2.2.1 Kondisi Buruh Lepas di Perkebunan Realitas buruh lepas di perkebunan saat ini tidak jauh berbeda dengan
masa kolonial. Nainggolan 2012 menyatakan pola-pola penindasan dan kontrol yang berlangsung pada masa kolonial masih berlangsung sampai saat ini. Pada
masa kolonial, rekruitmen tenaga kerja dilakukan berdasarkan migrasi-politik etis, pemborongan pekerjaan anemer, dan kontrak tertutup. Saat ini, istilah tersebut
dikenal dengan istilah outsourching. Dalam perekrutan tenaga kerja, umumnya buruh kontrak didapat melalui asisten, mandor kebun, kepala desa, maupun tokoh
masyarakat. Selain itu, pihak perkebunan juga akan memberikan pengumuman ketika mereka membutuhkan tenaga kerja baru.
Selanjutnya Nainggolan 2012 menambahkan, outsourching
yang dilakukan perkebunan ditunjukkan dengan mengubah status buruh tetap menjadi
buruh harian lepas BHL, menambah beban kerja perusahaan ke perorangan, dan menerapkan sistem kerja acak mandiri. Perubahan status buruh tetap menjadi
buruh harian lepas merupakan suatu sanksi yang diberikan karena buruh telah melakukan hal yang dianggap salah oleh pihak perkebunan. Apabila mereka tidak
menerima sanksi tersebut, resiko dipecat harus mereka terima. Faktor minimnya lapangan pekerjaan dan standar kebutuhan hidup membuat mereka tidak punya
pilihan lain. Buruh harian lepas mengerjakan pekerjaan yang telah ditentukan oleh pihak perkebunan. Mereka juga rawan terhadap penindasan dan eksploitasi karena
tidak mendapat perlindungan, tidak mendapat THR, upah yang murah, tidak terdaftar jamsostek, dan tidak mendapat hak-hak lainnya.
2.3 Perkebunan di Jember
Perkebunan adalah semua kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai,
mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut dengan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi
pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Antara pertanian dengan perkebunan memiliki perbedaan pada komoditas yang ditanam. Tanaman yang ditanam di
perkebunan bukan tanaman pokok, melainkan tanaman yang berukuran besar dan
waktu penanaman yang relatif lama. Perkebunan memiliki struktur organisasi yang tetap mulai dari pimpinan kebun, manajer, sinder, mandor besar, mandor,
karyawan tetap, dan karyawan harian lepas. Struktur hubungan kerja mereka tergolong
rapi, karena
masing-masing memiliki
jenis pekerjaan.
id.Wikipedia.orgwikiperkebunan. Jember merupakan daerah yang memiliki perkembangan yang pesat dalam
sektor perkebunan. Pengambilalihan dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda tahun 1958-1959 mendorong perkembangan perekonomian
Kabupaten Jember. Pada saat itu, komoditas tembakau krosok mengalami peningkatan. Peningkatan produksi tersebut disebabkan pihak perkebunan
tembakau Belanda membuka kebebasan kepada petani untuk mengembangkan tembakau krosok. Hal tersebut memberikan kesempatan pada petani-petani
tembakau kecil menjadi petani kaya. Sejak masa penjajahan Belanda, Jember dikenal sebagai daerah perkebunan. Jember merupakan satu-satunya daerah di
Jawa yang memiliki produktifitas tanaman perkebunan yang kaya, terutama tembakau Yuswadi, 2005: 38-45.
Kemudian, menurut Broersma dalam Yuswadi, 2005: 48 menyatakan bahwa pada tahun 1904 dua orang pioneer bernama du Bois dan J.J van Gorsel
membuka perkebunan karet di derah Tanggul Jember dengan nama Zeelandia. Ada beberapa alasan mendirikan perkebunan karet tersebut, yaitu usaha
perkebunan kopi di daerah Tanggul mengalami kegagalan karena serangan larva, harga kopi di pasar Eropa saat itu tidak menguntungkan, akibat kondisi geografis
Jember yang lebih cocok untuk tanaman karet, serta penduduk daerah tersebut telah terbiasa dengan tanaman karet. Peningkatan perkebunan karet juga
dipengaruhi oleh peningkatan permintaan karet dunia. Perusahaan perkebunan tersebut mengalami perkembangan pesat dan memiliki peningkatan produksi.
Daerah di Jember telah mengalami perkembangan ekonomi tidak terlepas dari sejarah kolonialisme. Perkembangan tersebut akibat peninggalan perkebunan
oleh pemodal dari Belanda. Perusahaan perkebunan tersebut cenderung bersifat kapitalistik. Meskipun secara tidak langsung, perkembangan tanaman perkebunan
tersebut telah memperkenalkan jenis-jenis produksi tanaman kepada petani di
daerah tersebut. Terdapat asusmsi bahwa perkembangan perkebunan yang bersifat kapitalistik menimbulkan dampak negatif terhadap pertanian subsistensi. Karena
perkebunan kapitalis cenderung melaksanakan penggunaan tanah dan tenaga kerja untuk kepentingan komersial ekonomi saja Yuswadi, 2005: 50.
2.4 Hidden Transcript: Perlawanan Sehari-hari Kaum Tertindas