Dukungan Teoritis dan Empiris

melaksanakan aturan-aturan dasar, membuat catatan diskusi, menyampaikan gagasan sendiri Tahap 4 Mengakhiri diskusi Guru menutup diskusi dengan merangkum atau mengungkapkan makna diskusi yang telah diselenggarakan kepada siswa Tahap 5 Melakukan tanya jawab singkat tentang proses diskusi itu Guru menyuruh para siswa untuk memeriksa proses diskusi dan berfikir mereka 4. Lingkungan Belajar dan Sistem Manajemen Lingkungan guna pelaksanaan diskusi ditandai oleh proses keterbukaan dan peran siswa yang aktif. Pengajaran berdasarkan diskusi memerlukan banyak perhatian guru. Guru dapat mengatur bentuk tempat duduk yang bervariasi dan memusatkan perhatian guna diskusi tertentu, bergantung kepada sifat dari kelas dan tujuan pembelajaran. Namun demikian, dalam banyak hal para siswa sendiri mengendalikan antaraksi saat demi saat yang spesifik itu.

B. Dukungan Teoritis dan Empiris

Banyak dukungan teoritis untuk pemakaian diskusi berasal dari bidang ilmuan bahasa, proses komunikatif, dan pola pertukaran gagasan. Diskursus melalui bahasa merupakan penghubung apa yang terjadi di dalam kelas. Courtney Cazden, salah seorang ilmuwan mengenai topik diskursus kelas, menulis bahwa “bahasa lisan merupakan medium dimana banyak pengajaran terjadi dan dimana siswa menunjukkan kepada guru berapa banyak mereka telah belajar“. Bahasa lisan merupakan alat bagi para siswa untuk menceritakan tentang apa yang telah mereka ketahui dan untuk membentuk makna dari pengetahuan baru sesuai dengan yang diperoleh. Bahasa lisan mempengaruhi proses berfikir siswa dan menjadikan mereka dengan identitas sebagai siswa dan sebagai anggota kelompok kelas. 1. Diskursus dan Pengertian Suatu hubungan yang kuat terjalin antara bahasa dan logika, dan keduanya menimbulkan kemampuan untuk menganalisis, untuk berpikir deduktif dan induktif, 3 | M o d e l D i s k u s i dan membuat kesimpulan secara benar berdasarkan pengetahuan. Diskursus merupakan salah satu cara untuk mempertinggi keterampilan itu. Diskursus dapat dipandang sebagai eksternalisasi dari fikiran, yaitu pengungkapan pikiran tersembunyi seseorang guna diketahui oleh orang lain. Diskursus memberikan kesempatan bagi para siswa memantau daya fikir mereka sendiri dan bagi para guru mengoreksi penalaran yang salah. Melalui percakapan terbuka, guru diberikan kesempatan untuk mengetahui keterampilan berfikir siswa dalam suatu seting guna memberikan koreksi dan umpan balik kapan mereka mengobservasi pemikiran yang salah dan tidak sempurna. Dengan banyak berfikir, maka juga dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendengarkan fikiran mereka sendiri dan untuk belajar bagaimana memantau proses berpikir mereka sendiri. Dengan demikian siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan dengan mencatat informasi baru pada sehelai kertas kosong, namun mereka juga dapat secara aktif membangun bentuk pengetahuan selama suatu periode waktu ketika mereka menafsirkan pengetahuan baru dan memadukannya kedalam pengetahuan mereka sebelumnya. 2. Aspek Sosial Diskursus Salah satu aspek diskursus kelas adalah kemampuan untuk mengembangkan pertumbuhan kogitif. Aspek yang lain adalah kemampuan untuk menghubungkan dan menyatukan aspek pembelajaran. Sitem diskursus kelas merupakan sentral untuk menciptakan lingkungan belajar positif. Diskursus membantu menetapkan pola partisipasi dan secara konsekuen memiliki dampak besar terhadap manajemen kelas. Pembicaraan antara guru dan para siswa menjadikan banyak ikatan sosial sehingga kelas menjadi hidup bersama. Pertalian antara kognitif dengan sosial terlihat jelas dalam hal partisipasi sosial yang mempengaruhi pertumbuhan pemikiran dan kognitif siswa. Lauren Resnick dan Leopold Klopfer 1989 mengamati bahwa seting sosial merupakan kesempatan untuk permodelan strategi berfikir efektif. Selain itu, seting sosial juga menjadikan siswa mengetahui bahwa semua unsur berfikir kritis secara rasional dihargai. Diskursus memberikan kesempatan tidak hanya untuk menggunakan fikiran, tetapi juga dapat membantu siswa membentuk suatu sikap positif terhadap cara berfikir. 4 | M o d e l D i s k u s i 3. Ceramah Guru Para peneliti yang mempelajari masalah diskursus kelas menemukan bahwa para guru pada umumya banyak berbicara panjang lebar dan bahwa pola komunikasi dasar itu berlangsung didalam kebanyakan kelas. Pola ini bukan paling baik guna meningkatkan cara berfikir siswa. Pola dasar resitasi ini merupakan suatu aktivitas pengajaran dimana para siswa diseluruh seting kelas diuji guru mengenai penguasaan pelajaran mereka dengan cara tanya-jawab. Lary Cuban 1982 mencatat bagaimana pola resitasi tumbuh sejak awal dalam sejarah persekolahan formal dan telah bertahan selama 20 abad di hampir semua tingkat sekolah dan meliputi semua bidang akademik. Dominasi guru dalam komunikasi sekolah telah banyak didokumentasikan oleh beberapa peneliti, diataranya Flanders 1970 menyimpulkan bahwa dalam kebanyakan kelas, 2 3 dari waktu bicara didominasi ole guru. Selain itu Schmuck bersaudara 1989 melaporkan bahwa guru berbicara 3 4 dari waktu pembelajaran mereka. Hal ini tentu saja lebih besar dari pada waktu bicara guru yang telah diamati oleh Flander dkk. 4. Pertanyaan Guru Pengajaran resitasi bersandar kepada ceramah dan pertanyaan guru. Cara guru mengajukan pertanyaan dan jenis pertanyaan yang diajukan merupakan fokus penemuan dan perhatian yang penting untuk beberapa waktu yang lalu. Stevens 1912 memperkirakan bahwa empat per lima jam sekolah diisi dengan resitasi tanya-jawab. Stevens mendapati bahwa sampel dari guru-guru sekolah menengah menyatakan rata-rata 395 pertanyaan setiap hari. Pertanyaan dengan frekwensi tinggi yang digunakan oleh para guru juga terdapat pada penelitian baru- baru ini. Karena di dalam kelas pertanyaan disampaikan begitu sering, masalah yang kemudian timbul adalah apa pengaruh pertanyaan faktual dan tingkat tinggi terhadap belajar dan cara berfikir siswa. Untuk bertahun-tahun didapatkan kesepakatan bahwa pertanyaan-pertanyaan tingkat tinggi mengarah pertumbuhan kognitif lebih tinggi dari pada yang dihasilkan dari sekedar pertanyaan konkret faktual. Barak Rosenshine menanggapi kebijaksanaan konvensional dengan menyimpulkan bahwa pertanyaan faktual sebenarnya nampak jauh lebih bermanfaat, terutama bila guru segera menyampaikan balikan mengenai jawaban yang benar dan 5 | M o d e l D i s k u s i tidak benar dari siswa. Beberapa tahun kemudian, Redfield dan Rousseau 1981 melakukan telaah ulang dengan menentang kesimpulan mengenai penggunaan pertanyaan-pertanyaan faktual. Mereka melaporkan bahwa mengajukan pertanyaan tingkat tinggi dan membangkitkan daya pikir memiliki nilai positif terhadap hasil belajar daya pikir siswa. Para peneliti meneruskan penelitiannya mengenai kontroversi pada pengaruh jenis pertanyaan terhadap hasil belajar dan daya fikir siswa. Timbul konsensus bahwa jenis pertanyaan yang diajukan guru seharusnya tergantung pada siswa dimana guru mengajar dan jenis tujuan pembelajaran yang hendak dicapai guru. Gall 1984 menafsirkan penelitian ini dengan cara berikut: - Penekanan pada pertanyaan-pertanyaan fakta lebih ekfektif guna menimbulkan hasil belajar siswa yang lemah, yang terutama melibatkan penguasaan keterampilan dasar - Penekanan pada pertanyaan-pertanyaan kognitif tinggi akan lebih efektif bagi siswa dari kemampuan rata-rata dan tinggi, terutama ketika mereka masuk sekolah menengah, dimana cara berfikir lebih bebas diperlukan. Tingkat kesulitan menunjukkan pada kemampuan para siswa untuk menjawab pertanyaan secara benar tanpa memperhatikan tingkat kognitif. Jere Brophy dan Tom Good 1986 menyimpulkan bahwa ada tiga pokok yang harus diperhatikan guru bila menentukan bagaimana kesulitan pertanyaan-pertanyaan mereka dibuat. - Sekitar tiga perempat pertanyaan guru seharusnya ada pada tingkat sehingga akan mendapatkan jawaban benar. - Seperempat pertanyaan laian seharusnya ada pada tingakat kesulitan sehingga akan memperoleh beberapa tanggapan siswa, walaupun jika tanggapan ini tidak sempurna. - Tidak diberikan pertanyaan yang begitu sulit, sehingga tidak ada sama sekali siswa yang dapat menjawabnya. Beberapa peneliti lain seperti Casden 1986 dan Mehan 1989, tidak begitu menaruh perhatian kepada jenis pertanyaan yang diajukan guru, tetapi memusatkan pada pola pertanyaan secara keseluruhan. Casden dan Mehan 1989 menulis bahwa pada kebanyakan kelas gurulah yang bertanya, gurulah yang tahu jawabannya, dan pertanyaan yang diulang mengundang jawaban yang salah. Meraka menganjurkan bahwa aturan-aturan seperti ini harus diungkapkan secara terbuka jika guru 6 | M o d e l D i s k u s i menghendaki diskursus di dalam kelas mereka untuk meningkatkan daya fikir tingkat tinggi. 5. Waktu Sela Waktu sela adalah jeda antara pertanyaan guru dan tanggapan siswa dan antara jawaban itu dan reaksi guru atau pertanyaan berikutnya. Variabel ini pertama teramati pada 1960-an, ketika dilakukan upaya sungguh-sungguh untuk meningkatkan kurikula hampir dalam semua bidang akademik. Kurikula baru ini dikembangkan untuk membantu para siswa belajar bagaimana memperoleh dan menemukan hubungan diantara fenomena sosial danatau alamiah. Metode yang direkomendasikan adalah diskusi perolehan atau berorientasikan penemuan. Namun demikian, para peneliti mendapati bahwa jenis diskusi ini tidak berjalan sepenuhnya. Penelitian oleh Marry Budd Rowe 1997a, 1974b pada garis besarnya adalah bahwa waktu sela yang meningkat akan meningkatkan tanggapan siswa lebih baik.

C. Pelaksanaan Pengajaran Diskusi Kelas