Sejarah Buruh Lepas di Perkebunan

ketergantungan dengan tuan tanah yang setidaknya dapat menjamin kelangsungan hidupnya Scott, 1976: 246 . Kemudian ukuran yang terakhir yang digunakan dalam menganalisa indikasi eksploitasi kaum buruh adalah dengan melihat resiprositas atau ukuran yang sepadan. Dalam aspek ini, ide moral yang ada didalamnya bahwa harus ada suatu “balasan” antara tuan tanah dengan klien. Apabila pertukaran antara tuan tanah dengan klien dianggap tidak seimbang, maka menimbulkan kemarahan moral dan ketidakadilan Scott, 1976: 247. Ketiga ukuran tersebut dapat dijadikan tolok ukur apakah kehidupan buruh tereksploitasi dan melihat dimana posisi secara sosial dan ekonomi mereka.

2.2 Sejarah Buruh Lepas di Perkebunan

Sejarah kerja lepas dan ketenagakerjaan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh masa kolonialisme. Buruh lepas atau kontrak awalnya berasal dari warga lokal, namun tidak sedikit yang datang dari luar daerah. Lahan yang sangat luas memerlukan tenaga kerja yang sangat banyak. Mereka umumnya tidak mempunyai lahan untuk digarap sendiri. Kuli kontrak ini dipekerjakan dengan upah yang murah, sesuai target kerja yang ditentukan sepihak oleh perkebunan. Kekuasaan besar yang dimiliki perkebunan mengakibatkan kehidupan kuli kontrak berada dalam situasi miskin dan menderita Nainggolan: 2012. Kondisi buruh perkebunan pasca kemerdekaan mulai mendapat perbaikan keejahteraan. Namun, perbaikan kondisi ini bukan berasal dari pemerintah melainkan muncul dari kesadaran buruh itu sendiri. Mereka mendirikan organisasi sebagai media perjuangan. Mereka mulai berorganisasi dengan melakukan perlawanan dan juga aksi pemogokan. Hasil yang didapat pada waktu itu adalah pemerintah memberlakukan hubungan kerja adalah hubungan yang berbasis kesejahteraan kolektif. Kesejahteraan tersebut mencakup hidup yang layak dan jaminan atas pekerjaan, dan fasilitas yang memadai. Nainggolan:2012. 2.2.1 Kondisi Buruh Lepas di Perkebunan Realitas buruh lepas di perkebunan saat ini tidak jauh berbeda dengan masa kolonial. Nainggolan 2012 menyatakan pola-pola penindasan dan kontrol yang berlangsung pada masa kolonial masih berlangsung sampai saat ini. Pada masa kolonial, rekruitmen tenaga kerja dilakukan berdasarkan migrasi-politik etis, pemborongan pekerjaan anemer, dan kontrak tertutup. Saat ini, istilah tersebut dikenal dengan istilah outsourching. Dalam perekrutan tenaga kerja, umumnya buruh kontrak didapat melalui asisten, mandor kebun, kepala desa, maupun tokoh masyarakat. Selain itu, pihak perkebunan juga akan memberikan pengumuman ketika mereka membutuhkan tenaga kerja baru. Selanjutnya Nainggolan 2012 menambahkan, outsourching yang dilakukan perkebunan ditunjukkan dengan mengubah status buruh tetap menjadi buruh harian lepas BHL, menambah beban kerja perusahaan ke perorangan, dan menerapkan sistem kerja acak mandiri. Perubahan status buruh tetap menjadi buruh harian lepas merupakan suatu sanksi yang diberikan karena buruh telah melakukan hal yang dianggap salah oleh pihak perkebunan. Apabila mereka tidak menerima sanksi tersebut, resiko dipecat harus mereka terima. Faktor minimnya lapangan pekerjaan dan standar kebutuhan hidup membuat mereka tidak punya pilihan lain. Buruh harian lepas mengerjakan pekerjaan yang telah ditentukan oleh pihak perkebunan. Mereka juga rawan terhadap penindasan dan eksploitasi karena tidak mendapat perlindungan, tidak mendapat THR, upah yang murah, tidak terdaftar jamsostek, dan tidak mendapat hak-hak lainnya.

2.3 Perkebunan di Jember