Impelementasi kebijakan e-KTP di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi

(1)

(2)

(3)

(4)

SKRIPSI

DiajukanUntuk Menempuh Ujian Sarjana Pada

Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia

Disusun oleh : EKO ANDRI YANTO

41707863

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG


(5)

viii

berkat rahmat dan hidayah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari pihak-pihak yang telah membantu baik itu dalam melakukan penelitian maupun dalam penyusunan skripsi, peneliti tidak mungkin dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sehingga dalam kesempatan yang berharga ini dengan segala kerendahan hati peneliti ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Bapak Prof. Dr. Samugyo Ibnu Redjo, M. A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia yang telah mengeluarkan surat pengantar untuk penelitian dan mendatangani lembar pengesahan. Ibu Dr. Dewi Kurniasih, S. IP., M.Si. Selaku Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia yang telah mendatangani lembar pengesahan pada skripsi peneliti.

Ibu Poni Sukaesih K, S. IP., M.Si. Selaku dosen pembimbing di Program Studi Ilmu Pemerintahan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia, yang telah bersedia membantu dan membimbing peneliti dalam penyusunan skripsi ini. Ibu Tatik Rohmawati. S.IP., M.Si. Selaku Dosen Wali penulis di Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada peneliti selama menjalani perkuliahan.


(6)

ix

sekretaris Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi yang telah menerima peneliti untuk melakukan penelitian di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi. Bapak Drs. Dadan Subardan. Selaku Kasi Pemerintahan Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi. Bapak Marwoto. Selaku operator peralatan perekaman e-KTP di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi yang telah bersedia untuk diwawancarai sehingga informasi yang didapat sangat membantu dalam penyusunan skripsi ini. Bapak dan Ibu Aparatur Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi.

Kedua orang tua peneliti, adikku Arum, wanita tercinta Susan, yang sudah memberikan dorongan dengan do’a, moril maupun materil yang tidak ternilai, sangat berarti bagi peneliti dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Rekan-rekan Ilmu Pemerintahan angkatan 2007 (Wendi, Tristan, Erwin, Devi, Agung) dan 2008 (Dading, Azus, Fiqih) terima kasih atas tali persahabatan dari kalian selama ini.

Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih diperlukan penyempurnaan dari berbagai sudut, baik dari segi isi maupun pemakaian kalimat dan kata-kata yang tepat, oleh karena itu, peneliti mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan penyusunan skripsi ini. Semua pihak yang telah mendukung dan membantu terlaksanakannya penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu, semoga menjadi amal baik di hari nanti.


(7)

x

Bandung, 2 September 2013


(8)

xi

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR REVISI SKRIPSI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

LEMBAR PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR BAGAN ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Maksud dan Tujuan Masalah ... 8

1.4 Kegunaan Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Implementasi ... 11

2.1.2 Pengertian Kebijakan ... 12

2.1.3 Pengertian Implementasi Kebijakan ... 16

2.1.3.1 Tahap-Tahap Implementasi Kebijakan ... 28

2.1.3.2 Faktor-Faktor Yang Dapat Menghambat Implementasi Kebijakan ... 30


(9)

xii

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian ... 47

3.1.1 Gambaran Umum Kecamatan Cimahi Tengah KotaCimahi ... 47

3.1.2 Kebijakan e-KTP di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi ... 50

3.2 Metode Penelitian ... 64

3.2.1 Desain Penelitian ... 64

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data ... 65

3.2.2.1 Studi Pustaka ... 65

3.2.2.2 Studi Lapangan ... 66

3.2.3 Teknik Penentuan Informan ... 66

3.2.4 Teknik Analisa Data ... 68

3.2.5 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 69

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Communication (Komunikasi) e-KTP Di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi ... 71

4.1.1 Transmission (Penyampaian) Informasi e-KTP Di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi ... 75

4.1.2 Clarity (Kejelasan) Informasi e-KTP Di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi ... 82

4.1.3 Consistency (Konsistensi) Informasi e-KTP Di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi ... 88


(10)

xiii

4.2.2 Information (Sumber Daya informasi) e-KTP

di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi ... 102

4.2.3 Authority (kewenangan) e-KTP di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi ... 109

4.2.4 Facilities (Fasilitas) e-KTP diKecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi ... 113

4.3 Disposition (sikap pelaksana) e-KTPDi Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi ... 118

4.3.1 Effect Of Disposition (Pengaruh Disposisi) e-KTP Di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi ... 122

4.3.2 Insentives (insentif) e-KTP Di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi ... 125

4.4 Bureucratic Structure (struktur birokrasi) e-KTP Di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi ... 128

4.4.1 Standard Operational Procedures (SOP) e-KTP Di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi... 131

4.4.2 Fragmentation (penyebaran tanggung jawab) e-KTP Di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi ... 137

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 144

5.2 Saran ... 145

DAFTAR PUSTAKA... 147

LAMPIRAN-LAMPIRAN... 150


(11)

147

DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU-BUKU

Abdul, Wahab. 2004. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijahanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

A.G, Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori dan Aplikasi), Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Anwar, M. Khoirul dan Assianti, Oetojo S. 2004. Aplikasi Sistem Informasi Manajemen Bagi Pemerintah Daerah Di Era Otonomi Daerah. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Ardianto, Elvinaro dkk. 2007. Komunikasi Massa. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Edward III, George C. 1980. Implementation Public Policy. Washington DC : Congresional Quarter Press.

Friedrich, Carl J. 1963. Man and His Government. Newyork: McGraw-Hill. Hasibuan, Malayu S. P. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT.

Bumi Aksara.

Hogwood, Brian W. dan Lewis A. G. 1986. Policy Analysis for The Real World. Toronto: Oxford University Press.

Indrajit, Richardus Eko. 2004. E-Government Strategi Pembangunan Dan Pengembangan Sistem Pelayanan Publik Berbasis Teknologi Digital. Yogyakarta:Andi Offset.

Indrajit, Richardus, Eko. 2005. E-Goverment In Action: Ragam Kasus Imflementasi Sukses di Berbagai Belahan Dunia. Yogyakarta: Andi Offset.

Indrajit, Richardus, Eko. 2006. Elektronik Goverment: Strategi Pembangunan dan Pengembangan Sistem Pelayanan Publik Berbasis Teknologi Digital. Yogyakarta: Andi Offset.

Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analysis. Yogyakarta: Gava Media.

Islamy, M. Irfan. 1997. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Sinar Grafika.


(12)

Mazmanian, Daniel H., dan Paul A. Sabatier, 1983, Implementation and Public Policy, New York: HarperCollins.

Meter, Donald Van, dan Carl Van Horn. 1975. The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework dalam Administration and Society 6, 1975. London: Sage.

Ndraha, Taliziduhu. 2001. Kybernologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Nugroho, Riant. 2003. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Pressman, J. L. and A.B. Wildavsky. 1974. Implementation: How Great Expectations in. Washington are dashed in Oakland, Berkeley, L.A. London: University of California.

Salam, Dharma Setyawan. 2007. Otonomi Daerah : Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai, dan Sumber Daya. Jakarta: Djambatan.

Salam, Darma Setyawan. 2007. Manajemen Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Tachjan, 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: AIPI.

II.DOKUMEN-DOKUMEN

Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Peraturan Presiden No. 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Pengembangan e-Government.

Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2009 tentang Penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional.

Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2009.

Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2001 tanggal 24 April 2001 tentang Telematika (Telekomunikasi, Media, dan Informasi).


(13)

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Pelayanan InformasidanDokumentasidi Lingkungan Kementerian Dalam Negeridan Pemerintah Daerah.

Permendagri Nomor 9 tahun 2011 tentang pedoman penerapan KTP berbasis NIK secara Nasional.

Surat Menteri Dalam Negeri Nomor : 471.13/4141/SJ, tertanggal 13 Oktober 2010, perihal Penerbitan NIK dan Persiapan Penerapan e-KTP Tahun 2011.

Peraturan Daerah Kota Cimahi No. 4 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan di Kota Cimahi.

Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 11 Tahun 2008 tanggal 23 Juli 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan.

III. RUJUKAN ELEKTRONIK

http://kabarcimahi.blogspot.com, diakses pada hari Jumat. Tanggal 15 Februari 2013, Pukul 21:56.

http://www.jembranakab.go.id, diakses pada hari Minggu. tanggal 3 Februari 2013, pukul 19:51.


(14)

1 1.1Latar Belakang Masalah

Pemerintah menerapkan e-Government yang bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis, transparan, bersih, adil, akuntabel, bertanggungjawab, responsif, efektif dan efisien. e-Government memanfaatkan kemajuan komunikasi dan informasi pada berbagai aspek kehidupan, serta untuk peningkatan daya saing dengan negara-negara lain. Seperti yang tercantum dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik. e-Government menerapkan sistem pemerintahan dengan berbasis elektronik agar dapat memberikan kenyamanan, meningkatkan transparansi, dan meningkatkan interaksi dengan masyarakat, serta meningkatkan partisipasi publik.

Implementasi e-Government dalam pelayanan publik dengan penggunaan teknologi dan informasi yang saat ini sedang dilaksanakan dalam bidang pemerintahan adalah e-KTP. Melihat dari jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar, Pemerintah memerlukan program kependudukan yang akurat. e-KTP merupakan cara baru jitu yang akan ditempuh oleh pemerintah dengan membangun database kependudukan secara nasional untuk memberikan identitas kepada masyarakat dengan menggunakan sistem biometrik yang ada di dalamnya, maka setiap pemilik e-KTP dapat terhubung kedalam satu database nasional. Penyelenggaraan administrasi kependudukan sebagaimana diamanatkan dalam


(15)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 adalah terwujudnya Tertib Database Kependudukan, Tertib Penerbitan Nomor Induk Kependudukan (NIK), Tertib Dokumen Kependudukan, untuk mewujudkan tujuan utama penyelenggaraan administrasi kependudukan tersebut, perlu penerapan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang Berbasis NIK Secara Nasional (KTP Elektronik) untuk setiap penduduk wajib KTP. Pemanfaatan e-KTP diharapkan dapat berjalan lancer karena memiliki fungsi dan kegunaan yang sangat membantu pemerintah dan masyarakat yang bersangkutan dalam hal pemberian dan pemanfaatan pelayanan publik.

Pelaksanaan e-KTP dipandang sangat relevan dengan rencana pemerintah dalam upaya menciptakan pelayanan publik yang berkualitas dan berbasis teknologi untuk mendapatkan hasil data kependudukan yang lebih tepat dan akurat. e-KTP merupakan KTP nasional yang sudah memenuhi semua ketentuan yang diatur dalam UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2009 tentang Penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional, dan Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2009.

Pemerintah perlu melaksanakan program tersebut dengan sebaik-baiknya, sehingga nantinya akan mempermudah masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dari lembaga pemerintah dan swasta karena e-KTP merupakan electronic KTP yang dibuat dengan sistem komputer, sehingga dalam penggunaannya nanti diharapkan lebih mudah, cepat dan akurat. Pemerintah membuat kebijakan program e-KTP baik bagi masyarakat, bangsa dan negara dimaksudkan agar


(16)

terciptanya tertib administrasi. Selain itu diharapkan agar menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti mencegah dan menutup peluang adanya KTP ganda atau KTP palsu yang selama ini banyak disalahgunakan oleh masyarakat dan menyebabkan kerugian bagi negara. Untuk mendukung terwujudnya database kependudukan yang akurat, khususnya yang berkaitan dengan data penduduk wajib KTP yang identik dengan data penduduk pemilih pemilu (DP4), sehingga DPT pemilu yang selama ini sering bermasalah tidak akan terjadi lagi.

Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi menerapkan program e-KTP bertujuan untuk mencegah terjadinya peluang tersebut. E-KTP ini memiliki sebuah chip yang memuat kode keamanan dan rekaman elektronik sebagai alat verifikasi dan validasi data diri seseorang. Rekaman elektronik ini berisi biodata, pasfoto, tanda tangan, sidik jari, dan iris (foto retina) penduduk. Pemerintah Pusat telah menetapkan 5 (lima) tahapan agar menjamin keakuratan data dari setiap warga sehingga e-KTP tersebut tidak dapat diperbanyak atau digandakan. Berikut 5 (lima) tahap dalam pembuatan e-KTP, yaitu:

1. Pembacaan biodata; warga datang berdasarkan waktu yang telah ditentukan dengan membawa surat pengantar yang telah diberikan oleh pihak RT/RW setempat.

2. Foto; Warga diharuskan melakukan foto diri terlebih dahulu. Foto yang dilakukan sebaiknya memakai pakaian yang rapi, karena foto e-KTP ini hanya dilakukan satu kali saja dan tidak bisa diganti dalam jangka waktu 5 (lima tahun) kecuali kartu tersebut rusak atau hilang sebelum masa perpanjangan.


(17)

3. Perekaman tanda tangan; Warga diwajibkan melakukan tanda tangan untuk kemudian direkam ke dalam komputer dan disimpan untuk identitas warga. 4. Scan sidik jari; Scan sidik jari ini dilakukan dengan kelima jari warga, jika

warga mengalami kecacatan pada jari, maka dapat dilakukan dengan jari yang ada saja.

5. Scan retina mata; Tahap ini dilakukan untuk menjamin keakuratan dari warga tersebut karena scan jari tidak dapat menjamin keakuratan e-KTP, bisa saja ketika dilakukan tahap scan jari, warga tersebut memakai jari orang lain. Untuk itu dilakukan scan retina karena retina mata tidak dapat digantikan oleh orang lain. (sumber: Sosialisasi Penerapan e-KTP Tingkat Kecamatan, 2011).

Kecamatan Cimahi Tengah merupakan salah satu dari 3 (tiga) kecamatan yang berada di wilayah Kota Cimahi yang melaksanakan penerapan e-KTP. Pemerintah pusat menetapkan dan menunjuk Kota Cimahi dalam melaksanakan program e-KTP dikarenakan Kota Cimahi telah menerapkan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dan juga merujuk pada Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan di Kota Cimahi. SIAK menerapkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang merupakan nomor identitas penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia, yang berlaku selamanya, dalam SIAK, database antara kecamatan, kabupaten-kota, provinsi, dan Departemen Dalam Negeri (Depdagri) akan terhubung dan terintegrasi. Seseorang tidak bisa memiliki identitas ganda


(18)

dengan adanya nomor identitas kependudukan (NIK). Sebab, nomor bersifat unik dan akan keluar secaraotomatis ketika instansi pelaksana memasukkannya ke database kependudukan. Sehingga dari Hal tersebut menjadi faktor Kota Cimahi dari beberapa Kota atau Kabupaten di Jawa Barat yang ditunjuk oleh pemerintah pusat untuk melaksanakan program e-KTP.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Cimahi, pada tanggal 29 April 2012 adalah 90.157 jiwa yang baru terekam dari jumlah keselurahan warga Kecamatan Cimahi Tengah yang wajib KTP adalah 135.216 jiwa atau baru tercapai sekitar 66.68%. Jadi masih ada 45.059 jiwa yang belum melaksanakan perekaman e-KTP. (Sumber: Data Agregrat Kependudukan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Cimahi, April 2012). Hal tersebut mengindikasikan bahwa implementasi kebijakan akan program e-KTP di Kota Cimahi khususnya Kecamatan Cimahi Tengah masih memiliki permasalahan ataupun kendala dalam pencapaian target yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat. Kendala tersebut diakibatkan dengan adanya beberapa alat perekam retina mata dan perekam sidik jari yang mengalami kerusakan.

Pada proses implementasinya terjadi beberapa permasalah yang dapat menjadi kendala bagi pemerintah Kecamatan Cimahi Tengah, diantaranya:

Pertama, banyak warga yang telah wajib KTP tetapi belum melaksanakan perekeman e-KTP. Warga Kecamatan Cimahi Tengah yang belum melaksanakan perekaman e-KTP pada bulan April 2012 berjumlah 45.059 dari jumlah keseluruhan warga wajib KTP berjumlah 135.216 jiwa atau sekitar


(19)

66.68%. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel rekapitulasi hasil perekaman 2012, seperti tabel di bawah ini,

Tabel 1.1

Rekapitulasi Hasil Perekaman e-KTP 2012

Kecamatan/Kelurahan Wajib KTP Terekam Sisa % Cimahi Tengah

Kelurahan Cigugur 40,037 25,348 14,689 63.31

Kelurahan Padasuka 29,993 20,667 9,326 68.91

Kelurahan Baros 19,518 14,399 5,119 73.77

Kelurahan Setiamanah 20,262 13,455 6,807 66.41

Kelurahan Karangmekar

14,918 9,094 5,824 60.96

Kelurahan Cimahi 10,488 7,194 3,294 68.59

Total 135,216 90,157 45,059 66.68

(Sumber: Data Rekapitulasi Kecamatan Cimahi Tengah, 2012).

Hasil dari data rekapitulasi di atas disebabkan adanya warga yang belum melaksanakan perekaman e-KTP yang merupakan warga pendatang dari luar Kota Cimahi khususnya Kecamatan Cimahi Tengah, selain itu sebagian warga Kecamatan Cimahi Tengah bekerja di luar kota, sehingga sulit untuk mengetahui jumlah warga wajib KTP secara tepat, dan juga adanya warga Kecamatan Cimahi Tengah yang sudah meninggal tetapi masih terdaftar sebagai warga wajib KTP, hal ini dapat menjadi suatu kendala pemerintah daerah khususnya Kecamatan Cimahi Tengah dalam mendata warganya yang wajib KTP.

Kedua, Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang optimal dan siap. Pelaksanaan implementasi program e-KTP di Kecamatan Cimahi Tengah pegawai yang menangani program e-KTP tersebut bukanlah orang-orang yang ahli dalam bidangnya atau orang yang khusus menguasai program tersebut. Aparatur Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi telah mendapatkan pendidikan tentang mengoperasikan software (perangkat lunak) dalam hal ini adalah program dari


(20)

komputerisasi yang digunakan dalam perekaman e-KTP, tetapi para aparatur pelaksana tidak diberikan pendidikan akan memperbaiki peralatan yang rusak dimana proses perekaman sedang berlangsung. Sehingga peralatan yang rusak hanya diganti dengan yang masih berfungsi atau bahkan menunggu pergantian alat baru. Sehingga pelayanan yang diberikan kurang optimal, dan akan menggangu akan hasil dari implementasi kebijakan e-KTP di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi.

Ketiga, dalam pelaksanaan program e-KTP pihak Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi mendapatkan kendala akan kerusakan pada peralatan perekaman e-KTP. Sesuai yang dituturkan oleh Kasi Pemerintahan Kecamatan Cimahi Tengah, beliau mengungkapkan bahwa alat yang rusak adalah perekam retina dan perekam sidik jari. Pernyataan tersebut diperkuat dengan hasil data rekapitulasi perekaman e-KTP Kota Cimahi 2012, yaitu Gangguan teknis pada peralatan pada umumnya adalah Finger Printer Scanner (scan sidik jari), Irish Scanner (scan retina mata) yang merupakan peralatan penting dalam melakukan perekaman e-KTP di Kecamatan Cimah Tengah. (Sumber: Data rekapitulasi perekaman e-KTP Kota Cimahi 2012).

Keempat, jumlah peralatan perekaman sebanyak 2 set menjadikan kekurangan peralatan perekaman e-KTP yang dialami Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi pada saat proses perekaman e-KTP yang tidak sebanding dengan jumlah warga yang datang.

Kelima, dalam melaksanakan perekaman e-KTP di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi dilakukan sistem offline akan data warga yang telah


(21)

melakukan perekaman e-KTP. Kerusakan/gangguan jaringan online yang menjadikan sistem offline, terjadi pada database yang berada di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi yang seharusnya terhubung langsung ke Pemerintah Kota Cimahi yang kemudian terhubung secara langsung ke Pemerintah Pusat. Hal ini terlihat dari data perekaman e-KTP di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi yaitu, hasil perekaman Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi sebanyak 93.460 orang, sedangkan jumlah offline sebanyak 7.032 orang dan total perekaman adalah sebanyak 100.492 orang. (Sumber: Data agegrat perekaman e-KTP Disdukcapil Kota Cimahi, 2013).

Berdasarkan uraian permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan e-KTP di Kecamatan Cimahi Tengah, maka peneliti memfokuskan penelitian pada bagaimana pelaksanaan implementasi program e-KTP yang dilakukan pegawai Kecamatan Cimahi Tengah dalam pembuatan e-KTP kepada masyarakat wilayah Kecamatan Cimahi Tengah, dengan judul: “Implementasi Kebijakan e-KTP Di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi”.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, dan memperlihatkan pada fokus penelitian yang telah disebutkan dalam batasan masalah, maka ada yang menjadi kajian peneliti yaitu, bagaimanakah Implementasi Kebijakan e-KTP di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi?


(22)

1.3Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui implementasi kebijakan e-KTP di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui komunikasi pegawai Kecamatan Cimahi Tengah dalam implementasi kebijakane-KTP.

2. Untuk mengetahui Sumber Daya Manusia (SDM) pemerintah Kecamatan Cimahi Tengah kepada masyarakat Cimahi Tengah terhadap implementasi kebijakan e-KTP.

3. Untuk mengetahui disposisi pemerintah Kecamatan Cimahi Tengah dalam implementasi kebijakan e-KTP.

4. Untuk mengetahui struktur birokrasi pemerintah Kecamatan Cimahi Tengah dalam implementasi kebijakane-KTP.

1.4Kegunaan Penelitian

Sejalan dengan permasalahan diatas diharapkan memiliki kegunaan yang bersifat teoritis dan praktis sebagai berikut:

1. Bagi peneliti, kegunaan penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dibidang proses pelaksanaan, penelitian mulai dari pencarian masalah sampai dengan selesai dan juga sebagai analisis ilmu-ilmu ataupun teori-teori yang didapatkan selama perkuliahan. Banyak hal baru yang ditemukan dalam proses pelaksanaan penelitian sehingga menambah


(23)

pengetahuan dan dapat secara langsung menerapkan dari berbagai teori yang dipelajari sangat idealis.

2. Kegunaan teoritis, diharapkan menambah ilmu pengetahuan melalui penelitian yang dilaksanakan sehingga memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan ilmu pemerintahan khususnya di bidang e-Goverment. Sebagai bahan pemahaman dan pembelajaran bagi peneliti maupun mahasiswa lain untuk melakukan penelitian-penelitian secara lebih mendalam mengenai pelaksanaan pembuatan e-KTP khususnya di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi.

3. Kegunaan praktis, diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan khususnya bagi Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi mengenai implementasi kebijakan e-KTP di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi.


(24)

11 2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Pengertian Implementasi

Implementasi berasal dari Bahasa Inggris yaitu to implement yang berarti mengimplementasikan. Implementasi merupakan penyediaan sarana untuk melaksanakan sesuatu yang menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu. Sesuatu tersebut dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat itu dapat berupaundang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yangdibuat oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan.

Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dengan adanya jaringan komputerisasi menjadi lebih cepat dan tentunya dapat menghemat pengeluaran biaya. Pelayanan tersebut terjadi sudah tidak membutuhkan banyak tenaga manusia lagi melainkan yang dibutuhkan adalah manusia yang mempunyai ahli untuk mengoprasionalkan jaringan komputerisasi tersebut. Oleh karena itu, dalam menunjang terciptanya tertib administrasi dan peningkatan pelayanan publik, perlu didukung dengan adanya implementasi yang berorientasi pada pelayanan dan tujuan yang akan di tercapai.

Secara etimologis implementasi menurut Lukman Ali adalah mempraktekkan, memasangkan (Ali, 1995:1044). Implementasi merupakan sebuah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta, baik secara


(25)

individu maupun kelompok dengan maksud untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan.

Sedangkan implementasi menurut Riant Nugroho pada prinsipnya adalah cara yang dilakukan agar dapat mencapai tujuan yang dinginkan (Nugroho, 2003:158). Implementasi merupakan prinsip dalam sebuah tindakan atau cara yang dilakukan oleh individu atau kelompok orang untuk pencapaian tujuan yang telah dirumuskan.

Sedangkan implementasi menurut Van Meter dan Vanhorn dalam buku The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework, menjelaskan bahwa:

“Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan”. (Meter dan Vanhorn, 1975:447). Dari beberapa pengertian di atas, implementasi itu merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan dalam suatu keputusan kebijakan. Pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang buruk atau tidak bagi masyarakat. Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak bertentangan dengan masyarakat apalagi sampai merugikan masyarakat.

2.1.2 Pengertian Kebijakan

Kebijakan berasal dari Bahasa Inggris “policy”, tetapi kebanyakan orang berpandangan bahwa istilah kebijakan senantiasa disamakan dengan istilah


(26)

kebijaksanaan. Padahal apabila dicermati berdasarkan tata bahasa, istilah kebijaksanaan berasal dari kata “wisdom”. Peneliti berpandangan bahwa istilah kebijakan berbeda dengan istilah kebijaksanaan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pengertian kebijaksanaan memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang lebih lanjut, sedangkan kebijakan mencakup peraturan-peraturan yang ada di dalamnya termasuk konteks politik.

Pendapat Anderson yang dikutip oleh Wahab, merumuskan kebijaksanaan sebagai langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang sedang dihadapi (Anderson dalam Wahab, 2004:3). Oleh karena itu, kebijaksanaan menurut Anderson merupakan langkah tindakan yang sengaja dilakukan oleh aktor yang berkenaan dengan adanya masalah yang sedang di hadapi.

Kebijakan sebenarnya telah sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, istilah kebijakan seringkali disamakan dengan istilah kebijaksanaan. Jika diuraikan terdapat perbedaan antara kebijakan dengan kebijaksanaan. Pengertian kebijaksanaan lebih ditekankan kepada pertimbangan dan kearifan seseorang yang berkaitan dengan dengan aturan-aturan yang ada. Sedangkan kebijakan mencakup seluruh bagian aturan-aturan yang ada termasuk konteks politik, karena pada dasarnya proses pembuatan kebijakan sesungguhnya merupakan suatu proses politik. Menurut M. Irafan Islamy berpendapat bahwa:

“Kebijaksanaan memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang lebih jauh lagi (lebih menekankan kepada kearifan seseorang), sedangkan kebijakan mencakup aturan-aturan yang ada di dalamnya sehingga policy


(27)

lebih tepat diartikan sebagai kebijakan, sedangkan kebijaksanaan merupakan pengertian dari kata wisdom”. (Islamy, 1997:5).

Berdasarkan pengertian tersebut, kebijakan pada dasarnya suatu tindakan yang mengarah kepada tujuan tertentu dan bukan hanya sekedar keputusan untuk melakukan sesuatu. Kebijakan seyogyanya diarahkan pada apa yang senyatanya dilakukan oleh pemerintah dan bukan sekedar apa yang ingin dilakukan oleh pemerintah.

Definisi lain mengenai kebijakan yang diungkapkan oleh Carl Friedrich dalam buku Man and His Government, yang mengatakan kebijakan adalah:

“Kebijakan adalah serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan-kemungkinan (kesempatan-kesempatan) dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud”. (Friedrich, 1963:79).

Berdasarkan pengertian diatas, maksud dari kebijakan sebagai bagian dari kegiatan, dimana kebijakan tersebut berhubungan dengan penyelesaian beberapa maksud atau tujuan. Meskipun maksud dan tujuan dari kegiatan pemerintah tidak selalu mudah untuk dilihat, tetapi ide bahwa kebijakan melibatkan perilaku yang mempunyai maksud, merupakan bagian penting dari definisi kebijakan. umumnya tujuan tersebut ingin dicapai oleh seseorang, kelompok ataupunpemerintah.

Peneliti berpandangan bahwa istilah kebijakan berbeda dengan istilah kebijaksanaan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pengertian kebijaksanaan memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang lebih lanjut,


(28)

sedangkan kebijakan mencangkup peraturan-peraturan yang ada di dalamnya termasuk konteks politik.

Kebijakan sebenarnya telah sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, istilah kebijakan seringkali disamakan dengan istilah kebijaksanaan. Jika diuraikan terdapat perbedaan antara kebijakan dengan kebijaksanaan. Adapun pengertian kebijaksanaan lebih ditekankan kepada pertimbangan dan kearifan seseorang yang berkaitan dengan dengan aturan-aturan yang ada. Sedangkan kebijakan mencakup seluruh bagian aturan-aturan yang ada termasuk konteks politik, karena pada dasarnya proses pembuatan kebijakan sesungguhnya merupakan suatu proses politik. Menurut M. Irafan Islamy berpendapat bahwa:

“Kebijaksanaan memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang lebih jauh lagi (lebih menekankan kepada kearifan seseorang), sedangkan kebijakan mencakup aturan-aturan yang ada di dalamnya sehingga policy lebih tepat diartikan sebagai kebijakan, sedangkan kebijaksanaan merupakan pengertian dari kata wisdom”.(Islamy, 1997:5).”

Berdasarkan pendapat tersebut, kebijakan pada dasarnya suatu tindakan yang mengarah kepada tujuan tertentu dan bukan hanya sekedar keputusan untuk melakukan sesuatu. Kebijakan seyogyanya diarahkan pada apa yang senyatanya dilakukan oleh pemerintah dan bukan sekedar apa yang ingin dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan mengandung suatu unsur tindakan untuk mencapai tujuan dan umumnya tujuan tersebut ingin dicapai oleh seseorang, kelompok ataupun pemerintah. Kebijakan tentu mempunyai hambatan-hambatan tetapi harus mencari peluang-peluang untuk mewujudkan tujuan dan sasaran yang diinginkan.

Hal tersebut berarti kebijakan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan praktik-praktik sosial yang ada dalam masyarakat. Apabila kebijakan berisi


(29)

nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka kebijakan tersebut akan mendapat kendala ketika diimplementasikan. Sebaliknya, suatu kebijakan harus mampu mengakomodasikan nilai-nilai dan praktik-praktik yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

2.1.3 Pengertian Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan pada prinsipnya merupakan cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Implementasi kebijakan menunjuk aktivitasmenjalankan kebijakan dalam ranah senyatanya, baik yang dilakukan oleh orangpemerintah maupun para pihak yang telah ditentukan dalam kebijakan. Berikutpengertian implementasi kebijakan menurut Dwiyanto Indiahono dalam bukunyayang berjudul Kebijakan Publik Berbasis Dynamic policy analisys, adalah:

“Implementasi kebijakan adalah tahap yang penting dalam kebijakan. Tahap ini menetukan apakah kebijakan yang ditempuh oleh pemerintahbenar-benar aplikabel di lapangan dan berhasil untuk menghasilkan outputdan outcomes seperti yang telah direncanakan. Output adalah keluarankebijakan yang diharapkan dapat muncul sebagai keluaran langsung darikebijakan. Output biasanya dapat dilihat dalam waktu yang singkat pascaimplementasi kebijakan. Outcome adalah damapak dari kebijakan, yangdiharapkan dapat timbul setelah keluarnya output kebijakan. Outcomesbiasanya diukur setelah keluarnya output atau waktu yang lama pascaimplemantasi kebijakan”. (Indiahono, 2009:143). Dari definisi diatas, jadi implementasi kebijakan merupakan tahap yangpenting dalam merumuskan suatau kebijakan yang akhirnya berupa keputusan kebijakan yang dapat menimbulkan pengaruh (sebab/akibat), dari pemerintah benar-benar aplikabel dilapangan untuk menghasilkan output dan


(30)

outcomes, dimana output sebagai penyebab kebijakan sedangkan outcomes sebagai dampak dari kebijakan.

Implementasi kebijakan menurut pendapat Pressman dan Wildavsky dalam bukunya yang berjudul Implementation: How Great Expectation in Washington Are Dased In Oakland bahwa: “Implementation as to carry out, accomplish, fulfill, produce, and complete”. (Implementasi untuk melaksanakan, membawa, menyelesaikan, mengisi, menghasilkan, dan melengkapi). (Pressman dan Wildavsky, 1978:21).

Secara etimologi implementasi itu dapat diartikan sebagai suatu aktivitas yang berjalan dengan penyelesaian suatu pekerjaan dengan penggunaan sarana (alat) untuk memperoleh hasil, dan apabila pengertian implementasi diatas digabungkan dengan kebijakan publik, maka implementasi kebijakan publik dapat diartikan sebagai aktivitas penyelesaian atau pelaksanaan suatu kebijakan publik yang telah ditetapkan atau disetujui dengan penggunaan sarana (alat) untuk mencapai suatu tujuan kebijakan dengan baik.

Implementasi kebijakan menurut pendapat Tachjan dalam bukunya yang berjudul Implementasi Kebijakan Publik bahwa:

“Implementasi kebijakan publik merupakan proses kegiatan administratif yang dilakukan setelah kebijakan ditetapkan dan disetujui. Kegiatan ini terletak diantara perumusan kebijakan dan evaluasi kebijakan. Implementasi kebijakan mengandung logika top-down maksudnya menurunkan atau menafsirkan alternatif-alternatif yang masih abstrak atau makro menjadi alternatif yang bersifat kongkrit atau makro”. (Tachjan, 2006:25).


(31)

Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses kebijakan, artinya implementasi kebijakan menentukan keberhasilan suatu proses kebijakan dimana tujuan serta dampak kebijakan dapat dihasilkan.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas mengenai implementasi kebijakan, maka peneliti dapat menginterpretasikan bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan. Akan tetapi, walaupun kebijakan tersebut sudah tepat dan telah mengikutsertakan masyarakat maka akan mengalami kendala-kendala yang mengakibatkan kegagalan yang diakibatkan oleh kurang diimplementasikan oleh para pelaksana kebijakan. Oleh karena itu, apabila suatu kebijakan dapat berhasil maka dalam prosesnya harus melibatkan masyarakat dan juga dalam mengimplementasikan kebijakan harus maksimal sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai dengan baik.

Sedangkan pengertian implementasi kebijakan menurut Riant Nugroho D. Dalam bukunya yang berjudul Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi mendefinisikan senagai berikut:

“implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untukmengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkahyang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-programatau melalaui formulasi kebijakan derivat atau dari kebijakan publik tersebut”. (Nugroho, 2004:158-163).

Implementasi kebijakan menurut pendapat di atas, tidak lain berkaitandengan cara agar kebijakan dapat mencapai tujuan. Diimplementasikan


(32)

melalui bentuk program-program serta melalui turunan. Turunan yang dimaksud adalah dengan melalui proyek intervensi dan kegiatan intervensi. Pengertianimplementasi kebijakan di atas, secara rinci menurut Nugroho D, kegiatan di dalam manajemen implementasi kebijakan dapat disusun berurutan sebagai berikut:

1. “Implementasi Strategi (pra-implementasi) 2. Pengorganisasian (organizing)

3. Penggerakan dan Kepemimpinan

4. Pengendalian.”(Nugroho, 2004:158-163).

Dari definisi di atas, implementasi kebijakan perlu adanya tahap-tahap praimplementasi dapat dimaksudkan sebelum adanya keputusan kebijakan, organizing dapat dimaksudkan dalam tahap implentasi perlu adanya organisasi, penggerakan dan kepemimpinan dapat dimaksudkan dalam tahap pembuatan keputusan dalam sebuah organisasi perlu adanya ketua atau pemimpin, dan pengendalian dimaksudkan sebagai pengambilan keputusan program/kebijakan, agar dalam mencapai tujuanya program/kebijakan dapat tepat guna.

Sedangkan Implementasi Kebijakan menurut pendapat George C. Edwards III dalam bukunya Implementing Public Policy yaitu:

Policy implementation, as we have seen, is the stage of policymaking between the establishment of a policy-such as the passage of a legislative act, the issuing of an executive order, the handing down of a judicial decision, or the promulgation of a regulatory rule-and the consequences of the policy for the people whom it affects”. ”(Implementasi kebijakan, maka dapat dikatakan bahwasanya implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan kebijakan antara pembentukan kebijakan seperti bagian dari tindakan legislatif, menerbitkan perintah eksekutif, penyerahan keputusan peradilan, atau diterbitkannya suatu peraturan dan konsekuensi dari kebijakan bagi orang-orang yang mempengaruhinya)”. (Edwards III, 1980:01).


(33)

Berdasarkan pengertian implementasi kebijakan diatas bahwa implementasi kebijakan merupakan tahap pembuatan kebijakan antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan baik.

Model pendekatan implementasi menurut George Edward III dengan Direct and Indirect Impact on Implementation, dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1

Model Pendekatan Implementasi menurut George Edward III

KOMUNIKASI

SUMBER DAYA

IMPLEMENTASI DISPOSISI

STRUKTUR BIROKRASI

(Sumber: George Edward III, 1980:148)

Model pendekatan implementasi di atas, yang dikemukan oleh George Edward III merupakan sebuah abstraksi atau performansi dari suatu kebijakan yang pada dasarnya dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan publik yang tinggi, yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel dan secara berkesinambungan atau berhubungan.


(34)

Untuk mendukung proses implementasi kebijakan publik tersebut, menurut Edward III, ada empat faktor atau variabel penentu yaitu:

1. “Communications, mempunyai peranan yang penting sebagai acuan pelaksanaan kebijakan mengetahui persis apa yang akan dikerjakan, ini berarti komunikasi juga dinyatakan dengan perintah dari atasan terhadap pelaksanan kebijakan, sehingga komunikasi harus dinyatakan dengan jelas, cepat dan konsisten. 2. Resouces, bukan hanya menyangkut sumber daya manusia semata

melainkan juga mencakup kemampuan sumber daya mineral lainnya yang mendukung kebijakan tersebut dan faktor dana. 3. Dispositions, sebagai kegunaan dikalangan pelaksana untuk

menerapkan kebijakan, jika penerapan dilaksanakan secara efektif. Pelaksana bukan hanya harus tahu apa yang harus dikerjakan, tetapi harus memiliki kemampuan untuk menerapkan kebijakan itu.

4. Bureaucratic Structure, mempunyai dampak terhadap penerapan kebijakan dalam arti bahwa penerapan kebijakan tidak akan berhasil jika terdapat kelemahan dalam struktur. Dalam hal ini ada 2 karakteristik birokrasi yang umum, penggunaan sikap dan prosedur yang rutin, serta transpormasi dalam pertangungjawaban di antara unit organisasi”. (George Edward III (1980:10-11). Pertama, communication (komunikasi) menurut George C. Edwards III yaitu:

The first requirement for effective policy implementation is that those who are implement a decision must know what they are supposed to do. Policy decisions and implementation orders must be followed. Naturally, these communications need to be accurate and they must be accurately perceived by implementers. Many obstacles lie in the path of transmission of implementation communication”. (syarat pertama untuk implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan kebijakan harus tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Keputusan kebijakan dan perintah pelaksanaan harus dikirimkan ke individu yang tepat sebelum mereka dapat mengikuti. Komunikasi pelaksana harus akurat, dapat dimengerti oleh mereka. Banyak kendala dalam implementasi yang terdapat pada jalur komunikasi transmisi kebijakan)”. (Edwards III, 1980:17).

Komunikasi sangat menetukan keberhasilan pencapaian tujuan dari pelaksanaan. Pelaksanaan yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan


(35)

sudah mengetahui apa yang akan dikerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan dikerjakan dapat berjalan bila komunikasi berjalan dengan baik, sehingga setiap keputusan dan peraturan pelaksanaan harus ditransmisikan (dikomunikasikan) kepada bagian personalia yang tepat. Komunikasi dalam kebijakan memiliki beberapa macam dimensi antara lain: dimensi transformasi atau penyampaian informasi kebijakan publik, kejelasan, dan konsistensi. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi maka terjadinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.

Komunikasi adalah proses penyampaian pesan informasi, ide, dan gagasan dari satu pihak kepada pihak lain. komunikasi merupakan syarat utama dalam implementasi kebijakan untuk berjalan lebih efektif. Para pelaksana kebijakan harus dapat mengetahui apa yang seharusnya mereka lakukan. Keputusan-keputusan dan perintah-perintah harus dilanjutkan oleh para pelaksana dengan tepat sebelum keputusan-keputusan dan perintah-perintah itu dapat diikuti. Terdapat tiga dimensi yang termasuk kedalam komunikasi Menurut pendapat George C. Edwards III dalam bukunya ImplementingPublic Policy bahwa komunikasi terdiri dari transmision (penyampaian informasi), clarity (kejelasan), dan consistency (konsistensi). (Edwards III, 1980:10).

Berdasarkan pendapatnya bahwa dalam komunikasi harus terdapat tiga hal yang sangat penting yaitu terdiri dari transmision (penyampaian informasi),clarity (kejelasan), dan consistency (konsistensi). Transmision (penyampaian informasi) adalah penyampaian informasi kebijakan publik yang


(36)

disampaikan oleh para pelaksana kebijakan kepada kelompok sasaran atau disebut dengan masyarakat. Pengabdian atau kesalahpahaman mengenai keputusan sering kali terjadi, salah satu penyebab dalam menstransmisikan perintah-perintah dalam implementasi adalah penolakan implementor atau pelaksana kebijakan melakukan diskresi yang tidak bisa dihindarkan didalam aturan umum. Clarity (kejelasan) merupakan faktor kedua dari komunikasi yang merupakan tujuan yang telah ditentukan dan tidak menyimpang dari ketentuan dalam pelaksanaannya harus jelas dan konsisten dan sesuai dengan kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah dan harus jelas. Consistency (konsisten) merupakan faktor ketiga yaitu unsur kejelasan dimana perintah-perintah implementasi yang tidak konsisten akan mendorong pelaksanaan mengambil tindakan dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah.

Kedua, Resources (sumber daya) menurut George C. Edwards III yaitu: “No matter how clear and consistent implementation orders are and no matter how accurately they are transmitted, if the personnel responsible for carrying out policies lack the resources to do an effective. Important resources include staff of the proper size and with the necessary expertise; relevant and adequate information on how to implement policies and on the compliance of the others involved in implementation; the outhority to ensure that policies are carried out as they are intended; and facilities (including buildings, equipment, land and supplies) in which or with which to provide services. Insufficient resources will mean that laws will mean that laws will not be enforced, services will not provided, and reasonable regulation in policy implementation”. “(bagaimanapun jelas dan konsistensinya ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan, serta bagaimanapun akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan tersebut, jika para pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan efektif. Sumber daya sebagaimana telah disebutkan meliputi: staf dari ukuran yang tepat dan dengan keahlian yang diperlukan, informasi yang relevan dan memadai tentang bagaimana menerapkan kebijakan dan kepatuhan pada orang lain


(37)

yang terlibat dalam pelaksanaan, kewenangan untuk memastikan bahwa kebijakan yang dilakukan kepada mereka yang dimaksudkan, dan fasilitas (termasuk bangunan, peralatan, tanag dan pasokan) dimana dapat digunakan untuk menyediakan pelayanan)”. (Edwards III, 1980:53).

Keberhasilan implementasi kebijakan bukan hanya ditentukan oleh sejauhmana para pelaku kebijakan (implementors) mengetahui apa yang harus dilakukan dan mampu melakukannya, tetapi juga ditentukan oleh keinginan para pelaku kebijakan memiliki disposisi yang kuat terhadap kebijakan yang sedang diimplementasikan.

Sumber daya mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan, karena bagaimanapun jelas dan konsistensi ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan suatu kebijakan. Jika para implementor mengimplementasikan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berjalan dengan efektif. Faktor-faktor dalam sumber daya menurut pendapat George C. Edwards III dalam bukunya Implementing Poblic Policy yaitu staff (aparatur), information (informasi), Authotity (wewenang), dan Facilities (fasilitas). (Edwards III, 1980:10-11).

Berdasarkan pendapat Edwards diatas dapat dijelaskan bahwa dalam sumber daya terdapat empat faktor yaitu staff (aparatur), information (informasi), authority (wewenang), dan facilities (fasilitas). Staff (aparatur) adalah pelaku kebijakan dan memiliki kewenangan yang diperlukan dalam suatu kebijakan agar dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan. Information (informasi) adalah data yang diolah menjadi suatu bentuk lain yang lebih berguna


(38)

yaitu pengetahuan atau keterangan yang ditujukan bagi penerima dalam pengambilan keputusan baik pada masa sekarang atau yang akan datang dalam melaksanakan dan mematuhi apa yang telah menjadi tugas dan kewajibannya. Authority (kewenangan) adalah kewenangan yang bersifat formal yang dikeluarkan dalam melaksanakan kebijakan. Sedangkan facilities (fasilitas) adalah sumber daya peralatan pendukung dalam melakukan tugas operasionalnya (sarana dan prasarana) hal terpenting yang harus dimiliki oleh pelaksana kebijakan.

Ketiga, Dispotition (disposisi) menurut George C. Edwards III, yaitu: “The dispositions or attitudes of implementation is the third critical factor in our approach to the study of public policy implementation. If implementation is to proceed effectively, not only must implementers know what to do and have the capability to do it, but they must also desire to carry out a policy. Most implementers can exercise considerable discretion in the implementation of policies. One of the reasons for this is their independence from their nominal superiors who formulate the policies. Another reasons is the complexity of the policies them selves. The way in which implementers exercise their direction, however, defend in large part upon their dispositions toward the policies, their attitudes, in turn, will be influenced by their view toward the policies per see and by how they see the policies effecting their organizational and personal interest”. “(Disposisi atau sikap pelaksanaan implementasi adalah faktor penting ketiga dalam mempelajari pendekatan implementasi kebijakan publik, jika para pelaksana bersikap baik karena menerima suatu kebijakan maka kemungkinan besar mereka akan melaksanakan secara bersungguh-sungguh seperti tujuan yang diharapkannya. Sebaliknya jika perfektif dan tingkah laku para pelaksana berbeda dengan para pembuat kebijakan maka proses implementasi akan mengalami kesulitan)”. (Edwards III, 1980:89).

Berdasarkan penjelasan di atas bahwa disposisi adalah watak atau karakteristik yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan seperti memiliki kejujuran, mempunyai komitmen, dan sifat demokratik. Apabila pelaksana kebijakan mempunnyai karakteristik atau watak yang baik, maka dia akan melaksanakan


(39)

kebijakan dengan baik sesuai dengan sasaran tujuan dan keinginan pembuat kebijakan.

Disposition (sikap pelaksana) adalah kecenderungan-kecenderungan, keinginan atau kesepakatan para pelaksana untuk melaksanakan kebijakan secara sungguh-sungguh apa yang menjadi tujuan kebijakan untuk dapat diwujudkan. Menurut George C. Edwards III dalam bukunya Implementing Public Policy terdapat dua faktor dalam Disposition (sikap pelaksana) yaitu Effects Of Disposition (tingkat kepatuhan pelaksana) dan Incentives (insentif). (Edwards III, 1980:11).

Berdasarkan pendapat diatas bahwa disposisi diartikan sebagai sikap para pelaksana untuk mengimplementasikan kebijakan, dalam implementasi kebijakan jika ingin berhasil secara efektif dan efisien. Maka para implementor tidak hanya mengetahui apa yang harus mereka lakukan dan mempunyai kemampuan untuk implementasi kebijakan tersebut, tetapi mereka lakukan dan mempunyai keinginan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut. Hal-hal yang terpenting dalam disposisi antara lain Effect Of disposition (tingkat kepatuhan pelaksana) dan Incentives (pemberian insentif). Effect Of Disposition (tingkat kepatuhan pelaksana) adalah kecenderungan-kecenderungan pelaksana menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan. Sedangkan Incentives (pemberian insentif) adalah kecenderungan yang ada pelaksana melalui manipulasi incentives oleh pembuat kebijakan melalui keuntungan-keuntungan atau biaya-biaya akan membuat pelaksana melaksanakan perintahnya dengan baik.


(40)

Keempat, Bureacratic Structure (Struktur Birokrasi) menurut George C. Edwards III dalam bukunya Implementing Public Policy, yaitu:

Policy implementers may know what to do and have sufficient desire and resources to do it, but they may still be hampered in implementation by the structures of the organizations in which they serve, two prominent characteristics of bureaucracies are standarf operating procedurs (SOPs) and fragmentation the former develop as internal respons to the limited time and resources of implementers and the desire for uniformity in the operation of complex and widely dispersed organizations; they often remain in force due to bureaucratic inertia”.“(pelaksana kebijakan mungkin tahu apa yang harus dilakukan dan memliki keinginan yang cukup dan sumber daya untuk melakukannya, tapi mereka mungkin masih terhambat di implementasi oleh struktur organisasi dimana mereka melayani dua karakteristik utama birokrasi yaitu prosedur operasi standar (SOP) dan fragmentasi yang pertama berkembang sebagai respon internal untuk waktu yang terbatas dan sumber daya pelaksana dan keinginan untuk keseragaman dalam pengoperasian kompleks dan tersebar luas organisasi, mereka sering tetap berlaku karena inersia birokrasi)”. (Edwards III, 1980:125).

Bureaucratic structure merupakan suatu badan yang terlibat dalam implementasi kebijakan secara keseluruhan. Struktur organisasi bertugas melaksanakan kebijakan memiliki pengaruh besar terhadap pelaksanaan kebijakan, didalam sturktur birokrasi terdapat dua hal penting yang dapat mempengaruhinya salah satunya yaitu aspek struktur birokrasi yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi standar (Standard operating procedurs) atau SOP. SOP ini merupakan pedoman untuk para pelaksana kebijakan dalam bertindak atau menjalankan tugasnya. Selain SOP yang mempengaruhi struktur birokrasi adalah fragmentasi yang berasal dari luar organisasi.

Menurut pendapat George C. Edwards III dalam bukunya Implementing Public Policy terdapat dua hal yang terdapat dalam struktur birokrasi yaitu


(41)

Standard Operating Procedures (SOP), dan Fragmentation(Fragmentasi). (Edwards III, 1980:11-12).

Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa Bureaucratic structure (struktur birokrasi) merupakan sumber-sumber dalam mengimplementasikan suatu kebijakan yang sudah mencukupi dan para pelaksananya mengetahui apa dan bagaimana cara melakukannya serta mempunyai keinginan untuk melakukannya akan tetapi implementasi kebijakan masih belum dapat dikatakan efektif karena ketidakefisienan struktur birokrasi yang ada. Hal-hal yang penting dalam struktur birokrasi yaituStandard Operating procedure (SOP) dan Fragmentation (penyebaran tanggung jawab). Standard Operating Procedures (SOP) adalah mekanisme, sistem dan prosedur pelaksanaan kebijakan, pembagian tugas pokok, fungsi kewenangan dan tanggung jawab yang dilaksanakan oleh pelaksana kebijakan. Sedangkan fragmentation (fragmentasi) adalah penyebaran tanggung jawab atas suatu kebijakan antara beberapa unit organisasi oleh pelaksana kebijakan.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas bahwa implementasi kebijakan adalah rangkaian tindakan-tindakan yang nyata dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan dalam keputusan kebijaksanaan yang dilakukan individu atau kelompok-kelompok tertentu, sehingga menciptakan suatu hasil dari kinerja implementasi kebijakan yang baik dalam hal pelayanan publik kepada masyarakat.


(42)

2.1.3.1Tahap-Tahap Implementasi Kebijakan

Mengefektifkan implementasi kebijakan yang ditetapkan, maka diperlukan adanya tahap-tahap implementasi kebijakan. M. Irfan Islamy membagi tahap implementasi dalam dua bentuk, yaitu :

a. “Bersifat self-executing, yang berarti bahwa dengan dirumuskannya dan disahkannya suatu kebijakan maka kebijakan tersebut akan terimplementasikan dengan sendirinya, misalnya pengakuan suatu negara terhadap kedaulatan negara lain.

b. Bersifat non self-executing yang berarti bahwa suatu kebijakan publik perlu diwujudkan dan dilaksanakan oleh berbagai pihak supaya tujuan pembuatan kebijakan tercapai”.(Islamy,1997:102-106).

Berdasarkan pendapat di atas implementasi kebijakan yaitu kebijakan publik yang bersifat Self Executing adalah kebijakan yang secara langsung terimplikasi tanpa perlu dikendalikan oleh lembaga eksekutif maupun legislatif sebagai contoh pengaturan kedaulatan negara. Sebaliknya kebijakan Non Self Executing perlu dikendalikan oleh lembaga-lembaga tesebut berikut lembaga lainnya dalam masyarakat. Kebijakan publik yang telah disahkan akan dicantumkan dalam lembaran negara untuk segera dapat dilaksanakan.

Ahli lain, Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (1986) mengemukakan sejumlah tahap implementasi sebagai berikut :

“Tahap I : Terdiri atas kegiatan-kegiatan :

a. Menggambarkan rencana suatu program dengan penetapan tujuan secara jelas

b. Menentukan standar pelaksanaan

c. Menentukan biaya yang akan digunakan beserta waktu pelaksanaan. Tahap II : Merupakan pelaksanaan program dengan mendayagunakan

struktur staf, sumber daya, prosedur, biaya serta metode ; Tahap III : Merupakan kegiatan-kegiatan :

a. Menentukan jadual ; b. Melakukan pemantauan ;

c. Mengadakan pengawasan untuk menjamin kelancaran pelaksanaan program. Dengan demikian jika terdapat penyimpangan atau


(43)

pelanggaran dapat diambil tindakan yang sesuai, dengan segera”. (Brian dan Lewis, 1986 : 13-17).

Jadi implementasi kebijakan akan selalu berkaitan dengan perencanaan penetapan waktu dan pengawasan, sedangkan menurut Mazmanian dan Sabatier dala mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan.

2.1.3.2 Faktor-Faktor Yang Dapat Menghambat Implemetasi Kebijakan Berdasarkan pendapat di atas implementasi kebijakan yaitu kejadian atau kegiatan yang timbul setelah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan negara.

Model Mazmanian dan Sabatier disebut model kerangka analisis implementasi. Mereka mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel:

1. “Mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang di kehendaki.

2. Kemampuan kebijakan untuk merekstruktur proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hirarkis di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksanan dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan keterbukaan kepada pihak luar dan variable di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.

3. Tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan, pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan objek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah pada revisi atas kebijakan


(44)

yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar”.(Mazmanian, Sabatier,1983:20-39).

Berdasarkan pengertian di atas, implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun bisa pula berbentuk perintah atau petunjuk eksekutif atau keputusan badan peradilan. Idealnya tersebut mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, menyebut secara tegas tujuan yang hendak dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan dan mengatur proses implementasinya. Fokus perhatian dalam implementasi yaitu memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku, diantaranya adalah kejadian dan kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan yang mencakup usaha mengadministrasikan maupun usaha menimbulkan dampak yang nyata pada masyarakat.

2.1.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi Kebijakan

Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat dipengaruhi berdasarkan faktor-faktor berikut seperti yang telah dikemukakan oleh beberapa berikut ini. Faktor-faktor keberhasilan suatu implementasi menurut pendapat Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn dalam bukunya The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework yaitu:

1. “Policy standards and objectives; 2. Policy resources;


(45)

4. The characteristics of the implementing agencies; 5. Economic, social, and conditions;

6. The disposition of implementers”.(Van Meter dan Van Horn, 1975:462-478)

Berdasarkan faktor-faktor keberhasilan dalam implementasi kebijakan diatas, dapat dijelaskan Standar dan sasaran kebijakan sebagai berikut:

1. Standard dan sasaran kebijakan 2. Sumber daya,

3. Karakteristik organisasi pelaksana,

4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan, 5. Sikap para pelaksana, dan

6. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik.

Pertama, standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Apabila standar dan kebijakan hilang, maka akan terjadi konflik diantara para agen pelaksana implementasi. Kedua, implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupunsumber daya lainnya. Ketiga, karakteristik agen pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi yang semuanya akan mempengaruhi implementasi suatu kebijakan. Keempat, komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas dalam implementasi perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerjasama antara instansi bagi keberhasilan suatu kebijakan. Kelima, disposisi implementor ini mencangkup tiga hal yaitu respon implementor terhadap kebijakan yang akan dipengaruhi keinginannya untuk melaksanakan kebijakan, kognisi yakni pemahaman terhadap kebijakan dan


(46)

intensitas disposisi implementor yakni prefansi nilai yang dimiliki oleh implementor. Variabel-variabel kebijakan bersangkutan dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dari sumber-sumber yang tersedia. Pusat perhatian pada badan-badan pelaksana baik organisasi formal maupun informal. Sedangkan komunikasi antara organisasi terkait dengan kegiatan-kegiatan pelaksanaan mencangkup hubungan didalam lingkungan sistem politik. Keenam, kondisi sosial, ekonomi dan politik variabel ini mencakup struktur sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauhmana kelompok-kelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan yaitu mendukung atau menolak.

Berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan, Subarsono dalam bukunya Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori dan Aplikasi) mengungkapkan sebagai berikut:

1. “Kondisi lingkungan

Lingkungan sangat mempengaruhi implementasi kebijakan, yang dimaksud lingkungan ini mencangkup lingkungan sosio kultural serta keterlibatan penerima program.

2. Hubungan antar organisasi

Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain, untuk itu diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

3. Sumber daya organisasi untuk implementasi program

Implementasi kebijakan perlu didukung sumber daya baik sumber daya manusia (human resources) maupun sumber daya non-manusia (non human resources).

4. Karekteristik dan kemampuan agen pelaksana

Yang dimaksud karakteristik dan kemampuan agen pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program”. (Subarsono, 2005:101).


(47)

Faktor-faktor diatas menunjukkan keberhasilan dalam pelaksanaan kebijakan yang dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah. Kebijakan tersebut dapat berhasil apabila terdapat faktor-faktor tersebut dengan memberi fokus pada tujuan yang sudah ditetapkan.

Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gun mengemukakan faktor keberhasilan implementasi kebijakan sebagai berikut:

1. “Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan atau instansi pelaksana tidak akan mengalami gangguan atau kendala yang serius. Hambatan-hambatan tersebut mungkin sifatnya baik, politis dan sebagainya,

2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai,

3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia, 4. Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasarkan oleh suatu

hubungan kualitas yang handal,

5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya,

6. Hubungan saling ketergantungan kecil,

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan, 8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat, 9. Komunikasi dan koordinasi sempurna,

10. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna”.(Hogwood dan Lewis, 1986: 71-78).

Pengertian dari pendapat di atas adalah suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak hanya ditujukan dan dilaksanakan untuk intern pemerintah saja, akan tetapi ditujukan dan harus dilaksanakan pula oleh seluruh masyarakat yang berada dilingkungannya.

2.1.4 Pengertian Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP)

Definisi dari e-KTP atau Kartu Tanda Penduduk Elektronik adalah dokumen kependudukan yang memuat sistem keamanan/pengendalian baik dari


(48)

sisi administrasi ataupun tekhnologi informasi dengan berbasis pada database kependudukan nasional. Penduduk hanya diperbolehkan memiliki 1 (satu) KTP yang tercantum Nomor Induk Kependudukan (NIK). NIK merupakan identitas tunggal setiap penduduk dan berlaku seumur hidup.

Nomor NIK yang ada di e-KTP nantinya akan dijadikan dasar dalam penerbitan paspor, surat izin mengemudi (SIM), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Polis Asuransi, sertifikat atas Hak Tanah dan penerbitan dokumen identitas lainnya (Sumber: Pasal 13 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Adminduk). (www.Wikipedia.com , Di akses pada tanggal 5 Februari 2013, Pukul 13.00).

Menurut Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Cimahi, e-KTP adalah KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang memiliki spesifikasi dan format KTP Nasional dengan sistem/kode pengaman khusus yang berlaku sebagai identitas resmi penduduk yang diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Nomor Induk Kependudukan (NIK) adalah nomor identitas penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal, dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia. (Sumber: Dispukcapil Kota Cimahi, Agustus 2012).

E-KTP merupakan KTP Nasional yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2009 tentang penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan secara Nasional, dan Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2010 tentang Perubahan Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2009. Peraturan tersebut maka e-KTP berlaku secara Nasional,


(49)

dengan demikian mempermudah masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dari lembaga pemerintah dan swasta karena tidak lagi memerlukan KTP setempat.

Dalam pembuatan e-KTP, pemerintah menetapkan 5 (lima) tahapan. Berikut 5 (lima) tahap dalam pembuatan e-KTP, yaitu:

1. Pembacaan biodata, Warga datang berdasarkan waktu yang telah ditentukan dengan membawa surat pengantar yang telah diberikan oleh pihak RT/RW setempat;

2. Foto, Warga diharuskan melakukan foto diri terlebih dahulu. Foto yang dilakukan sebaiknya memakai pakaian yang rapi, karena foto e -KTP ini hanya dilakukan satu kali saja dan tidak bisa diganti dalam jangka 5 tahun (lima tahun) kecuali kartu tersebut rusak atau hilang sebelum waktu masa perpanjangan;

3. Perekaman tanda tangan, Warga diwajibkan melakukan tanda tangan untuk kemudian direkam kedalam komputer dan disimpan untuk identitas warga;

4. Scan sidik jari, scan sidik jari ini dilakukan dengan kelima jari warga, jika warga mengalami kecacatan pada jari, maka dapat dilakukan dengan jari yang ada saja.

5. Scan retina mata, tahap ini dilakukan untuk menjamin keakuratan dari warga tersebut karena scan jari tidak dapat menjamin keakuratan e-KTP, bisa saja ketika dilakukan tahap scan jari, warga tersebut memakai jari orang lain. Untuk itu dilakukan scan retina mata karena retina mata tidak dapat digantikan oleh orang lain. (Sumber: Sosialisasi Penerapan e-KTP tingkat Kecamatan, 2012).

Dari pengertian di atas, bahwa dalam pembuatan e-KTP memiliki tahapan-tahapan yang berupa tahap pertama pembacaan biodata, tahap kedua foto, tahap ketiga perekaman tanda tangan, tahap keempat scan sidik jari, tahap kelima scan retina mata. Tahapan-tahapan ini merupakan alur atau syarat pada saat perekaman e-KTP, bila melihat tahapan tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain yang apabila satu tahapan tidak berhasil atau tidak terpenuhi, maka proses perekaman e-KTP tidak akan berjalan dengan baik.

Menurut Kementrian Dalam Negeri, manfaat e-KTP bagi masyarakat, bangsa dan negara, diantaranya yaitu:


(50)

1. Untuk mencegah dan menutup peluang adanya KTP ganda dan KTP palsu sehingga memberikan rasa aman dan kepastian hukum bagi masyarakat.

2. Untuk mendukung terwujudnya database kependudukan yang akurat, khususnya yang berkaitan dengan data penduduk wajib KTP yang identik dengan data penduduk potensial pemilih pemilu, sehingga sering terjadi permasalahan;

3. Dapat mendukung peningkatan keamanan negara sebagai dampak positif dari tertutupnya peluang KTP ganda dan KTP palsu, dimana selama ini para pelaku kriminal selalu menggunakan KTP ganda dan KTP palsu. (Sumber: Persiapan dan Pelaksanaan Pemutakhiran dan pencatatan sipil: Agustus 2010).

Pengertian di atas menunjukan bahwa program KTP sebelumnya memiliki kekurangan dan menimbulkan beberapa celah yang dapat dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Maka dari itu pemerintah membuat program e-KTP agar mencegah dan menutup peluang-peluang yang dapat berdampak negatif bagi pemerintah dan masyarakat.

2.2 Kerangka Pemikiran

Egoverment merupakan sebuah proses transformasi pelayanan publik dari manual ke electric, maka dibutuhkan upaya‐upaya sistematis yang menyangkut subyek, obyek dan metode yang terkait dengan proses transformasi tersebut. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang pesat saat ini serta potensi pemanfaatannya secara luas, telah membuka peluang bagi pengaksesan, pengelolaan dan pendayagunaan informasi dalam volume yang besar secara cepat dan akurat. Kebijakan penerapan e-Government merupakan mekanisme interaksi baru (modern) antara pemerintah dengan masyarakat dan kalangan lain yang berkepentingan. Kebijakan penerapan e-Government sangat tepat dengan kemajuan teknologi yang semakin mutakhir sekarang ini.


(51)

Pemanfaatan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi dalam proses pemerintahan (e-government) akan meningkatkan efisiensi, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas, sehingga dengan teknologi informasi mampu di bangun penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dan meningkatkan layanan publik yang efektif dan efisien.

Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dengan adanya jaringan komputerisasi menjadi lebih cepat dan tentunya dapat menghemat pengeluaran biaya. Pelayanan tersebut akan terjadi bila sudah tidak membutuhkan banyak tenaga manusia lagi melainkan yang dibutuhkan adalah manusia yang mempunyai ahli untuk mengoperasionalkan jaringan komputerisasi tersebut. Oleh karena itu, dalam menunjang terciptanya tertib administrasi dan peningkatan pelayanan publik, perlu didukung dengan adanya implementasi yang berorientasi pada pelayanan dan tujuan yang akan dicapai.

Kecamatan Cimahi Tengah dalam melaksanakan kebijakane-KTP, merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah kecamatan Ciamahi Tengah Kota Cimahi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan kebijakan yaitu KTP yang berbasiskan NIK (Nomor Induk Kependudukan). Pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang buruk atau baik bagi masyarakat. Hal tersebut bertujuan supaya suatu kebijakan tidak bertentangan dengan masyarakat atau sampai merugikan masyarakat.

Kebijakan seringkali disamakan dengan istilah kebijaksanaan, jika diuraikan terdapat perbedaan antara kebijakan dengan kebijaksanaan. Pengertian


(52)

kebijaksanaan lebih ditekankan kepada pertimbangan dan kearifan seseorang yang berkaitan dengan dengan aturan-aturan yang ada. Sedangkan kebijakan mencakup seluruh bagian aturan-aturan yang ada termasuk konteks politik, karena pada dasarnya proses pembuatan kebijakan sesungguhnya merupakan suatu proses politik. Menurut M. Irafan Islamy berpendapat bahwa: “Kebijaksanaan memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang lebih jauh lagi (lebih menekankan kepada kearifan seseorang), sedangkan kebijakan mencakup aturan-aturan yang ada di dalamnya sehingga policy lebih tepat diartikan sebagai kebijakan, sedangkan kebijaksanaan merupakan pengertian dari kata “wisdom”. (Islamy, 1997: 5).

Sementara itu kebijakan yang telah direncanakan dengan sangat baik, dapat mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh pelaksana tersebut. Maka konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi harus dapat diterima dan diulang kembali guna mencapai keberhasilan.

Menurut pendapat George C. Edwards III dalam bukunya Implementing Public Policy bahwa Comunication (komunikasi) terdiri dari transmision (penyampaian informasi), clarity (kejelasan), dan consistency (konsistensi). Resouces (Sumber daya) terdiri dari staff (aparatur), information (informasi), Authotity (wewenang), dan Facilities (fasilitas). Dispositions (sikap pelaksana) terdiri dari Effects Of Disposition (tingkat kepatuhan pelaksana) dan Incentives (insentif). Bureaucratic Structure (Struktur birokrasi) terdiri dari Standard Operating Procedures (SOP), dan Fragmentation (Fragmentasi). (Edwards III, 1980:11-12).


(53)

Menurut Edward III, komunikasi kebijakan memiliki beberapa macam dimensi antara lain: dimensi transformasi atau penyampaian informasi kebijakan publik, kejelasan, dan konsistensi. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka terjadinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.

Sumber daya merupakan keberhasilan proses merupakan hal yang mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi. Menurut Edward III sumber daya terdiri dari fasilitas dan informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Keberhasilan kebijakan dilihat dari disposisi (karakteristik agen pelaksana). Hal ini sangat penting karena kinerja pelaksanaan kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Kualitas dari suatu kebijakan dipengaruhi oleh kualitas atau ciri-ciri dari para aktor, kualitas tersebut adalah tingkat pendidikan, kompetensi dalam bidangnya, pengalaman kerja, dan integritas moralnya. Struktur birokrasi terdapat aturan kerja atau SOP, dimana dalam SOP memiliki aturan yang membatasi para aparatur dalam melaksanakan suatu kebijakan agar tidak menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan. Fragmentasi atau penyebaran tanggung jawab merupakan suatu kewajiban yang dimiliki oleh setiap aparatur dalam melaksanakan kebijakan tersebut, kewajiban kerja tersebut membuat para aparatur agar lebih bertanggung jawab akan kewajiban dan membuat sistem pekerjaan tersebut menjadi lebih tertib dan terarah.

Agar pemerintah dapat meningkatkan hubungan kerja antar instansi pemerintah serta dapat menyediakan pelayanan bagi masyarakat dan dunia usaha


(54)

secara efektif dan transparan, diperlukan kerangka arsitektur dan platform yang kompatibel bagi semua Departemen dan lembaga pemerintah, serta penerapan standarisasi bagi beberapa hal yang terkait dengan penggunaan teknologi telematika secara luas.

Beberapa yang akan dilaksanakan termasuk pengembangan e-Government melalui semua instansi pemerintah dan penyediaan layanan masyarakat, memperbaharui kerangka peraturan dan prosedur transaksi di lingkungan pemerintah, serta membangun komitmen dan kesepakatan untuk memperlancar pertukaran dan penggunaan informasi antar instansi pemerintah. Untuk keperluan itu, pemerintah akan meningkatkan kesadaran dan kesiapan pengguna kemajuan teknologi telematika untuk mengimplementasikan e-Government secara efektif, serta mengintensifkan pendidikan dan pelatihan teknologi telematika untuk meningkatkan keahlian Pegawai Negri Sipil di semua tingkat.

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya agar tidak lebih dan tidak kurang, untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut.

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka definisi operasional Implementasi Kebijakan e-KTP (Kartu Tanda Penduduk Elektronik) di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi, dalam penelitian ini adalah:


(1)

141

Berbeda dengan tim Desk, tim Damlak mempuyai tugas dalam pelaksanaan perekaman e-KTP, yang diantaranya sebagai berikut:

1. Melakukan pemantauan dan pemeliharaan terhadap operasionalisasi instalasi data entry di Dinas, 3 Kecamatan dan 15 Kelurahan se-Kota Cimahi.

2. Melakukan analisa dan rekapitulasi jumlah wajib KTP.

3. Melakukan konsolidasi data hasil perekaman e-KTP setiap minggu. 4. Menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada ketua tim Desk

penerapan e-KTP setiap minggu.

Adapun tugas dari tim Kerja dan pendukung lainnya adalah sebagai berikut:

1. Operator; operasionalisasi pelayanan perekaman e-KTP di lokasi pelayanan.

2. Pendamping operator; membantu tugas operator dalam pelaksanaan pelayanan e-KTP.

3. Keamanan; mengatur serta menjaga selama berlangsungnya pelayanan e-KTP di lokasi pelayanan.

4. Kebersihan; memelihara serta mebersihkan tempat pelayanan e-KTP. 5. Pendukung lainnya; penyampaian surat panggilan perekaman e-KTP

kepada warga.

Para aparatur dari tim Damlak dan tim kerja adalah kerjasama antar aparatur pelaksana dari Kecamatan dan Kelurahan Cimahi Tengah Kota Cimahi. Hambatan yang terjadi pada pelaksanaan tugas dari tim Damlak adalah


(2)

operasional data entry dimana pada sistem ini menggunakan sistem online yang terhubung secara langsung kepada database Disdukcapil Kota Cimahi, sehingga sistem yang digunakan saat ini adalah sistem offline. Sistem offline ini adalah pengumpulan data perekaman e-KTP para masyarakat kedalam harddisk eksternal dimana yang nantinya harddisk tersebut akan dibawa oleh pegawai/aparatur Disdukcapil Kota Cimahi yang kemudian dikirimkan ke pemerintah pusat untuk melakukan pencetakan e-KTP. Sistem offline akan menjadi suatu hambatan dalam pencapaian target dari perekaman e-KTP di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi, hal ini dikarenakan ketidak efisienan dari segi waktu dan juga melihat dari daya tampung harddisk yang memiliki batas kapasitas penyimpanan data perekaman e-KTP.

Hambatan yang terjadi pada tim kerja yaitu tidak adanya mekanik atau orang yang ahli di bidang peralatan, bilamana suatu alat tersebut mengalami kerusakan. Operator pada tim kerja pelaksana perekaman e-KTP hanya mempuyai tugas dan keahlian dalam menjalankan sistem komputerisasi (software), sedangkan mereka tidak dibekali keahlian dalam memperbaiki kerusakan pada peralatan perekaman e-KTP. Kerusakan pada alat perekaman e-KTP ini akan berimbas kepada kinerja pelayanan yang diberikan oleh para aparatur pelaksana, sehingga kerugian yang didapat berupa jumlah waktu yang terbuang. Waktu adalah salah satu hal yang terpenting pada pelaksanaan perekaman e-KTP, keefisienan waktu yang digunakan akan berimbas pula pada hasil pelaksanaan perekaman e-KTP tersebut.


(3)

143

Berdasarkan uraian tersebut mengenai fragmentation atau penyebaran tanggung jawab dalam kebijakan e-KTP di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi cukup baik.


(4)

144 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian, maka penulis dapat mengambil kesimpulan mengenai implementasi kebijakan e-KTP (Kartu Tanda Penduduk Elektronik)di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi, sebagai berikut:

1. Communication dalam pelaksanaan kebijakan e-KTP di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi berjalan cukup efektif tetapi belum maksimal, hal ini terlihat dari komunikasi berupa penyampaian, kejelasan dan konsisten infomasi yang jelas kepada masyarakat tentang pelaksanaan perekaman e-KTP, masih terdapat warga yang belum melaksanakan perekaman e-KTP yang dikarenakan warga lebih memilih untuk bekerja daripada melakukan perekaman e-KTP dan banyaknya warga yang pindah ke luar kota untuk menempuh pendidikan dan bekerja.

2. Resources dalam pelaksanaan kebijakan e-KTP di Kecamatan Cimahi Tengah

Kota Cimahi belum maksimal, hal tersebut dikarenakan para aparatur belum dapat memperbaiki kerusakan peralatan perekaman e-KTP, jumlah alat perekaman e-KTP masih mengalami kekurangan,sistem offline yang terjadi di sistem server database.

3. Disposition dalam kebijakan e-KTP di Kecamatan Cimahi Tengah Kota

Cimahi cukup baik, tingkat kepatuhan paraaparatur pelaksana yang tinggi sesuai dengan peraturan dan adanya pemberian upah lebih (bonus) kepada


(5)

145

aparatur pelaksana dapat mempengaruhi sikap pelaksana dalam melaksanakan kebijakan e-KTP di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi.

4. Bureucratic Structure dalam kebijakane-KTP di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi dinilai baik. Hal ini dapat dilihat dari aparatur pelaksana kebijakane-KTP dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya masing-masing sesuaistandard operational procedures(SOP) dan penyebaran tanggung jawab melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2011 yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

5.2 SARAN

Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan, maka peneliti mencoba memberikan saran bagi pelaksanaan kebijakan e-KTP (Kartu Tanda Penduduk Elektronik) di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi, sebagai berikut:

1. Aparatur Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi harus bekerja lebih maksimal dengan cara mendatangi ke rumah warga yang belum melakukan perekaman e-KTP, untuk memenuhi target jumlah penduduk yang belum melakukan perekaman e-KTP.

2. Aparatur Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahiharus diberikan pembekalan atau diklat tentang memperbaiki perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) pada alat perekaman e-KTP saat terjadi kerusakan.


(6)

3. Sistem penyimpanan data warga yang telah melakukan perekaman e-KTP di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi secara offline (tidak terhubung langsung) harus segera diperbaiki dengan cara merekrut teknisi IT agar memperbaiki atau mengganti sistem jaringan online pencetakan kartu e-KTP yang kemudian dibagikan kepada warga tidak terhambat.