus mempertimbangkan hal itu sekalipun penuntut umum tidak membuktikannya. Sebaliknya, ketika terdakwa mengajukan pembelaan yang didasarkan pada alasan yang menghapus kesalahan, maka hakim berkewajiban untuk memasuki masalahnya lebih dalam. Dalam hal ini, hakim berkewajiban menyelidiki lebih jauh apa yang oleh terdakwa dikemukakannya sebagai keadaan-keadaan khusus dari peristiwa tersebut, yang kini diajukannya sebagai alasan penghapus kesalahannya. Lebih jauh daripada itu, sekalipun terdakwa tidak mengajukan pembelaan berdasar pada alasan penghapus kesalahan, tetapi tetap diperlukan

16


(24)

adanya perhatian bahwa hal itu tidak ada pada diri terdakwa ketika melakukan tindak pidana. Hakim tetap berkewajiban memperhatikan bahwa pada diri terdakwa tidak ada alasan penghapus kesalahan, sekalipun pembelaan atas dasar hal itu, tidak dilakukannya. Hal ini akan membawa perubahan mendasar dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan.17

Tidak semua perbuatan yang oleh masyarakat dipandang sebagai perbuatan tercela, ditetapkan sebagai tindak pidana,

Dalam menentukan pertanggungjawaban pidana, hakim harus mempertimgbangkan hal-hal tertentu, sekalipun tidak dimasukkan dalam surat dakwaan oleh penuntut umum dan tidak diajukan oleh terdakwa sebagai alasan pembelaan. Hal ini mengakibatkan perlunya sejumlah ketentuan tambahan mengenai hal ini, baik dalam hukum pidana materil (KUHP), apalagi dalam hukum formalnya (KUHAP).

Sementara itu, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Hal ini yang menjadi pangkal tolak pertalian antara pertanggungjawaban pidana dan tindak pidana yang dilakukuan pembuat. Pertanggungjawaban pidana yang merupakan rembesan sifat dari tindak pidana yang dilakukan pembuat. Dapat dicelanya pembuat, justru bersumber dari celaan yang ada pada tindak pidananya. Oleh karena itu, ruang lingkup pertanggungjawaban pidana mempunyai korelasi penting dengan struktur tindak pidana.

18

17

Ibid, hal.65.

18

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 13.


(25)

logis pandangan tersebut. Artinya, ada perbuatan yang sekalipun oleh masyarakat dipandang tercela, tetapi bukan merupakan tindak pidana. Menurut Harkristuti Harkrisnowo, dalam hal ini, mungkin ada sejumlah perilaku yang dipandang tidak baik atau bahkan buruk dalam masyarakat, akan tetapi karena tingkat ancamannya pada masyarakat dipandang tidak terlalu besar, maka perilaku tersebut tidak dirumuskan sebagai suatu tindak pidana, maka hukum memandang perbuatan tersebut tidak dirumuskan sebagai suatu tindak pidana.19

19

Harkristuti Harkrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dalam Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, hal. 180.

Sebaliknya, sekali perbautan ditetapkan sebagai tindak pidana, maka hukum memandang perbuatan-perbuatan tersebut sebagai tercela. Hukum bahkan mengharapkan sistem moral dapat mengikutinya. Artinya, masyarakat diarahkan juga untuk mencela perbuatan tersebut. Dengan demikian, celaan yang ada pada tindak pidana yang sebenarnya lebih pada celaan yang bersifat yuridis, diharapkan suatu saat mendapat tempat sebagai celaan dari segi moral.

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan ornag itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.


(26)

Penolakan masyarakat terhadap suatu perbuatan, diwujudkan dalam bentuk larangan atas perbuatan tersebut. Hal ini merupakan cerminan, bahwa masyarakat melalui negara telah mencela perbuatan tersebut. Barang siapa atau setiap orang yang melakukannya akan dicela pula.

Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan terhadap pembuat karena perbuatannya yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan yang terlarang. Pertanggungjawaban pidana karenanya menyangkut proses peralihan celaan yang ada pada tindak pidana karena pembuatnya. Mempertanggungjawab-kan seseorang dalam hukum pidana adalah menerusMempertanggungjawab-kan celaan secara objektif ada pada perbuatan pidana secara subjektif terhadap pembuatnya.20

Celaan yang ada pada tindak pidana tetap terus melekat sepanjang perbuatan itu tidak didekriminalisasikan. Dengan demikian, relatif permanen sifatnya, ekcuali undang-undang mengatakan sebaliknya. Sementara celaan yang ada pada pembuat tindak pidana hanya melekat pada orang itu sepanjang masa pemidanaannya. Setelah masa itu, mestinya celaan akan hilang dengan sendirinya. Celaan pada pembuat tindak pidana bersifat lebih kontemporer.21

Celaan yang ada pada perbuatan melakukan sesuatu, tentu berbeda dengan ketika suatu tindak pidana merupakan larangan atas perbuatan tidak melakukan sesuatu. Demikian pula halnya terhadap tindak pidana yang berupa pelarangan timbulnya akibat tertentu. Dalam hal ini, tingkat celaan dalam kesalahan menjadi berbeda-beda tergantung celaan pada tindak pidananya. Apabila celaan-celaan tersebut diteruskan terhadap pembuatnya, maka bukan hanya bentuk kesalahan

20

Roelan Saleh, Op.cit, hal. 71.

21


(27)

(kesengajaan, atau kealpaan) yang menentukan tingkat kesalahan pembuat, tetapi juga bentuk tindak pidananya. Sifat melawan hukum tindak pidana pun karenanya menentukan berat ringannya kesalahan pembuat.

F. Metode Penelitian

Didalam pengumpulan data dan informasi untuk penulisan skripsi ini penulis telah mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk dapat mendukung penulisan skripsi ini dan hasil yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulis menerapkan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Penelitian hukum normatif ini sepenuhnya menggunakan data sekunder.22

22

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2006, hal. 118.


(28)

2. Jenis Data dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.23

a. Bahan Hukum Primer

Data sekunder diperoleh dari :

Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini di antaranya adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 tentang Perizinan Kegiatan Sewa Beli, Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti dokumen-dokumen yang merupakan informasi dan artikel-artikel yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana debitur dalam sewa beli sepeda motor secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan karena kredit macet, hasil penelitian, pendapat pakar hukum serta beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

c. Bahan Hukum Tersier

23


(29)

Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dll.

3. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel yang berkaitan dengan objek penelitian, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:

a. melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

b. melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.

c. mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

4. Analisa data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan


(30)

dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

G. Sistematika Pembahasan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

BAB II : Bab ini akan membahas tentang tinjauan umum perjanjian sewa beli, yang isinya antara lain memuat pengaturan sewa beli di Indonesia, perbedaan perjanjian sewa beli dengan perjanjian lainnya, para pihak dalam perjanjian sewa beli, bentuk dan isi perjanjian sewa beli, resiko dalam sewa beli, dan berakhirnya perjanjian sewa beli.

BAB III : Bab ini akan membahas tentang tinjauan umum terhadap tindak pidana penggelapan, yang memuat tentang jenis-jenis tindak pidana penggelapan dan unsur-unsur tindak pidana penggelapan.

BAB IV : Bab ini akan dibahas tentang pertanggungjawaban pidana debitur dalam perjanjian sewa beli yang menggelapkan alat-alat sepeda


(31)

motor dalam hal terjadinya penyitaan, yang isinya memuat antara lain tentang deskripsi kasus, aspek pidana penggelapan dalam pelaksanaan perjanjian sewa beli dalam hal terjadinya penyitaan benda sewa beli oleh kreditur, dan analisa kasus.

BAB IV : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.


(32)

BAB II

TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN SEWA BELI

A. Pengaturan Sewa Beli di Indonesia

Perjanjian sewa beli adalah termasuk perjanjian jenis baru yang timbul dalam masyarakat. Sebagaimana perjanjian jenis baru, sewa beli di Indonesia belum diatur dalam Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar hukum diatas dan juga surat keputusan Menteri Perdagangan dan Kopersi tidak ada keseragaman. Namun kalau diperhatikan, dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian sewa beli lebih cenderung mengarah atau menjurus pada bentuk perjanjian jual beli, dari pada sewa menyewa. Karena dalam perjanjian sewa beli, peralihan hak milik adalah yang menjadi pokok utamanya. Jadi tujuan sewa beli adalah untuk menjual barang, bukan untuk menyewakan atau menjadi penyewa barang.

Perjanjian sewa beli adalah merupakan percampuran antara perjanjian jual beli dan sewa menyewa. Oleh karena itu pihak pembeli tidak dapat membeli barang sekaligus atau lunas, maka diadakn suatu perjanjan dimana pembeli diperbolehkan mengangsur dengan beberapa kali angsuran. Sedangkan hak milik baru akan berpindah tangan pada saat pembeli sudah membayar semua angsuran dengan lunas. Dan selama angsuran tersebut belum dilunasi maka pembeli masih menjadi penyewa.

Sebagai penyewa, maka ia hanya berhak atas pemakaian atau mengambil manfaat atas barang tersebut dan penyewa tidak mempunyai hak untuk mengalihkan atau memindah tangankan barang tersebut kepada orang lain. Jika


(33)

hal tersebut dilakukan oleh pembeli sewa, maka ia akan dikenai sanksi pidana karena dianggap menggelapkan barang milik orang lain.

Sewa beli tidak ada diatur di dalam undang-undang tersendiri, akan tetapi baru diatur dalam SK Menteri Perdagangan dan Koperasi no. 34 / KP / II / 1980. Namun dalam SK Menteri tersebut belum dijelaskan mengenai hak-hak dan kewajiban para pihak dalam sewa beli. Disitu hanya dijelaskan tentang perjanjian kegiatan usaha sewa beli, jual beli dengan angsuran, dan sewa.

Mengenai objek perjanjian sewa beli telah ditentukan secara jelas dalam pasal 2 ayat (1) SK Menteri tersebut, yaitu semua barang niaga tahan lama yang baru dan tidak mengalami perubahan tekhnis, baik berasal dari produksi sendiri ataupun hasil perakitan (assembling) atau hasil produksi lainnya didalam negeri.

Namun dalam pasal tersebut tidak dijelaskan mengenai wujudnya apakah barang bergerak atau tetap. Dalam perjanjian sewa beli yang bertindak sebagai subyek adalah penjual sewa. Mengenai pihak yang dapat menjadi pembeli sewa, ini bisa perseorangan atau badan hukum. Penjual sewa ataupun pembeli sewa ini umumnya sering dengan istilah “para pihak”.

B. Perbedaan Perjanjian Sewa Beli dengan Perjanjian Lainnya

Untuk melihat perbedaan yang nyata antara sewa beli dengan perjanjian lainnya, maka berikut akan dideskripsikan beberapa bentuk perjanjian yang ada, yakni:

1. Sewa Beli

Sewa beli merupakan perjanjian di mana harga barang dapat dicicil, sedangkan barangnya seketika dapat diserahkan kepada pembeli.


(34)

Meskipun barang telah diserahkan kepada pembeli, tetapi hak kepemilikannya masih ada pada penjual sehingga pembayarannya selama masa angsuran dianggap sebagai sewa sampai seluruh harga dipenuhi. Kepemilikan atas barang baru berpindah kepada pembeli pada saat angsuran terakhir telah dibayar.

Karena pembeli belum menjadi pemilki atas barang yang dibeli, maka ia tidak diperbolehkan menjualnya atau bertindak hukum lain yang dipersyaratkaan menjadi pemilik barang, seperti menggandaikan, menghipotikkan dan lain-lain. Jika hal itu dilakukan, maka pembeli telah melakukan tidak pidana penggelapan.

Sri Gambir Melati Hatta24

Pada dasarnya dari sisi pelaksanaan perjanjian antara sewa beli dan jual beli cicilan tidak berbeda tetapi dari sisi hak kepemilikan dan akibat menyebut sewa beli dengan “beli sewa” dengan alasan bahwa niat utama para pihak adalah peralihan hak, bukan sekedar penikmatan atas objek perjanjian atau sewa saja. Oleh karena itu Sri Gambir lebih menekankan kepada pembeliannya bukan kepada sewanya meskipun pengertiannya sama. Terhadap alasan yang dikemukakan oleh Sri Gambir di atas, namun perlu diberikan perbandingan dengan jenis perjanjian yang disebut “koop en verkoop op afbetaling” atau yang lebih populair dengan sebutan jual beli cicilan atau jual beli angsuran. Dalam perjanjian jual beli angsuran, hak kepemilikan atas objek perjanjian sudah berpindah sejak penyerahan barang, namun harganya dapat dicicil.

24


(35)

hukumnya sangat berbeda. Perbedaan antara keduanya, dalam perjanjian sewa beli meskipun barang sudah diserahkan tetapi hak kepemilikannya belum berpindah kepada pembeli, dan baru berpindah setelah dilunasi seluruh harga, sedangkan dalam jual beli angsuran, hak milik sudah berpindah sejak penyerahan barang. Adapun persamaan antara keduanya, penjual sama-sama telah menyerahkan barang dan pembeli belum membayar seluruh harga barang karena pembayarannya dilakukan secara angsuran.

Akibat dari perbedaan atas kepemilikan itu, maka berbeda pula akibat hukumnya. Dalam jual beli, oleh karena pembeli sudah menjadi pemilik barang, maka ia bebas bertindak hukum atas barang, misalnya: menjual, menggadaikan, menyewakan dan lain-lain, sedangkan dalam sewa beli karena pembeli belum menjadi pemilik barang, maka ia tidak boleh bertindak hukum atas barang tersebut.

2. Jual beli

Jual beli merupakan salah satu jenis perjanjian bernama yang di dalam KUHPerdata di atur dalam pasal 1457– 1546, yaitu suatu perjanjian di mana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan hak miliknya atas sesuatu barang, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai harganya.25

25

R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa. 1979, hal.135.

Perjanjian jual beli telah dianggap ada apabila kedua belah pihak telah sepakat tentang barang dan harga.


(36)

Kewajiban utama penjual adalah menyerahkan barang serta menjamin bahwa pembeli dapat memiliki barang dengan aman dan tenteram dan bertanggung jawab atas cacat yang tersembunyi. Adapun kewajiban pembeli adalah membayar harga pada waktu dan tempat yang disepakati. Menurut undang-undang, benda yang dibeli harus diserahkan pada waktu ditutupnya perjanjian dan di tempat barang itu berada, dan mulai saat itulah resiko atas barang menjadi tanggung jawab pembeli. Namun dalam praktik, apalagi pada saat sekarang di mana jual beli dapat dilakukan lintas negara, maka ketentuan demikian sudah tidak dianut.

Sebagaimana sifat perjanjian yang terbuka, kedua belah pihak dapat memperjanjikan sendiri tentang cara-cara melakukan pembayaran maupun cara penyerahannya. Mereka bebas menentukan sendiri sesuai yang diinginkan sehingga ketentuan yang ada dalam undang-undang hanya berlaku apabila para pihak tidak menentukan lain.

Yang perlu diperhatikan adalah kapan pembeli menjadi pemilik barang. Pasal 1458 KUHPerdata menyatakan, hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpidah kepada si pembeli, selama belum dilakukan penyerahan (pasal 612, 613 dan 616 KUHPerdata).

Khusus mengenai kepemilikan benda tidak bergerak yang diperoleh atas dasar jual beli terdapat ketentuan khusus yang diatur dalam pasal 616 jo. pasal 620 KUHPerdata yaitu dengan cara mendaftarkan peralihan hak milik pada kantor pertanahan. Selama belum didaftarkan, maka kepemilikannya itu belum sempurna.


(37)

3. Pinjam Meminjam

Perjanjian pinjam meminjam dibedakan dalam dua jenis yaitu pinjam meminjam dengan objek barang yang dapat diganti atau barang yang habis pakai, misalnya uang, makanan atau yang sejenis, dan pinjam meminjam dengan objek barang yang tidak dapat diganti atau barang tidak habis pakai. Perjanjian jenis pertama ini oleh Subekti26

Dalam perjanjian pinjam uang seringkali disertai perjanjian pembayaran bunga sehingga jumlah yang dikembalikan lebih besar daripada yang dipinjamkan. Hal demikian memang dibenarkan menurut ketentuan

digunakan sebutan pinjam meminjam, sedangkan jenis kedua dinamakan pinjam pakai.

Perbedaan pokok antara keduanya terletak pada kepemilikan dan pengembalian barang pinjaman. Jika objek perjanjian merupakan barang yang tidak dapat diganti atau tidak habis pakai, maka barang tetap menjadi milik pemberi pinjaman (1741 BW) dan setelah habis masa pinjaman si peminjam harus mengembalikannya dalam keadaan seperti semula. Oleh karena itu selama masa peminjaman, penerima pinjaman harus memelihara barang sebaik-baiknya seolah-olah miliknya sendiri atau yang dikenal dengan sebutan “seorang bapak rumah yang baik”.

Jika objeknya perjanjian berupa barang yang dapat diganti atau habis pakai, maka barang yang diserhakan menjadi milik penerima pinjaman, sedangkan pemberi pinjaman berhak atas pengembalian barang dengan jumlah dan kualitas yang sama.

26


(38)

KUHPerdata, namun menurut hukum Islam temasuk riba dan hukumnya haram.

4. Sewa Menyewa

Sewa menyewa merupakan bentuk perjanjian di mana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama waktu tertentu, sedangkan pihak yang lain menyanggupi akan membayar harga yang ditetapkan untuk pemakaian pada waktu yang ditentukan.27

Kewajiban pihak yang menyewakan adalah meyerahkan barang, memelihara barang yang disewakan agar dapat dipakai untuk keperluan dimaksud, dan memberikan ketenteraman dari barang yang disewakan selama berlangsungnya persewaan. Adapun kewajiban penyewa adalah memakai barang secara baik atau secara patut, membayar harga sewa, menanggung resiko karena kesalahan atau kelalaiannya dan mengembalikan barang sewaan.

Perjanjian sewa menyewa tidak bertujuan untuk memberikan kepemilikan, melainkan hanya untuk pemakaian. Apabila pihak yang diserahi barang itu tidak ada kewajiban membayar suatu harga, maka perjanjian semacam ini disebut pinjam pakai.

28

Perjanjian sewa menyewa bukan memberikan hak kebendaan, melainkan hak perseorangan sehingga karenanya penyewa tidak boleh menjual, atau menggadaikan benda yang disewa, bahkan menyewakan kepada orang lain pun tidak dibolehkan.

27

Subekti, Pokok-pokok………., Op cit, hal. 137.

28


(39)

5. Leasing

Leasing merupakan perjanjian berkenaan dengan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang untuk digunakan atau dimanfaatkan oleh lessee (penyewa) dalam jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Perjanjian ini mirip dengan sewa menyewa.

Subekti29

Ada dua jenis leasing yakni operating lease dan financial lease. Perbedaan antara keduanya adalah jika dalam operating lease barang yang diserahkan lessor kepada lesee berupa barang jadi, sedangkan dalam financial lease barangnya dipesan sendiri oleh lesse atas pembiayaan lessor. Selain itu dalam operating lease pemeliharaannya menjadi tanggung jawab lessor sedangkan dalam financial lease pemeliharaan dan asuransinya pada umumnya menjadi tanggung jawab lessee. Baik dalam operating lease dan financial lease sering disertai dengan hak opsi bagi penyewa untuk

menyatakan bahwa leasing pada dasarnya merupakan perjanjian sewa menyewa di mana lessor (pemberi sewa) menyerahkan barang untuk dimafaatkan oleh lessee, sehingga karenanya leasing disebut juga perjanjian sewa guna usaha atau sewa pakai.

Sobjek perjanjian leasing pada umumnya antara perusahaan dengan perusahaan, sedang objeknya pada mulanya berupa alatalat berat atau mesin-mesin pabrik, namun kemudian berkembang ke barang-barang lain seperti rumah, mobil dan lain-lain.

29


(40)

membeli setelah berakhirnya masa perjanjian dengan harga murah atau dengan kondisi yang ringan.30

Karena perjanjian leasing merupakan perjanjian sewa menyewa, maka selama masa leasing kepemilikan benda tetap ada pada lessor. Lessse semata-mata hanya memilki hak memanfaatkan barang, atau menurut istilah Subekti31

Perbedaan antara leasing dengan sewa beli terletak pada peralihan hak milik. Dalam leasing kepemilikan barang sampai akhir perjanjian tetap di tangan lessor, sedangkan dalam sewa beli kepemilikan barang telah berpindah kepada pembeli sejak dilakukan pembayaran angsuran terakhir. Namun dalam dunia bisnis saat sekarang telah terjadi pergeseran pengertian leasing dimana perolehan barang seperti mobil atau motor yang didasarkan atas perjanjian sewa beli juga disebut leasing. Terhadap leasing seperti ini oleh Kurnia

sebagai “pemilik ekonomis” karena mendapatkan manfaat dari barang, sedang resikonya ditanggung oleh lessor.

32

Lebih lanjut Kurnia

dimasukkan dalam financial lease.

33

30

Ibid, hal. 56.

31

Ibid

32

Kurnia, Hukum Seputar Leasing (http://ayok.wordpress.com/2006/12/21/ hukum-leasing/). Diakses pada tanggal 25 Februari 2009.

33

Ibid

mengemukakan bahwa financial lease dalam praktik saat ini merupakan suatu bentuk sewa di mana kepemilikan barang berpindah dari pihak pemberi sewa kepada penyewa. Bila dalam masa akhir sewa pihak penyewa tidak dapat melunasi sewanya, barang tersebut tetap milik pemberi sewa (perusahaan leasing) karena akadnya dianggap


(41)

sebagai akad sewa. Sedangkan bila pada masa akhir sewa pihak penyewa dapat melunasi cicilannya, barang tersebut menjadi milik penyewa.

Biasanya pengalihan pemilikan ini menurut Kurnia didasarkan atas alasan hadiah pada akhir penyewaan, atau pemberian cumacuma, atau janji dan alasan lainnya. Menurut penilaiannya dalam financial lease terdapat dua proses akad sekaligus yakni sewa sekaligus beli sehingga karenanya leasing dalam bentuk ini sering disebut sewa-beli.

Praktik yang terjadi di masyarakat berkenaan perolehan mobil atau motor pada umumnya BPKB dan STNK sudah atas nama pembeli, namun perjanjiannya seringkali bertitel leasing atau sewa beli dengan disertai berbagai klausul untuk melindungi kepentingan penjual dari keadaan yang tidak diinginkan.

Sri Gambir34

a. Penjual berhak menarik kembali barang dan perjanjiannnya dianggap batal serta uang angsurannya dianggap sebagai sewa.

dalam penelitiannya menemukan berbagai klausul ketika pembeli tidak memenuhi pembayaran angsuran, antara lain:

b. Penjual berhak menarik gaji/upah pembeli.

c. Penjual berhak mengenakan denda.

d. Penjual berhak menuntut pembayaran sekaligus dan seketika atas sisa angsuran dan denda.

Selain klausul-klausul di atas Sri Gambir juga menemukan klausul-klausul yang sangat merugikan pembeli, misalnya:

34


(42)

a. Pemberian kuasa mutlak kepada penjual untuk bebas bertindak atas barang.

b. Pelepasan pembatalan perjanjian melalui hakim.

c. Perjanjian bernilai eksekutorial.

Dalam banyak kasus masih ditemukan klausul-klausul lain, misalnya larangan bagi pembeli untuk memindahtangankan barang, penjual bebas memasuki rumah pembeli untuk menarik barang, penjual berhak menyita barang lain milik pembeli dalam hal barang objek perjanjian tidak dapat ditemukan, dan lain-lain.

Memperhatikan beberapa karakter dari perolehan mobil atau motor seperti ini mengakibatkan tidak jelasnya bentuk perjanjian, apakah termasuk sewa beli atau jual beli angsuran. Jika termasuk sewa beli tentunya kepemilikan barang masih atas nama penjual tidak ata nama pembeli, tetapi kenyataannya BPKB dan STNK sudah atas nama pembeli. Jika termasuk jual beli angsuran tentunya tidak dibenarkan adanya klausul-kalusul seperti itu.

Mahkamah Agung35

35

Ibid, hal. 207.

dalam beberapa putusannya antara lain: putusan Nomor 1243K/Pdt/1983 tanggal 19 April 1985, dan Nomor 935K/Pdt/1985 tanggal 30 September 1986 berpendapat bahwa oleh karena STNK dan BPKB sudah atas nama pembeli, maka kepemilikan barang sudah beralih kepada pembeli. Putusan ini memberikan pengertian


(43)

bahwa perjanjian semacam itu dikonstruksikan sebagai perjanjian jual beli agsuran.

Dengan mendasarkan kepada putusan Mahkamah Agung tersebut, maka dalam hal terjadi sengketa harta bersama berupa mobil atau motor yang diperoleh berdasarkan leasing ataupun sewa beli, sedangkan STNK dan BPKB-nya sudah atas nama pembeli, maka yang dinyatakan sebagai harta bersama adalah barang tersebut serta hutang sisa angsuran, bukan jumlah uang angsuran yang telah dibayarkan.

C. Para Pihak dalam Perjanjian Sewa Beli

Pihak-pihak dalam perjanjian sewa beli adalah pihak penjual dan pihak penyewa. Masing-masing penjual dan penyewa memiliki hak dan kewajiban satu sama lain. Hak dan kewajiban sewa beli hampir sama dengan hak dan kewajiban dalam jual beli, yaitu mempunyai tujuan mengalihkan hak milik atas suatu barang. Hanya saja ada perbedaan mengenai cara pembayaran serta perolehan miliknya. Jika dilihat dari perjanjiannya maka kewajiban penjual sewa adalah sebagai berikut:

1. Menyerahkan barang atau benda (tanpa hak milik) kepada pembeli sewa. 2. Menyerahkan hak milik secara penuh kepada pembeli sewa, setelah obyek

tersebut dilunasi

Kewajiban yang pertama tersebut dilakukan oleh penjual sewa pada saat ditutupnya perjanjian sewa beli antara penjual sewa dan pembeli sewa. Yang diserahkan adalah hanya untuk menguassaai atas barangnya saja, bukan hak milik


(44)

atas barang. Penyerahan ini dimaksudkan agar barang yang menjadi obyek sewa beli tersebut dapat digunakan atau diambil manfaatnya oleh pembeli sewa.

Kewajiban yang kedua untuk menyerahkan hak milik dari suatu barang itu kepada pembeli sewa secara sepenuhnya yang dimaksud adalah bahwa penjual sewa setelah menyerahkan hak tersebut, bebas berbuat apa saja atas barang miliknya. Penyerahan ini dilakukan setelah pembeli sewa melunasi angsuran-angsuran yang menjadi harga barang tersebut.

Perjanjian sewa beli adalah merupakan percampuran antara perjanjian jual beli dan sewa menyewa. Oleh karena itu pihak pembeli tidak dapat membeli barang sekaligus atau lunas, maka diadakan suatu perjanjan dimana pembeli diperbolehkan mengangsur dengan beberapa kali angsuran. Sedangkan hak milik baru akan berpindah tangan pada saat pembeli sudah membayar semua angsuran dengan lunas. Dan selama angsuran tersebut belum dilunasi maka pembeli masih menjadi penyewa.

Sebagai penyewa, hanya berhak atas pemakaian atau mengambil manfaat atas barang tersebut dan penyewa tidak mempunyai hak untuk mengalihkan atau memindah tangankan barang tersebut kepada orang lain. Jika hal tersebut dilakukan oleh pembeli sewa, maka ia akan dikenai sanksi pidana karena dianggap menggelapkan barang milik orang lain.

D. Bentuk dan Isi Perjanjian Sewa Beli 1. Bentuk perjanjian sewa beli

Bentuk perjanjian sewa beli Sesuai dengan sistem terbuka yang dianut dalam Buku III KUH Perdata mengenal adanya asas kebebasan berkontrak


(45)

(pasal 1338 ayat 1) maka pihak dalam membuat perjanjian sewa beli, para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan bentuk dan isi perjanjiannya. Hukum perjanjian memberikan kebebasan sepenuhnya pada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar Undang-Undang, ketertiban umum, dan Kesusilaan.

Sehingga berdasarkan hal tersebut diatas, maka perjanjian sewa beli dapat dibuat secara lisan maupun tulisan. Namun agar para pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa beli itu merasa aman dari penyelewengan atau penipuan, maka perjanjian sewa beli harus dituangkan dalam bentuk tertulis, baik itu dengan akta notaris maupun akta dibawah tangan.

2. Isi perjanjian sewa beli

Isi perjanjian sewa beli sepeda motor yang dituangkan dalam bentuk tulisan baik dengan akta notaris maupun akta dibawah tangan pada umumnya berisi tentang:

a. Tanggal mulai berlakunya perjanjian sewa beli.

b. Jumlah angsuran dan berapa kali angsuran tersebut harus dibayaroleh pembeli sewa.

c. Jangka waktu untuk tiap-tiap angsuran.

d. Penjelasan mengenai ciri dan jenis barang serta keadaan barang. e. Harga barang apabila dibeli secara tunai.

f. Cara pembayaran angsuran tidak dengan tunai.


(46)

h. Hal-hal yang dianggap perlu seperti : angsuran, bunga, pajak, asuransi, dan lain sebaginya.36

E. Resiko dalam Sewa Beli

Pada perjanjian-perjanjian tertentu, mengenai resiko telah ada pengaturannya, seperti yag telah dijelaskan dalam uraian diatas misalnya: pada perjanjian resiko ada pada pihak pembeli (pasal 1460 KUHPerdata), sedangkan pada perjanjian sewa menyewa resiko ditentukan pada pihak penjual (pasal 1553 KUHPerdata).

Kedua perjanjian resiko tersebut sebenarnya adalah merupakan unsur dari perjanjian sewa beli. Tetapi perjanjian sewa beli bukanlah perjanjian jual beli atau penjanjian sewa menyewa, tetapi merupakan perjanjian jenis baru. Oleh karena itu mengenai siapa yang menjadi penanggung resiko apabila terjadi suatu overmacht tidak ada ketentuan yang mengaturnya.

F. Berakhirnya Perjanjian Sewa Beli

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa perjanjian sewa beli sampai saat sekarang belum ada Undang-Undang khusus yang mengaturnya. Sewa beli hanya didasari oleh SK Menteri No. 34 / KP / II / 1980. Dimana dalam SK Menteri ini, sewa beli belum diuraikan secra lengkap dan rinci, Termasuk di dalam isinya belum memuat tentang kapan berakhirnya suatu perjanjian sewa beli. Berakhirnya perjanjian sewa beli ini, para pihak boleh sesuai dengan kesepakatan para pihak

36


(47)

sehingga sudah barang tentu disini terdapat kemungkinan cara untuk mengakhirinya. Adapun kemungkinankemungkinan yang dapat dijadikan cara untuk mengakhiri suatu perjanjian tersebut:

1. apabila angsuran sudah dibayar lunas oleh pihak penyewa

2. apabila salah satu pihak meninggal dunia dan tidak ada ahli warisnya yang meneruskan, atau mungkin ada ahli warisnya yang namun tidak mau meneruskan

3. apabila terjadi perampasan barang yang menjadi obyek perjanjian sewa beli oleh pihak penjual sewa terhadap pihak lawannya

4. apabila setelah adanya putusan dari pengadilan yang bersifat tetap37

Dari uraian di atas yang paling umum terjadi dalam hal peralihan hak secara penuh dalam sewa beli sepeda motor terjadi jika si pembeli sewa telah membayar angsuran sepeda motor guna melunasi harga barang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

37


(48)

BAB III

TINJAUAN UMUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN

A. Jenis-jenis Tindak Pidana Penggelapan

Dengan melihat cara perbuatan dilakukan, maka dapat dibagi kejahatan penggelapan dalam beberapa jenis, yaitu:

1. Penggelapan dalam bentuk pokok

Kejahatan penggelapan ini diatur dalam pasal 372 KUHP sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. Benda yang menjadi objek kejahatan ini tidak ditentukan jumlah atau harganya.

2. Penggelapan ringan (lichte verduistering)

Dikatakan penggelapan ringan, bila objek dari kejahatan bukan dari hewan ternak atau benda itu berharga tidak lebih dari Rp. 250, tentunya harga ini tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang ini. Namun demikian, dalam praktek disesuaikan dengan kondisi sekarang dan tergantung dari pertimbangan hakim. Kejahatan ini diatur dalam pasal 373 KUHP dengan ancaman hukuman selama-lamanya 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900.

Pasal 373 KUHP menentukan bahwa:

Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 372, jika yang digelapkan itu bukan hewan dan harganya tidak lebih dari Rp. 250,-, dihukum, karena penggelapan ringan, dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,-.

Rumusan penggelapan ringan tersebut terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:


(49)

a. Unsur-unsur penggelapan dalam bentuk pokok (pasal 372 KUHP), b. Unsur-unsur khusus, yakni:

5. Objeknya; benda bukan ternak 6. Nilai benda tidak lebih dari Rp. 250,-

Penggelapan ini menjadi ringan, terletak dari objeknya bukan ternak dan nilainya tidak lebih dari Rp. 250,-. Dengan demikian, maka terhadap ternak tidak mungkin terjadi penggelapan ringan.

3. Penggelapan dengan pemberatan (gequalificeerde verduistering) Kejahatan ini diancam dengan hukuman yang lebih berat, yaitu selama-lamanya 5 tahun. Unsur pokok yang berakibat adanya pemberatan adalah karena hubungan pekerjaan, jabatan atau menerima upah.

Pasal 374 KUHP menyatakan bahwa:

“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya, atau karena ia mendapat upah uang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun”

Apabila rumusan tersebut dirinci, maka terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:38

a. Unsur-unsur penggelapan dalam bentuk pokok (pasal 372 KUHP)

b. Unsur-unsur khusus yang memberatkan, yakni beradanya benda dalam kekuasaan pelaku disebabkan oleh:

1. Karena adanya hubungan kerja

38


(50)

Hubungan kerja pribadi adalah hubungan kerja yang bukan hubungan kepegawaian negeri (ambt), akan tetapi hubungan pekerjaan antara seorang buruh dengan majikannya, atau seorang karyawan/ pelayan dengan majikannya.39

2. Karena mata pencaharian

Hoge Raad dalam Arrestnya (16-2-1941) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hubungan kerja adalah pekerjaan yang terjadi karena suatu perjanjian kerja, misalnya pengurus dari suatu Perseroan Terbatas.

Adalah suatu mata pencaharian atau jabatan tertentu, dimana seseorang itu melakukan pekerjaan secara terbatas dan tertentu. Pelaksanaan pekerjaan atau tugas yang terbatas dan tertentu ini adalah merupakan ciri dari suatu mata pencaharian. Seorang kasir atau bendahawaran adalah merupakan pekerjaan yang tertentu dan terbatas, ialah sebagai pemegang dan pengurus keuangan dari suatu perusahaan atau jawatan. Ia tidak berfungsi dan bertugas lain di luar tugas atau pekerjaan yang tidak menyangkut keuangan. Hubungan antara dia dengan uang yang diurus dan menjadi tangung jawabnya adalah berupa hubungan menguasai/ kekuasaan, yang timbul dari adanya jabatannya sebagai kasir atau bendaharawan. Apabila menyalahgunakan uang yang menjadi tanggung jawab dan berada dalam pengurusan itu, misalnya dibelikan sepeda untuk

39

Kartanegara, Hukum Pidana, Bagian Dua, Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun, hal. 213.


(51)

anaknya, maka disini telah terjadi penggelapan. 3. Karena mendapatkan upah untuk itu

Maksud dari mendapat upah untuk itu adalah seseorang mendapat upah tertentu berhubung dengan ia mendapat kepercayaan karena suatu perjanjian atau lain-lain oleh sebab diserahi suatu benda. Hal seperti ini terjadi misalnya pada juru parkir, dimana ia mendapat upah dari orang yang menitipkan kendaraan padanya. Kendaraan yang dititipkan itu berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, melainkan karena ia mendapat upah untuk penitipan itu. Kejahatan dengan pemberatan ini juga diatur dalam pasal 375 KUHP, pasal tersebut berbunyi:

“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa disuruh menyimpan barang itu, atau wali, curator, pengurus, orang yang menjalankan wasiat atau mengurus balai harta derma, tentang sesuatu benda yang ada dalam tangannya karena jabatan tersebut, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun.”

Apabila rumusan tersebut dirinci, maka terdiri dari unsur-unsur:40 a. Unsur-unsur penggelapan dalam bentuk pokok (pasal 372 KUHP),

b. Unsur-unsur khusus yang sifatnya memberatkan, yakni beradanya benda objek penggelapan di dalam kekuasaan petindaknya disebabkan oleh:

1) Suatu keadaan yang terpaksa untuk dititipkan;

Keadaan-keadaan yang dimaksud di sini ialah suatu keadan yang tidak dapat diduga terlebih dahulu, dalam keadaan mana untuk

40


(52)

keselamatan suatu benda terpaksa harus dititipkan untuk disimpan pada orang-orang tertentu yang dapat menyelamatkan/ menjaga benda itu, yang apabila tanpa adanya penitipan keselamatan benda tidak dapat terjamin.

Hal seperti ini dapat terjadi pada keadaan rumah sedang terbakar, banjir, gunung meletus, gempa bumi, dan lain sebagainya.

2) Kedudukan sebagai seorang wali (voogd);

Seorang wali bertugas mengawasi anak yang ada di bawah perwaliannya, termasuk juga harta benda anak itu, seperti harta yang diperolehnya dari pewarisan. Juga seorang wali mengurus soal pendidikan anak itu dan harta bendanya.

Dalam kedudukannya sebagai seorang wali, maka hubungannya dengan harta anak yang ada di bawah perwaliannya adalah berupa hubungan kekuasaan belaka. Apabila dalam kedudukannya yang demikian itu ia menggelapkan harta benda anak yang ada di bawah perwaliannya maka kedudukannya sebagai demikian mengakibatkan penggelapan yang dilakukan itu menjadi diperberat.

3) Kedudukan sebagai pengampu (curator);

Seorang pengampu mempunyai kewajiban melakukan pengurusan dan pengawasan, baik terhadap orang yang di bawah pengampuannya maupun harta benda miliknya. Harta benda milik curandus yang berada dalam kekuasaan si pengampu itu karena


(53)

kedudukannya sebagai demikian ini, bila ia menggelapkannya, maka ia telah melanggar ketentuan pasal 375 KUHP.

4) Kedudukan sebagai seorang kuasa (bewindvoerder);

Kuasa di sini yakni seorang kuasa yang ditunjuk oleh hakim, dan yang diberi kuasa untuk mengurus harta benda milik seseorang yang ditinggalkannya tanpa ia menunjuk seorang wakil untuk pengurusan-nya, dan juga terhadap harta benda yang terlantar yang tidak diketahui dengan jelas pemiliknya.

Pemegang kuasa tersebut berkewajiban melakukan pengurusan dan pengawasan atas harta benda yang diberikan kepercayaan kepadanya. Dengan harta benda dalam pengurusannya itu, ia berada dalam hubungan kekuasaan yang apabila melakukan perbuatan memiliki atas benda itu ia dipersalahkan melanggar pasal 375 KUHP.

5) Kedudukan sebagai pelaksana surat wasiat; dan

Dalam kedudukan sebagai pelaksana surat wasiat (wasi), wasi tersebut menguasai harta benda milik almarhum pewasiat, yang apabila melakukan perbuatan memiliki harta terhadap benda tersebut, maka ia dipersalahkan melakukan penggelapan yang diperberat sebagaimana ketentuan pasal 375 KUHP.

6) Kedudukan sebagai pengurus dari lembaga sosial atau yayasan. Suatu lembaga/ badan sosial mempunyai orang-orang yang bertindak selaku pengurusnya. Dalam kedudukannya sebagai pengurus ini, ia


(54)

mengurusi harta benda milik yayasan dan berkewajiban untuk mengurus, mengamankan, mengatur penggunaannya dan sebagainya. Kedudukannya sebagai pengurus inilah yang bersifat memberatkan.

4. Penggelapan di Kalangan Keluarga

Penggelapan di kalangan keluarga diatur dalam pasal 376 KUHP. Ketentuan Pasal 376 KUHP ini pada intinya adalah memberlakukan ketentuan pasal 367 KUHP (tentang pencurian dalam keluarga).

Pasal 376 KUHP menyatakan bahwa :

“Ketentuan dalam pasal 367 KUHP berlaku bagi kejahatan yang diterangkan dalam bab ini”.

Menurut pasal ini seperti halnya dengan pencurian, maka penggelapan pun apabila dilakukan dalam kalangan kekeluargaan, berlaku pula peraturan dalam pasal 367 KUHP. kejahatan penggelapan adalah delik aduan relatif, artinya delik atau kejahatan ini adalah kejahatan bukan delik aduan, tetapi jika dilakukan oleh dan di kalangan keluarga, maka menjadi delik aduan.

Dalam kejahatan terhadap harta benda, pencurian, pengancaman, pemerasan, penggelapan, penipuan apabila dilakukan dalam keluarga, maka dapat menjadi:

a. Tidak dapat dilakukan penuntutan baik terhadap petindaknya maupun terhadap pelaku pembantunya (pasal 367 ayat 1 KUHP).


(55)

b. Tindak pidana aduan, tanpa adanya pengaduan, baik terhadap petindaknya maupun pelaku pembantunya tidak dapat dilakukan penuntutan (pasal 367 ayat 2 KUHP).41

Pada kejahatan penggelapan, baik dalam bentuk pokoknya maupun dalam bentuk yang diperberat (dan tidak dalam bentuk ringan), dalam hal penjatuhan pidana oleh hakim, kepada petindaknya dapat pula dijatuhi pidana tambahan berupa:

a. Pidana pengumuman putusan hakim; b. Pidana pencabutan hak-hak tertentu;

Jika melakukan penggelapan itu dalam menjalankan mata pencaharian/ pekerjaan, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pekerjaan itu.

B. Unsur-unsur Tindak Pidana Penggelapan

Tindak Pidana Penggelapan diatur dalam ketentuan Pasal 372 KUHP dirumuskan sebagai berikut:

“Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,-”.

Rumusan itu disebut atau diberi kualifikasi penggelapan. Rumusan itu tidak memberi arti sebagai membuat sesuatu menjadi gelap atau tidak terang, seperti arti kata yang sebenarnya. Perkataan verduidstering yang kedalam bahasa indonesia diterjemahkan secara harfiah dengan penggelapan itu, bagi masyarakat

41


(56)

Belanda diberikan arti yang luas (figurlijk), bukan diartikan seperti arti kata yang sebenarnya sebagai membuat sesuatu menjadi tidak terang atau gelap. 42

1. Unsur-unsur objektif adalah;

Berdasarkan rumusan Pasal 372 KUHP, unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana penggelapan adalah sebagai berikut:

a. perbuatan memiliki (Zicht toeeigenen); b. sesuatu benda (eenig goed);

c. yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain;

d. yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan; 2. Unsur-unsur subjektif adalah:

a. dengan sengaja (opzettelijk);

b. dengan melawan hukum (wederrechtelijk).

1. Unsur objektif

Unsur objektif adalah unsur yang terdapat diluar pelaku (dader) yang dapat berupa:

a. Perbuatan memiliki (Zicht toeeigenen)

Zicht toeeigenen diterjemahkan dengan perkataan memiliki, menganggap sebagai milik atau ada kalanya menguasai secara melawan hak atau mengaku sebagai milik, dengan kata lain memiliki adalah setiap perbuatan penguasaan atas benda atau lebih tegas pada setiap tindakan yang mewujudkan suatu kehendak

42


(57)

untuk melakukan kekuasaan yang nyata dan mutlak atas benda itu, hingga tindakan itu merupakan perbuatan sebagai pemilik atas benda itu.43

Pengertian memiliki pada penggelapan ini ada perbedaannya dengan memiliki pada pencurian. Perbedaan ini ialah dalam hal memiliki pada pencurian adalah berupa unsur subjektif, sebagai maksud untuk memiliki (benda objek kejahatan itu). Tetapi pada penggelapan, memiliki berupa unsur objektif, yakni unsur tingkah laku atau perbuatan yang dilarang dalam penggelapan. Kalau dalam pencurian tidak diisyaratkan benar-benar ada wujud dari unsur memiliki itu, karena memiliki ini sekedar dituju oleh unsur kesengajaan sebagai maksud saja, tetapi pada penggelapan, memiliki berupa unsur objektif, yakni unsur tingkah laku atau perbuatan yang dilarang dalam penggelapan. Kalau dalam pencurian tidak disyaratkan benar-benar ada wujud dari unsur memiliki itu, karena memiliki ini sekedar dituju oleh unsur kesengajaan sebagai maksud saja, tetapi memiliki pada penggelapan, karena merupakan unsur tingkah laku, berupa unsur objektif, maka memiliki itu harus ada bentuknya/ wujudnya, bentuk mana harus sudah selesai dilaksanakan sebagai syarat untuk menjadi selesainya penggelapan. Bentuk-bentuk perbuatan memiliki, misalnya menjual, menukar, menghibahkan, menggadaikan, dan sebagainya.44

Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 25 Februari 1958 No. 308 K/Kr/1957 menyatakan bahwa perkataan Zicht toeeigenen dalam bahasa

43

H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid, I, Alumni, Bandung, 1982, hal. 35.

44


(58)

Indonesia belum ada terjemahan resmi sehingga kata-kata itu dapat diterjemahkan dengan perkataan mengambil atau memiliki.

Pemilikan itu pada umumnya terdiri atas setiap perbuatan yang menghapuskan kesempatan untuk memperoleh kembali benda itu oleh pemilik yang sebenarnya dengan cara-cara seperti menghabiskan atau memindahtangan kan benda itu, memakan, memakai, menjual, menghadiahkan, dan menukar. Adapun juga dalam hal-hal yang masih dimungkinkan memperoleh kembali benda itu seperti pinjam meminjam, menjual dengan hak membeli kembali termasuk dalam pengertian memilik bahkan menolak pengembalian atau menahan benda itu dengan menyembunyikan atau mengingkari penerimaan benda sudah dapat dinyatakan dengan perbuatan memiliki.

Jadi memiliki dengan melawan hukum berarti bertindak seakan-akan pemilik atau bertindak sebagai pemilik, sedangkan ia bukan pemilik atau ia tidak memiliki hak milik atas benda itu.

Pada penggelapan memiliki unsur objektif, yakni unsur tingkah laku atau perbuatan yang dilarang dalam penggelapan, maka memiliki itu harus ada bentuk dan wujudnya, bentuk mana harus sudah selesai dilaksanakan sebagai syarat untuk menjadi selesainya penggelapan.

Perbuatan memiliki adalah aktif, jadi harus ada wujud konkretnya. Pada kenyataannya wujud perbuatan memiliki empat kemungkinan, yaitu:

1. Perbuatan yang wujudnya berupa mengalihkan kekuasaan atas benda objek penggelapan atau dengan kata lain perbuatan yang mengakibatkan beralihnya kekuasaan atas benda ke dalam kekuasaan


(59)

orang lain, selesainya perbuatan ini apabila kekuasaan atas benda telah beralih ke dalam kekuasaan orang lain atau sudah lepas dari kekuasaan pembuat.

2. Perbuatan tidak mengakibatkan beralihnya kekuasaan atas benda objek kejahatan, akan tetapi mengakibatkan benda menjadi lenyap (bukan hilang) atau habis.

3. Perbuatan memiliki atas benda yang berakibat benda itu berubah bentuknya atau menjadi benda lain.

4. Perbuatan memiliki yang tidak menimbulkan akibat beralihnya kekuasaan atas benda dan juga benda tidak lenyap atau habis atau berubah bentuk melainkan benda digunakan dengan melawan hak.

b. Sesuatu benda (eenig goed)

Pengertian benda yang berada dalam kekuasaannya sebagai adanya suatu hubungan langsung dan sangat erat dengan benda itu yang sebagai indikatornya adalah apabila ia hendak melakukan perbuatan terhadap benda itu, dia dapat melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dahulu, adalah hanya terhadap benda-benda berwujud dan bergerak saja, dan tidak mungkin terjadi pada benda-benda yang tidak berwujud dan benda-benda tetap.

Perumusan dari tindak pidana ini termuat dalam pasal 372 KUHP dari Bab XXIV Buku II KUHP sebagai berikut: dengan sengaja memiliki dengan melanggar hukum suatu benda yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang


(1)

Seharusnya secara jeli, Jaksa Penuntut Umum harus melihat unsur kesengajaan merencanakan tindak pidana oleh terdakwa, yakni merencanakan untuk menipu, sehingga Jaksa Penuntut Umum dapat mengenakan pasal berlapis pada terdakwa, yakni pasal penipuan (378 KUHP) dan pasal penggelapan (372 KUHP.

Pasal 378 KUHP yang mengatur tentang tindak pidana penipuan, mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1. unsur barang siapa

2. unsur dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain 3. unsur secara melawan hukum

4. unsur dengan tipu muslihat, sifat palsu ataupun rangkaian kebohongan 5. unsur menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu

kepadanya.

Untuk unsur point 1 dan 3 juga terdapat pada unsur-unsur pada tindak pidana penggelapan, sehingga secara otomatis sejalan dengan isi dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Berdasarkan kronologis perkara, tindakan terdakwa Sandi tampaknya juga mengandung unsur-unsur pada point 2, 4. Dan 5 pada pasal 378, sehingga juga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan.

Terdakwa terindikasi bermaksud menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain dengan berencana menggelapkan alat-alat kendaraan apabila nantinya permohonan kredit terdakwa dikabulkan oleh PT. Indo Pratama Motor dan terdakwa dapat menguasai kendaraan yang dimohonkannya kredit.


(2)

Selanjutnya pada saat mengajukan permohonan kredit, terdakwa tentunya sudah berjanji akan melakukan pembayaran angsurannya dengan baik, sehingga dengan adanya janji terdakwa, PT. Indo Pratama Motor tidak ragu untuk mengabulkan permohonan kredit terdakwa. Janji tersebut merupakan tipu muslihat atau kebohongan terdakwa agar permohonannya kareditnya dikabulkan kreditur.

Kemudian, dengan tipu muslihat dan kebohongan yang telah direncanakan terdakwa, terdakwa telah menggerakkan orang lain (dalam hal ini PT. Indo Pratama Motor) untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, yakni menyerahkan kendaraan bermotor yang diinginkan oleh terdakwa untuk diletakkan perjanjian sewa beli.

Dengan penjelasan tersebut, tentunya unsur-unsur yang terdapat di dalam pasal 378 KUHP telah terpenuhi oleh tindakan-tindakan terdakwa, sehingga perbuatan terdakwa selain dikenakan pasal penggelapan, seharusnya juga dikenakan pasal tentang penipuan oleh Jaksa Penuntut Umum.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari uraian-uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Tindakan dengan sengaja mengganti alat-alat kendaraan bermotor yang menjadi objek perjanjian sewa beli dengan mengambil keuntungan di dalamnya, sedangkan pembayarannya dalam keadaan macet dan berujung pada penarikan kendaraan oleh kreditur, merupakan tindak pidana penggelapan, sebab keadaan kendaraan sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan kendaraan ketika diserahkan kepada debitur. Tindakan tersebut merupakan tindak pidana penggelapan, sebab debitur dengan sengaja dan sadar menggelapkan alat-alat kendaraan yang sebagian atau seluruhnya bukan milik debitur, dimana kendaraan tersebut tidak diperoleh melalui tindak pidana, melainkan melalui pengajuan kredit yang disetujui oleh pihak kreditur.

2. Debitur yang telah menggelapkan alat-alat kendaraan bermotor yang di atasnya melekat perjanjian sewa beli harus mempertanggungjawabkan secara pidana perbuatannya tersebut, sebab jelas kendaraan tersebut belum sepenuhnya menjadi milik debitur sebelum pelunasannya dilakukan.


(4)

B. Saran

1. Lembaga-lembaga yang bergerak dalam usaha sewa beli kendaraan bermotor sebaiknya harus lebih selektif dalam memberikan kredit kepada para calon debitur yang ingin mengajukan kredit kendaraan, sebab kredit yang akan dijalankani tidaklah dalam waktu singkat, namun berlangsung cukup lama, sehingga sangat dibutuhkan adanya itikad baik calon debitur yang mengajukan kredit dalam bentuk perjanjian sewa beli.

2. Debitur yang mengajukan dan menjalani sewa beli atas kendaraan bermotor tertentu, sebaiknya tidak berupaya untuk mencari keuntungan pribadi dengan cara-cara tertentu, sebab tindakan debitur yang semacam itu akan diminta pertanggungjawabannya di depan hukum.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abidin, Andi Zainal, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1983.

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2006.

Anwar, H.A.K. Moch, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid, I, Alumni, Bandung, 1982.

Chazawi, Adami, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayumedia, Malang, 2003. Harahap, Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni, 1986.

Harkrisnowo, Harkristuti, Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dalam Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001.

Hatta, Sri Gambir Melati, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Alumni, Bandung, 1999.

Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2006. Kartanegara, Hukum Pidana, Bagian Dua, Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun. Aman Mgs. Edy, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta,

1989.

Saleh, Roeslan., Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983. Soesilo, R, Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya

Lengkap Pasal demi Pasal, Politea, Bogor, 1994.

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa. 1979. Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.

Tresna, R, Asas-asas Hukum Pidana Disertai Pembahasan Beberapa Perbuatan yang Penting, PT. Tiara, Jakarta, 1979.


(6)

Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 tentang Perizinan Kegiatan Sewa Beli, Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Kurnia, Hukum Seputar Leasing (http://ayok.wordpress.com/2006/12/21/ hukum-leasing/). Diakses pada tanggal 25 Februari 2009.