Penafsiran Ibn ‘Asyur terhadap riwayat Qôlun Qirâ At Nafi'

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur‟an selain berfungsi sebagai bukti kebenaran risalah
Nabi besar Muhammad SAW, juga berfungsi sebagai petunjuk kepada
seluruh manusia (QS. al-Isrâ‟ 17/9 dan al-Baqarah 2/185). Setiap
muslim wajib memahami al-Qur‟an, karena ayat-ayatnya tidak hanya
diturunkan khusus untuk orang-orang Arab di zaman Nabi SAW.,
tetapi juga untuk orang-orang di masa kini dan sesudahnya sampai
hari kiamat.
Manusia diperintahkan untuk memikirkan isi kandungan alQur‟ân sesuai dengan akal dan pikiran mereka. Memahami al-Qur‟ân
sangat penting karena al-Qur‟ân sebagai kitab suci menempati posisi
sentral dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu
keislaman. al-Qur‟ân adalah pedoman dan pemandu gerakan-gerakan
umat Islam sepanjang sejarah. Pemahaman al-Qur‟ân melalui
penafsiran memegang peranan penting bagi maju mundurnya umat
Islam.1
Disisi lain, pemahaman al-Qur‟ân dan penafsirannya terkait
erat dengan pemahaman tentang ilmu qirâ‟at (bacaan al-Qur‟ân)
yang bermacam-macam disamping ilmu-ilmu lain seperti sejarah alQur‟ân, Ulum al-Qur‟ân dan kaidah-kaidah tafsir.
Ketika Allah SWT. menyatakan dengan firmannya QS. Ibrahim 14/4:


             
        
Artinya: “Kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan dengan

bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan
terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia
kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki.
dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
Ayat ini sangat relevan dengan situasi bangsa Arab Ketika alQur‟ân diturunkan kepada mereka. Mereka memiliki berbagai
perbedaan bahasa, dialek dan logat. Oleh sebab itu, al-Qur‟ân
1

Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, Bandung, Mizan, 1994, h 83

1

diturunkan dalam bahasa arab sesuai dengan dialek mereka, agar
mereka bisa membacanya, mengambil manfaat daria al-Qur‟ân baik
berupa petunjuk, hukum-hukum syariat, maupun muamalat.

Seandainya al-Qur‟ân diturunkan dengan satu bahasa dan satu logat,
tentu sulit bagi mereka mengambil manfaat dari al-Qur‟ân. Sebab
tidak mudah bagi seseorang untuk memahami bahasa dan logat yang
lain, selain logat yang dikenalnya sejak lahir dalam waktu singkat,
bahkan jikademikian tentu memahami al-Qur‟ân menjadi beban berat
bagi mereka.2Hal ini tentu bertentangan dengan kemudahan dan
toleransi yang Allah janjikan bagi orang-orang yang mau mempelajari
al-Qur‟ân:

       
Artinya: “Dan Sesungguhnya Telah kami mudahkan Al-Qurân untuk
pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran?”(QS. alQamr: 17)
Itulah sebabnya Allah SWT menurunkan al-Qur‟ân dalam
berbagai ragam bahasa Arab yang mereka kenal, karena masih
serumpun, meskipun dialek, dan logatnya berbeda-beda. Rasul SAW
membacakan al-Qur‟ân kepada mereka dengan bacaan yang
memudahkan bagi setiap kabilah untuk membacanya, yaitu dengan
bacaan yang sesuai dengan logat dan dialek mereka.
Para sahabat menerima bacaan tersebut dari Nabi SAW.
Meriwayatkannya tanpa melalaikan sedikitpun kalimat, huruf atau

harakat yang diterima dari Rasul. Dari para sahabat inilah berbagai
macam qiraat disampaikan secara turun-temurun dari mulut ke mulut
) sampai saat ini. Dengan cara ini pula qirâ‟at-qirâ‟at
(
tersebut dipelihara dan dapat dilestarikan keberadaanny sampai kini.
Begitu ketatnya sahabat menjaga otentisitas bacaan alQur‟ân, terlihat pada sikap Umar bin Khatab ketika mendengar
seorang sahabat bernama Hisyam bin Hakim yang ketika itu menjadi
imam shalat, membaca surah al-Furqon dengan qirâ‟at selain qirâ‟at
yang diketahuinya, ia segera bereaksi. Begitu selesai sholat, Umar
langsung menyeret Hisyam kehadapan Rasul dan mengadukan
bacaan Hisyam kepada Rasulullah SAW. Setelah mendengar langsung
bacaan masing-masing, Nabi kemudian membenarkan bacaan

2

Muhammad al-Thohir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunis, Dar
sahnun li an-Nashr wa at-Tauzi‟ Jilid 1 h. 51.

2


keduanya, seraya bersabda: “Al-Qur‟ân ini diturunkan „ala sab‟ah
ahrufin bacalah darinya yang memudahkan bagimu membacanya.”3
Dari paparan diatas biasa dikatakan bahwa selama qirâ‟at itu
memang bersumber dari Nabi dan diizinkan Nabi membacanya atau
selama para qurra‟ itu hanya mentransfer bacaannya dari Nabi,
bukan hasil ijtihad mereka, maka semua bacaan itu meskipun
bermacam-macam tetap pastinya adalah kalamullah.
Berbagai qirâ‟at tersebut memang dinisbahkan kepada orangorang tertentu seperti qirâ‟at Nâfi‟, Ibnu Katsir, „Âshim, Qôlun, dan
lain-lain. Namun penisbahan ini bukanlah karena qira‟at itu hasil
ijtihad mereka tapi adalah hasil pilihan mereka terhadap qirâ‟at yang
beragam itu disamping upaya mereka mendalami qirâ‟at yang
menjadi pilihan mereka tersebut, mereka juga selalu membacanya
dan menyebar luaskannya kepada masyarakat, sehingga akhirnya
bacaan itu dinisbahkan kepada mereka.
Maka sungguh keliru orang-orang yang menyangka bahwa
bacaan al-Qur‟ân yang beragam itu muncul karena perbedaan bahasa
dan logat semata atau karena tulisan-tulisan al-Qur‟ân itu pada
mulanya tidak bertitik dan tidak berbaris. Thoha Husein misalnya
mengatakan bahwa Qirâ‟at sab‟ah bukan bersumber dari wahyu,
sehingga orang yang mengingkarinya tidak menjadi kafir.

Menurutnya sumber qirâ‟at adalah perbedaan lahjah (logat) sehingga
boleh diingkari dan diperdebatkan.4
Perbedaan qirâ‟at di antara para ulama‟ ahli qirâ‟at ternyata
berimplikasi kepada perbedaan penafsiran al-Qur‟ân. Karena bentuk
kosa kata yang memiliki beberapa kemungkinan bacaan juga memiliki
kemungkinan beberapa makna. Seperti,
‫ ش‬yang bermakna kami
menghidupkannnya dan kata
‫ش‬
yang brmakna kami
menyusu/membalut (tulang-tulang) nya, (QS. Al-Baqarah: 2/259).
kata
yang bermakna pemilik dan
yang bermakna raja. Kata
‫ ا‬yang bermakna saling bersentuhan dan kata
yang
bermakna (hanya)
bersentuhan saja. Bentuk baku dari kata
nunsyiruhâ tanpa titik dan harokat. Jika diberi harokat dan titik bisa
dibaca menjadi nunsyiruhâ atau nunsyizuhâ arti kedua kasa kata ini

3

Shahih al-Bukhari, Kitab al-khusumat,Bab Fadhail Al-Qur‟an jilid 5, h. 27.
ThohaHusein, Al-AdabAl-Jahili, h.98-99. At-Thohawi mengomentari al-ahruf
as-sab‟ah, ia mengatakan ahruf as-sab‟ah adalah rukhsoh (keringanan), karena sulit
bagi seseorang membaca dengan lafaz yang sama, karena mereka tidak pandai
memahami tulisan. Kemudian qira‟ah sab‟ah dinasah dengan hilangnya kesulitan yang
mereka hadapi diawal Isalam dan diperolehnya kemudahan dalam tulisan.
4

3

jadi berbeda meskipun bentuk/struktur asli tulisannya sama. Begitu
juga kata maliki dan mâliki, ditulis dalam satu bentuk tulisan,
meskipun bisa dibaca dalam dua bacaan yang berbeda, yang
memiliki arti yang juga berbeda. Kosa kata lamastum dan lâmastum
bukan hanya bisa dibaca dengan bacaan berbeda, meskipun bentuk
baku kosa katanya adalah sama, tapi juga berdampak pada
perbedaan hukum dari masing-masing bacaan. Kata lâmastum antara
suami istri mewajibkan keduanya mandi junub. Sedangkan bacaan

lamastum tanpa alif hanya mewajibkan wudhu‟. Perbedaan bacaan ini
selain menimbulkan perbedaan penafsiran juga menimbulkan
perbedaan hasil dari istinbath hukum dari bacaan-bacaan tersebut.5
Begitu pentingnya pengetahuan tentang qirâ‟at terhadap
penafsiran dan pengambilan hukum dari ayat-ayat suci al-Qur‟an,
sehingga membuat para ulama qirâ‟at sejak abad kedua hijriyahdiantaranya Abu Syamah al-Dimasqi (w. 665/1266 H) sudah
membuat rumusan tentang ilmu qirâ‟at dan menjadikannya bagian
dari ilmu ulum al-Qur‟ân, dengan menulis buku yang khusus
membahas ilmu qira‟at, yang berjudul “Ibraz Al-Ma‟âni min Hirz alAmany fi Qirâ‟at al-Sab‟ah Ii al-Imam al-Syathibi”6
Sampai saat ini masih banyak diantara ulama‟ tafsir yang
sangat memperhatikan perbedaan qirâ‟at dalam tafsirnya.
Muhammad al-Thahir bin Muhammad bin Muhammad al-Thahir bin
Asyur al-Tunisi (1296-1393 H/ 1879-1973 M) adalah termasuk salah
seorang ulama‟ tafsir yang memperhatikan masalah qira‟at dan
pengaruhnya terhadap penafsiran al-Qur‟an. Karyanya dalam bidang
tafsir yang berjudul al-Tah}rir wa al-Tanwir atau biasa dikenal
dengan tafsir Ibnu „Asyur, banyak membahas perbedaan qira‟at
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an. Dalam muqaddimah kitab
tafsirnya beliau membahas tentang qira‟at dan pengaruhnya terhadap
penafsiran al-Qur‟an. Menurut Ibn „Asyur hubungan antara qira‟at dan

tafsir dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, pertama, qira‟at
yang tidak ada korelasinya dengan tafsir. Kedua, qira‟at yang ada
korelasinya dengan tafsir.7
Jenis pertama, yaitu perbedaan qira‟at yang tidak
mempengaruhi penafsiran, diantaranya hanya disebabkan perbedaan
pengucapan huruf, harokat, mad (panjang dan pendeknya bacaan),
Lihat selengkapnya Ibn „Âsyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr Jilid 1 h. 55.
Abu syamah al-Dimasyqiy,Ibraz Al-Ma‟ani min Hirz al-Amany fi Qira‟at alSab‟ah Ii al-Imam al-Syathibi, Mesir, Maktabah Mustafa al-Albaniy al-Halabiy wa
Auladuhu ,tth, h.12
7
Ibnu Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir Jilid 1 h. 50
5
6

4

al-Imalah, al-Takhfif, al-Tashil, al-Tah}qiq, al-Jahr, al-Hams dan alGhunnah. Beliau mencontohkan ayat (al-Baqarah 2/254):

      
Tiga kosa kata pada ayat di atas dapat dibaca dhommah seluruhnya

atau fath}ah seluruhnya, atau dapat juga dibaca salah satunya rofa‟
dan yang lainnya fathah tanpa menimbulkan perbedaan makna yang
dapat mempengaruhi penafsiran al-Qur‟an.8 Sedangkan bacaan yang
berpengaruh terhadap penafsiran seperti dicontohkan beliau adalah
firman Allah pada QS Yusuf /12:11o berikut ini:

          
         
Artinya:” Sehingga apabila Para Rasul tidak mempunyai harapan lagi

(tentang keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah
didustakan, datanglah kepada Para Rasul itu pertolongan Kami, lalu
diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. dan tidak dapat
ditolak siksa Kami dari orang-orangyang berdosa .”
Pada potongan ayat qod kudzibuu dapat dibaca dengan tasydid z|al

“qod kuzǀibû” yang bermakna mereka (para Rasul) telah didustakan
atau tanpa tasydid zǀal “qod kuzǀibû” yang bermakna mereka (orangorang) yang berdosa telah mendustakan Rasul. perbedaan bacaan ini
terbukti mempengaruhi penafsiran.9
Dalam penafsirannya Ibn „Asyur sangat memperhatikan qirâ‟at

riwayat Qôlun dari Nâfi‟ karena qirâ‟at inilah yang berkembang di
Tunis akibat banyaknya orang yang mengikuti bacaannya disana.
Berbeda dengan situasi di Indonesia khususnya, dan beberapa
negara Asia pada umumnya, seperti India, Pakistan, Afganistan,
Turki, Siria dan Mesir, yang terbiasa mengikuti qira‟at Ashim riwayat
Hafash dalam membaca al-Qur‟an. 10 Sehingga penafsiran Ibn „Âsyur
yang terkait dengan qirâ‟at, lebih cenderung membahas tentang
riwayat Qôlun qirâ‟at Nâfi‟ tersebut, dibanding dengan riwayat yang
8

Ibnu Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir Jilid 1 h. 50.
Ibnu Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir Jilid 1 h. 55.
10
Ibnu Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir Jilid 1 h. 63..
9

5