Demikian seputar perdebatan syariat dalam masalah hukum Jilbab dan aurat. Persoalan hukum aurat dan Jilbab adalah persoalan adalah persoalan
syari’at, maka pendekatan yang paling tepat untuk menentukan hukumnya seperti apa hanya bisa dilakukan dengan menggunakan epistemologi syariat.
Tidak tepat jika kita ingin mendiskusikan hukum Jilbab dan aurat tapi dengan metode yang biasa digunakan membedah ilmu hakikat normative-
argumentatif. Pendekatan intuitif-spekulatif baru tepat digunakan saat kita akan membedah tujuan, makna, hakikat dan hikmah dibalik pensyariatan
Jilbab dan aurat.
2. Busana Muslimah Dan Permasalahannya
a. Pengertian Busana Muslimah
Dalam kejadiannya, manusia dilahirkan kemuka bumi salah satunya membawa potensi malu terhadap lingkungannya dimana ia tinggal. Oleh
karena itu, untuk menutupi malunya manusia berusaha semaksimal mungkin untuk menutupi rapat-rapat, karena jika tidak bisa menutupinya maka aib
yang ada pada dirinya akan diketahui orang lain. Secara lahiriah, amnesia melindungi tubuhnya dari berbagai macam gangguan, maka dari itu busana
merupakan sesuatu yang mendasar baginya untuk menjaga gangguan tersebut. Bagaimana pun usaha untuk selalu menutup tubuh itu akan selalu ada
walupun dalam bentuk yang sangat minim atau terbatas sesuai kemampuan hidupnya, raga akal manusia.
Dengan busana, manusia ingin membedakan antara dirinya, kelompoknya dengan orang lain. Busana memberikan identitas diri sehingga
dapat mempengaruhi tingkah laku sipemakai dan juga dapat mencerimnkan emosi pemakaiannya yang pada saat bersamaan dapat mempengaruhi emosi
orang lain.
21
Pada prinsipnya Islam tidak melarang umatnya untuk berpakaian sesuai dengan mode atau trend masa kini, asal semua itu tidak bertentangan
dengan perinsip Islam. Islam membenci cara berbusana seperti busana-busana orang jahiliyah yang menampakan lekuk-lekuk tubuh yang mengundang
kejahatan dan kemaksiatan. Konsep Islam adalah mengambil kemaslahatan dan menolak kemudloratan.
22
Pada dasarnya, Islam tidak menentukan model dan coraknya, tetapi Islam sebagai agama yang sesuia untuk setiap masa dan
tempat, memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada wanita muslimah untuk merancang mode yang sesuai dengan selera masing-masing. Tak ada
mode khusus yang diperintahkan kita dapat mengenakan apa yang kita sukai asalkan tetap pada batas-batas Islam mode bukanlah masalah kita tidak
mengikuti secara membabi buta. Kita harus mempunyai kesadaran terhadap busana yang tidak Islami, dan berani menjadi orang yang tidak mengikuti
perkembangan mode yang berlaku pada saat itu.
23
Busana dapat diartikan
21
M. Quraish Shihab, Wawancara Al- Qur’an, Bandung: Mizan, 1996 Cet. 4, h. 161
22
Ahmad Hasan Karzun, Adab Berpakaian Pemuda Islam, Jakarta: Darul Falah, 1999, Cet I, h. 13
23
Huda Khattab, Buku Pegangan wanita Islam, Bandung: Al-Bayan, 1990, Cet. Ke-2, h. 40
sebagai segala sesuatu yang kita pakai mulai dari kepala hingga sampai ujung kaki.
24
Hal ini mencangkup antara lain
petama
, semua benda yang melekat pada badan, seperti baju, celana, sarung, dan kain penjang.
Kedua
, semua benda yang melengkapi pakaian dan berguna bagi si pemakai seperti
selendang, topi, sarung tangan, dan kaos kaki.
Ketiga
, semua benda yang brfungsi sebagai hiasan untuk keindahan pakaian seperti, gelang, cincin dan
sebagainya.
25
Dalam pengertian berbusana atau berpakaian Al- Qur’an tidak
hanya meggunakan satu istilah saja tetapi menggunkan istilah yang bermacam-macam sesuia dengan konteks kalimatnya. Menurut Qurais Shihab
paling, tidakada 3 istilah yang dipakai yaitu: 1
Al- Libas
bentuk jamak dari kata
Al-Lubsu
, yang berarti segala sesuatu yang menutup tubuh. Kata ini digunakan Al-
Qur’an untuk menunjukan pakaian lahir dan batin.
2 Ats-Tsiyab bentuk jamak dari
Ats-Tsaubu
, yang berarti kembalinya sesuatu pada keadaan semula yaitu tertutup.
3
As-Sarabil
yang berarti pakaian apapun jenis bahannya.
26
Dari pengertian diatas, dapat ditarik pegertian busana muslim sebagai busana yang dipakai oleh wanita muslimah yang memenuhi, kriteri-kriteria
prinsip-prinsip yang ditetapkan ajaran Islam dan disesuaikan dengan kebutuhan tempat, budaya, dan adat istiadat.
24
W. J. S. Poerwadarunuda, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Jakarta: Balai Pustaka, 1987, h. 172
25
„Nina Surtiretna,et al, Anggun Berjilbab, Bandung: al-Bayan, 1995, cet. Ke-2, h. 28
26
M. Quraish Shihab, Op Cit, h. 155-157
b. Keharusan Berbusana Muslimah