Asal Usul Adat Sumando

BAB IV PAKAIAN ADAT PADA PESTA PERKAWINAN MASYARAKAT

SUMANDO PESISIR SEBAGAI ATRAKSI WISATA DI KABUPATEN TAPANULI TENGAH

4.1. Asal Usul Adat Sumando

Menurut asal mulanya, suku atau etnik Sumando yang berasal dari Poncan Ketek, datang ke Sibolga, pada tahun 1851. Dengan perpindahan penduduk dari Poncan Ketek, ke Sibolga ini, mereka juga membawa adat isti adat meraka yang disebut dengan adat Sumando dan selanjutnya berkembang ke Tapanuli Tengah. Pengertian kata “Sumando” adalah pertambahan suku dari satu keluarga dengan keluarga lain dengan ikatan pernikahan secara Islam dan adat Pesisir. Dalam pengertian yang lebih luas, yang sumando adalah ke yang dimaksud dengan “ Sumando “ adalah satu kesatuan ruang lingkup kebudayaan suku Pesisir yang terdiri dari adat istiadat Pesisir, Kesenian Pesisir, Bahasa Pesisir, dan makanan Pesisir. Sedangkan dalam pembagian pengelompokan, suku Pesisir yang dimaksud terdapat di Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga. Namun, perlu diketahui bahwa kebudayaan Pesisir tidak hanya berlaku di wilayah Tapanuli Tengah tetapi juga di Kabupaten Mandailing Natal, Nias, dan Singkil Meulaboh Aceh . Sumando Pesisir ini sedikit banyaknya memang berbeda jika dibandingkan dengan ikatan kekeluargaan Dalihan Na Tolu seperti yang terkandung dalam adat masyarakat Batak pada umumnya. Dalihan Na Tolu ini mengatur sedemikian rupa sehingga sebuah komunitas terkecil masyarakat Batak haruslah sekurang-kurangnya terdiri dari tiga marga sehingga dalam setiap peristiwa adat ada marga yang berperan sebagai boru. Bagi masyarakat Batak yang masih memegang teguh Dalihan Na Tolu, pelanggaran terhadap aturan ini baik di sengaja maupun tidak akan dihadapkan kepada sanksi adat. Dalihan Na Tolu merupakan inti dasar kebudayaan Batak Core Culture yang menjadi dasar dan acuan bagi masyarakat Batak. Bahkan terdapat satu ungkapan bahwa apabila sekelompok orang Batak mininggalkan Dalihan Na Tolu, mereka dianggap hidup dalam lingkaran “ pinahan “. Sumando Pesisir sebagai kesatuan adalah suatu pertambahan dan pencampuran satu keluarga dengan keluarga lain yang seiman dengan ikatan tali pernikahan menurut hukum Islam dan disahkan memakai upacara adat Pesisir. Maka yang dimaksud sebagai “ orang Sumando “ adalah seseorang menantu atau abang ipar maupun adik ipar yang telah menjadi keluarga sendiri sehingga segala sesuatu urusan baik atau buruk menjadi tanggung jawab bersama orang Sumando. Pandangan hidup dan ikatan adat istiadat masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah sangat kuat dan hubungan kekerabatan Sumando merupakan jalur dalam menjembatani persaudaraan. Masyarakat Pesisir sangat menghargai ikatan kekeluargaan. Itu sebabnya tidak ada satu keputusan adat pun yang di tempuh tanpa melibatkan musyawarah semua anggota keluarga. Orang Sumando mempunyai Motto : Bulek ai dek dipambulu, Bulek kato dek mufakat. Dek saiyo mangko sakato, Dek sakato mangko sepakat. Jika langkah-angkah pergaulan lebih jauh yang di tempuh pernikahan yang tidak dapat dilangsungkan, karena pihak pemuda menganut adat Minangkabau yang matrinialchaat. Akhirnya diadakanlah musyawarah di antara orangtua kedua belah pihak guna mencari jalan keluar dari kesulitan-kesulitan yang ada. Kedua pihak menganut sistem adat yang ketat dan tentu sulit bagi seseorang untuk mengalah penuh. Akhirnya toleransi tercapai dengan mengendurkan beberapa ketegangan adat dari kedua belah pihak, karena orang Minang laki-laki di jemput atau dibeli sedangkan Sumando hanya membayar jinamu atau mahar yang merupakan campuran dari hukum Islam adat Minangkabau dan adat Sumando. Hal-Hal yang baik di terima dan yang tidak sesuai dengan tata karma dan sikap hidup sehari-hari diabaikan. Itulah yang disebut dengan “ Adat Bersendi sara’ dan sara’ bersendi Kitabullah “. Adapun langkah-langkah tata cara perkawinan ketentuan-ketentuan Sumando disebut sebagai berikut : a. Pernikahan dapat terjadi apabila pria meminang wanita terlebih dahulu dengan menyerahkan sejumlah uang atau barang. Uang atau barang disebut dengan Jinamu sebagai tanda pengikat bahwa pada waktu tertentu akan dilangsungkan pernikahan nantinya dan dilaksanakan ijab qabul dihadapan wali saksi. Adat Sumando tidak mengenal Tuhor atau Jurjuranseperti dalam pernikahan adat Batak. b. Tanggung jawab rumah tangga dan keluarga berada pada pihak pria. Anak yang dilahirkan memakai marga dari suku orang tua laki-laki. c. Mengenai pembagian harta pusaka berlaku pribahasa “ Berjenjang naik bertangga turun “. Jumlah harta pusaka di terima seseorang bergantung pada jauh dekatnya hubungan kekeluargaan namun demikian harta pusaka tempat tinggal rumah diprioritaskan menjadi bagian hak wanita. Pembagian harta warisan di antara yang bersaudara pria dan wanita menjadi 1 : 1. Namun apabila anak laki – laki tidak setuju maka jatuh pada hukum Faraid. d. Apabila terjadi perceraian di antara suami istri maka suami meninggalkan rumah kediaman sedangkan istri tetap tinggal menempati rumah itu. Mengenai harta pembawaan dan yang diperoleh selama pernikahan harta gono-gini ditentukan kemudian. Berikut merupakan penuturan para ahli mengenai asal usul Adat Sumando antara lain: Perkembangan adat Sumando diwarnai oleh adat kebiasaan dari kebudayaan luar baik lokal maupun asing sebagai akses dari pernikahan dan pergaulan. Asimilasi dan akulturasi menambah semarak budaya adat Sumando. dalam sejarah peradatan, eksistensi merupakan keharusan sebagai antisipasi terhadap tantangan yang terjadi ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang terdiri dari berbagai adat, marga suku dan etnis. Ada tiga unsur yang berperan dalam menentukan adat Sumando menjadi Tri Sakti antara lain adalah Adat, Sara, dan Qitabullah atau dengan perkataan lain “ Adat Bersendi Sara, Sara Bersendi Qitabullah “. MenurutPanggabean dalam Paggebean 1995, Sumando itu konotasi dari Suman + Do artinya serupa. Do artinya saja, Sumando berarti serupa saja. Maksudnya serupa saja Adat Batak dengan Melayu Minangkabau atau sebaliknya.

4.2. Pakaian Adat pada Pesta Perkawinan Masyarakat Sumando Pesisir