6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Jarak Pagar
Jatropha curcas L. 2.1.1.
Sejarah dan Sinonim
Genus Jatropha memiliki 175 spesies, dari jumlah ini lima spesies tumbuh di Indonesia, yaitu J. curcas L. dan J. gossypiifolia yang sudah
digunakan sebagai tanaman obat sedangkan J. integerrima Jacq., J. multifida dan
J. podagrica Hook. digunakan sebagai tanaman hias Heller, 1996.
Tanaman jarak pagar mulai banyak ditanam di Indonesia semenjak masa penajajahan Jepang. Pada waktu itu, rakyat diperintah oleh pemerintah Jepang
untuk membudidayakan tanaman jarak. Oleh karenanya, dalam waktu singkat tanaman jarak menyebar cukup luas, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Wilayah Jawa Tengah meliputi daerah Semarang serta Solo dan sekitarnya. Sementara, wilayah Jawa Timur meliputi Madiun, Lamongan, Besuki, dan
Malang. Dalam perkembangan selanjutnya, tanaman jarak meluas sampai di Kawasan Indonesia Timur, seperti Nusa Tenggara, Sulawesi, dan sebagainya.
Jadi, nama-nama lokal untuk jarak pagar dapat ditemukan di daerah-daerah Nurcholis dan Sumarsih, 2007. Meskipun banyak terdapat di Indonesia,
tanaman jarak pagar bukan berasal dari Indonesia. Tanaman ini berasal dari Meksiko dan Amerika Tengah, tetapi tumbuh di sebagian besar negara tropis.
Tanaman ini tumbuh di Amerika Tengah, Amerika Selatan, Asia Tenggara, India,
dan Afrika Heller, 1996.
Jatropha berasal dari kata Yunani, iatrós yang berarti medis dan trophé yang berarti makanan Bartoli, 2008. Di Indonesia, jarak pagar juga dikenal
dengan nama jarak kosta, jarak paer, atau jarak wolanda. Nama tanaman jarak pagar dengan daerahnya antara lain: physic nut, purging nut English;
pourghère, pignon d’Inde French; purgeernoot Dutch; Purgiernuß, Brechnuß German; purgueira Portuguese; fagiola d’India Italian; dand barrî, habel
meluk Arab;bagbherenda, jangliarandi, safed arand Hindi; kadam Nepal; yu- lu-tzu Chinese; sabudam Thailand; túbang-bákod the Philippines; bagani
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Côte d’Ivoire; kpoti Togo; tabanani Senegal; mupuluka Angola; butuje
Nigeria Heller, 1996. 2.1.2.
Klasifikasi
Tanaman jarak pagar mempunyai nama latin Jatropha curcas L. Dalam sistematika
taksonomi tumbuhan,
kedudukan tanaman
jarak pagar
diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae Subkingdom : Trachebionta tumbuhan vascular
Superdivision : Spermatophyta tumbuhan berbiji Division
: Magnoliophyta tumbuhan berbunga Class
: Magnoliopsida Dicotyledonae Subclass
: Rosidae Order
: Euphorbiales Family
: Euphorbiaceae Genus
: Jatropha L. Species
: Jatropha curcas L. Bartoli, 2008.
2.1.3. Morfologi
Jarak pagar berupa pohon kecil atau perdu. Tanaman ini dapat mencapai umur 50 tahun. Tinggi tanaman pada kondisi normal adalah 1,5-5 meter.
Percabangannya tidak teratur, bulat dan tebal. Kulit batang berwarna keabu- abuan atau kemerah-merahan. Apabila ditoreh, batang mengeluarkan getah
seperti latex berwarna putih atau kekuning-kuningan Nurcholis dan Sumarsih, 2007.
Daun jarak pagar cukup besar, panjang helai 6-16 cm dan lebar 5-15 cm. Helaian daun berbentuk bulat telur dengan pangkal berbentuk jantung, bersudut
atau berlekuk 3-5 dan tepi daun gundul. Warna daun hijau atau hijau muda. Bunga jarak pagar mulai muncul saat tanaman mulai berumur 3-4 bulan.
Pembungaan umunya terjadi pada musim kemarau. Walaupun demikian, pada musim hujan juga dapat berbunga. Bunga terdiri atas bunga jantan dan bunga
betina. Dalam setiap malai terdapat bunga jantan dan bunga betina. Bunga betina
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bertangkai tebal dan berambut seperti sarang laba-laba. Ukurannya lebih besar daripada bunga jantan Nurcholis dan Sumarsih, 2007.
Bjji yang sudah tua berbentuk bulat panjang. Ukuran panjang rata-rata 18 mm berkisar antara 11-30 mm dan lebar rata-rata 10 mm berkisar antara 7-
11 mm. Biji jarak bercangkang tipis. Kulit atau cangkang biji yang sudah tua bagian luar berwarna hitam kotor dan setelah kering penuh retak-retak kecil. Jika
belum tua, warna biji lebih cerah atau kecokelat-cokelatan dengan permukaan halus. Jika kulit buah telah kering, biji dapat terlepas sendiri dari buah. Biji
matang ditandai dengan perubahan warna kulit buah dari hijau menjadi kuning Nurcholis dan Sumarsih, 2007.
Buah jarak pagar banyak dihasilkan pada musim kering pada saat jumlah daun berkurang karena banyak yang kering atau gugur. Sekitar 2-3 bulan setelah
pemupukan, pada umumnya tanaman dewasa sudah berbuah. Buah tersusun dalam tandan buah. Setiap tandan berisi 10 buah atau lebih. Bentuk buah
membulat, berukuran panjang 2-3 cm. Permukaan buah rata halus. Apabila buah mengering dan kemudian pecah menurut ruang, dalam setiap buah terdapat
3 biji Nurcholis dan Sumarsih, 2007.
Gambar 1 . Bunga, buah dan biji Jatropha curcas L. Chong, 2009.
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.1.4. Kandungan Bahan Aktif
Kandungan kimia dalam biji jarak pagar adalah senyawa seperti flavonoid, viteksin, isoviteksin Aregheore et al., 2003, beta-sitosterol, Jatropha
factor C-1, Jatropha factor C-2, dan curcin Mastiholimath, 2008. Terdapat juga beberapa senyawa yang terkandung dalam biji jarak seperti saponin, tripsin
inhibitor, amilase inhibitor Punsuvona et al., 2012. Setiap 100 g biji mengandung 6,6 g H
2
O, 18,2 g protein, 3,8 g lemak, 33,5 g total karbohidrat, 15,15 g serat dan 4,5 g abu. Biji dilaporkan juga
mengandung glukosa, fruktosa, galaktosa, asam oleat, asam linoleat, asam miristat, asam palmitat, asam stearat, protein, minyak, dan curcin Mahmud,
2007. Senyawa toksik dalam biji jarak pagar adalah lektin dan phorbolester. Senyawa lektin maupun phorbolester dapat terdegradasi sehingga toksisitasnya
berkurang bahkan hilang, yaitu dengan pemanasan dan dengan reaksi kimia Muliani, 2011.
2.1.5. Kegunaan
Olahan dari semua bagian tanaman termasuk biji, daun dan kulit kayu, segar atau sebagai rebusan digunakan dalam pengobatan tradisional. Minyak dari
biji memiliki tindakan pencahar yang kuat dan juga banyak digunakan untuk penyakit kulit dan untuk meredakan rasa sakit seperti yang disebabkan oleh
rematik. Getah yang keluar dari batang digunakan untuk menghentikan pendarahan dari luka. Rebusan dari daun digunakan untuk batuk dan sebagai
antiseptik setelah kelahiran Heller, 1996. Lateks memiliki sifat antibiotik terhadap beberapa bakteri ; diterapkan langsung pada luka dan dapat digunakan
sebagai antiseptik seperti pada ruam, luka bakar, dan infeksi kulit Bartoli, 2008. Dengan menggunakan ekstrak dari biji jarak pagar dapat mengobati
penyakit seperti hernia, kanker, gonorhoea. Hal ini yang pernah dicoba oleh penduduk di Colombia untuk mengobati penyakit kelamin. Di Mesir, biji
digunakan untuk pengobatan arthritis, gout dan jaundice. Biji tanaman ini juga telah digunakan secara tradisional untuk pengobatan banyak penyakit termasuk
luka bakar, kejang, demam dan peradangan Prasad et al., 2012. Beberapa negara seperti, Kamboja, Vietnam dan India telah menggunakan biji jarak
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sebagai agensia aborsi, sedangkan di Sudan telah menggunakan biji jarak sebagai agensia kontrasepsi Cambie and Brewis, 1999.
2.2. Simplisia dan Ekstrak
2.2.1. Simplisia
Simplisia tumbuhan obat merupakan bahan baku proses pembuatan ekstrak, baik sebagai bahan obat atau produk. Dalam buku Materia Medika
lndonesia ditetapkan definisi bahwa simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan
kecuali dikatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan Depkes RI, 2000. Simplisia dibedakan simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia
pelikan mineral. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan ialah isi sel yang
secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya atau senyawa nabati lainnya yang dengan cara tertentu
dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia murni Depkes RI, 2000.
2.2.2. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang
telah ditetapkan Depkes RI, 2000. Ada beberapa jenis ekstrak yakni : ekstrak cair, ekstrak kental dan
ekstrak kering. Ekstrak cair adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengandung etanol sebagai pelarut atau sebagai pengawet. Jika tidak dinyatakan
lain pada masing-masing monografi tiap mL ekstrak mengandung senyawa aktif dari 1 g simplisia yang memenuhi syarat. Ekstrak cair jika hasil ekstraksi masih
bisa dituang biasanya kadar air lebih 30. Ekstrak kental jika memilki kadar air antara 5-30. Ekstrak kering jika mengandung kadar air kurang dari 5
Saifudin dkk, 2011.
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.3. Ekstraksi
2.3.1. Cara dingin
2.3.1.1. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan kamar. Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan
pengadukan yang kontinu terus-menerus. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan rnaserat
pertama, dan seterusnya Depkes RI, 2000. 2.3.1.2.
Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna exhaustive extraction yang umumnya dilakukan pada temperatur
ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengernbangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya penetesanpenampungan ekstrak, terus menerus
sampai diperoreh ekstrak perkolat yang jumlahnya 1- 5 kali bahan Depkes RI, 2000.
2.3.2 Cara panas
2.3.2.1. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi
sempurna Depkes RI, 2000. 2.3.2.2.
Soxhlet
Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan
jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik Depkes RI, 2000.
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.3.2.3. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan kamar, yaitu secara umum
dilakukan pada temperatur 40-50
o
C Depkes RI, 2000.
2.3.2.4. Infus
lnfus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98
C selama waktu tertentu 15 - 20 menit Depkes RI, 2000.
2.3.2.5. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama 30 C dan
temperatur sampai titik didih air Depkes RI, 2000. 2.3.3.
Destilasi uap
Destilasi uap adalah ekstraksi senyawa kandungan menguap minyak atisiri dari bahan segar atau simplisia dengan uap air berdasarkan peristiwa
tekanan parsial senyawa kandungan menguap dengan fase uap air darl ketel secara kontinu sampai sempurna diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran
senyawa kandungan menguap ikut terdestilasi menjadi destilat air bersama senyawa kandungan yang memisah sempurna atau memisah sebagian Depkes
RI, 2000. Destilasi uap, bahan simplisia benar-benar tidak tercelup ke air yang
mendidih, namun dilewati uap air sehingga senyawa kandungan menguap ikut terdestilasi. Destilasi uap dan air, bahan simplisia bercampur sempurna atau
sebagian dengan air mendidih, senyawa kandungan menguap tetap kontinu ikut terdestilasi Depkes RI, 2000.
2.3.4. Cara ekstraksi lainnya
2.3.4.1. Ekstraksi berkesinambungan
Proses ekstraksi yang dilakukan berulang kali dengan pelarut yang berbeda atau resirkulasi cairan pelarut dan prosesnya tersusun berturutan
beberapa kali. Proses ini dilakukan untuk meningkatkan efisiensi jumlah pelarut
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan dirancang untuk bahan dalam jumlah besar yang terbagi dalam beberapa bejana ekstraksi Depkes RI, 2000.
2.3.4.2. Super kritikal karbondioksida
Penggunaan prinsip superkritik untuk ekstraksi serbuk simplisia, dan umumnya digunakan gas karbondioksida. Dengan variabel tekanan dan
temperatur akan diperoleh spesifikasi kondisi polaritas tertentu yang sesuai untuk melarutkan golongan senyawa kandungan tertentu. Penghilangan cairan pelarut
dengan mudah dilakukan karena karbondioksida menguap dengan mudah sehingga hampir langsung diperoleh ekstrak Depkes RI, 2000.
2.3.4.3. Ekstraksi Ultrasonik
Getaran ultrasonik 20.000 Hz memberikan efek pada proses ekstrak dengan prinsip rneningkatkan permiabilitas dinding sel, menimbulkan
gelembung spontan sebagai stres dinamik serta menimbulkan fraksi interfase. Hasil ekstraksi tergantung pada frekuensi getaran, kapasitas alat dan lama proses
ultrasonikasi Depkes RI, 2000.
2.3.4.4. Ekstraksi energi listrik
Energi listrik digunakan dalam bentuk medan listrik, medan magnet serta electric-discharges yang dapat mempercepat proses dan meningkatkan
hasil dengan prinsip menimbulkan gelembung spontan dan menyebarkan gelombang tekanan berkecepatan ultrasonik Depkes RI, 2000.
2.4. Tinjauan Hewan Percobaan
2.4.1. Klasifikasi Tikus Putih Rattus norvegicus
Menurut Krinke 2000, klasifikasi tikus putih Rattus norvegicus adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata Class
: Mammalia Order
: Rodentia Family
: Muridae
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Genus : Rattus
Species : norvegicus
2.4.2. Biologis Tikus Putih Rattus norvegicus
Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari
dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pangamatan laboratorik. Tikus termasuk hewan mamalia, oleh sebab itu
dampaknya terhadap suatu perlakuan mungkin tidak jauh berbeda dibanding dengan mamalia lainnya. Selain itu, penggunaan tikus sebagai hewan percobaan
juga didasarkan atas pertimbangan ekonomis dan kemampuan hidup tikus hanya 2-3 tahun dengan lama produksi 1 tahun Smith dan Mangkoewidjojo, 1988.
Kelompok tikus laboratorium pertama-tama dikembangkan di Amerika Serikat antara tahun 1877 dan 1893. Keunggulan tikus putih dibandingkan tikus
liar antara lain lebih cepat dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman, dan umumnya lebih cepat berkembang biak. Kelebihan lainnya sebagai hewan
laboratorium adalah sangat mudah ditangani, dapat ditinggal sendirian dalam kandang asal dapat mendengar suara tikus lain dan berukuran cukup besar
sehingga memudahkan pengamatan. Secara umum, berat badan tikus laboratorium lebih ringan dibandingkan berat badan tikus liar. Biasanya pada
umur empat minggu beratnya 35-40 g, dan berat dewasa rata-rata 200-250 g, tetapi bervariasi tergantung pada galur. Galur Sprague Dawley merupakan galur
yang paling besar diantara galur yang lain Smith dan Mangkoewidjojo, 1988. Terdapat beberapa galur tikus yang sering digunakan dalam penelitian.
Galur-galur tersebut antara lain : Wistar, Sprague-Dawley, Long Evans, dan Holdzman. Dalam penelitian ini digunakan galur Sprague-Dawley dengan ciri-
ciri berwarna putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya Smith dan Mangkoewidjojo 1988. Tikus ini pertama kali diproduksi
oleh peternakan Sprague Dawley. Tikus Sprague Dawley merupakan jenis outbred tikus albino serbaguna secara ekstensif dalam riset medis. Keuntungan
utamanya adalah ketenangan dan kemudahan penanganannya. Adapun data biologis tikus sebagai berikut :
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 2.1. Data biologis tikus Smith dan Mangkoewidjojo, 1988.
2.5. Sistem Reproduksi Tikus Jantan
Sistem reproduksi tikus jantan terdiri atas testis dan skrotum, epididimis, duktus deferens, kelenjar aksesori kelenjar vesikulosa, prostat dan
bulbouretralis, uretra dan penis. Selain uretra dan penis, semua struktur ini berpasangan. Duktus yang menjadi testis, duktuli eferentes bersama duktus
Lama hidup 2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun
Lama produksi ekonomis 1 tahun
Lama bunting 20-22 hari
Umur dewasa 40-60 hari
Umur dikawinkan 10 minggu jantan dan betina
Siklus kelamin Poliestrus
Siklus estrus berahi 4-5 hari
Lama estrus 9-20 jam
Perkawinan Pada waktu estrus
Ovulasi 8- 11 jam sesudah timbul estrus, spontan
Fertilisasi 7-10 jam sesudah kawin
Implantasi 5-6 hari sesudah fertilisasi
Berat dewasa 300-400 g jantan; 250-300 g betina
Suhu rektal 36-39
o
C rata-rata 37,5
o
C Pernapasan
65-115menit, turun menjadi 50 dengan anestesi, naik sampai 150 dalam stress
Denyut jantung 330-480menit, turun menjadi 250 dengan
anestesi, naik sampai 550 dalam stress Tekanan Darah
90-180 sistol, 60-145 diastol, turun menjadi 80 sistol, 55 diastol dengan anestesi
Konsumsi oksigen 1,29-2,68 mLgjam
Sel darah merah 7,2-9,6 x 10
6
mm
3
Sel darah putih 5,0-13 0 x 10
3
mm
3
SGPT 17,5-30,2 IUliter
SGOT 45,7-80,8 IUliter
Kromosom 2n=42
Aktivitas nokturnal malam
Konsumsi makanan 12-20 ghari dewasa
Konsumsi minuman 20-45 mLhari dewasa
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
epididimis, suatu duktus konvolusi bergelung untuk membuat epididimis, suatu
organ yang terletak pada permukaan posterior testis Fawcett, 2002.
Dari epididimis, duktus deferen yang lurus panjang naik dari skrotum dan melalui aknalis inguinalis masuk ke dalam pelvis, tempat duktus ini berlanjut
dengan duktus ejakulatorius, suatu segmen terminal dari system duktus yang membuka ke arah uretra prostatic. Berhubungan dengan sistem duktus adalah
tiga kelenjar asesorius, vesikula seminalis, prostat, dan kelenjar bulboureta. Spermatozoa dari epididimis, bersama dengan hasil sekretorius kelenjar ini,
merupakan semen yang dikeluarkan melalui uretra penis Fawcett, 2002.
Gambar 2. Anatomi sistem reproduksi tikus jantan Suckow, 2006.
Pada hewan yang melakukan fertilisasi secara interna organ reproduksinya dilengkapi dengan adanya organ kopulatori, yaitu suatu organ
yang berfungsi menyalurkan spermatozoa dari organisme jantan ke betina. Peranan hewan jantan dalam hal reproduksi terutama adalah memproduksi
spermatozoa dan sejumlah kecil cairan untuk memungkinkan sel spermatozoa masuk menuju rahim William, 2005.
Ketiga kelenjar asesorius mensekresi zat-zat makanan bagi spermatozoa. Vesikula seminalis merupakan kelenjar berlekuk-lekuk yang terletak di belakang
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kantung kemih. Dinding vesikula seminalis menghasilkan zat makanan yang merupakan sumber makanan bagi sperma. Kelenjar Cowper kelenjar
bulbouretra merupakan kelenjar yang salurannya langsung menuju urethra. Kelenjar Cowper menghasilkan getah yang bersifat alkali basa. Prostat terletak
di pelvis, tepatnya di posterior dan inferior vesika urinaria dekat dengan rektum. Fungsi dari kelenjar prostat adalah memproduksi cairan prostat yang
mengandung kolesterol, garam dan fosfolipid yang merupakan komponen utama dari semen yang bersifat basa William, 2005.
Testis memiliki dua fungsi, yaitu sebagai tempat spermatogenesis dan produksi andogen. Oleh sebab itu, maka testis dapat juga dikatakan sebagai
kelenjar ganda karena secara fungsional bersifat endokrin dan juga eksokrin. Fungsi endokrin terletak pada sel Leydig yang menghasilkan androgen, terutama
testosteron. Fungsi eksokrin terletak pada epitelium seminiferus yang menghasilkan spermatozoa Fawcett, 2002.
Spermatogenesis terjadi di dalam suatu struktur yang disebut tubulus seminiferus. Tubulus ini berlekuk-lekuk dalam lobul yang semua duktusnya
kemudian meninggalkan testis dan masuk ke dalam epididimis. Produksi androgen terjadi di dalam kantung dari sel khusus yang terdapat di daerah
interstitial antara tubulus. Tubulus seminferus dilapisi oleh epitelium bertingkat yang sangat kompleks yang mengandung sel spermatogenik dan sel-sel yang
menunjang. Sel-sel penunjang berjenis tunggal disebut dengan sel Sertoli Heffner Schust, 2005.
Tubulus seminiferus di kelilingi oleh membran basal. Di dekat membran basal ini terdapat sel progenitor untuk produksi spermatozoa. Epitel yang
mengandung spermatozoa yang sedang berkembang di sepanjang tubulus disebut epitel seminiferus atau epitel germinal. Pada potongan melintang testis,
spermatosit dalam tubulus berada dalam berbagai tahap pematangan. Di antara spermatosit terdapat sel Sertoli. Sel ini berperan secara metabolik dan struktural
untuk menjaga spermatozoa yang sedang berkembang. Sel Sertoli memfagosit sitoplasma spermatid yang telah dikeluarkan. Sel ini merupakan satu-satunya sel
nongerminal dalam epitel seminiferus. Semua sel Sertoli berhubungan dengan
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
membran basal pada satu kutubnya dan mengelilingi spermatozoa yang sedang berkembang pada kutub yang lain. Sel Sertoli memilki jari-jari sitoplasma yang
besar dan kompleks yang dapat mengelilingi banyak spermatozoa dalam satu waktu Heffner Schust, 2005.
Sel ini juga berfungsi pada proses aromatisasi prekursor androgen menjadi estrogen, suatu produk yang menghasilkan pengaturan umpan balik lokal
pada sel Leydig yang memproduksi androgen. Selain itu, sel Sertoli juga menghasilkan protein pengikat androgen. Produksi androgen sendiri terjadi di
dalam kantong dari sel khusus sel Leydig yang terdapat di daerah interstitial antara tubulus-tubulus seminiferus Heffner Schust, 2005.
2.5.1. Produksi Sperma
Produksi sperma tiap hari per testis pada tikus adalah 35,4 x 10
6
mL, tidak berbeda signifikan dengan manusia yakni sebesar 45,5 x 10
6
mL. Tubulus seminiferus tikus lebih tebal dari manusia yakni 347 + 5 µm vs 262 + 9 µm ,
tetapi pembatas tubulus pada tikus lebih jauh tipis dibanding manusia 1,4 + 1 µm vs 15,9 + 3,4 µm. Epitel seminiferus tikus mengandung 40 lebih sel
spermatogenik dari volumenya, dua kali lebih banyak dari epitel seminiferus manusia Ilyas, 2007.
Spermatozoa pada tikus lebih panjang dibandingkan dengan spesies mamalia lainnya, termasuk manusia dan hewan domestik lainnya. Kepala sperma
pada tikus berbentuk kail hal ini sama seperti pada hewan pengerat lainnya
Krinke, 2000.
Gambar 3. Spermatozoa tikus Rouge, 2004.
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.5.2. Spermatogenesis Pada Tikus
Dasar pengetahuan yang cukup telah dibangun tentang spermatogenesis pada tikus. Sel primodial germinal yang telah berhenti bermigrasi diliputi oleh sel
Sertoli dan membran basal yang menonjol dalam tubulus seminiferus pada alat kelamin tikus jantan. Sel kelamin jantan tetap tidak aktif sampai sebelum masa
pubertas, yaitu dimana sekitar 50 hari setelah kelahiran. Pada tahap itu mereka mulai membelah dan menjadi spermatogonium, dan kemudian terus membelah
sampai hewan kehilangan kemampuan untuk memproduksi spermatozoa Krinke, 2000.
Sel-sel spermatogenik berkembang dalam tubulus seminiferus testis melalui
suatu perkembangan
yang komplek
yang disebut
dengan spermatogenesis. Spermatogenesis memerlukan suatu seri komplek dimana
spermatozoa dihasilkan melalui tahap mitosis, meiosis, dan diferensiasi sel untuk menjadi spermatozoa matang. Perubahan morfologi dari spermatid menjadi
spermatozoa disebut dengan spermiogenesis. Selanjutnya spermatozoa dilepaskan ke dalam lumen tubulus. Proses pelepasan tersebut dikenal dengan
proses spermiasi Ilyas, 2007. Spermatogonium secara garis besar diklasifikasikan ke dalam tiga jenis:
tipe A, tipe intermediet dan tipe B. Tipe spermatogonia A ini dibagi lagi menjadi tipe AO disebut juga sel induk dan tipe Al-A4. Tipe spermatogonium AO tetap
pada membran basal di tubulus seminiferus dan memiliki kemampuan untuk membelah menjadi dua sel anak, salah satunya menjadi spermatogonium A1,
yang seterusnya lebih lanjut dalam proses spermatogenesis, sedangkan yang lainnya sebagai sel induk. Pada tikus, spermatogonium A1 kemudian memiliki
enam pembelahan mitosis, dan kemudian mereka menjadi spermatosit preleptotene. Kemudian spermatosit dalam fase meiosis, di mana berkembang
menjadi leptotene, zygotene dan pakiten untuk menjadi spermatosit sekunder di komponen adluminal dari sel Sertoli dalam tubulus seminiferus. Selama fase
meiosis, setiap spermatosit membelah menjadi empat spermatid haploid, yang kemudian menjadi: spermatid fase golgi 1
– 3, terdapatnya granul akrosom; fase cap 4
– 7, adanya head cap pada granul akrosom yang membesar dan
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menutupi 13 bagian nukleus; fase akrosom 8 – 14, nukleus dan head cap
memanjang; fase maturasi 15 – 18 nukleusnya menjadi lebih pendek dan
sitoplasma terkondensasi di sepanjang ekor yang telah mulai memanjang; hingga dihasilkannya spermatozoa 19 yang dilepaskan ke lumen dengan ekor
menghadap ke lumen Krinke, 2000.
Gambar 4. Tahapan dari siklus sel spermatogenesis pada tikus, dimulai dari kiri bawah
searah jarum jam. A, tipe spermatogonium A; In , spermatogonium tipe intermediet; B, tipe spermatogonium B; R, spermatosit primer resting; L,
spermatosit leptotene; Z, spermatosit zygotene; PI, PVII, P XII, spermatosit pachytene awal, pertengahan dan akhir. Angka romawi
menunjukkan tahap di mana mereka ditemukan; Di, diplotene; II, spermatosit sekunder; 1-19, tahap spermiogenesis.Tabel di tengah memberikan komposisi
sellular dari tahapan siklus pada epitel seminiferus l-XIV. M superscript mengindikasikan terjadinya mitosis. Diadaptasi dari Clermont dengan sedikit
modifikasi 1962. Krinke, 2000.
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dari gambar diatas terlihat pada stage II tampak spermatid yang telah berekor yaitu spermatid yang telah mengalami maturasi. Sedangkan spermatozoa
hanya ditemukan pada stage VII dan pada stage XII tidak ditemukannya lagi spermatid yang matur tidak berekor.
Pada tikus, 14 tahapan siklus spermatogenesis terjadi di dalam tubulus seminiferus. Tubulus memiliki susunan ruas, dan setiap potongan melintang
tubulus menunjukkan tahapan yang seragam yang melibatkan empat atau lima generasi di sel germinal dengan sesuai. Tubulus seminiferus di tikus
dikarakterisasi oleh struktur ruas, sedangkan pada manusia dan hewan domestik lainnya biasanya menunjukkan pola mosaik di beberapa tahap. Pada tikus,
dibutuhkan 12 hari untuk menyelesaikan satu siklus yang terdiri dari 14 tahap. Spermatogonium tikus membutuhkan empat siklus sampai akhirnya membentuk
spermatozoa, sehingga diperlukan 48 hari untuk menyelesaikan seluruh tahap spermatogenesis Krinke, 2000.
2.5.3. Peran Hormon Pada Spermatogenesis
Proses spermatogenesis dipengaruhi oleh hormon-hormon yang dihasilkan oleh organ hipotalamus, hipofisis dan testis sendiri. Testis
memproduksi sejumlah hormon jantan yang kesemuanya disebut androgen. Yang paling poten dari androgen adalah testosteron. Fungsi testosteron adalah
merangsang pendewasaan spermatozoa yang terbentuk dalam tubulus seminiferus, merangsang pertumbuhan kelenjar-kelenjar asesori dan merangsang
pertumbuhan sifat jantan Partodihardjo, 1980. Spermatogenesis dan pematangan sperma sewaktu bergerak di sepanjang
epididimis dan vas deferens memerlukan androgen. Androgen juga mengontrol pertumbuhan
dan fungsi
vesikula seminalis
serta kelenjar
prostat. Spermatogenesis hampir seluruhnya terjadi dibawah pengaruh hormon-hormon
yang berasal dari hipofisa, terutama FSH. Hal ini mirip dengan apa yang terjadi pada ovarium, dimana terjadi pembentukan folikel di bawah pengaruh FSH.
Spermiogenesis adalah lanjutan spermatogenesis yang berlangsung di bawah peranan LH dan testosteron. Tanpa testosteron spermatozoa tidak dapat mencapai
pendewasaan yang baik Partodihardjo, 1980.
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 5. Poros hipotalamus
– hipofisis – gonad. Di adaptasi dari WHO World Health Organization 2002. Ankley and Johnson, 2004.
Spermatogenesis dimulai pada saat pubertas karena adanya peningkatan sekresi gonadotropin FSH dan LH dari hipofisis anterior. FSH dianggap
hormon penting untuk induksi spermatogenesis dan merangsang secara langsung pada tubulus seminiferus, karena spermatogenesis lengkap pada tikus
hypophysectomise dipulihkan oleh pemberian FSH dalam kombinasi dengan LH dan testosteron. Di sisi lain, efek spermatogenesis dari LH, kadang-kadang
disebut Interstitial Cell Stimulating Hormone ICSH pada pria, karena tindakan androgenik pada sel-sel Leydig di interstitial, dianggap dimediasi oleh androgen,
setidaknya pada tikus. Dalam konteks ini, sekresi LH juga merangsang sintesis testosteron di sel Leydig pada testis Krinke, 2000.
Aksi FSH pada spermatogenesis mungkin dimediasi oleh sel Sertoli, karena hormon peptida tidak dapat secara langsung mencapai spermatosit dan
spermatid melintasi sawar darah testis, yang terbentuk selama 16 - 19 hari setelah kelahiran. Sebaliknya, testosteron dapat dengan mudah melewati sawar darah
testis dengan difusi dan mungkin juga oleh beberapa sistem transportasi. Telah
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dilaporkan bahwa tingkat testosteron pada tikus dewasa di dalam cairan interstisial lebih dari 50 ngmL jauh lebih tinggi dibanding pada testis sekitar
30ngmL maupun cairan vena perifer kurang dari 10 ngmL, menunjukkan aksi parakrin atau autokrin dari testosteron pada spermatogenesis di testis. Adanya
reseptor androgen pada sel germinal masih kontroversial, sementara ini reseptor tersebut telah ditemukan dalam sel Leydig, sel peritubular, sel Sertoli dan lapisan
otot pembuluh darah pada sebagian arteri dalam testis tikus Krinke, 2000.
Salah satu peran untuk sel Sertoli adalah produksi androgen yang mengikat protein, dimana dirangsang oleh FSH dan testosteron. Ini juga telah
menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang tidak diketahui yang dikeluarkan dari sel Sertoli, sebagai respon untuk merangsang FSH dan
testosteron, mungkin berkaitan dengan spermatogenesis Krinke, 2000.
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3 METODE PENELITIAN