24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini berlangsung dalam waktu 6 bulan, terhitung dari bulan Mei 2012 sampai dengan Oktober 2012. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium
Product Natural Analysis dan di Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Hewan Uji
Hewan uji yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan galur Sprague-Dawley, sehat, fertil, berumur 9 minggu dengan berat 250-
350 gram yang diperoleh dari Badan Pengawasan Obat Makanan.
3.2.2. Bahan Uji
Bahan uji yang akan digunakan adalah biji dari tanaman jarak pagar Jatropha curcas L. diperoleh dari Kebun Induk Jarak Pagar Balitri Sukabumi.
Sebelum dilakukan penelitian, tanaman di determinasi terlebih dahulu di
Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor. 3.2.3.
Bahan Kimia
Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pakan tikus berupa pellet, aquades, larutan NaCl fisiologis, Na CMC, alkohol 70, 80, dan
96 , etanol 70 dan 95, ammoniak 1 dan 25 , larutan HCl, kloroform, pereaksi Dragendroff, pereaksi Mayer, serbuk Mg, amil alkohol, larutan NaOH,
FeCl
3
, eter, petroleum eter, larutan Hematoksilin, larutan Bouin asam pikrat, formaldehid 4, asam asetat, larutan xilol, larutan Eosin, larutan George,
paraffin. 3.2.4.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : labu erlenmeyer, gelas ukur, ayakan mesh 40, timbangan analitik AND GH-202, mortir, tabung
reaksi, cawan penguap, hot plate, corong, kertas saring, batang pengaduk,
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
perangkat rotary evaporator vacuum Eyela, oven Memmert, tanur Thermo Scientific, freeze dry Eyela FD 1200, botol sampel, kandang hewan, tempat
makan dan minum tikus, timbangan hewan Ohauss, alat pencekok oral sonde,
beaker glass, obyek glass, kertas saring, Hemositometer Improved Neubeur, pipet tetes, mikro pipet Eppendorf Research plus, seperangkat alat bedah, dan
mikroskop optik Motic BA310. 3.3.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan eksperimen murni dengan rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap RAL dengan beberapa
kondisi perlakuan. Perlakuan di kelompokkan menjadi 4 kelompok dengan masing-masing
terdiri dari 5 ekor tikus putih jantan strain Sprague Dawley WHO, 2000. Perlakuan yang digunakan adalah kontrol tanpa perlakuan dan tikus yang diberi
ekstrak biji jarak pagar Jatropha curcas L. dengan 3 dosis yang berbeda. Acuan dosis yang digunakan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ahirwar et al.,
2010. Perhitungan dosis dapat dilihat pada lampiran 7. Perlakuan yang
digunakan terdiri dari:
1. Kelompok I : Kelompok pembanding tanpa perlakuan sebanyak 5 ekor tikus
diberi pembawa Na CMC 1 sebanyak 1 mL serta makan dan minum. 2.
Kelompok II : Kelompok perlakuan sebanyak 5 ekor tikus yang diberi suspensi ekstrak biji jarak pagar Jatropha curcas L. dengan dosis rendah
yaitu 5 mgkg BB, makan dan minum. 3.
Kelompok III : Kelompok perlakuan sebanyak 5 ekor tikus yang diberi suspensi ekstrak jarak pagar Jatropha curcas L. dengan dosis sedang yaitu
25 mgkg BB, makan dan minum. 4.
Kelompok IV : Kelompok perlakuan sebanyak 5 ekor tikus yang diberi suspensi ekstrak jarak pagar Jatropha curcas L. dengan dosis tinggi yaitu 50
mgkg BB, makan dan minum.
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4. Kegiatan Penelitian
3.4.1. Pemeriksaan Simplisia Determinasi
Sebelum dilakukan penelitian, biji jarak pagar terlebih dahulu di determinasi di Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-
LIPI Bogor untuk memastikan kebenaran simplisia.
3.4.2. Penyiapan Simplisia
Biji jarak pagar yang telah dikeringkan dengan kadar air sebesar 8,15 diperoleh dari Kebun Induk Jarak Pagar Balitri Sukabumi. Sebanyak 1,5 kg biji
jarak pagar yang telah dikeringkan kemudian dirajang atau diblender. Kemudian dilakukan pengayakan dengan menggunakan ayakan mesh 40 sehingga
dihasilkan serbuk simplisia sebanyak 674 gram. Serbuk simplisia disimpan dalam wadah yang kering, tertutup rapat dan terlindung dari cahaya.
3.4.3. Pembuatan Ekstrak
Pada pembuatan ekstrak biji jarak pagar digunakan metode ekstraksi cara dingin dengan maserasi dan menggunakan etanol 70 sebagai pelarut.
Serbuk simplisa sebanyak 674 gram ditimbang kemudian dimaserasi dengan pelarut etanol 70 hingga sampel terendam. Pelarut diganti setiap 3 hari
sekali. Jumlah pelarut etanol 70 yang digunakan sebanyak 5400 mL. Hasil maserasi disaring sehingga diperoleh filtrat. Proses maserasi ini diulang hingga
dihasilkan maserat yang berwarna pucat lebih bening daripada maserat awal. Total maserat yang diperoleh yaitu sebanyak 4350 mL, kemudian dipekatkan
dengan menggunakan rotary evaporator sampai diperoleh ekstrak sebanyak 128,8437 gram.
Namun, ekstrak yang dihasilkan belum cukup kental sehingga ekstrak kemudian di freeze dry hingga dihasilkan ekstrak yang lebih kental sebanyak
46,6285 gram. Ekstrak yang dihasilkan selanjutnya disimpan dan digunakan untuk perlakuan.
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.4. Penapisan Fitokimia
Pada penapisan fitokimia dilakukan pemeriksaan terhadap kandungan golongan senyawa kimia dari ekstrak etanol 70 biji jarak pagar seperti alkaloid,
flavonoid, saponin, tanin, dan steroidterpenoid. 1.
Identifikasi Golongan Alkaloid Metoda Culvernor-Fitzgerald
Gerus 2-4 g material tumbuhan yang telah bersih potong-potong masukan kedalam mortar dan tambahkan kloroform secukupnya dan pasir bersih,
kemudian digerus. Tambahkan 10 mL kloroform amoniakal diaduk rata. Campuran disaring kedalam tabung reaksi dengan cara memerasnya pakai kain
kasa untuk memindahkan ekstrak. Kemudian tambahkan 0.5 mL I M asam sulfat dan kocok baik-baik, biarkan beberapa saat. Pipet lapisan atas yang jemih
kedalam 2 tabung reaksi kecil. Salah satunya diberikan pereaksi Dragendorffs dan tabung lainnya pereaksi Mayers 2-3 tetes. Reaksi positif apabila
menunjukkan endapan kuning jingga orange dengan pereaksi Drogendorffs dan endapan putih dengan pereaksi Mayers. Catatan hasil sebagai berikut:
+ sedikit keruh ++ sangat keruh
+++ terjadi endapan Chairul, 2003. 2.
Identifikasi Golongan Flavonoid Ekstrak lebih kurang 10 g material tumbuhan dengan etanol 80 , saring dan
keringkan diatas penangas air. Kemudian lemaknya dihilangkan dengan pencucian heksana beberapa kali sehingga warna pigmen hilang atau larutan
heksana tidak berwarna lagi. Panaskan residu yang bebas lemak diatas penangas air untuk memindah sisa heksana. Tambahkan residu dengan 20 mL etanol dan
pindahkan masing-masing 10 mL kedalam 2 tabung reaksi. Masing-masing tabung reaksi ditambahkan 0.5 mL asam klorida pekat dan dilakukan uji dengan
pereaksi Wilstatter Chairul, 2003. Pereaksi Wilstatter
Salah satu tabung reaksi yang telah berisikan asam klorida pekat ditambahkan 3-4 butir logam magnesium Mg. Amati perubahan warna yang terjadi dalam 10
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menit. Apabila terbentuk warna, diencerkan dengan air secukupnya dan tambahkan 1 mL oktil alkohol. Kocok kuat-kuat dan biarkan dan amati
perubahan wama pada masing-masing lapisan pelarut. Apabila terjadi pembentukan atau perubahan warna menunjukkan reaksi positif terhadap
flavonoida Chairul, 2003. 3.
Identifikasi Golongan Saponin Uji busabuih The Froth Test
Buat 10 mL ekstrak etanol 80 dari material tumbuhan lebih kurang 2 g dan masukkan kedalam tabung reaksi yang mempunyai ukuran. Masing-masing
tabung tambahkan 10 mL air, tutup dan kocok kuat-kuat selama 30 detik dan biarkan selama 30 min. Apabila busa buih yang terjadi lebih besar 3 cm dari
permukaan larutan setelah 30 min, berarti material tumbuhan mengandung positif saponin. Untuk material tumbuhan yang menghasilkan sedikit busabuih,
tambahkan sedikit larutan Na
2
CO
3
. Kondisi busabuih tetap stabil dan keras menunjukkan adanya asam-asam lemak bebas Chairul, 2003.
4. Identifikasi Golongan Tanin dan Polifenol
Pembuatan ekstrak Ekstrak lebih kurang 10 g material tumbuhan dengan etanol 80 , saring dan
keringkan diatas penangas air. Residu ekstrak larutkan dengan 20 mL air panas, tambahkan ekstrak 5 tetes larutan NaCI. Bagi ekstrak kedalam 2 tabung reaksi,
satu tabung digunakan sebagai kontrol dan lainnya untuk uji ferri klorida FeC1
3
Chairul, 2003. LIB gelatin
Salah satu tabung reaksi ditambahkan 3 tetes larutan gelatin dan amati endapan protein yang terjadi dan bandingkan dengan kontrol Chairul, 2003.
Pereaksi ferri klorida FeCl
3
Tabung reaksi lainnya ditambahkan 3 tetes pereaksi ferri klorida FeC13, dimana tanin terhidrolisa memberikan wama biru atau biru-hitam, sedangkan
kondensasi tanin menberikan warna biru-hijau dan bandingkan dengan kontrol Chairul, 2003.
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Identifikasi Golongan Steroid dan Triterpenoid
Pada uji dengan menggunakan pereaksi Lieberman-Buchard, adanya steroid menunjukkan warna biru-kehijauan sedangkan triterpenoid menunjukkan warna
merah, merah muda, atau ungu. Namun sebagai catatan saat pekerja di lapangan menguji baik secara langsung pada simplisia maupun pada ekstrak terdapat
variansi warna yang dihasilkan, tergantung pada cara bagaimana test tersebut dilakukan Fransworth, 1996.
3.4.5. Parameter Spesifik dan Non Spesifik Depkes RI, 2000.
3.4.5.1. Identitas Ekstrak
Deskripsi tata nama :
Nama ekstrak. Nama latin tumbuhan sistematika botani.
Bagian tumbuhan yang digunakan. Nama Indonesia tumbuhan.
3.4.5.2. Organoleptik
Penggunaan pancaindera mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa sebagai berikut :
Bentuk : padat, serbuk-kering, kental, cair. Warna : kuning, coklat, dll.
Bau
: aromatik, tidak berbau, dll. Rasa
: pahit, manis, kelat, dll.
3.4.5.3. Susut Pengeringan
Ekstrak ditimbang secara seksama sebanyak 1 g sampai 2 g dan dimasukkan ke dalam botol timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah
dipanaskan pada suhu 105 C selama 30 menit dan telah ditara. Sebelum
ditimbang, ekstrak diratakan dalam botol timbang dengan menggoyangkan botol hingga merupakan lapisan setebal lebih kurang 5 mm sampai 10 mm. Jika
ekstrak yang diuji berupa esktrak kental, ratakan dengan batang pengaduk. Kemudian dimasukkan ke dalam ruang pengering, buka tutupnya, keringkan
pada suhu 105 C hingga bobot tetap. Sebelum setiap pengeringan, biarkan botol
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam keadaan tertutup mendingin dalam desikator hingga suhu kamar. Jika ekstrak sulit kering dan mencair pada pemanasan, ditambahkan 1 g silica
pengering yang telah ditimbang secara seksama setelah dikeringkan dan disimpan dalam eksikator pada suhu kamar. Campurkan silica tersebut secara
rata dengan esktrak pada saat panas, kemudian keringkan kembali pada suhu penetapan hingga bobot tetap Depkes RI, 2000.
3.4.5.4. Kadar Abu
Lebih kurang 2 g sampai 3 g ekstrak yang telah digerus dan ditimbang secara seksama dimasukkan ke dalam krus slilikat yang telah dipijarkan dan
ditara, ratakan. Pijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, dinginkan, timbang. Jika cara ini arang tidak dapat dihilangkan, tambahkan air panas, saring melalui
kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa kertas dan kertas saring dalam krus yang sama. Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap,
timbang. Hitung kadar abu terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara
Depkes RI, 2000. 3.4.6.
Persiapan Hewan Uji
Sebelum percobaan, dilakukan uji fertilitas pada tikus putih jantan dengan cara mengawinkan seluruh tikus putih jantan umur 9 minggu umur siap
dikawinkan yang akan digunakan dalam penelitian ini secara alami dengan tikus betina. Kemudian di amati apakah terjadi kehamilan pada tikus betina. Jika
terjadi kehamilan maka menunjukkan bahwa tikus jantan yang akan digunakan sebagai hewan uji adalah tikus yang fertil.
Disiapkan tempat pemeliharaan hewan coba yang meliputi kandang, sekam, tempat makan dan minum tikus. Tikus diaklimatisasi selama 7 hari pada
kondisi laboratorium, agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru. Selama proses adaptasi, diberi makan dan minum standar ad libitum,
dilakukan pengamatan kondisi umum serta ditimbang berat badannya. Tikus yang digunakan adalah tikus yang sehat yakni berat badan selama aklimatisasi
tidak mengalami perubahan lebih dari 10 dan secara visual menunjukkan perilaku yang normal.
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.7. Pemberian Perlakuan
Penelitian ini menggunakan 20 ekor tikus putih jantan galur Sprague- Dawley yang diberikan 4 perlakuan yang berbeda. Masing-masing perlakuan
terdiri atas 5 ekor tikus putih jantan. Ekstrak etanol 70 biji jarak pagar yang diperoleh disuspensikan dalam pembawa Na CMC 1 dengan dosis yang telah
ditentukan, diberikan secara oral Ahirwar et al., 2010. Pemberian ekstrak diberikan peroral satu hari sekali setiap pagi hari dan dilakukan selama 48 hari
sesuai dengan siklus spermatogenesis Krinke, 2000.
3.4.8. Pembuatan preparat
Setelah 48 hari, masing-masing hewan coba dikorbankan untuk diambil organ testisnya. Tikus dibius dengan eter, kemudian dibedah. Diambil bagian
kauda epididimis dan dihitung jumlah spermatozoa kemudian bagian testis diambil untuk ditimbang dan dibuat preparat.
Pembuatan sediaan mikroanatomi testis dilakukan di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pembuatan preparat
dilakukan dengan cara : testis yang telah diambil, difiksasi dalam larutan Bouin, kemudian didehidrasi dengan etanol seri bertingkat, dan pada akhirnya
ditanamkan dalam parafin wax. Blok parafin dipotong dengan ketebalan 5 μm
dan dilakukan pewarnaan dengan hematoksiklin – eosin. Yotarlai et al., 2011.
3.4.9. Pengukuran Parameter Uji
3.4.9.1. Pengukuran Bobot Testis
Dilakukan dengan cara menimbang organ testis dengan menggunakan timbangan analitik. Kemudian hasil bobot testis tikus yang diberi perlakuan
dibandingkan dengan bobot testis tikus kontrol.
3.4.9.2. Pengukuran Konsentrasi Spermatozoa
Pengukuran konsentrasi spermatozoa dilakukan dengan cara mengambil spermatozoa pada kauda epididimis. Kemudian epididimis di plurut dalam wadah
yang berisi NaCl fisiologis 0,9 sebanyak 500 μL. Spermatozoa dimasukkan kedalam bilik hitung Neubauer Haemositometer sampai kamar Neubauer terisi
rata. Kemudian dihitung jumlah spermatozoa pada salah satu kamar hitung
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Neubauer dan selanjutnya ditentukan pengenceran yang akan dilakukan dan jumlah kotak yang akan dihitung Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Pengenceran yang dilakukan dan kotak yang dihitung
No. Jumlah spermatozoa dalam
1 kotak Pengenceran
Kotak yg dihitung
1 40
50 kali 5
2 15
– 40 20 kali
10 3
15 10 kali
25 Dari jumlah spermatozoa yang diketahui, maka dilakukan pengenceran
spermatozoa berdasarkan jumlah spermatozoa yang terhitung Ilyas, 2007.
Tabel 3.2. Cara pengenceran
No. Pengenceran Pembuatan pengenceran
1 50 kali
a. 980 μL larutan George + 20 μL spermatozoa
b. 2.450 μL larutan George + 50 μL spermatozoa
2 20 kali
950 μL larutan George + 50 μL spermatozoa 3
10 kali a.
900 μL larutan George + 100 μL spermatozoa b.
450 μL larutan George + 50 μL spermatozoa Poin a dan b menunjukan opsi perlakuan hanya salah satu yang dipilih.
Setelah dilakukan pengenceran, dilakukan perhitungan spermatozoa dengan jumlah kotak yang dihitung sesuai dengan jumlah spermatozoa dan cara
pengenceran pada tabel diatas. Kemudian dilakukan pengukuran spermatozoa sesuai rumus di bawah ini Ilyas, 2007.
� � � � � � � = × 10.000 × � ×
25 ×
���� Keterangan : n adalah jumlah spermatozoa yang terhitung. Angka 10.000
merupakan volume kamar hitung Neubauer. Fp merupakan faktor pengenceran yang dilakukan. Angka 25 menunjukan total kotak kecil yang terdapat dalam
kamar hitung Neubauer sedangkan k merupakan jumlah kotak kecil yang dihitung pada saat pengamatan. vNaCl merupakan volume NaCl mL fisiologis
yang digunakan untuk membantu mengeluarkan spermatozoa dari kauda epididimis. Perhitungan konsentrasi spermatozoa JutamL dapat terlihat dari
tabel berikut :
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 3.3 . Rumus Konsentrasi Spermatozoa
No. Jumlah kotak yang dihitung Rumus konsentrasi spermatozoa
1 5
n x 10.000 x 50 x 5 x 0,5 2
10 n x 10.000 x 20 x 2,5 x 0,5
3 25
n x 10.000 x 10 x 1 x 0,5
3.4.9.3. Pengukuran Diameter Tubulus Seminiferus
Preparat histologi testis tikus diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali 10x10, kemudian difoto. Pengukuran diameter dilakukan
pada 100 tubulus seminiferus yang dipotong bundar dan dipilih secara acak.
3.4.9.4. Perhitungan Perbandingan Jumlah Spermatosit Pakiten Terhadap Jumlah Sel Sertoli
Preparat histologi testis tikus diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali 10x40. Perhitungan dilakukan pada 20 tubulus seminiferus
yang dipilih secara acak Yotarlai et al., 2011. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menghitung jumlah spermatosit pakiten, jumlah sel Sertoli dan jumlah
spermatosit pakiten per jumlah sel Sertoli per tubulus. Perhitungan dilakukan hanya pada tubulus seminiferus yang mengalami spermatogenesis tahap II, VII
dan XII Vachrajani, 2005. Menurut Azrifitria 2012, ciri-ciri khas masing-
masing dari tiap tahapan spermatogenesis sebagai berikut :
- Tahapan I-VI : membran menuju lumen terdapat spermatogonium, fase
transisi, pakiten dan spermatid fase golgi 1-3 dan cap 4-7 serta spermatid fase maturasi 15 dan 19.
- Tahapan VII-VIII : spermatogonium ,pakiten, spermatid round spermatid, cap
23 dari inti sel dan spermatozoa dilepaskan ke lumen dengan ekor mengarah ke lumen.
- Tahapan IX-XI : terdapat spermatogonium, pakiten dan spermatid fase 9, 10,
11 dengan head cap dan nucleus mulai memanjang.
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Tahapan XII-XIV : spermatogonium, pakiten dan diakinesis, spermatid fase
akrosom 12 – 14 terlihat nukleus memanjang dan akrosom 23 dari
sitoplasma.
3.5. Analisis Data
Hasil percobaan yang diperoleh diolah dengan menggunakan program pengolahan data statistik SPSS 16 yang meliputi uji normalitas, uji homogenitas,
uji parametrik one-way ANOVA, atau uji non parametrik Kruskal Wallis. Jika hasil dari uji ANOVA maupun Kruskal Wallis menunjukkan perbedaan yang
signifikan p ≤ 0,05 maka analisis data dilanjutkan dengan menggunakan Uji
Multiple Comparisons tipe LSD Least Significant Difference .
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN