PENGARUH PERBEDAAN QIRÂ`ÂT DALAM PENAFSIRAN AYAT-AYAT TENTANG RELASI GENDER

AYAT-AYA T TENTANG RELASI GEN DER

Tesis

Diajukan kepada Program Pascasarjana untuk M emenuhi Syarat-syarat Mencapai

Gelar Magister

Oleh:

ALI FAHRUDIN NIM: 03.200.1.05.01.0081

Di Bawah Bimbingan:

Prof. DR. Nasaruddin Umar, MA

NIP. 1 5 0. 2 2 1. 9 8 0

Program Pascasarjana Konsentrasi Tafsir Hadis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta

Tesis yang berjudul PENGARUH PERBEDAAN QIRÂ`ÂT DALAM PENAFSIRAN AYAT-AYAT TENTANG RELASI GENDER telah diujikan

dalam sidang munaqasyah Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 19 Mei 2006. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 2 (S2) pada Konsentrasi

Tafsir Hadis.

Jakarta, 19 Mei 2006

Sidang Munaqasyah

Tim Penguji

DR. Yusuf Rahman, MA Prof. DR. Musdah Mulia, MA.APU Tgl.

Tgl.

Pembimbing

Prof. DR. Nasaruddin Umar, MA Tgl.

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan anugerah-Nya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik. Selawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan ke hadirat Rasulullah Saw., hamba terpilih yang telah membawa manusia ke pintu hidayah dengan memeluk agama yang lurus sehingga dapat mengantarkan mereka untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.

Karya ini hanyalah setitik ilmu yang dianugerahkan Allah kepada hambanya yang dha’if ini untuk menyelesaikan studi S2 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga karya tulis ini bukan sumbangan terakhir penulis dalam khazanah ilmiah Islam di Indonesia ini. Kupersembahkan karya ini untuk kedua orang tua, H. Marsetyo dan umi Jaziroh Afif, yang senantiasa mendidik dan memberikan doa agar anaknya senantiasa memperoleh keberhasilan dan kesuksesan di dunia dan di akherat kelak. Semoga Allah Swt. mengampuni dosanya dan melapangkan rizkinya.

Terima kasih tak terhingga juga kepada istriku, adinda Asmaul Hanik SS., yang senantiasa memberikan motifasi, membantu tenaga dan pikiran untuk tercapainya cita- cita penulis. Disela-sela waktu senggangnya dalam mendidik buah hati kami, Qanita Aqila Hurul Jannah dan Zhorifa Nadiya Ulyani, dia sempatkan untuk mengetik karya tulis ini. Terima kasih saya sampaikan juga kepada kedua orang tua istri, H. Asy’ari dan Hj. Munawarah, yang telah memberi bantuan doa maupun finansial kepada kami. Semoga Allah Swt. mengampuni dosanya dan memberkahi rizkinya.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Pusat Studi Al-Quran yang telah memfasilitasi saya untuk menyelesaikan tesis ini sehingga saya dapat secara intens bertemu dengan guru besar ilmu tafsir di Indonesia, Bapak Prof. DR. Quraish Shihab, Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Pusat Studi Al-Quran yang telah memfasilitasi saya untuk menyelesaikan tesis ini sehingga saya dapat secara intens bertemu dengan guru besar ilmu tafsir di Indonesia, Bapak Prof. DR. Quraish Shihab,

Tak lupa juga saya sampaikan terima kasih kepada pimpinan civitas akademika Universitas Islam Negeri Jakarta, Prof. DR. Azyumardi Azra, MA, selaku Rektor UIN dan Prof. DR. Komaruddin Hidayat, MA, selaku Direktur Pascasarjana UIN dan semua dosen yang telah memberikan ilmunya dengan penuh keikhlasan kepada saya. Secara khusus saya ucapkan terima kasih juga kepada tim penguji tesis ini, Bapak DR. Yusuf Rahman, MA dan Ibu Prof. DR. Musdah Mulia, MA.APU. terima kasih atas kritik dan sarannya.

Terima kasih juga kepada teman seperjuangan di PSQ: Shahrullah, Mas’ud, dan Wahyu Widayana serta staf PSQ, terutama kak Edi, Mukhtar dan mbak Tika. Teman- teman seperjuangan di kampus: Irwansyah, Fakhrur Rozi dan lainnya yang telah ikut membedah proposal tesis ini dalam seminar kelas.

Kepada Allah saya mohon agar kiranya mereka yang telah membantu saya dalam penulisan tesis ini diberikan balasan yang terbaik, di dunia maupun di akherat. Amin ya Robb al-‘Âlamîn.

PEDOMAN TRANSLITERASI

ARAB

LATIN

ARAB LATIN

` (apostrof)

ض dl

b ب th ط

ت zh ظ

ث ع ' (petik satu)

ts

ج gh غ

h (waqaf)

ة al-(ta'rîf) لا

Untuk Tanda Panjang

ُﻚِﻟﺎَﻤﻟْا : al- Mâliku ْي =

= â ( a panjang),

contoh:

contoh: ُﻢْﯿِﺣﱠﺮﻟا : al- Rahîmu ْو =

î ( i panjang),

contoh: ُرْﻮُﻔَﻐْﻟا : al-Ghafûru

û ( u panjang),

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur`ân memiliki nilai kehujjahan dalam segala aspeknya. Nilai kehujjahan al-Qur`ân itu terkandung pada setiap ayat-ayatnya, atau bahkan di setiap huruf-

hurufnya. Setiap ayat terkadang mengandung penafsiran yang sangat beragam dan juga dipengaruhi oleh latar keilmuan seseorang yang menafsirkannya. Tidak

berlebihan jika sebagian ulama tafsir sering menyebut Hadis Nabi:

Seorang hamba tidak dikatakan paham benar tentang Al-Qur`ân sehingga ia dapat mengetahui banyak ragam penafsiran di dalamnya. 1

Hadis ini, menurut al-Zubaidî, mauqûf sampai sahabat Abû Dardâ`. 2 Meskipun begitu, pernyataan ini menguatkan pendapat bahwa al-Qur`ân itu memang

multiple meaning atau yahtamil wujûh al-ma'nâ, mengandung banyak kemungkinan makna, sehingga membatasi makna atau menafsirkan ayat dengan satu pengertian atau satu model paradigma saja merupakan bentuk reduksi dari keluasan kandungan

makna al-Qur`ân itu sendiri. 3 Apalagi jika dalam ayat yang ditafsirkan itu mengandung versi bacaan yang

berbeda yang berimplikasi pada perbedaaan makna, maka tentu dengan penafsiraan semacam ini seharusnya semakin kaya. Dan ini merupakan salah satu kemukjizatan

1 Muhammad al-Husaini al-Zubaidî, Ittihaf al-Sâdah al-Muttaqîn bi Syarh Ihyâ 'Ulûm al-Dîn, (Bairut: Dâr al-Fikr, tth), jilid 4, h. 527 2 Al-Zubaidî, Ittihaf…., h. 527 3 Abd al-Mustaqim, Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarki, (Yogyakarta: Sabda Persada, 2003), h. viii.

al-Qur`ân dimana ia senantiasa dapat dipahami oleh para penafsir al-Qur`ân di masanya (shâlih li kulli zamân wa makân).

Rasulullah Saw. dalam kapasitasnya sebagai utusan Allah yang berada di tengah-tengah kaumnya, tentu melihat banyak persoalan yang terjadi disana. Bahkan beliau mampu memprediksi bagaimana umat-umatnya di akhir zaman kelak, apakah mereka masih melaksanakan ajaran-ajarannya dengan baik atau tidak. Jika mereka

mampu menjalankan ajarannya dengan baik, maka tidak perlu hukum alternatif, tetapi jika mereka sekiranya diterapkan hukum itu merasa berat, maka pasti Rasulullah Saw.

akan mengambil langkah alternatif untuk meringankan beban yang dipikul umatnya karena prinsip dalam beragama adalah mengambil yang mudah, sebagaimana firman Allah berikut ini:

Dan Allah tidak menjadikan kepadamu kesempitan dalam beragama . (Q.s. al- Hajj/ 22: 78)

Salah satu cara dalam menafsirkan al-Qur`ân adalah dengan mengkaji dari segi bahasa al-Qur`ân itu sendiri yang dalam hal ini erat kaitannya dengan ilmu qirâ`ât (ilmu tentang cara membaca al-Qur`ân). Para ulama mazhab empat termasuk para mufassir acapkali mengambil istinbâth hukum melalui metode ini. Ilmu qirâ`ât bersumber dari Rasulullah Saw. yang pada mulanya merupakan permohonan Rasulullah Saw. kepada Allah agar ditambahkan dari satu huruf menjadi tujuh huruf. Rahasia yang terkandung dalam permohonan Rasulullah Saw. ini adalah fleksibilitas bacaan dan hukum (jika dalam qirâ`ât itu memang terjadi perbedaan penafsiran) yang dapat diambil dari teks al-Qur`ân.

Sebagian ulama beranggapan bahwa perbedaan qirâ`ât itu tidak berpengaruh sama sekali pada makna maupun hukumnya. 4 Sementara itu, sebagian lain justru

menjadikan perbedaan qirâ`ât ini menjadi sumber utama penafsiran al-Qur`ân dengan al-Qur`ân. Pendapat ini didukung oleh Imam Mujâhid yang pernah menyatakan:

Kalau saya telah membaca qirâ`ah Ibn Mas'ûd sebelum bertanya kepada Ibn 'Abbas, maka saya tidak perlu banyak bertanya tentang berbagai persoalan kepadanya. 5

Karena itulah, para ulama yang mendukung pendapat ini menyatakan suatu kaidah yang terkenal:

6 Perbedaan qirâ`ât menyebabkan tampaknya perbedaan dalam hukum Argumen lain yang mendasari perbedaan qirâ`ât ini memiliki konsekuensi

pada perbedaan makna atau hukum itu berkaitan dengan permohonan Rasulullah agar bacaan al-Qur`ân ditambahkan dari satu menjadi tujuh huruf:

Pertama, Al-Qur`ân itu berbahasa Arab yang turun di kalangan mereka, maka mustahil di antara mereka ada yang tidak mampu membacanya dengan satu huruf

4 Pendapat ini menurut Muhammad Abû Syuhbah didasari oleh Hadis Nabi yang menetapkan kebenaran masing-masing bacaan dua orang yang bersengketa karena perbedaan qirâ`ât mereka, seperti dalam kasus 'Umar dan Hisyâm. Kasus ini titik tekannya bukan pada masalah penafsiran ayat yang sedang dibaca, melainkan bacaannya saja. Sementara jika ditinjau dari segi penafsirannya jika yang dibaca itu memiliki makna yang berbeda, tentu akan terjadi perbedaan penafsiran seperti yang terjadi pada para imam mazhab yang mengkonsentrasikan diri dalam istinbath hukum. Lihat Muhammad Abû Syuhbah, al-Madkhal li Dirâsah al-Qur`ân al-Karîm, (Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1992), h. 157.

5 Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafs ī r wa al-Mufassirûn , (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), cet. VII, h. 33. 6 Mannâ' al-Qaththân, Mabâhits fi 'Ulûm al-Qur`ân, (Riyadh: Mansyurat al-Ashr al-Hadis, tth), cet. III, h. 181.

(satu ragam bacaan), 7 sedangkan orang dari luar Arab pun mampu membacanya dengan baik kalau mereka mau belajar. 8 Karena itu, kalau faidah tujuh huruf tersebut

hanya untuk memudahkan bacaan saja, tidaklah mungkin. Kedua, Rasulullah Saw. bersabda sebagaimana berikut:

Al-Qur`ân diturunkan dengan tujuh huruf, pada setiap hurufnya ada makna

9 lahir maupun batinnya . Hadis ini menyatakan bahwa setiap “huruf” memiliki makna lahir dan makna

batin. Jika dalam satu ayat memiliki bacaan yang variatif, tentu akan berimplikasi pada penafsiran yang variatif pula, baik lahir maupun batinnya.

Ketiga, Setiap kali minta tambahan huruf, Rasulullah Saw. senantiasa menyertainya dengan ucapan 10

ﻚ ِﻟ ﹶﺫ ﻖ ِﻄﻴ ﺗ ﹶﻻ ﻰ ﻣِﺘ ﹸﺃ ِﺍﱠﻥ ﻭ ﺗﻪ ِﻔﺮ ﻣﻐ ﻭ ﻪ ﹶﻓﺎﺘ ﻌ ﻣ َﷲﺍ ﹶﺎﹸﻝ ﺳ ﹶﺃ atau

dengan riwayat lain 11 ﻲ ﻣِﺘ ِﻟﹸﺄ ِﻔﺮ ﹾﻏﺍ ﻢ ﻬ ﹼﻠﻟﺍ

diulanginya dua kali. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. melihat umatnya tidak mampu kalau hanya dikenakan satu macam

7 Penulis menyamakan arti istilah huruf dengan qirâ ’ ât karena definisi keduanya menurut sebagian ulama ada kemiripan. Hanya saja qirâ ’ ât disini tidak hanya qirâ ’ ât yang tujuh saja, melainkan termasuk qirâ ’ ât 'asyr dan syâdzah karena bisa jadi semua riwayat ini termasuk dalam kategori tujuh huruf. Dan juga karena semua qirâ ’ ât tersebut dapat dijadikan penafsiran al-Qur`ân, meskipun kedudukannya ada yang hanya setingkat Hadis ahâd. Dikutip dari pernyataan Ibn Qudamah oleh Hasanuddin Af, Perbedaan Qirâ`ât dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam al- Qur`ân, (Jakarta: Raja Grafindo, 1995), h. 224.

8 Pernyataan ini diperkuat dengan ungkapan Ibn Jarir yang mengatakan bahwa mushhaf yang sekarang ada ini hanya mencakup satu huruf saja, yakni huruf bahasa Quraisy. Begitu pula qirâ ’ ât yang ada sekarang ini hanya qirâ ’ ât dengan logat Quraisy saja. Ini mengindikasikan bahwa meskipun dibaca dengan satu huruf umat Islam di seluruh dunia mampu membacanya dengan baik tanpa harus “diringankan” dengan enam huruf yang lain. Lihat: Abû Syuhbah, al-Madkhal…., h. 193.

9 Hadis ini shahih diriwayatkan oleh Ibn Hibban dari Ibn Mas'ûd dalam Shahih Ibn Hibbân. Lihat: 'Alâ` al-Din ibn Balibân al-Fârisî, Al-Ihsân bi Tartîb Shahih Ibn Hibbân, (Bairut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1996), jilid 1, h. 146

10 Hadis ini diriwayatkan oleh Abû Daud dari Ubay ibn Ka'ab. Abû Daud, Sunan Abî Daud bâb al-Shalâh , No. 1263 (CD al-Kutub al-Tis'ah) 11 Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dari Ubay ibn Ka’ab. Muslim, Shahih Muslim bâb Shalâh al-Musâfirîn , No. 1356. al-Nasâ`î, Sunan al-Nasâ`î bâb al-Iftitâh, No. 930 (CD al-Kutub al- Tis'ah) 10 Hadis ini diriwayatkan oleh Abû Daud dari Ubay ibn Ka'ab. Abû Daud, Sunan Abî Daud bâb al-Shalâh , No. 1263 (CD al-Kutub al-Tis'ah) 11 Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dari Ubay ibn Ka’ab. Muslim, Shahih Muslim bâb Shalâh al-Musâfirîn , No. 1356. al-Nasâ`î, Sunan al-Nasâ`î bâb al-Iftitâh, No. 930 (CD al-Kutub al- Tis'ah)

Keempat, Dalam Hadis lain dikatakan bahwa alasan beliau adalah: “Aku diutus untuk umat yang buta huruf, di antara mereka ada yang tua, anak-anak,

wanita, dan orang-orang yang tidak mampu membaca sama sekali 12 .” Maksudnya, dalam umatku terdapat orang yang tidak mampu membaca dan lemah fisiknya.

Seandainya yang dimaksud dengan penambahan huruf itu hanya untuk mempermudah kesulitan membacanya saja, maka tentunya Rasulullah tidak perlu menyebutkan alasan yang panjang ini. Bukankah penambahan ini untuk meringankan umat, padahal ada aspek lain yang lebih penting diperlukan untuk melakukan substansi diturunkannya al-Qur`ân. Sementara alasan ketidakmampuan umat tidak mampu membaca dengan satu huruf dapat dibantah bahwa jika mereka mau mempelajarinya dengan sungguh-sungguh, tentulah mereka mampu, tetapi kalau

belum mampu juga, mereka akan mendapatkan dua pahala. 13 Bukti lainnya bahwa saat ini yang berkembang di seluruh dunia hanya satu qirâ`ât, yakni riwayat Hafsh

12 Hadis ini diriwayatkan dari al-Tirmidzi dalam kitabnya Beliau mengatakan bahwa hadis ini shahih . al-Tirmîdzî, Sunan al-Tirmîdzî bâb al-Qirâ`ât, No. 2868 13 Ungkapan ini berdasarkan Hadis Nabi yang bertujuan untuk merespon umatnya yang kurang dapat membaca dengan baik tetapi ada keinginan yang besar untuk membacanya, yaitu:

Dari 'Aisyah ra. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: Orang yang pandai membaca al-Qur`ân, dia bersama para malaikat yang mulia, sedangkan orang yang membacanya masih terbata-bata, dia mendapatkan dua pahala. (Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhârî, Shahih al-Bukhârî Kitab Tafsîr al- Qur`ân , No. 4556, Muslim, Shahih Muslim Kitab Shalâh al-Musâfirîn wa Qashruhâ, No. 2829, dan al- Tirmîdzî, Sunan Al-Tirmîdzî Kitab Fadlâ`il al-Qur`ân, No. 2829 {CD al- Kutub al-Tis'ah}) Dari 'Aisyah ra. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: Orang yang pandai membaca al-Qur`ân, dia bersama para malaikat yang mulia, sedangkan orang yang membacanya masih terbata-bata, dia mendapatkan dua pahala. (Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhârî, Shahih al-Bukhârî Kitab Tafsîr al- Qur`ân , No. 4556, Muslim, Shahih Muslim Kitab Shalâh al-Musâfirîn wa Qashruhâ, No. 2829, dan al- Tirmîdzî, Sunan Al-Tirmîdzî Kitab Fadlâ`il al-Qur`ân, No. 2829 {CD al- Kutub al-Tis'ah})

Kelima, Kata-kata Jibril setelah ungkapan, al-Qur`ân diturunkan dengan tujuh

huruf, selanjutnya beliau berkata: ﻤٍﺔ ﺣ ﺭ ﹸﺔ ﹶﺃ ﻳ ﻭ ٍﺔﹶﺃ ﻤ ﺣ ﺮ ِﺑ ٍﺏﺍ ﹶﺬ ﹸﺔﻋ ﹶﺃ ﻳ ﹾﻂ ﹸﻠ ﺨ ﺗ ﻢ ﹶﻟﺎ ﻣ ٍﻑﺎ ﺷ ﺎﻬ ﹸﻛﱡﻠ ٍﺏﺍ ﹶﺬ ِﺑﻌ (semua itu dapat diterima selama tidak tercampur antara ayat azab dengan rahmat atau ayat rahmat dengan azab 14 ) dan kata-kata Ubay ibn Ka’ab:

ﻤﺎ ِﻠﻴ ﻋ ﺎ ﻌ ِﻤﻴ ﺳ - atau - ﺎ ﻴﻤ ِﻜ ﺣ ﺍ ﺰ ِﺰﻳ ﻋ

selama tidak campur antara ayat azab dengan rahmat dan ayat

rahmat dengan azab 15 . Begitu juga Hadis senada yang diriwayatkan oleh Abû Hurairah, dan 'Umar ibn Khaththâb. Ungkapan-ungkapan ini mengandung arti yang

mendalam yaitu semua huruf yang berbeda itu dapat diterima tetapi jangan sampai memutarbalikkan ayat rahmat menjadi ayat azab dan ayat azab menjadi ayat rahmat. 16

Seandainya yang dimaksud hanya perbedaan cara membacanya saja dengan maksud sama, maka tidak perlu diberi rambu-rambu di atas. Sementara kalau yang dimaksud itu perbedaan makna atau hukum, maka kekhawatiran ini sangat penting dan wajar diungkapkan karena konsekuensi hukum itu kadangkala menyalahi aturan, yang halal menjadi haram dan yang haram menjadi halal.

Keenam, Sebagaimana diketahui bahwa dalam bahasa Arab itu kadang- kadang perbedaan harakat saja menjadikan makna yang berbeda, apalagi jika itu berbeda sama sekali dalam segi penulisannya. Meskipun dikatakan lafal itu

14 Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad, Musnad Ahmad Kitâb Musnad al-Bashriyyîn, No. 19529 (CD al-Kutub al-Tis'ah) 15 Hadis ini diriwayatkan oleh Abû Daud, Sunan Abî Daud Kitâb al-Shalâh, No. 1262 (CD al- Kutub al-Tis'ah) 16 Ayat rahmat dapat berupa janji-janji Allah, baik di dunia maupun akhirat kelak atau kehalalan suatu perbuatan, sedangkan ayat azab dapat berupa ancaman-ancaman Allah di dunia maupun di akhirat kelak ataupun keharaman suatu perbuatan. Misalnya pernikahan itu halal dan itu merupakan rahmat, jangan sampai rahmat tersebut diharamkan sehingga menjadi azab karena mengharamkan untuk dirinya sendiri.

persamaan katanya, tetapi kemungkinan ada penafsiran lain dari kata tersebut masih terbuka lebar. Karena itu, dalam perbedaan qirâ`ât memiliki implikasi hukum yang berbeda, walaupun sedikit ada yang berhampiran.

Kemudian ketika terjadi standarisasi rasm mushhaf yang dilakukan oleh Khalifah 'Utsmân ibn 'Affân, dilakukan penyelekesian terhadap beberapa versi qirâ`ât dalam al-Qur`ân. Hal ini mengundang kontroversi di kalangan ulama tentang apakah

rasm 'Utsmâni yang sekarang ada ini masih tetap mengandung tujuh huruf atau makin berkurang. Sebagian besar di antara mereka masih menganggap masih tetap ada,

sementara yang lain, seperti imam al-Thabari menganggap sudah berkurang. Para ulama yang menganggap sudah banyak berkurang menyatakan bahwa riwayat- riwayat yang dibacakan oleh shahabat ahli Qurrâ`, seperti Ibn Mas'ûd dan Ubay ibn Ka'ab yang menyalahi rasm 'Usmâni juga merupakan bagian dari tujuh huruf. Begitu juga, tidak menutup kemungkinan qirâ`ât yang dianggap syâdz oleh sebagian jumhur ulama, asalnya merupakan bagian dari tujuh huruf. Karena itu, meskipun qirâ`ât tersebut tidak diakui kerena tidak sesuai dengan rasm 'Utsmâni, tetapi secara penafsiran masih sah untuk dijadikan hujjah, jika sanadnya shahih. Alasannya karena semua bacaan itu pernah berkembang di masa Nabi, sedangkan Beliau sendiri tidak

menyalahkan bacaan tersebut. 17 Setelah terjadinya pembakuan rasm mushhaf dengan ditetapkannya rasm

'Utsmâni sebagai satu-satunya penulisan al-Qur`ân yang diakui oleh umat Islam,

17 Ulama Hanafiah dan Hanâbilah menyatakan bahwa qirâ`ât syâdzdzah ini boleh dijadikan hujjah alasannya karena meskipun ia tidak mutawâtir sehingga tidak dinyatakan sebagai al-Qur`ân, tetapi ia tetap dianggap sebagai Hadis Ahâd dari Nabi Saw. dari segi kualitas istinbath hukumnya. Lihat dalam: Mahmud Syaltut, al-Islam; 'Aqidah wa Syari'ah, (Mesir: Dâr al-Qalam, 1966), h. 485, juga: Musthafa Sa'id al-Khan, Atsar Ikhtilâf fi al-Qawâ'id al-Ushûliyyah fi Ikhtilâf al-Fuqahâ, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1972), h. 391.

selanjutnya terjadi pembakuan qirâ`ât yang dipilih sesuai dengan penulisan rasm 'Utsmâni tersebut. Maka Ibn Mujâhid menyeleksi dari sekian qir â`â t yang pernah

beredar hanya tujuh 18 qir â ` â t saja yang dianggap mutawâtir, sedangkan Ibn al-Jazarî menyatakan ada sepuluh qi râ`â t

yang dianggapnya mutawâtir. 19 Selanjutnya dengan berjalannya waktu dan kurangnya sosialisasi ilmu qirâ`ât di kalangan umat Islam,

maka saat ini hanya satu qirâ`ât saja yang dikenal oleh masyarakat awam, yakni qirâ`ât yang melalui riwayat Hafsh dari Âshim, sementara qir â`â t lain sangat sedikit

dari kaum muslimin yang menggunakannya dalam bacaan mereka sehari-harinya, bahkan orang-orang Arab sendiri.

Proses standarisasi al-Qur`ân sehingga menjadi satu macam bacaan ini tentunya berimplikasi terjadinya penafsiran yang hanya tertuju pada bacaan yang berkembang saat ini. Dan ini tentunya menjadikan hukum yang dikeluarkan darinya semakin sempit, sehingga ada kalangan tertentu yang berpendapat bahwa proses standarisasi itu menjadikan penafsiran terhadap teks ini memiliki bias gender,

terutama yang menyudutkan kaum wanita. 20 Kaum wanita yang sepatutnya mendapatkan perlakuan yang setara dengan

kaum pria, seolah termarjinalisasi dengan kelemahannya dan doktrin agama yang keliru sehingga muncul anggapan bahwa ajaran Islam telah menyudutkan mereka, padahal Islamlah yang sangat menghargai kaum wanita. Al-Qur`ân adalah sumber nilai yang pertama kali menggagas konsep keadilan gender. Di antara kebudayaan

18 Ibn Mujâhid, Kitab al-Sab'ah fi al-Qirâ`ât, tahqiq Dr. Syauqi Dhif, (Mesir: Dâr al-Ma'arif, 1972), h. 53-87. 19 Ibn al-Jazari, Taqr ī b al-Nasyr fi al-Qirâ`ât al-'Asyr, tahqiq Ibrahim 'Athwah 'Iwadh, (Mesir: Dâr al-Hadis, 1992), h. 32. 20 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur`ân, (Jakarta: Paramadina, 1990), h. 268-272.

dan peradaban dunia yang hidup pada masa turunnya al-Qur`ân, seperti Yunani (Greek) , Romawi, Yahudi, Persia, China, India , Kristen, dan Arab pra-Islam, tidak ada satu pun yang menempatkan perempuan lebih terhormat dan lebih bermartabat

daripada nilai-nilai yang telah diperkenalkan oleh al-Qur`ân. 21 Sementara itu, ada pihak lain yang beranggapan bahwa sub-ordinasi

penafsiran kaum perempuan ini disebabkan karena para mufassir kitab suci ini didominasi oleh ideologi patriarkhi, karena kebanyakan para mufassir adalah kaum

laki-laki sehingga mereka kurang mengakomodir kepentingan perempuan. Karena itu, diperlukan semacam rekonstruksi, bahkan dekonstruksi paradigmatik terhadap model tafsir patriarkhis yang cenderung meminggirkan kaum perempuan.

Dari sinilah, perlunya mengkaji ulang penafsiran al-Qur`ân dari sudut qirâ`ât tentang ayat-ayat yang berkenaan dengan gender. Diharapkan nantinya ada alternatif hukum yang mungkin dapat dikeluarkan dari al-Qur`ân sehingga penafsiran di satu ayat yang terkesan “rigid” setelah dikaji, misalnya, dalam versi qirâ`ât lain ternyata penafsirannya agak lebih “fleksibel”. Demikian pula, tidak mustahil dapat memberikan penyegaran paradigma baru terhadap konsepsi-konsepsi yang terbangun begitu kokoh yang ada dalam tradisi Islam pada umumnya.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Berdasarkan pada pokok pemikiran yang telah diungkap dalam latar belakang di atas, maka ditentukan rumusan masalah dari rencana penelitian ini sebagai rujukan pembahasan selanjutnya, yaitu:

21 Umar, Bias Gender dalam al-Qur`an, Makalah seminar nasional “Bias Gender dalam Penafsiran al-Qur`an”, (Jakarta: Pusat Studi Wanita, 2002), h. 11

Ayat-ayat yang mengandung perbedaan qirâ`ât mengindikasikan adanya perbedaan pemahaman penafsiran. Bagaimana pengaruh perbedaan qirâ`ât terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang relasi gender?

Selanjutnya untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan yang akan diteliti pada masalah di atas, kiranya perlu dikemukakan batasan masalah sebagai berikut:

1. Qirâ`ât yang digunakan mengacu pada qirâ`ât mutawâtirah yang berjumlah sepuluh qirâ`ât dan qirâ`ât syâdz yang dianggap shahih sanadnya.

2. Masalah yang berkaitan dengan gender dibatasi pada: (a) hukum seputar rumah tangga, (b) perceraian, (c) kekerasan terhadap perempuan dan anak serta (d) pembagian warisan.

3. Pembahasan difokuskan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan tema di atas, antara lain ayat-ayat berikut ini: Q.s. al-Baqarah/ 2: 226, 229, 233, dan 236 ; Q.s. al-Nisâ`/ 4: 19, 12, 24, 34, 43; Q.s. al-Nûr/ 24: 31; Q.s. al-Ahzâb/ 33: 33; dan Q.s. al-Mujâdilah/ 58: 2

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan bahwa ilmu qirâ`ât bukan hanya sebatas ilmu untuk membaca al-Qur`ân saja, melainkan ilmu ini juga dapat digunakan untuk menafsirkan al-Qur`ân. Bahasa Arab, sebagaimana dimaklumi, mempunyai keragaman makna, terlebih lagi kalau sudah berbeda penulisan, baik harakat maupun lafadznya. Sementara itu, ulama mutaqaddimîn belum mengambil sepenuhnya istinbath hukum dari segi keragaman qirâ`ât, karena mereka beranggapan bahwa Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan bahwa ilmu qirâ`ât bukan hanya sebatas ilmu untuk membaca al-Qur`ân saja, melainkan ilmu ini juga dapat digunakan untuk menafsirkan al-Qur`ân. Bahasa Arab, sebagaimana dimaklumi, mempunyai keragaman makna, terlebih lagi kalau sudah berbeda penulisan, baik harakat maupun lafadznya. Sementara itu, ulama mutaqaddimîn belum mengambil sepenuhnya istinbath hukum dari segi keragaman qirâ`ât, karena mereka beranggapan bahwa

Disamping itu, penelitian ini juga ingin membuktikan tesis Hasanuddin AF yang menyatakan bahwa perbedaan qirâ`ât sebagian berimplikasi pada perbedaan istinbath hukum sedangkan yang lainnya tidak demikian dan tesis Nasaruddin Umar yang menyatakan bahwa dari perbedaan qir â ` â t ini memunculkan bias gender.

Kegunaan penelitian ini di samping membuktikan pentingnya pengaruh qirâ`ât dalam penafsiran, juga berusaha meng-istinbâth-kan (mengeluarkan) hukum

yang berkenaan dengan wanita dari ayat-ayat yang memiliki perbedaan qirâ`ât terutama dalam masalah-masalah tertentu yang telah kami sebutkan di atas.

D. Kajian Pustaka

Sejauh pengamatan penulis, karya ilmiah mengenai qir â ` â t ini belum ada yang mengkaji khusus berkenaan dengan masalah gender. Karya-karya qirâ`ât yang pernah dikaji oleh penulis tesis atau disertasi terdahulu adalah sebagai berikut:

1. Hasanuddin AF., Perbedaan Qirâ`ât dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam al-Qur`ân, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1994)

2. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur`ân, (Jakarta: Paramadina, 1999)

3. Muhammad al-Habsy, al- Qirâ`ât al-Mutawâtirah wa Atsaruhâ fi al-Rasm Al- Qur`âni wa al-Ahkâm al-Syar'iyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1999).

4. Syar’i Sumin, Seni Bacaan al-Qur`ân dan Qirâ`ât Tujuh serta Pelaksanaannya dalam Kurikulum STAI-PIQ Sumatra Barat, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1998).

5. Syar'i Sumin, Qira'ât al-Sab'ah Menurut Perspektif para Ulama, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2005)

Karya pertama, membahas tentang kajian tentang pengaruh qirâ`ât terhadap istinbath hukum yang dianalisas secara umum. Tulisan ini menyimpulkan bahwa

ayat-ayat al-Qur`ân yang memiliki ragam qir â ` â t itu ada yang memiliki perbedaan pengaruh dalam istinbâth hukum dan ada pula tidak sama sekali. Dalam tulisan ini juga memaparkan bahwa qir â ` â t syâdz kadang-kadang itu dapat berpengaruh pula dalam istinbâth hukum.

Penelitian yang penulis lakukan berusaha mengambil pijakan dari disertasi ini. Kajian-kajian yang dilakukan oleh Hasanuddin ini belum final sehingga perlu diteliti lebih lanjut hasil kesimpulannnya ini. Apakah benar ayat-ayat yang memiliki perbedaan versi qirâ`ât ada yang tidak menghasilkan pengaruh berbeda dalam istinbath hukumnya? Beberapa contoh yang dikemukakan dalam buku ini yang berkaitan dengan relasi gender berusaha kami teliti, baik yang menurutnya dapat menghasilkan implikasi hukum atau yang tidak, contohnya ayat yang berkaitan dengan zhihar.

Karya kedua, karya ini memberi inspirasi pada penulis untuk mengkritisi atau mengembangkan apa yang ada di dalamnya. Dalam buku ini dijelaskan bahwa salah satu hal yang mempengaruhi pemahaman teks adalah pembakuan tanda huruf, tanda baca, dan qirâ`ât. Dengan mengeliminir beberapa versi bacaan yang tidak sesuai Karya kedua, karya ini memberi inspirasi pada penulis untuk mengkritisi atau mengembangkan apa yang ada di dalamnya. Dalam buku ini dijelaskan bahwa salah satu hal yang mempengaruhi pemahaman teks adalah pembakuan tanda huruf, tanda baca, dan qirâ`ât. Dengan mengeliminir beberapa versi bacaan yang tidak sesuai

Karya ketiga, buku ini merupakan karya yang paling sesuai sebagai rujukan dalam pembuatan tesis kami. Di dalamnya dijelaskan tentang pengaruh perbedaan

qir â`â t mutawâtir yang berimplikasi kepada rasm mushhaf al-Qur`ân yang sekarang ini berkembang dan perbedaannya dalam hukum syari'at. Hanya saja, hukum yang

diporeleh dari perbedaan qir â ` â t ini tidak semua diungkapkan, terutama karena memang yang diungkap hanya dari qirâ`ât mutawâtir saja. Sementara dalam tesis ini diungkap juga tentang segi hukum yang mungkin dapat di-istinbath-kan melalui qir â`â t syâdz karena ia juga merupakan “salah satu bagian” dari al-Qur`ân yang pernah ada di zaman Rasulullah.

Karya keempat, apa yang tertera dalam tesis ini jauh dari pembahasan apa yang akan diuraikan dalam tesis ini. Di dalam karya ini memang menyinggung masalah qir â`â t , tetapi obyeknya lebih difokuskan kepada pembahasan tentang pengajaran qir â`â t dalam perguruan tinggi al-Qur`ân di Sumatera Barat.

Karya kelima, masalah diungkapkan penulisnya ini hanya sekedar deskripsi tentang seluk beluk qir â`â t sab'ah dan pendapat para ulama dalam menanggapi otentisitas, popularitas, standarisasi, dan eksistensi qir â ` â t tersebut hingga saat ini. Juga penelitian tentang keistimewaan bacaan riwayat Hafsh dari ‘Ashim sehingga ia lebih masyhur dibandingkan qirâ`ât lainnya. Tujuan penulis buku ini ingin memperkenalkan lebih detil tentang apa yang disebut qirâ`ât sab'ah ini. Dengan Karya kelima, masalah diungkapkan penulisnya ini hanya sekedar deskripsi tentang seluk beluk qir â`â t sab'ah dan pendapat para ulama dalam menanggapi otentisitas, popularitas, standarisasi, dan eksistensi qir â ` â t tersebut hingga saat ini. Juga penelitian tentang keistimewaan bacaan riwayat Hafsh dari ‘Ashim sehingga ia lebih masyhur dibandingkan qirâ`ât lainnya. Tujuan penulis buku ini ingin memperkenalkan lebih detil tentang apa yang disebut qirâ`ât sab'ah ini. Dengan

dianggap shahih, meskipun kualitasnya syâdz (tidak terkenal karena diriwayatkan perawi secara perorangan).

E. Metodologi Penulisan

Fokus penelitian tesis ini ditujukan pada ayat-ayat suci al-Qur`ân. Karena itu, pendekatan utama yang digunakan adalah ilmu Tafsîr. Dalam ilmu Tafsîr ini, dikenal beberapa metode dan corak penafsiran yang masing-masing memiliki keistimewaan dan teori tersendiri. Terkait dengan penulisan tesis ini, penulis hanya memilih dua metode, yaitu: metode tafsîr tahlîlî dan metode tafsîr maudlû'î.

Metode tafsîr tahlîlî ialah metode pembahasan secara kronologis berdasarkan urutan ayat. Metode ini berusaha menjelaskan kandungan setiap ayat dari berbagai

segi dengan memperhatikan runtutan ayat sebagaimana dalam mushhaf. Metode tafsîr maudlû'î, yakni memahami dan menjelaskan ayat-ayat al- Qur`ân dengan cara menghimpun ayat-ayat dari berbagai surat yang berkaitan dengan satu topik, lalu dianalisis kandungannya hingga menjadi satu kesatuan konsep yang

utuh. 22

22 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân, (Bandung: Mizan, 1992), h.. 86-87

Dalam tulisan ini, Penulis menjadikan kedua metode ini sebagai referensi dalam membahas ayat-ayat al-Qur`ân yang dikaji. Metode tahlîlî digunakan saat membedah kalimat, i'rab, munasabah ayat, dan konteks ayat. Sedangkan metode maudlû'i digunakan untuk menjelaskan ayat secara tematik dengan mencantumkan ayat-ayat lain yang berkaitan dengan tema ini.

Dalam menganalisa data, kami juga menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif digunakan untuk menganalisis data yang bersifat umum

kemudian prinsip-prinsip tersebut diterapkan kepada persoalan-persoalan yang lebih khusus. Adapun metode induktif digunakan untuk menganalisis persoalan-persoalan khusus lalu menjadikannya sebagai prinsip-prinsip yang bersifat umum.

Adapun metode penulisan ini menggunakan pendekatan library research (penelitian kepustakaan). Mengingat permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini banyak menyangkut kajian tentang kata atau bahasa yang terdapat perbedaan versi qirâ`ât nya, maka analisis yang digunakan dalam pembahasan

masalah dengan metode semantik. 23 Sebagian penelitian tentang ayat-ayat hukum yang di-istinbath-kan dari

keragaman versi qir â ` â t telah dibahas oleh ulama dahulu. Karena itu, penulis juga menggunakan analisis perbandingan untuk memaparkan pendapat yang lebih unggul dan patut diimplementasikan pada masa sekarang.

23 Metode semantik adalah suatu bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. (Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 2. Dalam bahasa Arab, metode semantik ini membutuhkan beberapa ilmu tata bahasa, antara lain: ilmu isytiqaq (etimologi), ilmu mu'jam (tenteng perkamusan), ilmu bayan yang mencakup isti'arah, majaz, ma'ani, qashr, dan al-washl wa al-fashl. Lalu ilmu badi' yang mencakup bentuk kalimat dan keindahannya, kata musytarak dan sebagainya. (Sayuthi Anshari Nasution, Metode Semantik dan Pengaruhnya terhadap Makna Bahasa Arab, (Majalah al-Wa'ie, 2004).

Karena penelitian ini bersangkut-paut dengan tafsir, qirâ`ât, hadis, bahasa, serta hukum, maka referensi yang penulis gunakan adalah kitab-kitab masyhur kualitasnya dalam masalah ini. Juga menggunakan CD hadis untuk memudahkan kami dalam melacak kitabnya. Kadangkala kami mencantumkan sumber dari cdnya, dengan asumsi bahwa apa yang tertera di dalamnya sama dengan apa yang tertulis dalam kitab aslinya.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memperjelas pembahasan tesis ini, selanjutnya penulis memaparkan rencana sistematika penulisan yang akan dijabarkan berikut ini: BAB I: pendahuluan yang memuat tentang latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, kajian pustaka, kerangka teoritik, metodologi penulisan, serta sistematika penulisan.

BAB II: ilmu qirâ`ât dan tafsîr al-Qur`ân yakni suatu pemaparan tentang seluk beluk qirâ`ât dan implikasinya terhadap penafsiran al-Qur`ân termasuk juga tanggapan orientalis tentang keberadaan perbedaan qirâ`ât ini. Lengkapnya, bab ini diuraikan tentang pengertian ilmu qirâ`ât, sumber ilmu qirâ`ât dan periwayatnya, validitas qirâ`ât sebagai bagian dari al-Qur`ân, dan nilai qirâ`ât sebagai hujjah dalam penafsiran.

BAB III: dimensi kesetaraan gender dalam al-Qur`ân, yakni suatu uraian tentang argumen-argumen yang menyatakan bahwa dalam syareat Islam yang bersumber dari al-Qur`ân ini tidak ada yang bertujuan untuk diskriminasi gender. Di mata Allah, kedua jenis hambanya ini memiliki tanggung jawab sama dan setara.

Perbedaan penetapan hukum bagi keduanya semata-mata karena menyesuaikan peran dan sifat biologis mereka, di mana Allah dalam hal ini lebih mengetahui hikmahnya. Lengkapnya, bab ini mencakup tentang pengertian dan hakekat relasi gender, tuntutan untuk mengesakan Allah, kesetaraan dalam etika dan tanggung jawab, dan kesetaraan dalam melaksanakan hukum agama.

BAB IV: implikasi ragam qirâ`ât dalam penafsiran ayat-ayat tentang relasi gender, yakni suatu uraian tematik dengan mengambil pokok bahasan ayat-ayat

tentang relasi gender yang di dalamnya terdapat perbedaan qirâ`ât. Berangkat dari sini, penulis mencoba menguraikan sisi perbedaan qirâ`ât dan implikasinya terhadap hukum-hukum yang berkenaan dengan relasi gender. Ayat-ayat yang dikaji meliputi: ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum dalam rumah tangga, perceraian, kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan pembagian warisan.

BAB V: penutup yang terdiri dari kesimpulan penelitian tesis ini dan saran bagi para peneliti berikutnya serta sivitas akademika pascasarjana. Adapun lampiran terdiri dari bibliografi dan biografi penulis.

BAB II ILMU QIRÂ`ÂT DAN TAFSÎR AL-QUR`ÂN

A. Pengertian Ilmu Qirâ`ât

Kata qirâ`ât ( ﺕﺍَﺀﺍﺮِﻗ ) merupakan bentuk jamak dari kata ﺓَﺀﺍﺮِﻗ yang diambil dari kata ﹶﺃﺮﹶﻗ yang artinya membaca atau ﹰﺎﻧﹶﺃﺮﹸﻗﻭ - ﹰﺓَﺀﺍﺮِﻗ - -

yang artinya

mengumpulkan. Jadi sesuatu yang dikumpulkan dapat diistilahkan dengan ﺓَﺀﺍﺮـِﻗ .

Ulama Salaf menjadikan kata ini untuk istilah yang dipakai para pakar di bidang pembacaan al-Qur`ân (qurrâ`) dalam membaca nash al-Qur`ân. Kitab suci kita

dinamakan ﻥَﺁﺮـﹸﻘﹾﻟﺍ karena ia mengumpulkan banyak kisah, perintah, larangan, janji, ancaman, dan ayat-ayat lain. Ia merupakan bentuk mashdar seperti kata ﻥﺍﺮـﹾﻔﹸﻏ dan ﻥﺍﺮـﹾﻔﹸﻛ . Namun, Imam al-Suyûthi berpendapat bahwa ﻥﺁﺮـﹸﻘﹾﻟﺍ bukanlah kata yang

diambil dari kata tertentu, tetapi ia merupakan kata jâmid, yaitu suatu kata yang tidak diambil dari kata apapun, tetapi merupakan nama yang digunakan untuk kitab suci

ini. 24

Istilah qirâ`ât ini dapat diartikan sebagaimana makna bahasanya, yakni bacaan. Istilah ini akan menjadi khusus jika disandarkan kepada salah satu nama ahl al-Qurrâ ` yang menunjukkan kepada suatu metode tertentu yang dipakai salah seorang qâri` itu dalam menerima atau menyampaikan atau mengungkap perbedaan bacaan al-Qur`ân.

24 Muhammad Habsy, al-Qirâ`ât al-Mutawâtirah wa Atsaruhâ fi al-Rasm al-Qur`âni wa al- Ahkâm al-Syar'iyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1419 H/1999 M), h. 32.

Istilah ini pada periode awal Islam, sering juga digunakan untuk menentukan suatu versi bacaan yang diterima dari para sahabat ahli qurrâ`. Para sahabat yang terkenal menjadi pakar dalam qirâ`ât ini sangat banyak. Adakalanya bacaan mereka sama, namun tidak sedikit yang berbeda sehingga seseorang akan menyebutkan bacaan al-Qur`ânnya sesuai dengan versi qirâ`ât sahabat yang ia pelajari darinya: seperti qirâ`ât Ibn Mas'ûd, qirâ`ât Ubay, qirâ`ât Zaid ibn Tsabit dan lain-lain.

Adapun ilmu qirâ`ât menurut istilah, sebagaimana diungkap oleh Imam al- Zarqânî dalam Manahil al-'Irfân, sebagai berikut:

Suatu aliran yang dianut oleh seorang imam ahli qira'at yang berbeda dengan imam ahli qirâ`ât lainnya dalam mengucapkan bacaan al-Qur`ân al- Karim melalui riwayat-riwayat dan jalan-jalan (sanad-sanad) yang disepakati, baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf atau pengucapan cara bacanya.

Menurut Imam al-Zarkasyî:

Perbedaan lafal-lafal al-Qur`ân yang disebutkan, baik yang menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut seperti sukun, tasydid dan sebagainya.

Menurut Imam Ibn al-Jazarî:

25 Muhammad Abd al- 'Azhîm al-Zarqâni, Manâhil al-'Irfan fi Ulûm al-Qur`ân, (Mesir: Dar al-Ihya al-Kutb al-'Arabiyyah, 1988 M/1408 H), Jilid I, h. 412. 26 Badru al-Din Muhammad ibn Abdullah al-Zarkasyî, al-Burhân fi 'Ulûm al-Qur`ân, (Beirut: Dar al-Ma' rifah wa an-Nasyr, 1957), cet. II, Jilid I, h. 318.

Ilmu yang mengungkapkan cara-cara membaca kalimat-kalimat al-Qur`ân dan perbedaannya dengan periwayatan yang mengecualikan ilmu nahwu, bahasa, tafsir dan lain-lain.

Dari beberapa istilah di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu qirâ`ât adalah ilmu yang mengungkapkan tentang cara-cara membaca al-Qur`ân yang dianut oleh

para Imam Qurrâ` (pakar qirâ`ât) dan perbedaan-perbedaanya yang semuanya itu melalui jalan periwayatan yang bersumber dari Rasulullah Saw.

B. Sumber Ilmu Qirâ`ât dan Para Periwayatnya

Al-Qur`ân adalah kitab berbahasa Arab. Bahasa Arab sendiri mempunyai logat atau dialek pengucapan, seperti bahasa Jawa memiliki dialek Jawa Timur, Jawa Tengah, Cirebon dan lain-lain, yang masing-masing itu berbeda pengucapannya tetapi maknanya sama. Demikian pula dengan al-Qur`ân, memiliki banyak logat seperti:

Quraisy, Hawazin, Tamim, Bani Darim, Hudzail dan lain-lain. 28 Karena itu, ketika Malaikat Jibril turun membawa wahyu dengan satu "huruf", maka beliau meminta

untuk ditambahkan. Tujuannya adalah memudahkan pembacaan, terutama bagi orang-orang Arab yang memiliki bermacam-macam logat, memberi kelonggaran untuk memilih qirâ`ât yang sesuai dengan lisannya, sebagai rahmat dan keutamaan

27 Muhammad Abû al-Khair al-Jazarî, Munjid al-Muqri`în wa Mursyid al-Thalibîn, (Kairo: Maktabah al-Tijariayah al-Kubra, tth), h. 3.

28 Imam al-Wasîthi, sebagaimana dikutip oleh al-Zarqâni, menyatakan bahwa al-Qur`ân ini mengandung 40 jenis dialek bahasa Arab, antara lain: Quraisy, Hudzail, Kinanah, Khats'am, Khazraj,

Asy'ar, Numair, Qais, 'Ailan, Jurhum, al-Yaman, Adzsyamu'ah, Kindah, Tamim, dan lain-lain. Lihat selengkapnya dalam al-Zarqani, Manâhil…, Jilid I, h. 181.

al-Qur`ân untuk umat Nabi Muhammad Saw. baik dalam cara membacanya maupun aspek-aspek lain yang menjadi faidah dari adanya tujuh huruf ini. 29 Belakangan

diketahui bahwa tujuh huruf ini mengandung makna penafsiran yang memungkinkan untuk pengambilan istinbâth hukum yang berbeda atau saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya.

Setelah Rasulullah Saw. menerima wahyu dengan tujuh huruf, maka beliau

mengajarkannya langsung kepada para sahabat ra. sesuai dengan kemampuan dan lisan mereka. Di antara mereka ada yang mempelajarinya satu huruf saja, ada juga

yang mampu dua huruf, dan ada yang lebih dari itu. 30 Di antara para sahabat yang terkenal dalam penyebarluasan al-Qur`ân, baik kepada sahabat lain maupun kepada

generasi berikutnya adalah 'Usman ibn ’Âffan, Âli ibn Abû Thâlib, Ubay ibn Ka'âb, Zaid ibn Tsâbit, Abdullah ibn Mas'ûd, Abû Dardâ', dan Abû Mûsâ al-Asy'arî. 31

Pada masa khalifah 'Usmân, setelah terjadinya pembakuan penulisan mushaf yang dikenal dengan istilah rasm 'Utsmânî, maka khalifah memerintahkan para sahabat qurrâ` itu untuk menjadi maha guru al-Qur`ân di seluruh negeri yang telah dikuasai pemerintahan Islam, terutama daerah-daerah yang dikirimkan mushaf rasm 'Utsmâni . Dalam hal ini, para ulama sepakat bahwa khalîfah mengirimkan mushaf itu dengan suatu persyaratan, yakni bagi umat Islam yang belajar membaca al-Qur`ân itu harus dengan cara talaqqî dan musyâfahah (yakni pengajaran langsung oleh seorang

29 Faidah perbedaan qirâ`ât ini antara lain: 1) menunjukkan terjaganya al-Qur`ân dari perubahan dan penyimpangan dengan adanya beberapa versi bacaan. 2) meringankan umat dalam

membacanya. 3) kemukjizatan al-Qur`ân dari segi ringkasnya bacaan, tetapi mengandung makna yang berbeda tanpa adanya pengulangan. 4) menerangkan bacaan lain yang mengandung arti umum.

30 Al-Zarqâni, Manâhil…, Jilid I, h. 413. 31 Al-Zarqani, Manâhil..., Jilid I, h. 414 dan al-Suyuthi, Al-Itqân…, I, h. 204.

guru kepada murid dengan cara berhadapan) untuk menghindari kesalahpahaman dalam cara membaca. Hal ini karena, sebagaimana telah diketahui bahwa rasm 'Utsmâni disebarkan tanpa adanya tanda baca dan tanpa titik sehingga sangat memungkinkan terjadinya salah baca jika dipelajari tanpa seorang guru.

Demikianlah al-Qur`ân diajarkan dari generasi ke generasi yang lain dengan cara talaqqi dan riwayat, dari orang yang tsiqah kepada orang yang tsiqah lainnya,

dan dari imam-imam kepada imam-imam berikutnya dan seterusnya sehingga validitas teksnya benar-benar terjaga. 32 Dan satu hal yang menarik bahwa penyebaran

mushaf ke berbagai wilayah itu ternyata memiliki keistimewaan tersendiri, yakni para sahabat yang dikirim untuk menjadi maha guru bagi daerah yang ditujunya itu menyesuaikan versi qirâ`ât mushaf yang dibawanya karena ternyata antara satu mushaf dengan mushaf yang lainnya memiliki perbedaan penulisan walaupun tidak

terlalu signifikan. 33

Pada periode-periode berikutnya muncullah para ahli-ahli qirâ`ât (qurrâ`) yang banyak tersebar di negeri-negeri Islam, di antara mereka ada yang diakui kepakarannya dalam semua bidang qirâ`ât, baik yang shahih maupun yang syâdz, ada

32 Al-Zarqani, Manâhil..., Jilid I, h. 413.

33 Contoh perbedaan penulisan seperti: ُﷲﺍ ﹶﺬ ﺨ ﺗ ﺍ ﺍ ﻮ ﹸﻟﺎ ﻭﹶﻗ

(al-Baqarah/ 2: 116) dengan menghilangkan huruf waw, menjadi ُﷲﺍ ﹶﺬ ﺨ ﺗ ﺍ ﺍ ﻮ ﹶﻗﹸﻟﺎ dan kalimat ِﺏﺎ ِﻜﺘ ﹾﻟﺍ ﻭ ﺑِﺮ ﺰﻟﺎ ِﺑ (Ali Imran/ 3: 184) dengan menetapkan huruf ba, menjadi ِﺏﺎ ِﻜﺘ ِﺑﹾﻟﺎ ﻭ ﺑِﺮ ﺰﻟﺎ ِﺑ . Ini terdapat dalam mushaf untuk wilayah Syam, dan firman Allah: ﺭﺎ ﻬ ﹶﺎﻧ ﹾﻟﺍ ﺎ ﺤ ﺗ ﻯ ِﺮ ﺠ ﺗ (Taubah/ 9: 100) dengan menetapkan lafadz min,

ﺭﺎ ﻬ ﹶﺎﻧ ﹾﻟﺍ ﺎ ﺤ ﺗ ﻦِﻤْىِﺮﺠ ﺗ terdapat pada mushaf untuk wilayah Makkah dan sebagainya. Lihat:

menjadi

Al-Suyuthi, al-Itqân..., Jilid I, h. 212.

pula ulama yang hanya membidangi satu qirâ`ât, dan ada pula yang hanya dua qirâ`ât 34 sehingga ketika itu lebih banyak terjadi perbedaan daripada kesamaan.

Dalam masa-masa itu para ulama menetapkan tokoh utama sebagai panutan kaum Muslimin dalam pembacaan al-Qur`ân (qirâ`ât) supaya dengan mudah dapat dibedakan antara riwayat yang shahih dan yang syâdz. Di antara mereka juga ada yang berusaha mengkodifikasi segala jenis qirâ`ât, menerangkan wajah dan

riwayatnya, menjelaskan shahih dan syâdz-nya, memerinci qirâ`ât yang diriwayatkan oleh para qurrâ`, baik yang mutawâtir maupun ahâd (perorangan) dan lain-lain.

Ibn Mujâhid dianggap orang yang pertama kali mencetuskan gagasan tentang kemutawâtiran riwayat dan sanad dari tujuh orang qurrâ`. Beliau memilih hal ini dengan alasan persyaratan yang amat ketat. Persyaratan itu antara lain:

1. Periwayatannya dari orang yang masyhur tentang kecerdasan, keadilan, dan kepercayaannya.

2. Umurnya dihabiskan untuk menekuni bidang qirâ`ât yang ditekuninya.

3. Kesepakatan dari ulama qurrâ` atas kebolehan mengambil periwayatan dari mereka. 35

Setelah beliau meneliti semua qirâ`ât yang beredar ketika itu ternyata hal itu hanya dimiliki oleh Tujuh pakar qirâ`ât, mereka itu ialah:

34 Al-Zarqani, Manâhil …, Jilid I, h. 144. 35 Al-Zarqani, Manâhil…., Jilid I, h. 417.

1. Abû Ruwaim Nâfi' ibn 'Abd al-Rahmân ibn Abû Nu'aim al-Madanî (w. 169). Perawinya adalah Qâlûn yang nama aslinya Abû Mûsâ 'Isâ ibn Minâ an- Nahwî (w. 220) dan Warasy yang nama aslinya 'Utsmân ibn Sa'id al-Mishrî (w. 155).

2. Abû Muhammad 'Abdullah ibn Katsîr al-Darî yang terkenal dengan sebutan Ibn Katsîr (w. 120). Perawinya adalah Qunbul yang nama aslinya

Muhammad ibn 'Abd al-Rahmân ibn Khâlid al-Makhzûmi al-Makkî (w. 291

H) dan al-Bazzî yang nama aslinya Abû al-Hasan Ahmad ibn Muhammad ibn 'Abdullah (w. 250)

3. Abû 'Amr yang nama lengkapnya adalah Abû 'Amr Zabbân ibn al-A'la 'Ammar al-Bashrî (w. 154). Perawinya adalah al-Dûrî yang nama aslinya, Abû 'Umar Hafsh ibn 'Umar al-Muqri (w. 246) dan al-Sûsî yang nama aslinya Abû Syu'aib Shaleh ibn Ziyâd (w. 261 H)

4. Abdullah ibn 'Âmir al-Yashhûbi yang terkenal dengan sebutan Ibn 'Âmir (w. 118). Perawinya adalah Hisyâm ibn 'Ammar al-Sulami al-Dimsyaqî (w. 245) dan Ibn Dzakwân yang nama lengkapnya Abû Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Basyâr ibn Dzakwan al-Qurasyi al-Fihri (w. 242 H)

5. Abû Bakar 'Âshim ibn Abû al-Nujûd al-Asady, dikenal dengan panggilan nama aslinya, 'Âshim (w. 127) perawinya adalah Abû Bakar Syu'bah ibn 'Ayyasy ibn Sâlim al-Asadî (w. 193) dan Hafsh ibn Sulaimân ibn al- Mughirah al-Bazzâr, beliau adalah anak tiri 'Âshim sendiri sehingga 5. Abû Bakar 'Âshim ibn Abû al-Nujûd al-Asady, dikenal dengan panggilan nama aslinya, 'Âshim (w. 127) perawinya adalah Abû Bakar Syu'bah ibn 'Ayyasy ibn Sâlim al-Asadî (w. 193) dan Hafsh ibn Sulaimân ibn al- Mughirah al-Bazzâr, beliau adalah anak tiri 'Âshim sendiri sehingga

6. Hamzah, dia adalah Abû 'Ammarah Hamzah ibn Hubaib al-Zayyat al-Kufy (w. 156) perawinya adalah Khalaf, yakni Abu Muhammad Khalaf ibn Hisyâm ibn Thâlib ibn al-Bazzâr (w. 229) dan Khallâd yang nama

lengkapnya ialah Abû Îsa Khallâd ibn Khâlid al-Ahwal al-Shairafi (w. 220).

7. Al-Kisâ'i, nama lengkapnya ialah Abû al-Hasan 'Alî ibn Hamzah al-Kisâ'î an- Nahwî (w. 189) perawinya adalah ad-Dûri, nama lengkapnya ialah Abû 'Umar Hafsh ibn 'Umar al-Dûrî dan Abû al-Hârits, yakni al-Laits ibn Khâlid

al-Marwazî (w. 240). 36

Penyeleksian yang dilakukan oleh Ibn Mujâhid itu tidak serta merta disepakati oleh ulama semasanya, meskipun keputusan ini dilakukan oleh pengadilan setempat. Pada tahun 934 M seorang ulama bernama Ibn Miqsam dipaksa untuk menarik pandangannya yang menyatakan bahwa seseorang berhak untuk memilih bacaan apa saja asalkan sesuai dengan tata bahasa dan cukup masuk akal. Keputusan ini penting untuk menegaskan hanya tujuh bacaan saja yang dianggap absah. Pada bulan April 935 M (4 bulan sebelum wafatnya Ibn Mujâhid), seorang ulama lain, Ibn Syanbûdzi, juga dikutuk dan dipaksa kembali menarik pernyataannya bahwa memakai bacaan

Ibn Mas'ûd dan Ubay bin Ka'ab (yang syâdz) diperkenankan. 37

36 Al-Suyuthi, Al-Itqân…, Jilid 1, h. 206. 37 W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar al-Qur`ân, Terj. Lilian D. Tedjasudhana,

(Jakarta: INIS, 1998), h. 42.