Pengaruh Lama Penyinaran dan Komposisi Media Terhadap Mikropropagasi Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg)

(1)

SKRIPSI

OLEH :

REVINA SYAHDEWI PRATIWI 110301194/PEMULIAAN TANAMAN

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2015


(2)

MIKROPROPAGASI TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg)

SKRIPSI

OLEH :

REVINA SYAHDEWI PRATIWI 110301194/PEMULIAAN TANAMAN

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Pertanian Di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2015


(3)

Terhadap Mikropropagasi Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg)

Nama : Revina Syahdewi Pratiwi

NIM : 110301194

Program Studi : Agroekoteknologi Minat Studi : Pemuliaan Tanaman

Disetujui oleh : Komisi Pembimbing

(Luthfi A. M Siregar, SP. MSc. Ph.D) (Ir. Isman Nuriadi) Ketua Anggota

Mengetahui :

(Prof. Dr. Ir. T. Sabrina, M. Agr, Sc) Ketua Program Studi Agroekoteknologi


(4)

REVINA SYAHDEWI PRATIWI, 2015 : Effect of photoperiod and different medium composition for micropropagation of rubber tree (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) supervised by Luthfi A. M Siregar and Isman Nuriadi.

The aimed of the research to know the influents of photoperiod of rubber tree (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) in the different medium composition. The research was carried out in the Microcutting Laboratory, PT. Perkebunan Nusantara III Kebun Gunung Pamela Tebing Tinggi, Sumatera Utara, Indonesia, from March to July 2015. The research used completely randomized design with two factors, i.e.: photoperiod, consist of 3 levels : C1 (12 h light 12 h dark) C2 (24 h light) C3 (24 h dark), and the medium with combination of growth regulators consist of 6 levels ; MS + BAP 0,5 mg/l; MS + BAP 1 mg/l; MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l; WPM + BAP 0,5 mg/l; WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l; WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l with 6 replications.

The results showed that photoperiod and medium with combination of growth regulators gave significantly to total shoot. Interaction of photoperiod and medium with combination of growth regulators gave significantly to percent of shoots, shoots lenght, percent of leaf induction, and leaves number. Photoperiod 24 h light and the medium of WPM + BAP 0,5 mg/l was the best medium to multiplication of rubber.


(5)

REVINA SYAHDEWI PRATIWI, 2015 : Pengaruh Lama Penyinaran dan Komposisi Media Terhadap Mikropropagasi Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.), dibimbing oleh Luthfi A. M. Siregar dan Isman Nuriadi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama penyinaran pada kultur in vitro tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) pada beberapa komposisi media. Penelitian ini dilaksanakan Laboratorium Kultur Microcutting Tanaman Karet PT. Perkebunan Nusantara III Kebun Gunung Pamela, Tebing Tinggi, Sumatera Utara, Indonesia. Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2015 sampai dengan Juli 2015. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 2 faktor perlakuan yaitu lama penyinaran yang terdiri dari 3 taraf yaitu C1 (12 jam terang 12 jam gelap), C2 (24 jam terang), C3 (24 jam gelap) sedangkan media dengan campuran zat pengatur tumbuh yang terdiri dari 6 taraf yaitu MS + BAP 0,5 mg/l; MS + BAP 1 mg/l; MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l; WPM + BAP 0,5 mg/l; WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l; WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l dengan 6 ulangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah tunas. Interaksi lama penyinaran dan komposisi media berpengaruh nyata terhadap persentase munculnya tunas, panjang tunas, persentase terbentuknya daun, dan jumlah daun. Lama penyinaran 24 jam terang dan media WPM + BAP 0,5 mg/l merupakan media terbaik untuk pembentukan tunas pada mikropropagasi tanaman karet.


(6)

Revina Syahdewi Pratiwi, dilahirkan di Medan pada tanggal 14 Oktober 1993 dari ayahanda Ir. Irwansyah dan ibunda Lisniati Eliza Miraza. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh adalah SDN 015 Pekanbaru lulus pada tahun 2005, SMPN 25 Pekanbaru lulus pada tahun 2008 dan SMAN 10 Pekanbaru lulus pada tahun 2011. Tahun 2011 diterima sebagai mahasiswa melalui jalur UMB (Ujian Masuk Bersama) pada program studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah berkesempatan membantu dosen menjadi asisten Laboratorium Kultur Jaringan. Selain itu penulis aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Agroekoteknologi (2014-2015).

Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di PT Wanasari Nusantara, Kebun Sei Jake Kecamatan Singingi Hilir Kabupaten Kuantan Singingi Riau pada Juli sampai Agustus 2014.


(7)

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Lama Penyinaran dan Komposisi Media Terhadap Mikropropagasi Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg)” yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Luthfi A. M. Siregar, SP., MSc., Ph.D selaku ketua komisi pembimbing

dan Bapak Ir. Isman Nuriadi., selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan serta kritik dan saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua tercinta, Ayahanda Ir. Irwansyah dan Ibunda Lisniati Eliza Miraza atas kasih sayang, semua dukungan moril dan materil serta doanya kepada penulis. Kepada Fika Novita dan Kevin Renaldi Listiawan sebagai saudara-saudara yang telah memberikan doa dan dukungannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Irvin Fauzan Lubis, SP. MM selaku staf urusan Inkubasi Bisnis Karet PTPN III Kebun Gunung Pamela, seluruh staf Laboratorium Microcutting PTPN III Kebun Gunung Pamela, Bapak Denan dan Ibu Nina yang telah banyak membantu selama di Kebun Pamela, Laboran Asni, SP. dan Rudi yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuan selama penulis melaksanakan penelitian. Serta kepada Eka Aryani Afifah, Syaidhatul Fitri, Herliza Lestari, Maya Sari Rahayu, Vidiya Novelin Asnan Lubis, Miranda Amalia Nasution, Audira Ainindya, Rosida Mahyuni, Emmy Rosita, Indriani Maya Sari Sembiring,


(8)

telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Medan, Desember 2015


(9)

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 5

Hipotesis Penelitian ... 5

Kegunaan Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman ... 6

Kultur Jaringan ... 8

Eksplan ... 11

Media Kultur Jaringan ... 13

Lingkungan In Vitro ... 15

Zat Pengatur Tumbuh ... 20

Kajian In Vitro Tanaman Karet ... 23

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 27

Bahan dan Alat Penelitian ... 27

Metode Penelitian ... 27

PELAKSANAAN PENELITIAN Sterilisasi Alat-Alat ... 30

Pembuatan Media ... 30

Persiapan Ruang Tanam ... 32

Multiplikasi ... 33

Pemeliharaan Eksplan dan Pengaturan Lama Penyinaran ... 34

Peubah Amatan ... 34

Persentase Eksplan Membentuk Tunas (%) ... 34

Umur Munculnya Tunas (hari) ... 35

Jumlah Tunas (tunas) ... 35


(10)

Jumlah Daun (helai) ... 35

Kehadiran Kalus (visual) ... 35

Warna Kalus (visual) ... 35

Morfogenesis (visual) ... 36

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Persentase Eksplan Membentuk Tunas (%) ... 37

Umur Munculnya Tunas (hari) ... 39

Jumlah Tunas (tunas) ... 39

Panjang Tunas (cm) ... 40

Persentase Eksplan Membentuk Daun (%) ... 42

Jumlah Daun (helai) ... 43

Kehadiran Kalus ... 45

Warna Kalus ... 45

Morfogenesis ... 45

Pembahasan Pengaruh lama penyinaran terhadap mikropropagasi tanaman karet ... 45

Pengaruh komposisi media yang berbeda terhadap mikropropagasi tanaman karet ... 47

Pengaruh interaksi lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda terhadap mikropropagasi tanaman karet ... 47

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 55

Saran ... 55 DAFTAR PUSTAKA


(11)

No Hal 1. Pengaruh perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang

berbeda terhadap persentase eksplan membentuk tunas (%) ... 37 2. Pengaruh perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang

berbeda terhadap umur munculnya tunas (hari) ... 39 3. Pengaruh perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang

berbeda terhadap jumlah tunas (tunas) ... 40 4. Pengaruh perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang

berbeda terhadap panjang tunas (cm) ... 41 5. Pengaruh perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang

berbeda terhadap persentase eksplan membentuk daun (%) ... 42 6. Pengaruh perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang

berbeda terhadap jumlah daun (helai) ... 43 7. Rekapitulasi peubah amatan sidik ragam pada mikropropagasi tunas

mikro tanaman karet pada lama penyinaran dan komposisi media yang


(12)

No Hal 1. Pembibitan karet dan primary culture karet ... 8 2. Akar tanaman karet yang berasal dari Microcutting ... 25 3. Eksplan sebelum membentuk tunas pada perlakuan C1 (12 jam terang)

dan media A2 (MS + BAP 1 mg/l) ... 38 4. Eksplan setelah membentuk tunas pada perlakuan C1 (12 jam terang)

dan media A2 (MS + BAP 1 mg/l) ... 38 5. Eksplan setelah membentuk daun pada perlakuan C2 (24 jam terang)


(13)

No Hal

1. Data Pengamatan Persentase Eksplan Membentuk Tunas (%) ... 61

2. Data Transformasi Persentase Munculnya Tunas Arcsin ... 62

3. Daftar Sidik Ragam Persentase Munculnya Tunas. ... 62

4. Data Pengamatan Umur Munculnya Tunas Tunas (hari) ... 63

5. Data Pengamatan Jumlah Tunas (Tunas) ... 64

6. Data Transformasi Jumlah Tunas ... 65

7. Daftar Sidik Ragam Jumlah Tunas. ... 65

8. Data Pengamatan Panjang Tunas (cm) ... 66

9. Data Transformasi Panjang Tunas ... 67

10. Daftar Sidik Ragam panjang Tunas ... 67

11. Data Pengamatan Persentase Eksplan Membentuk Daun (%) ... 68

12. Data Transformasi Persentase Terbentuknya Daun Arcsin ... 69

13. Daftar Sidik Ragam Persentase Terbentuknya Daun ... 59

14. Data Pengamatan Jumlah Daun (helai) ... 70

15. Data Transformasi Jumlah Daun ... 71

16. Daftar Sidik Ragam Jumlah Daun ... 71

17. Komposisi Medium Murashige dan Skoog (MS) ... 72

18. Komposisi Medium Woody Plant Medium (WPM) ... 73

19. Bagan Penelitian ... 74

20. Kegiatan Penelitian ... 75


(14)

REVINA SYAHDEWI PRATIWI, 2015 : Effect of photoperiod and different medium composition for micropropagation of rubber tree (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) supervised by Luthfi A. M Siregar and Isman Nuriadi.

The aimed of the research to know the influents of photoperiod of rubber tree (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) in the different medium composition. The research was carried out in the Microcutting Laboratory, PT. Perkebunan Nusantara III Kebun Gunung Pamela Tebing Tinggi, Sumatera Utara, Indonesia, from March to July 2015. The research used completely randomized design with two factors, i.e.: photoperiod, consist of 3 levels : C1 (12 h light 12 h dark) C2 (24 h light) C3 (24 h dark), and the medium with combination of growth regulators consist of 6 levels ; MS + BAP 0,5 mg/l; MS + BAP 1 mg/l; MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l; WPM + BAP 0,5 mg/l; WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l; WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l with 6 replications.

The results showed that photoperiod and medium with combination of growth regulators gave significantly to total shoot. Interaction of photoperiod and medium with combination of growth regulators gave significantly to percent of shoots, shoots lenght, percent of leaf induction, and leaves number. Photoperiod 24 h light and the medium of WPM + BAP 0,5 mg/l was the best medium to multiplication of rubber.


(15)

REVINA SYAHDEWI PRATIWI, 2015 : Pengaruh Lama Penyinaran dan Komposisi Media Terhadap Mikropropagasi Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.), dibimbing oleh Luthfi A. M. Siregar dan Isman Nuriadi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama penyinaran pada kultur in vitro tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) pada beberapa komposisi media. Penelitian ini dilaksanakan Laboratorium Kultur Microcutting Tanaman Karet PT. Perkebunan Nusantara III Kebun Gunung Pamela, Tebing Tinggi, Sumatera Utara, Indonesia. Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2015 sampai dengan Juli 2015. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 2 faktor perlakuan yaitu lama penyinaran yang terdiri dari 3 taraf yaitu C1 (12 jam terang 12 jam gelap), C2 (24 jam terang), C3 (24 jam gelap) sedangkan media dengan campuran zat pengatur tumbuh yang terdiri dari 6 taraf yaitu MS + BAP 0,5 mg/l; MS + BAP 1 mg/l; MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l; WPM + BAP 0,5 mg/l; WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l; WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l dengan 6 ulangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah tunas. Interaksi lama penyinaran dan komposisi media berpengaruh nyata terhadap persentase munculnya tunas, panjang tunas, persentase terbentuknya daun, dan jumlah daun. Lama penyinaran 24 jam terang dan media WPM + BAP 0,5 mg/l merupakan media terbaik untuk pembentukan tunas pada mikropropagasi tanaman karet.


(16)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Tanaman karet merupakan komoditi perkebunan yang penting dalam industri otomotif dan merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memberikan sumbangan besar bagi perekonomian Indonesia. Tanaman karet mulai dibudidayakan di Indonesia pada tahun 1864 di Jawa Barat. Sedangkan perkebunan karet dimulai di Sumatera Utara tahun 1903, dan di Jawa 1906. Permintaan bahan tanam karet untuk keperluan peremajaan serta pembukaan areal baru semakin meningkat belakangan ini. Akan tetapi pemenuhan kebutuhan bahan tanam untuk keperluan tersebut sulit dicapai karena rendahnya produktivitas dan mutu karet yang dihasilkan (Haris et al., 2009).

Sistem okulasi sampai saat ini masih merupakan cara propagasi terbaik pada tanaman karet, sehingga diperlukan ketersediaan batang atas dan batang bawah. Batang atas dengan karakter yang diinginkan diperoleh melalui proses seleksi dalam program pemuliaan dan kemudian diperbanyak secara klonal melalui teknik okulasi, sedangkan batang bawah umumnya merupakan tanaman asal biji (seedling). Kelemahan utama penggunaan tanaman asal biji sebagai batang bawah adalah ketersediaan biji tidak mencukupi karena tergantung musim yang umumnya hanya berlangsung satu kali dalam setahun serta adanya variasi batang. Disamping itu sering ditemukan inkompatibilitas kombinasi batang bawah dengan batang atas sehingga kombinasi tersebut kurang mampu menampilkan

potensi produksi dan karakter unggul lainnya secara maksimal (Abbas dan Ginting, 1981).


(17)

Salah satu alternatif untuk memenuhi permintaan bibit karet yang meningkat dan tidak bergantung dengan musim serta untuk menghasilkan batang bawah secara klonal yang seragam adalah dengan teknik kultur jaringan tanaman. Perbanyakan tanaman secara in vitro dapat dilakukan dengan teknik embriogenesis somatik dan teknik microcutting. Microcutting merupakan salah satu teknik mikropropagasi tanaman berbasis kultur in vitro dan telah berhasil diaplikasikan untuk perbanyakan tanaman karet asal biji (seedling) dengan menggunakan tunas aksilar sebagai eksplan. Dengan keberhasilan tersebut maka terbuka peluang untuk menghasilkan batang bawah klonal yang seragam dengan kualitas baik dan tidak tergantung musim. Penggunaan batang bawah klonal akan meningkatkan keseragaman pertanaman karet di lapang. Di samping itu, teknik tersebut membuka peluang untuk melakukan seleksi terhadap batang bawah sesuai dengan yang diinginkan. Material bahan tanam tersebut kemudian dapat diperbanyak secara klonal. Penggunaan batang bawah unggul dan klonal

berpeluang besar untuk meningkatkan produksi lateks dari batang atas (Haris et al., 2009).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis tanaman dalam kultur jaringan dapat digolongkan menjadi empat golongan yaitu genotipe, media, lingkungan tumbuh dan fisiologi jaringan sebagai eksplan. Media dan kondisi fisik lingkungan tumbuh seringkali berbeda untuk satu genus dengan genus yang lain, atau spesies tanaman tertentu dengan spesies yang lain. Tidak jarang terjadi antar varietas yang memiliki sifat yang dekat, namun kebutuhan akan lingkungan dan media berbeda. Pengaruh cahaya pada


(18)

perkembangan tanaman sering dihubungkan dengan lamanya penyinaran dan kegelapan (Muslihin, 2001).

Selain intensitas cahaya, lama penyinaran atau photoperiodisitas juga mempengaruhi pertumbuhan eksplan yang dikulturkan. Lama penyinaran umumnya diatur sesuai dengan kebutuhan tanaman sesuai dengan kondisi alamiahnya. Periode terang dan gelap umumnya diatur pada kisaran 8-16 jam terang dan 16-8 jam gelap tergantung varietas tanaman dan eksplan yang dikulturkan. Periode siang/malam (terang/gelap) ini diatur secara otomatis menggunakan timer yang ditempatkan pada saklar lampu pada ruang kultur. Dengan teknik ini penyinaran dapat diatur konstan sesuai kebutuhan tanaman (Mulyaningsih dan Aluh, 2008).

Ada tiga hal dalam pemberian cahaya yang mempengaruhi pertumbuhan dari kultur secara in vitro, yaitu panjang gelombang cahaya, intensitas cahaya (flux density) dan lama penyinaran (photoperiodisme). Pertumbuhan organ tanaman secara in vitro yang optimal seringkali memerlukan adanya cahaya, namun tidak demikian dengan proses pembelahan sel. Pada awal pembelahan sel dari eksplan yang dikulturkan dan pertumbuhan kalus kadang - kadang dihambat oleh adanya cahaya (Widyastuti, 1998).

Menurut Wattimena et al., (1992) salah satu faktor yang menentukan keberhasilan kultur jaringan adalah zat pengatur tumbuh. BAP (Benzyl Amino Purine) adalah zat pengatur tumbuh golongan sitokinin yang jika dikombinasikan dengan NAA (Naphthalene Acetic Acid) dari golongan auksin akan mendorong pembelahan sel dan pembentukan morfogenesis tanaman. NAA adalah zat pengatur tumbuh sintetik yang mampu mengatur berbagai proses pertumbuhan


(19)

dan pemanjangan sel. Menurut Fereol et al., (2002) auksin umumnya menghambat pertumbuhan tunas, sedangkan kombinasi konsentrasi sitokinin yang tinggi dengan auksin rendah penting dalam pembentukan tunas dan daun. Dalam kultur jaringan kedua golongan zat pengatur tumbuh ini terbukti berperan dalam menunjang pertumbuhan jaringan apabila digunakan pada konsentrasi yang tepat.

Pemberian hormon BAP dan NAA pada perbanyakan tanaman karet secara in vitro telah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Harahap et al., (2014) menyatakan pemberian kombinasi BAP dan NAA pada media MS menunjukkan pengaruh terhadap persentase munculnya tunas, jumlah tunas, panjang tunas dan umur munculnya tunas, dengan hasil terbaik pada perlakuan A5 (BAP 1 mg/l). Sedangkan menurut Sundari et al., (2014) pemberian kombinasi konsentrasi BAP dan NAA pada media WPM berpengaruh terhadap persentase eksplan membentuk tunas. Persentase ekplan membentuk tunas tertinggi yaitu pada perlakuan A3 (0.5 mg/l BAP + 0.25 mg/l NAA) yaitu dengan rataan sebesar 73.33.

Media yang cocok untuk tanaman tahunan adalah media WPM. Sedangkan media Murashige dan Skoog (MS) dapat digunakan pada hampir semua jenis kultur. Keistimewaan medium MS adalah kandungan nitrat, kalium dan ammoniumnya yang tinggi, dan jumlah hara anorganiknya yang layak untuk memenuhi kebutuhan banyak sel tanaman dalam kultur (Nursetiadi, 2008).

Untuk memenuhi kebutuhan batang bawah klonal karet dan untuk menemukan media serta lama penyinaran yang cocok untuk pertumbuhan karet secara in vitro, maka peneliti tertarik untuk melakukan kajian pengaruh lama penyinaran dan komposisi media terhadap mikropropagasi tanaman karet.


(20)

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh lama penyinaran terhadap pembentukan tunas mikro tanaman karet dalam beberapa komposisi media.

Hipotesis Penelitian

-Ada perbedaan pertumbuhan dan perkembangan tunas mikro tanaman karetterhadap lama penyinaran yang berbeda.

-Ada perbedaan pertumbuhan dan perkembangan tunas mikro tanaman karetterhadap beberapa komposisi media.

-Ada perbedaan interaksi antara lama penyinaran dengan beberapa jenis komposisi media terhadap pertumbuhan dan perkembangan tunas mikro tanaman karet.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna untuk mendapatkan bahan penyusunan skripsi

sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dan sebagai bahan


(21)

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman

Sistematika tanaman karet menurut Steenis (2005) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae ; Divisio : Spermatophyta, Subdivisio : Angiospermae, Kelas : Dicotyledoneae, Ordo : Euphorbiales, Famili : Euphorbiaceae, Genus : Hevea, Spesies : Hevea brassiliensis Muell. Arg.

Akar tanaman karet berupa akar tunggang yang mampu menopang batang tanaman yang tumbuh tinggi ke atas. Dengan akar seperti itu pohon karet dapat

berdiri kokoh, meskipun tingginya mencapai 25 meter (Setiawan dan Andoko, 2005).

Tanaman karet merupakan tanaman yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa 15-25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan tinggi di atas. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks (Nugroho, 2010).

Daun karet berselang-seling, tangkai daunnya panjang dan terdiri dari 3

anak daun yang licin bertangkai, petiola pendek, hijau, dan memiliki panjang 3,5-30 cm. Helaian anak daun bertangkai pendek dan berbentuk elips atau bulat

telur, pangkal sempit dan tegang, ujung runcing, sisi atas daun hijau tua dan sisi bawah agak cerah, panjangnya 5-35 cm dan lebar 2,5-12,5 cm (Sianturi, 2001).

Karet termasuk tanaman berumah satu karena memiliki bunga jantan dan betina dalam satu tanaman. Bunga karet termasuk bunga majemuk tidak terbatas yang berbentuk rangkaian yang tangkai utamanya bercabang terdiri atas beberapa malai (panicula) yang berbentuk piramida atau kerucut. Bunga betina tumbuh diujung tangkai dan cabangnya. Sedangkan bunga jantan tumbuh disetiap tangkai


(22)

bunga yang tersusun atas tiga bunga (trifolia). Kedua bunga ini memiliki tangkai pendek, berbau harum, berwarna kuning untuk bunga jantan, dan kuning kehijauan untuk bunga betina. Ukuran bunga betina umumnya lebih besar dari bunga jantan yang ukurannya sekitar 5-6 mm. Penyerbukan dapat terjadi dengan penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang (Setiawan dan Andoko, 2005).

Karet merupakan tanaman berbuah polong (diseliputi kulit yang keras) yang sewaktu masih muda buahnya berpaut erat dengan rantingnya. Buah karet dilapisi oleh kulit tipis berwarna hijau dan didalamnya terdapat kulit yang keras dan berkotak. Tiap kotak berisi sebuah biji yang dilapisi tempurung, setelah tua warna kulit buah berubah menjadi keabu-abuan dan kemudian mengering. Pada waktunya pecah dan jatuh, bijinya tercampak lepas dari kotaknya. Tiap buah tersusun atas 2-4 kotak biji. Pada umumnya berisi 3 kotak biji dimana setiap kotak terdapat satu biji. Tanaman karet mulai menghasilkan buah pada umur lima tahun dan akan semakin banyak setiap pertambahan umur tanaman (Budiman, 2012).

Buah beruang tiga, jarang yang beruang 4 hingga 6 diameter buah 3-5 cm dan terpisah 3, 4, 6. Cocci berkatup dua, pericarp berbatok, endokarp berkayu. Biji besar, bulat persegi empat, tertekan pada satu atau dua sisinya, berkilat, berwarna coklat muda, dengan noda-noda cokelat tua, panjang 2-3,5 cm dan lebar 1,5-3 cm dan tebal 1,5-2,5 cm (Sianturi, 2001).

Biji karet terdapat dalam setiap ruang buah. Jadi jumlah biji biasanya ada tiga kadang enam sesuai dengan jumlah ruang. Ukuran biji besar dengan kulit keras. Warnanya cokelat kehitaman dengan bercak-bercak berpola yang khas (Budiman, 2012).


(23)

Gambar 1. Pembibitan karet dan primary culture karet (Sumber : Montoro et al., 2012)

Kultur Jaringan

Kultur jaringan merupakan salah satu teknik perbanyakan yang menggunakan sel atau jaringan tanaman yang diisolasi dari bagian tanaman seperti protoplasma, sel atau sekelompok sel, yang selanjutnya disebut eksplan, distimulasi untuk membentuk tanaman secara utuh menggunakan media dan lingkungan tumbuh yang sesuai (Gunawan, 1988). Pada media aseptik yang mengandung unsur hara makro mikro, iron, vitamin dan zat pengatur tumbuh yang diperlukan tanaman, sel atau jaringan tersebut akan membelah dan

membentuk kalus atau organ tanaman secara langsung (tunas/akar) (Haryanto, 1991).

Teknik kultur jaringan digunakan bukan hanya sebagai sarana untuk mempelajari aspek-aspek fisiologi dan biokimia tanaman saja, tetapi sudah berkembang menjadi metoda untuk berbagai tujuan seperti mikropropagasi (perbanyakan tanaman secara mikro), perbaikan tanaman, produksi tanaman yang bebas penyakit, transformasi genetik dan produksi senyawa metabolit sekunder.


(24)

Teknik kultur jaringan telah digunakan dalam membantu produksi tanaman dalam skala besar melalui mikropropagasi atau perbanyakan klonal dari berbagai jenis tanaman. Jaringan tanaman dalam jumlah yang sedikit dapat menghasilkan ratusan atau ribuan tanaman secara terus menerus. Teknik ini telah digunakan dalam skala industri di berbagai negara untuk memproduksi secara komersial berbagai jenis tanaman seperti tanaman hias, tanaman buah-buahan dan kehutanan. Dengan menggunakan metoda kultur jaringan, jutaan tanaman dengan sifat genetis yang sama dapat diperoleh hanya dengan berasal dari satu mata tunas. Oleh karena itu metoda ini menjadi salah satu alternatif dalam perbanyakan tanaman secara vegetatif (Kusuma, 2010).

Dibanding dengan perbanyakan tanaman secara konvensional, perbanyakan tanaman secara kultur jaringan mempunyai beberapa kelebihan sebagai berikut : perbanyakan tanaman secara kultur jaringan menawarkan peluang besar untuk menghasilkan jumlah bibit tanaman yang banyak dalam waktu relatif singkat sehingga lebih ekonomis, tidak memerlukan tempat yang luas, dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa bergantung pada musim, bibit yang dihasilkan lebih sehat dan memungkinkan dilakukannya manipulasi genetik (Yusnita, 2003).

Kultur jaringan akan lebih besar persentase keberhasilannya bila menggunakan jaringan meristem. Jaringan meristem adalah jaringan muda, yaitu jaringan yang terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dindingnya tipis belum mempunyai penebalan zat pectin, plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil. Kebanyakan orang menggunakan jaringan ini untuk tissue culture. Sebab, jaringan meristem keadaannya selalu membelah, sehingga diperkirakan


(25)

mempunyai zat hormon yang mengatur pembelahan (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Metode mikropropagasi dapat dideskripsikan sebagai multiplikasi tanaman secara in vitro dengan menggunakan media buatan aseptik yang mengandung larutan nutrisi, bahan organik, dan zat pengatur tumbuh (ZPT). Metode mikropropagasi yang sering digunakan untuk produksi bibit secara komersial adalah teknik kultur tunas. Kultur tunas adalah perbanyakan tanaman dengan cara merangsang (proliferasi) pertumbuhan tunas aksilar atau adventif yang sudah ada pada eksplan (Sulistiani dan Yani 2012).

Proses perbanyakan tanaman karet melalui teknologi microcutting terdiri atas beberapa tahap, yaitu kultur primer (primary culture), multiplikasi, conditioning (hardening), induksi dan inisiasi perakaran serta aklimatisasi. Kultur primer merupakan tahap penanaman eksplan pada medium pertumbuhan steril untuk menginisiasi kultur aseptik, yang merupakan tahap awal dalam teknologi kultur jaringan. Eksplan pada tahap kultur primer merupakan potongan batang tanaman karet muda yang dipelihara dalam polibag di rumah kaca dan eksplan tersebut memiliki minimal satu mata tunas aksiler (axillary bud). Dalam kondisi in vitro, eksplan yang bebas dari kontaminan dan tumbuh baik dapat diperbanyak melalui subkultur berulang-ulang sehingga kultur primer merupakan tahap yang menentukan untuk keberhasilan dan keberlanjutan perbanyakan tanaman menggunakan teknologi tersebut (Haris et al., 2009).

Perbanyakan batang bawah tanaman karet secara klonal melalui teknologi in vitro microcutting telah berhasil dilakukan. Bibit karet yang dihasilkan melalui teknik ini memiliki perakaran yang kuat dan kokoh. Pengamatan di lapang pada


(26)

pertanaman muda menunjukkan pertumbuhan yang seragam dan memiliki bentuk konikal pada batang bagian bawah (Carron et al., 2003). Teknologi in vitro microcutting karet ini kemudian berhasil diaplikasikan dan diadaptasi pada lingkungan tropik di Indonesia (Sumaryono et al., 2012).

Perbanyakan tanaman secara in vitro dengan menggunakan kultur tunas pucuk merupakan salah satu teknik mikropropagasi yang dilakukan dengan mengkulturkan eksplan yang mengandung meristem pucuk dengan tujuan perangsangan dan perbanyakan tunas-tunas atau cabang-cabang aksilar sedangkan

kultur tunas aksilar adalah kultur mata tunas untuk merangsang munculnya tunas-tunas aksilar dari mata tunas yang dikulturkan (Djumat, 2014).

Pada tahap multiplikasi, perbanyakan dapat dilakukan dengan cara merangsang terjadinya pertumbuhan tunas cabang dan percabangan aksilar atau merangsang terbentuknya tunas pucuk tanaman secara adventif, baik secara langsung maupun melalui induksi kalus terlebih dahulu. Seperti halnya dalam kultur fase inisiasi, di dalam media harus terkandung mineral, gula, vitamin, dan hormon dengan perbandingan yang dibutuhkan secara tepat. Hormon yang digunakan untuk merangsang pembentukan tunas tersebut berasal dari golongan sitokinin seperti BAP, 2-iP, kinetin, atau thidiadzuron (TDZ) (Jumroh, 2013). Eksplan

Bahan tanaman yang dikulturkan lazim disebut eksplan. Dalam perbanyakan tanaman secara kultur jaringan, eksplan merupakan faktor penting penentu keberhasilan. Umur fisiologis, umur ontogenetik, ukuran eksplan serta bagian tanaman yang diambil merupakan hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih eksplan yang akan digunakan sebagai bahan awal kultur.


(27)

Umumnya bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah jaringan muda yang sedang tumbuh aktif. Jaringan tanaman yang masih muda mempunyai daya regenerasi lebih tinggi, sel-selnya masih aktif membelah diri, dan relatif lebih bersih (mengandung lebih sedikit kontaminan) (Yusnita, 2003).

Sumber asal eksplan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan potensial morfogenetiknya. Eksplan yang berasal dari satu jenis organ misalnya, juga diketemukan adanya keragaman dalam regenerasinya. Ukuran eksplan untuk dikulturkan juga mempengaruhi keberhasilannya. Ukuran yang terlampau kecil akan kurang daya tahannya bila dikulturkan, sementara bila terlampau besar akan sulit mendapatkan eksplan yang steril. Setiap jenis tanaman maupun organ memiliki ukuran eksplan yang optimum untuk dikulturkan (Armini et al., 1992).

Fase multiplikasi dapat dibedakan atas multiplikasi awal, yang merupakan subkultur pertama setelah kultur primer, serta multiplikasi tahap lanjut yang merupakan subkultur kedua dan seterusnya. Pada fase multiplikasi awal, bahan tanam karet adalah eksplan dari pembibitan tanaman karet yang memasuki tahap akhir pada kultur primer.

Dengan demikian eksplan dapat terdiri dari 3 macam, yakni : stock explant (S), nodal explant (N), dan shoots (ST). Multiplikasi dilaksanakan melalui pemisahan masing-masing jenis eksplan pada setiap akhir periode kultur dan kemudian dikulturkan kembali pada media yang sesuai. Tahapan ini dapat dilakukan secara berulang-ulang yang ditujukan untuk memperbanyak jumlah tanaman (Haris et al., 2009).

Secara umum terdapat empat sumber yang digunakan dalam perbanyakan mikro (micropropagation) untuk menghasilkan planlet, yaitu meristem, apex,


(28)

nodus (node) dan bermacam-macam eksplan. Meristem, apex dan nodus dapat dikulturkan menjadi tunas. Tunas yang dihasilkan selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber untuk menghasilkan tunas-tunas baru dengan menggunakan percabangan axilari. Tunas-tunas tersebut kemudian dapat dikembangkan lebih lanjut sehingga terbentuk perakaran dan akhirnya menjadi planlet (Fitriani, 2008).

Menurut Debergh dan Zimmerman (1991) banyak mikropropagasi menggunakan eksplan dari tunas apikal dan aksilar. Hanya dalam jumlah terbatas dari bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan lain, seperti daun dan bunga (Purwanto, 2008).

Perbanyakan tanaman karet dengan teknik microcutting memerlukan sumber eksplan yang juvenil. Sumber eksplan untuk teknik microcutting tanaman karet harus dipersiapkan dalam kondisi benar-benar juvenil. Oleh karena itu pendekatan awal dilakukan melalui penyediaan batang bawah klonal tanaman karet. Setelah pendekatan tersebut dibuktikan, konsep selanjutnya perlu disusun dan dilaksanakan, yakni pada target klon-klon yang sudah direkomendasikan dan terbukti memilih sifat-sifat unggul di lapangan (Haris et al., 2009).

Media Kultur Jaringan

Media kultur merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan perbanyakan tanaman secara kultur jaringan. Media kultur tersebut, fisiknya dapat berbentuk cair atau padat. Komponen media kultur yang lengkap sebagai berikut : 1. Air distilasi (akuades) atau air bebas ion sebagai pelarut atau solve

2. Hara makro dan mikro

3. Gula (umumnya sukrosa) sebagai sumber energi 4. Vitamin, asam amino dan bahan organik lain


(29)

5. Zat Pengatur Tumbuh

6. Suplemen berupa bahan-bahan alami, jika diperlukan 7. Agar-agar atau gelrite sebagai pemadat media

(Yusnita, 2003).

Media yang digunakan merupakan faktor yang mendukung keberhasilan dalam kultur. Media yang digunakan dapat berbentuk padat, semi padat, dan cair. Proses pengakaran lebih baik dilakukan dalam media padat sampai terbentuk tanaman lengkap. Pembentukan bagian tanaman (morfogenesis) langsung maupun tidak langsung tergantung pada jenis dan konsentrasi yang tepat dari senyawa organik, anorganik dan zat pengatur tumbuh dalam suatu media kultur (Wattimena et al., 1992).

Kesuksesan kegiatan kultur jaringan akan sangat ditentukan dan tergantung oleh pilihan media yang digunakan. Harus diingat bahwa teknik kultur jaringan menekankan lingkungan yang cocok agar eksplan dapat tumbuh dan berkembang. Secara umum kebutuhan nutrisi kebanyakan tanaman sama, tetapi secara khusus hal tersebut berbeda. Kesamaannya adalah tanaman memerlukan hara makro dan mikro, vitamin-vitamin, karbohidrat (gula), asam amino dan N-organik, zat pengatur tumbuh, zat pemadat dan kadang ada penambahan bahan-bahan. Kebutuhan tiap tanaman berbeda pada hal komposisi dan jumlah yang diperlukan (Santoso dan Nursandi, 2001).

Komposisi garam dalam medium dasar Murashige dan Skoog (MS) merupakan media yang paling umum digunakan khususnya untuk morfogenesis, kultur meristem, dan regenerasi tanaman. Medium ini digunakan untuk hampir semua macam tanaman. Media ini punya konsentrasi garam-garam mineral yang


(30)

tinggi dan senyawa N dalam bentuk NO3- dan NH4+. Medium dasar Woody Plant Medium (WPM) dan Anderson digunakan untuk menanam tanaman

dari eksplan yang keras, umumnya digunakan untuk tanaman berkayu (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Keberhasilan perbanyakan secara massal klon tanaman secara in vitro sangat tergantung pada komposisi media tumbuh yang sesuai dan pemilihan bahan eksplan yang tepat. Tetapi kebutuhan optimum unsur hara dan zat pengatur tumbuh bervariasi antar setiap fase perbanyakan antar varietas dan klon. Umumnya media yang digunakan untuk tanaman berkayu adalah Woody Plant Medium (WPM) pada perbanyakan tanaman secara in vitro. Media WPM dan modifikasi konsentrasi persenyawaannya dengan penambahan auksin dan sitokinin merupakan komposisi media tumbuh untuk inisiasi kalus, shootlet, rootlet, dan untuk planlet (Satria et al., 1999).

Media kultur jaringan yang dirancang untuk tanaman berkayu seperti buah-buahan adalah WPM hasil komposisi dari Llyoyd dan McCown 1981. Media WPM merupakan media dengan konsentrasi ion yang rendah pada jaman sesudah penemuan media MS. Media ini konsisten sebagai media untuk tanaman berkayu yang dikembangkan oleh ahli lain, tetapi sulfat yang digunakan lebih tinggi dari sulfat pada media tanaman berkayu lain (Gunawan, 1992).

Lingkungan in Vitro

Kondisi lingkungan yang menentukan keberhasilan pembiakan tanaman dengan kultur jaringan meliputi cahaya, suhu, dan komponen atmosfer. Cahaya dibutuhkan untuk mengatur proses morfogenetik tertentu. Dalam teknik kultur jaringan tanaman, cahaya dinyatakan dengan dimensi lama penyinaran, intensitas,


(31)

dan kualitasnya. Kebutuhan lama penyinaran pada kultur jaringan tanaman merupakan pencerminan dari kebutuhan periodisitas tanaman yang bersangkutan di lapangan. Kualitas cahaya mempengaruhi arah diferensiasi jaringan. Energi radiasi mendekati spektrum ultra violet dan biru merupakan kualitas cahaya yang paling efektif untuk merangsang pembentukan tunas, sedangkan pembentukan akar dirangsang oleh cahaya merah dan sedikit cahaya biru. Untuk itu, pada tahap inisiasi dan multiplikasi tunas digunakan pencahayaan dengan lampu fluorescent (TL). Secara umum intensitas cahaya yang optimal untuk tanaman pada kultur tahap inisiasi kultur adalah 0-1.000 lux, tahap multiplikasi sebesar 1.000-10.000 lux, tahap pengakaran sebesar 10.000-30.000 lux, dan tahap aklimatisasi sebesar 30.000 lux (Yusnita, 2003).

Tiga kualitas cahaya yang sangat jelas mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis tanaman secara in vitro adalah panjang gelombang, kerapatan flux dan durasi panjang penyinaran (fotoperiodisme). Peranan cahaya tidak terlalu penting pada fotosintesis in vitro dibandingkan dengan fotosintesis in vivo. Laju fotosintesis pada kebanyakan bahan tanaman yang dikulturkan secara in vitro relatif rendah karena kultur tersebut sangat tergantung pada suplai sukrosa dari luar (dari medium). Oleh karena itu, pentingnya cahaya di kultur jaringan terletak pada pengaruhnya terhadap fotomorfogenesis bukan fotosintesis. Pertumbuhan in vitro jaringan tanaman yang telah terorganisasi pada umumnya tidak mengalami hambatan karena cahaya, bahkan cahaya seringkali dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Sebaliknya, inisiasi pembelahan sel pada eksplan dan pertumbuhan jaringan kalus kadang-kadang mengalami hambatan dengan adanya cahaya. Dalam hal ini, terdapat perbedaan yang jelas antar


(32)

jaringan berbagai spesies tanaman dalam kaitannya dengan respons jaringan tersebut terhadap cahaya (George and Sherrington, 1984).

Faktor pentìng lain yang juga perlu mendapat perhatian, adalah pH yang harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu fungsi membran sel dan pH dari sitoplasma. Pengaturan pH selain memperhatikan kepentingan fisiologi sel, juga harus mempertimbangkan faktor–faktor kelarutan dari garam-garam penyusun media, pengambilan dari zat pengatur tumbuh dan garam-garam lain, dan efisiensi pembekuan agar-agar. Sel-sel tanaman membutuhkan pH yang sedikit asam berkisar antara 5.5-5.8. Pengaturan pH, biasa dilakukan dengan menggunakan NaOH (kadang-kadang KOH) atau HCl pada waktu semua komponen sudah dicampurkan, seringkali setelah sterilisasi pH-nya berubah. Pada umumnya terdapat penurunan pH setelah disterilkan dalam autoclaf. Untuk mencapai pH sekitar 5.7-5.9, George dan Sherrington (1984) membuat pH 7.0 dalam media yang belum disterilkan. Untuk menghindarkan perubahan pH yang cukup besar. Murashige dan Skoog (1962) dalam George dan Sherrington (1984) menyarankan agar dilakukan pemanasan untuk melarutkan agar-agar dan memanaskan beberapa menit media dalam autoklaf, baru diadakan penetapan pH. Cara lain yang dilakukan adalah penetapan pH setelah media disterilkan dalam autoclave. Dalam wadah yang besar media disterilkan dan kemudian dititrasi dengan NaOH/HCl steril sampai pH yang diinginkan. Selanjutnya media dituang ke dalam wadah kultur steril yang telah dipersiapkan di dalam air flow cabinet. Cara ini juga digunakan pada penelitian yang menggunakan media dengan pH rendah untuk tujuan seleksi (Gunawan, 1988).


(33)

Temperatur yang dibutuhkan untuk dapat terjadi pertumbuhan yang optimal umumnya adalah berkisar di antara 200-300C. Sedangkan temperatur optimum untuk pertumbuhan kalus endosperm adalah sekitar 250C. Faktor lingkungan, disamping faktor makanan (media tanam) yang cocok, dapat mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Pemeliharaan kondisi lingkungan kultur yang optimum dalam kultur in vitro merupakan kunci utama dari keseluruhan langkah kerja. Pada kultur in vitro dibutuhkan cahaya, suhu, dan RH (relative humidity) yang konstan. Seperti halnya pertumbuhan tanaman dalam kondisi in vivo, kuantitas dan kualitas cahaya, yaitu intensitas, lama penyinaran dan panjang gelombang cahaya mempengaruhi pertumbuhan eksplan dalam kultur in vitro. Pertumbuhan organ atau jaringan tanaman dalam kultur in vitro umumnya tidak dihambat oleh cahaya, namun pertumbuhan kalus umumnya dihambat oleh cahaya. Pada perbanyakan tanaman secara in vitro, kultur umumnya diinkubasikan pada ruang penyimpanan dengan penyinaran. Suhu yang umum dibutuhkan oleh sebagian besar tanaman antara 22°C dan 27°C, tergantung jenis tanaman, tingkat pertumbuhan tanaman. Pada suhu ruang kultur dibawah optimum, pertumbuhan eksplan lebih lambat, namun pada suhu diatas optimum pertumbuhan tanaman juga terhambat akibat tingginya laju respirasi eksplan. RH yang umum dibutuhkan ialah 98-100%. Beberapa tanaman lebih efektif pada RH 88-94%. Ruangan kultur dengan RH <40% menyebabkan desikasi (kekeringan) media, meningkatnya kadar garam dalam media, dan bahan menjadi kering (Altman dan Loberant, 1998).

Secara umum agar kegiatan kultur jaringan berjalan dengan baik dan bahan tanaman dapat tumbuh berkembang seperti yang diharapkan, maka pada


(34)

tahap inkubasi di ruang kultur pengendalian suhu, cahaya, tingkat kelembaban, dan beberapa faktor lingkungan lain yang menunjang adalah merupakan hal penting yang perlu mendapat perhatian. Kontaminasi seringkali terjadi setelah inkubasi berjalan beberapa lama. Penyemprotan dengan alkohol 70% secara intensif ke seluruh ruangan kultur merupakan pencegahan yang dapat dilakukan (Santoso dan Nursandi, 2001).

Keberadaan cahaya menentukan terbentuknya kalus. Beberapa tanaman memerlukan cahaya dalam induksi kalus, regenerasi kalus, dan ada pula yang tidak memerlukan cahaya (gelap total). Teknik perbanyakan tanaman secara in vitro, umumnya diinkubasikan pada ruang penyimpanan dengan penyinaran kecuali pada teknik perbanyakan yang diawali dengan pertumbuhan kalus (Mulyaningsih and Aluh 2008). Induksi kalus dari eksplan daun pada kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) yang dilakukan oleh Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT) Serpong, Tangerang, optimal dilakukan di ruang gelap selama 2 bulan begitu juga induksi kalus dari anter karet (Hevea brasiliensis) (Jayasree, 2009). Penelitian terhadap pertumbuhan kalus dan pembentukan senyawa alkaloid kinolina pada Cinchona ledgeriana dipengaruhi oleh umur kalus dan ada tidaknya cahaya (Grace, 2005). Induksi kalus pada anter anggur optimal pada fotoperiode 16 jam terang dan 8 jam gelap dan gelap total (Tangolar et al., 2008).

Efek lama penyinaran pada tanaman umumnya terkait dengan sistem fitokrom, bentuk pigmen fitokrom merah panjang (Pfr) secara bertahap terakumulasi selama siang hari dan beralih progresif untuk fitokrom merah (Pr) selama kegelapan. Lama penyinaran diharapkan mempengaruhi tingkat substansi


(35)

pertumbuhan alami dalam jaringan tanaman yang dibudidayakan. Umumnya ditemukan bahwa tanaman yang tumbuh pada penyinaran panjang menunjukkan kandungan auksin endogen lebih tinggi daripada tanaman yang berhari pendek (George and Sherrington, 1984).

Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh (ZPT) didefinisikan sebagai senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil (10-6-10-5 mM) yang disintesiskan pada bagian tertentu tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis dan morfologis (Wattimena et al., 1992).

Terdapat kisaran interaksi yang luas antara kelompok auksin dengan kelompok sitokinin. Kedua kelompok zat pengatur tumbuh tersebut berinteraksi pula dengan senyawa senyawa kimia lainya dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, seperti cahaya dan suhu. Pada kondisi tertentu auksin dapat bereaksi dengan menyerupai sitokinin atau sebaliknya (Kyte, 1983).

Sitokinin merupakan senyawa organik yang menyebabkan pembelahan sel yang dikenal dengan proses sitokinesis. Sitokinin mempengaruhi berbagai proses fisiologis didalam tanaman terutama mendorong pembelahan sel. Salah satu jenis ZPT dari golongan sitokinin yang sering dipakai dalam kultur jaringan yaitu BAP. BAP merupakan salah satu sitokinin sintetik yang aktif dan daya merangsangnya lebih lama karena tidak mudah dirombak oleh enzim dalam tanaman. Auksin terutama untuk pertumbuhan kalus, suspensi sel dan pertumbuhan akar. Bersama-sama sitokinin dapat mengatur tipe morfogenesis yang dikehendaki. Pemilihan konsentrasi dan jenis auksin ditentukan oleh kemampuan dari jaringan


(36)

yang dikultur (eksplan) untuk mensintesis auksin secara alamiah. Pada sitokinin dengan konsentrasi tinggi yang mendorong proliferasi tunas sebaliknya menghambat penghambat akar. Zat pengatur pada eksplan tergantung dari zat pengatur tumbuh endogen dan zat pengatur eksogen yang diserap dari media tumbuh. Konsentrasi yang diperlukan dari masing-masing ZPT auksin dan sitokinin tergantung dari jenis eksplan, genotip, kondisi kultur serta jenis auksin dan sitokinin yang dipergunakan (Wattimena et al., 1992).

Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan kultur jaringan adalah zat pengatur tumbuh. BAP adalah zat pengatur tumbuh golongan sitokinin yang jika dikombinasikan dengan NAA dari golongan auksin akan mendorong pembelahan sel dan pembentukan morfogenesis tanaman. Media kultur jaringan yang dirancang untuk tanaman berkayu seperti buah-buahan adalah WPM hasil komposisi dari Llyoyd dan McCown, 1981. Media WPM merupakan media dengan konsentrasi ion yang rendah pada jaman sesudah penemuan media MS. Media ini konsisten sebagai media untuk tanaman berkayu yang dikembangkan oleh ahli lain, tetapi sulfat yang digunakan lebih tinggi dari sulfat pada media tanaman berkayu lain (Gunawan, 1992).

Sitokinin (BAP) berfungsi sebagai perangsang pertumbuhan tunas, berpengaruh terhadap metabolisme sel, pembelahan sel, merangsang sel, mendorong pembentukan buah dan biji, mengurangi dormansi apikal, serta mendorong inisiasi tunas lateral (Wattimena et al., 1992).


(37)

dan hormon ini terdapat pada tanaman dalam jumlah yang kecil. Pemberian senyawa-senyawa sintetik tersebut akan mengubah keseimbangan hormon dalam tanaman hingga menimbulkan suatu respon tertentu (Manurung, 1995).

Auksin umumnya menghambat pertumbuhan tunas, sedangkan kombinasi konsentrasi sitokinin yang tinggi dengan auksin rendah penting dalam pembentukan tunas dan daun. Dalam kultur jaringan kedua golongan zat pengatur tumbuh ini terbukti berperan dalam menunjang pertumbuhan jaringan apabila digunakan pada konsentrasi yang tepat (Fereol et al., 2002)

Auksin adalah sekelompok senyawa yang fungsinya merangsang pemanjangan sel-sel pucuk. Pierik (1997) menyatakan bahwa pada umumnya auksin meningkatkan pemanjangan sel, pembelahan sel, dan pembentukan akar adventif. Auksin berpengaruh pula untuk menghambat pembentukan tunas adventif dan tunas aksilar, namun kehadirannya dalam medium kultur dibutuhkan untuk meningkatkan embriogenesis somatik pada kultur suspensi sel. Konsentrasi auksin yang rendah akan meningkatkan pembentukan akar adventif, sedangkan auksin konsentrasi tinggi akan merangsang pembentukan kalus dan menekan morfogenesis. NAA adalah auksin sintetik yang sering ditambahkan dalam media tanam karena mempunyai sifat lebih stabil, NAA tidak mudah terurai oleh enzim

yang dikeluarkan sel atau pemanasan pada proses sterilisasi (Wulandari et al., 2004).

Sitokinin biasanya tidak digunakan untuk tahap pengakaran pada mikropropogasi karena aktivitasnya yang dapat menghambat pembentukan akar, menghalangi pertumbuhan akar, dan menghambat pengaruh auksin terhadap inisiasi akar pada kultur jaringan sejumlah spesies tertentu. apabila ketersediaan


(38)

sitokinin di dalam medium kultur sangat terbatas maka pembelahan sel pada jaringan yang dikulturkan akan terhambat. Akan tetapi, apabila jaringan tersebut disubkulturkan pada medium dengan kandungan sitokinin yang memadai maka pembelahan sel akan berlangung secara sinkron (George dan Sherrington, 1984).

Modifikasi media kultur jaringan dengan menambah zat pengatur tumbuh perlu dilakukan untuk menaikkan persentase keberhasilannya. Ada dua jenis hormon tanaman (auksin dan sitokinin) yang banyak dipakai dalam propagasi secara in vitro. Auksin dapat merangsang pembentukan akar sedangkan sitokinin berperan sebagai perangsang pembelahan sel dalam jaringan yang dibuat eksplan serta merangsang pertumbuhan tunas daun (Wetherel, 1982). Golongan auksin yang ditambahkan dalam media pada penelitian ini adalah NAA sedangkan golongan sitokininnya adalah BAP.

Kajian In Vitro Tanaman Karet

Kultur in vitro tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) dapat dilakukan dengan microcutting dan embriogenesis somatik. Teknologi in vitro microcutting karet dikembangkan untuk menghasilkan batang bawah klonal guna memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kualitas batang bawah yang selama ini dihasilkan dari biji. Meningkatnya kebutuhan batang bawah menyebabkan ketersediaan biji tidak mencukupi lagi karena tergantung pada beberapa klon karet penghasil biji batang bawah dan pada musim biji yang hanya berlangsung satu kali dalam setahun. Di samping itu, kelemahan lain dari penggunaan bibit asal biji sebagai batang bawah adalah adanya keragaman batang bawah dan kekurangmampuan kombinasi batang atas dan batang bawah menampilkan


(39)

potensi produksi dan karakter unggul lain secara maksimal karena perbedaan tingkat juvenilitas (Sumaryono et al., 2012).

Dari berbagai cara perbanyakan tanaman secara klonal, setek (cutting) merupakan cara yang relatif sederhana dibandingkan dengan teknik lainnya seperti penyambungan (grafting) atau penempelan mata tunas (budding). Keistimewaan setek selain merupakan perbanyakan vegetatif adalah bahan tanam yang dihasilkan merupakan klon utuh (whole clone) karena tidak memerlukan batang bawah seperti pada proses penyambungan atau penempelan. Bahan tanam yang diperoleh melalui setek jauh lebih seragam disebabkan tidak terdapat pengaruh batang bawah yang umumnya berasal dari biji. Akan tetapi aplikasi setek pada tanaman karet dewasa terkendala karena tingkat keberhasilan rendah serta kesulitan mendapatkan akar tunggang, sehingga tanaman rentan terhadap kekeringan dan angin (Webster, 1989). Oleh karena itu cara perbanyakan yang digunakan adalah melalui okulasi atau budding yaitu dengan menempelkan mata tunas batang atas ke batang bawah sehingga bersifat semi vegetatif karena memerlukan batang bawah untuk mendukung klon batang atas.

Di era tahun 1980-an, perbanyakan bahan tanam karet melalui kultur in vitro banyak dilakukan di CIRAD (France Agricultural Research Centre for International Development) Perancis, menggunakan dua macam teknik, yaitu somatik embriogenesis dan in vitro microcutting. Khusus untuk teknik in vitro microcutting keberhasilan dicapai dengan menggunakan eksplan yang berasal dari tanaman seedling muda. Sepanjang tahun 1988 sampai dengan 1993, sebanyak 50.000 planlet asal in vitro microcutting berhasil diperoleh, dan kemudian dikirimkan untuk pengujian aklimatisasi dan pengujian lapang ke beberapa lokasi


(40)

di Afrika, antara lain Ivory Coast dan Gabon. Dari hasil pengujian tersebut diperoleh beberapa informasi penting, antara lain adalah sistem perakaran tanaman karet asal in vitro microcutting menyerupai sistem perakaran tanaman karet asal seedling yaitu suatu kondisi yang sulit dicapai melalui perbanyakan stek konvensional di masa lalu (Haris, 2013).

Bibit karet yang dihasilkan melalui teknik ini memiliki perakaran yang kuat dan kokoh. Pengamatan di lapang pada pertanaman muda menunjukkan pertumbuhan yang seragam dan memiliki bentuk konikal pada batang bagian bawah (Carron et al., 2003).

Gambar 2. Akar tanaman karet yang berasal dari microcutting

Penelitian tentang kultur jaringan tanaman karet telah dilakukan juga oleh Harahap et al. (2014) yang menyatakan pemberian kombinasi BAP dan NAA pada media MS untuk kultur jaringan tanaman karet menunjukkan pengaruh


(41)

umur munculnya tunas, dengan hasil terbaik pada perlakuan A5 (BAP 1 mg/l).

Berdasarkan hasil penelitian Sundari et al. (2014) yang menyimpulkan bahwa pemberian kombinasi konsentrasi BAP dan NAA pada media WPM berpengaruh terhadap persentase eksplan membentuk tunas. Persentase eksplan hidup tertinggi juga terdapat pada perlakuan A3 (0.5 mg/l BAP + 0.25 mg/l NAA) yaitu sebesar 73.33 %. Persentase ekplan membentuk tunas tertinggi yaitu pada perlakuan A3 (0.5 mg/l BAP + 0.25 mg/l NAA) yaitu dengan rataan sebesar 73.33 sedangkan yang terendah adalah pada perlakuan A5 (1 mg/l BAP) yaitu 13.33.

Perbanyakan bahan tanam yang sesungguhnya adalah pada tahap multiplikasi karena pada tahap ini dilakukan pemotongan dan perbanyakan eksplan dengan cara memisahkan stock, nodal dan tunas, untuk kemudian ditumbuhkan dan dipelihara dalam media baru yang sesuai dengan jenis eksplannya. Karena tahap ini dapat dilakukan antara 3-12 siklus, maka jumlah eksplan akan meningkat dari waktu ke waktu. Laju multiplikasi tertinggi terdapat berbagai bentuk eksplan yang tumbuh dan berkembang membentuk tunas atau daun-daun baru (Haris et al., 2006).


(42)

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Microcutting Tanaman Karet PT. Perkebunan Nusantara III Kebun Gunung Pamela Tebing Tinggi, Sumatera

Utara, Indonesia. Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2015 sampai dengan Juli 2015.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bonggol (stock) yang memiliki satu mata tunas dari hasil primary culture tanaman karet dengan genotipe 91 yang merupakan koleksi dari PTPN III, komposisi media yang digunakan larutan stok media MS dan WPM sebagai media tumbuh tanaman dengan NAA dan BAP sebagai zat pengatur tumbuh (ZPT) yang digunakan. Bahan penyusun media lainnya, agar, aquades steril, dan bahan lainnya yang mendukung penelitian ini.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), tabung uji, autoklaf, steri box, timbangan analitik, rak kultur, hot plate dengan magnetik stirer, erlenmeyer, gelas ukur, kaca tebal, pipet ukur, pinset, gunting, scalpel, lampu bunsen, pH meter, oven, kertas plano, aluminium foil, kompor gas, minisar, mikropipet, tip, pipet tetes, dan alat-alat lainnya yang mendukung penelitian ini.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan dua faktor perlakuan yaitu :


(43)

Faktor I : Lama Penyinaran dengan 3 jenis kategori yaitu : C1 : 12 Jam Terang, 12 Jam Gelap

C2 : 24 Jam Terang C3 : 24 Jam Gelap

Faktor II : Komposisi media kultur dengan campuran zat pengatur tumbuh dengan 6 taraf yaitu :

A1 : MS + BAP 0,5 mg/l A2 : MS + BAP 1 mg/l

A3 : MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l A4 : WPM + BAP 0,5 mg/l

A5 : WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l A6 : WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l Sehingga diperoleh kombinasi perlakuan sebagai berikut:

C1A1 C2A1 C3A1

C1A2 C2A2 C3A2

C1A3 C2A3 C3A3

C1A4 C2A4 C3A4

C1A5 C2A5 C3A5

C1A6 C2A6 C3A6

Jumlah perlakuan : 18

Jumlah ulangan : 6

Jumlah eksplan tiap tabung uji : 1 Jumlah seluruh eksplan : 108 Jumlah seluruh tanaman : 108


(44)

Model liner dari sidik ragam penelitian sebagai berikut: Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + ε ijk

i = 1,2, 3 j = 1,2,3,4,5,6 k = 1,2,3…6

Yijk = Nilai pengamatan unit percobaan pada perlakuan lama penyinaran ke-i,

Media dengan campuran zat pengatur tumbuh ke-j, dan ulangan ke-k µ = Nilai tengah umum

αi = Pengaruh lama penyinaran ke-i

βj = Pengaruh media dengan campuran zat pengatur tumbuh ke-j

(αβ)ij = Nilai tambah pengaruh interaksi lama penyinaran ke-i dan media dengan zat pengatur tumbuh ke-j

εijk = Galat percobaan

Jika perlakuan berbeda nyata dalam sidik ragam maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (Duncan Multiple Range Test) pada α = 5% (Steel and Torrie, 1995).


(45)

PELAKSANAAN PENELITIAN Sterilisasi Alat

Alat-alat dissecting-set dan glass ware yang akan digunakan untuk kultur in vitro dicuci dan dikeringkan. Kemudian bungkus tabung dengan plastik tahan panas atau letakkan pada rak tabung, sedangkan untuk botol biasanya bisa langsung diletakkan pada autoklaf. Disterilkan tabung/botol dengan autoklaf pada tekanan 1 atm dan suhu 121oC selama 60 menit. Setelah itu sterilkan secara kering tabung uji/botol di dalam oven pada suhu 150oC selama 1-2 jam.

Pembuatan Media

MS (Murashige and Skoog)

Media yang digunakan adalah media Murashige and Skoog (MS) padat. Sebelum dilakukan pembuatan media MS, dilakukan pembuatan larutan stok ZPT BAP dan NAA. Larutan stok ZPT masing-masing dibuat 100 mg/100 ml. Larutan stok BAP dan NAA disaring menggunakan minisar guna meningkatkan sterilitas dari hormon tersebut dan dilakukan di Laminar Air Flow Cabinet (LAFC).

Pada pembuatan media MS, tahap pertama adalah membuat larutan stok bahan kimia hara makro dengan pembesaran 10x, hara mikro dengan pembesaran 100x, larutan iron dengan pembesaran 50x, larutan vitamin dengan pembesaran 100x, sukrosa 30 g, myo-inositol 0,1 g dan agar 7 g. Tahap berikutnya, sukrosa dimasukkan ke dalam beaker glass yang telah berisi aquades 750 ml, lalu diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer sebagai pengaduk. Kemudian ditambahkan myo-inositol diaduk hingga larut. Dimasukkan larutan stok hara makro 100 ml, larutan stok hara mikro 10 ml, iron 8 ml dan vitamin 4 ml. Kemudian larutan ditempatkan menjadi 2000 ml. Keasaman diukur dengan pH meter. pH yang


(46)

dikehendaki adalah 5,8, untuk mengatur pH yaitu menaikkan atau menurunkan pH dapat digunakan larutan NaOH dan HCl 0,1 N. Letakkan agar mikrobiologi dan dimasak di atas kompor gas sampai larutan mendidih dan bening (semua agar telah larut). Larutan dipindahkan ke erlenmeyer berukuran 3000 ml dan ditutup dengan aluminium foil. Hasil Media MS secara keseluruhan di sterilisasi dengan tekanan 1 atm pada suhu 121°C selama 20 menit di autoklaf. Setelah proses sterilisasi selesai, media dimasukkan ke ruang kultur dan dimasukkan ke ruangan Laminar Air Flow Cabinet (LAFC) untuk dibagikan ke 3 tabung erlenmeyer berukuran 1000 ml dengan masing-masing tabung berisi 650 ml. Teteskan BAP dan NAA ke masing-masing tabung uji sesuai perlakuan. Dituangkan media ke dalam tabung uji berisikan 13 ml/tabung dan ditutup penutup tabung steril untuk multiplikasi. Sehingga didapat ± 50 tabung uji. Tabung uji diberi label sesuai dengan perlakuan. Selanjutnya disimpan dalam ruang kultur sebelum digunakan. WPM (Woody Plant Medium)

Media yang digunakan adalah media Woody Plant Medium (WPM). Sebelum dilakukan pembuatan media WPM, dilakukan pembuatan larutan stok ZPT BAP dan NAA. Larutan stok ZPT masing-masing dibuat 100 mg/100 ml. Kemudian larutan stok BAP dan NAA disaring menggunakan minisar guna meningkatkan sterilitas dari ZPT tersebut dan dilakukan di Laminar Air Flow Cabinet (LAFC).

Pada pembuatan media WPM, tahap pertama adalah membuat larutan stok bahan kimia hara makro dengan pembesaran 10x, hara mikro dengan pembesaran 100x, larutan iron dengan pembesaran 50x, larutan vitamin dengan pembesaran 100x, sukrosa 50 g, myo-inositol 0,1 g dan agar 7 g. Tahap berikutnya, sukrosa


(47)

dimasukkan ke dalam beaker glass yang telah berisi aquades 750 ml, lalu diaduk dengan menggunakan magnetik stirer sebagai pengaduk. Kemudian ditambahkan myo-inositol diaduk hingga larut. Dimasukkan larutan stok hara makro 100 ml, larutan stok hara mikro 10 ml, iron 8 ml dan vitamin 4 ml. Kemudian larutan ditepatkan menjadi 2000 ml dengan menambahkan aquades. Keasaman diukur dengan pH meter. pH yang dikehendaki adalah 5,8 untuk mengatur pH yaitu menaikkan atau menurunkan pH dapat digunakan larutan KOH dan HCl 0,1 N. Ditambahkan agar biotek dan dimasak di atas kompor gas sampai larutan mendidih dan bening (semua agar telah larut). Larutan dipindahkan ke erlenmeyer berukuran 3000 ml dan ditutup dengan aluminium foil dan diikat dengan tali plastik. Kemudian media WPM di sterilisasi dengan tekanan 1 atm pada suhu 121°C selama 20 menit di autoklaf. Setelah proses sterilisasi selesai, media dimasukkan ke ruang kultur dan dimasukkan ke Laminar Air Flow Cabinet (LAFC) untuk dibagikan ke 3 tabung erlenmeyer berukuran 1000 ml dengan masing-masing tabung berisi 650 ml. Teteskan BAP dan NAA ke masing-masing tabung uji sesuai perlakuan. Dituangkan media ke dalam tabung uji berisikan 13 ml/tabung dan ditutup dengan penutup tabung steril untuk multiplikasi. Sehingga diperoleh ± 50 tabung uji dari setiap perlakuannya. Tabung uji diberi label sesuai dengan perlakuan. Selanjutnya disimpan dalam ruang kultur sebelum digunakan.

Persiapan Ruang Tanam

Seluruh permukaan laminar air flow cabinet sebelumnya dibersihkan terlebih dahulu menggunakan alkohol 96% lalu di sterilkan dengan sinar Ultra Violet selama 1 jam sebelum proses penanaman dilakukan. Semua alat dan bahan


(48)

yang akan dipakai harus disemprot dengan alkohol 96% dan beberapa alat seperti pinset, gunting, scalpel setelah disemprot lalu dibakar di dalam ke dalam laminar air flow cabinet selama 1 menit. Hal ini dilakukan untuk menghindari resiko bahan penelitian terkontaminasi. Steribox dihidupkan dan disediakan alkohol 70% untuk membersihkan alat yang telah digunakan.

Multiplikasi

Setelah selesai tahap kultur primer (±6 minggu), eksplan yang menghasilkan tunas selanjutnya diperbanyak. Proses perbanyakan dilakukan dengan memotong tunas baru menjadi bagian yang lebih kecil, dan selanjutnya dikulturkan pada medium baru. Pada tahap ini terdapat tiga bentuk eksplan, yaitu eksplan stock (bonggol) yang merupakan eksplan awal yang diperoleh dengan memisahkan tunas baru yang terbentuk, eksplan nodal (nodus) yang diperoleh dari bagian batang tunas baru, serta eksplan shoot (pucuk) yang merupakan bagian apikal tunas baru, biasanya mengandung beberapa daun muda. Eksplan yang digunakan pada penelitian ini adalah eksplan stock (bonggol). Eksplan tersebut dikulturkan di 6 medium baru. Eksplan yang akan dikulturkan ke dalam media tanam diletakkan di piringan kaca tebal dengan alas kertas plano. Kemudian eksplan ditanamkan ke dalam tabung uji sesuai dengan perlakuan, setiap tabung uji terdiri dari 1 eksplan. Kemudian ujung tabung uji ditutup dengan menggunakan kain kasa steril yang dibalut dan diikat benang. Kegiatan penanaman dilakukan di LAFC dan di bawah api bunsen. Tabung uji diletakkan di rak kultur di bawah cahaya dan ruangan memiliki air conditioner dengan suhu 18oC. Kondisi pemeliharaan dan lingkungan kultur sama seperti pada tahap kultur


(49)

primer. Satu siklus tahap multiplikasi adalah empat minggu, dan tahap ini dapat diulang antara 3 – 12 siklus tergantung jumlah planlet yang diinginkan.

Pemeliharaan Eksplan dan Pengaturan Lama Penyinaran

Tabung-tabung uji diletakkan pada rak kultur di dalam ruang kultur. Ruangan ini diusahakan bebas dari bakteri dan cendawan, dimana setiap hari disemprot dengan alkohol 96% atau dan disemprot formalin agar bebas dari organisme yang menyebabkan terjadi kontaminasi. Dalam penelitian ini suhu ruangan kultur yang digunakan + 20-25°C, paling optimum 18oC. Sedangkan untuk pengaturan lama penyinaran disesuaikan dengan perlakuan. Perlakuan lama penyinaran pertama, semua kultur diletakkan di rak kultur dengan intensitas cahaya 2000 lux dengan lama penyinaran 12 jam terang dan 12 jam gelap. Perlakuan lama penyinaran kedua, tabung-tabung uji diletakkan pada rak kultur dengan intensitas cahaya 2000 lux dengan lama penyinaran 24 jam terang. Sedangkan perlakuan lama penyinaran ketiga, tabung-tabung uji diletakkan pada rak kultur yang ditutup dengan kain gelap/hitam (tanpa merubah suhu) sehingga diperoleh penyinaran dengan besaran intensitas cahaya 0 lux, serta dengan kondisi ruangan memiliki air conditioner dengan hefa yang dibersihkan selama 6 bulan sekali. Apabila mengalami kontaminasi, segera diambil dari rak kultur agar mencegah kontaminasi ke tabung lainnya.

Peubah Amatan

Persentase Eksplan Membentuk Tunas (%)

Pengamatan dilakukan pada akhir percobaan (4 Minggu Setelah Kultur) berdasarkan jumlah tunas yang muncul dari keseluruhan ulangan.


(50)

Persentase terbentuknya tunas = jumlah tunas yang terbentuk x 100% jumlah eksplan seluruhnya (per perlakuan) Umur Muncul Tunas (hari)

Umur kemunculan tunas dihitung berdasarkan hari ke berapa munculnya tunas.

Jumlah Tunas (tunas)

Dihitung pada akhir penelitian (4 Minggu Setelah Kultur) dengan menghitung banyaknya tunas baru yang terbentuk dari setiap eksplan.

Panjang Tunas (cm)

Panjang tunas diukur pada tunas tertinggi dengan menggunakan kertas milimeter yang diukur dari tempat munculnya tunas (pangkal) sampai ujung tunas tertinggi. Panjang tunas keseluruhan dari setiap perlakuan dibagi dengan jumlah ulangan. Pengukuran dilakukan pada akhir penelitian (4 Minggu Setelah Kultur). Persentase Eksplan Membentuk Daun (%)

Jumlah daun dihitung dari daun yang terbentuk yang telah terbuka sempurna pada eksplan. Pengamatan dilakukan pada akhir penelitian (4 Minggu Setelah Kultur). Persentase terbentuknya daun dihitung pada akhir penelitian dengan rumus:

Persentase terbentuknya daun = jumlah daun yang terbentuk x 100% jumlah eksplan seluruhnya (per perlakuan) Jumlah Daun (helai)

Jumlah daun dihitung dari daun yang terbentuk yang telah terbuka sempurna pada eksplan yang dilakukan pada akhir penelitian (4 Minggu Setelah Kultur).


(51)

Kehadiran Kalus (visual)

Kehadiran kalus dilihat dari ada atau tidaknya kemunculan kalus dari bekas potongan/pelukaan eksplan atau dari bagian manapun dari eksplan. Pengamatan dilakukan pada akhir penelitian (4 Minggu Setelah Kultur).

Warna Kalus (visual)

Dilihat dari penampakan warna kalus yang muncul. Warna kalus dilihat pada akhir penelitian (4 Minggu Setelah Kultur).

Morfogenesis

Kemunculan tunas di luar jaringan meristem aksilar (pangkal batang, ujung batang maupun bagian lainnya dari eksplan).


(52)

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Dari hasil analisis data yang dilakukan, diperoleh bahwa perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap persentase eksplan membentuk tunas, jumlah tunas, panjang tunas, persentase eksplan membentuk daun dan jumlah daun. Interaksi keduanya juga memberikan pengaruh nyata terhadap semua peubah amatan. Akan tetapi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kehadiran kalus, warna kalus dan morfogenesis.

Persentase Eksplan Membentuk Tunas (%)

Data pengamatan dan sidik ragam terhadap parameter persentase eksplan membentuk tunas pada perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda dapat dilihat pada (Lampiran 1-3). Rataan persentase eksplan membentuk tunas dari perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda terhadap persentase eksplan membentuk tunas (%) 4 minggu setelah kultur

Lama Penyinaran

Media

Rataan

A1 A2 A3 A4 A5 A6

C1 50.00abc 66.67ab 50.00abc 100.00a 83.33ab 66.67ab 69.44 C2 50.00bc 66.67abc 50.00abc 100.00a 66.67abc 66.67ab 66.67 C3 00.00c 00.00c 00.00c 00.00c 00.00c 00.00c 00.00 Rataan 33.33 44.45 33.33 66.67 50.00 44.45 45.37 Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%. Perlakuan C1=12 jam terang 12 jam gelap; C2=24 jam terang; C3=24 jam gelap. Perlakuan A1= MS + BAP 0,5 mg/l, A2= MS + BAP 1 mg/l; A3= MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l; A4= WPM + BAP 0,5 mg/l; A5= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l; A6= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l.


(53)

Tabel 1 menunjukkan bahwa persentase eksplan membentuk tunas tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan C1A4 dan C2A4 yaitu C1 (12 jam terang, 12 jam gelap), C2 (24 jam terang) dan A4 (WPM + BAP 0,5 mg/l) dengan rataan 100%. Sedangkan persentase eksplan membentuk tunas terendah terdapat pada kombinasi perlakuan C3A1, C3A2, C3A3, C3A4, C3A5, C3A6 yaitu C3 (24 jam gelap) dan A1 (MS + BAP 0,5 mg/l ), A2 (MS + BAP 1 mg/l), A3 (MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l), A4 (WPM + BAP 0,5 mg/l), A5 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l), A6 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l) dengan rataan 0%. Perlakuan C1A4 dan C2A4 berbeda nyata dengan perlakuan C2A1, C3A1, C3A2, C3A3, C3A4, C3A5 dan C3A6, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan C1A1, C1A2, C1A3, C1A5, C1A6, C2A2, C2A3, C2A5, C2A6. Gambar eksplan sebelum dan sesudah membentuk tunas pada salah satu perlakuan dapat dilihat pada gambar 3 dan gambar 4.

Gambar 3. Eksplan sebelum Gambar 4. Eksplan setelah membentuk tunas membentuk tunas


(54)

Umur Muncul Tunas (hari)

Data pengamatan dan sidik ragam parameter umur munculnya tunas pada perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda dapat dilihat pada (Lampiran 4). Rataan umur munculnya tunas dari perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda terhadap umur muncul tunas (hari) 4 minggu setelah kultur

Lama Penyinaran

Media

Rataan

A1 A2 A3 A4 A5 A6

C1 8.17 5.83 7.00 7.00 5.83 9.33 7.19

C2 7.00 7.00 7.00 7.00 4.67 7.00 6.61

C3 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Rataan 5.06 4.28 4.67 4.67 3.50 5.44 4.60 Keterangan: Perlakuan C1=12 jam terang 12 jam gelap; C2=24 jam terang; C3=24 jam gelap.

Perlakuan A1= MS + BAP 0,5 mg/l, A2= MS + BAP 1 mg/l; A3= MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l; A4= WPM + BAP 0,5 mg/l; A5= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l; A6= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l.

Jumlah Tunas (tunas)

Data pengamatan dan sidik ragam parameter jumlah tunas pada perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda dapat dilihat pada (Lampiran 5-7). Dari tabel sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah tunas pada 4 minggu setelah kultur, serta interaksi dari kedua perlakuan ini memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah tunas. Rataan jumlah tunas dari perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 3.


(55)

Tabel 3. Pengaruh perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda terhadap jumlah tunas (tunas) 4 minggu setelah kultur

Lama Penyinaran

Media

Rataan

A1 A2 A3 A4 A5 A6

C1 0.50ab 0.67a 0.50ab 1.00a 0.83a 0.67a 0.69 C2 0.50ab 0.67a 0.50ab 1.00a 0.67a 0.67a 0.67 C3 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b 0.00 Rataan 0.33 0.44 0.33 0.67 0.50 0.44 0.45 Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%. Perlakuan C1=12 jam terang 12 jam gelap; C2=24 jam terang; C3=24 jam gelap. Perlakuan A1= MS + BAP 0,5 mg/l, A2= MS + BAP 1 mg/l; A3= MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l; A4= WPM + BAP 0,5 mg/l; A5= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l; A6= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l.

Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah tunas tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan C2A4, C1A4, C1A5, C2A6, C2A5, C1A2, C2A2, C1A6 yaitu C1 (12 jam terang, 12 jam gelap), C2 (24 jam terang) dan A2 (MS + BAP 1 mg/l), A4 (WPM + BAP 0,5 mg/l), A5 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l), A6 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l) dengan rataan (1.00), (1.00), (0.83) dan (0.67). Sedangkan persentase jumlah tunas terendah terdapat pada kombinasi perlakuan C3A1, C3A2, C3A3, C3A4, C3A5, C3A6 yaitu C3 (24 jam gelap) dan A1 (MS + BAP 0,5 mg/l ), A2 (MS + BAP 1 mg/l), A3 (MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l), A4 (WPM + BAP 0,5 mg/l), A5 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l), A6 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l) dengan rataan 0%. Perlakuan C2A4, C1A4, C1A5, C2A6, C2A5, C1A2, C2A2, C1A6 berbeda nyata dengan perlakuan C3A1, C3A2, C3A3, C3A4, C3A5, C3A6, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan C1A1, C2A1, C1A3, dan C2A3. Panjang Tunas (cm)

Data pengamatan dan sidik ragam terhadap parameter panjang tunas pada perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda dapat dilihat pada


(56)

(Lampiran 8-10). Dari tabel sidik ragam menunjukkan pengaruh nyata terhadap panjang tunas pada 4 minggu setelah kultur, serta interaksi dari kedua perlakuan ini memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang tunas. Rataan panjang tunas dari perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda terhadap panjang tunas (cm) 4 minggu setelah kultur

Lama Penyinaran

Media

Rataan

A1 A2 A3 A4 A5 A6

C1 0.12d 0.97abc 0.65bcd 1.03ab 0.93abc 0.16d 0.64 C2 0.20d 0.45bcd 0.12d 1.20a 0.38cd 0.26cd 0.43 C3 0.00d 0.00d 0.00d 0.00d 0.00d 0.00d 0.00 Rataan 0.11 0.47 0.26 0.74 0.44 0.14 0.36 Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%. Perlakuan C1=12 jam terang 12 jam gelap; C2=24 jam terang; C3=24 jam gelap. Perlakuan A1= MS + BAP 0,5 mg/l, A2= MS + BAP 1 mg/l; A3= MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l; A4= WPM + BAP 0,5 mg/l; A5= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l; A6= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l.

Tabel 4 menunjukkan bahwa panjang tunas tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan C2A4 yaitu C2 (24 jam terang) dan A4 (WPM + BAP 0,5 mg/l) dengan rataan (1.20). Sedangkan rataan terendah terdapat pada kombinasi perlakuan C2A1, C1A6, C1A1, C2A3, C3A6, C3A5, C3A4, C3A3, C3A2, C3A1 yaitu C1 (12 jam terang 12 jam gelap), C2 (24 jam terang), C3 (24 jam gelap) dan A1 (MS + BAP 0,5 mg/l), A2 (MS + BAP 1 mg/l), A3 (MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l), A4 (WPM + BAP 0,5 mg/l), A5 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l), dan A6 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l) dengan rataan (0.20), (0.16), (0.12), (0.12) dan (0.00). Kombinasi perlakuan C2A4 menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap C1A3, C2A2, C2A5, C2A6, C2A1, C1A6,


(57)

C1A1, C2A3, C3A6, C3A5, C3A4, C3A3, C3A2 dan C3A1. Akan tetapi perlakuan C2A4 tidak berbeda nyata dengan C1A4, C1A2, C1A5.\

Persentase Eksplan Membentuk Daun (%)

Data pengamatan dan sidik ragam terhadap parameter persentase eksplan membentuk daun pada perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda dapat dilihat pada (Lampiran 11-13). Dari tabel sidik ragam menunjukkan pengaruh nyata terhadap persentase ekplan membentuk daun pada 4 minggu setelah kultur, serta interaksi antara perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase ekplan membentuk daun. Rataan persentase eksplan membentuk daun dari perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Pengaruh perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda

terhadap persentase eksplan membentuk daun (%) 4 minggu setelah kultur

Lama Penyinaran

Media

Rataan

A1 A2 A3 A4 A5 A6

C1 0.00b 0.00b 0.00b 33.33b 16.67b 0.00b 36.11 C2 0.00b 16.67b 0.00b 66.67a 0.00b 16.67b 86.12 C3 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b 0.00 Rataan 0.00 5.56 0.00 55.55 5.56 5.56 64.82 Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%. Perlakuan C1=12 jam terang 12 jam gelap; C2=24 jam terang; C3=24 jam gelap. Perlakuan A1= MS + BAP 0,5 mg/l, A2= MS + BAP 1 mg/l; A3= MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l; A4= WPM + BAP 0,5 mg/l; A5= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l; A6= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l.

Tabel 5 menunjukkan bahwa persentase eksplan membentuk daun tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan C2A4 yaitu C2 (24 jam terang) dan A4 (WPM + BAP 0,5 mg/l) dengan rataan (0.67). Perlakuan C2A4 menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap semua perlakuan.


(58)

Jumlah Daun (helai)

Data pengamatan dan sidik ragam terhadap parameter jumlah daun pada perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda dapat dilihat pada (Lampiran 14-16). Dari tabel sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah daun pada 4 minggu setelah kultur, serta interaksi dari kedua perlakuan ini memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah daun. Rataan jumlah daun dari perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Pengaruh perlakuan lama penyinaran dan komposisi media yang berbeda terhadap jumlah daun (helai) 4 minggu setelah kultur

Lama Penyinaran

Media

Rataan

A1 A2 A3 A4 A5 A6

C1 0.00c 0.00c 0.00c 1.00b 0.17bc 0.00c 0.19 C2 0.00c 0.17bc 0.00c 2.33a 0.00c 0.67bc 0.53 C3 0.00c 0.00c 0.00c 0.00c 0.00c 0.00c 0.00 Rataan 0.00 0.06 0.00 1.11 0.06 0.22 0.24 Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%. Perlakuan C1=12 jam terang 12 jam gelap; C2=24 jam terang; C3=24 jam gelap. Perlakuan A1= MS + BAP 0,5 mg/l, A2= MS + BAP 1 mg/l; A3= MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l; A4= WPM + BAP 0,5 mg/l; A5= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l; A6= WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l.

Tabel 6 menunjukkan bahwa rataan jumlah daun tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan C2A4 yaitu C2 (24 jam terang) dan A4 (WPM + BAP 0,5 mg/l) dengan rataan (2.33). Sedangkan rataan terendah terdapat pada kombinasi perlakuan C1A3, C3A3, C3A6, C3A2, C3A1, C3A5, C3A4, C2A5, C1A2, C2A3, C2A1, C1A6 dan C1A1 yaitu C1 (12 jam terang 12 jam gelap), C2 (24 jam terang), C3 (24 jam gelap) dan A1 (MS + BAP 0,5 mg/l ), A2 (MS + BAP 1 mg/l), A3 (MS + BAP 1,5 mg/l + NAA 0,1 mg/l), A4 (WPM + BAP 0,5 mg/l), A5


(59)

(WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,25 mg/l), A6 (WPM + BAP 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l) dengan rataan (0.00). Perlakuan C2A4 berbeda nyata dengan C1A4. Perlakuan C1A4 tidak berbeda nyata dengan C2A6, C1A5 dan C2A2. Gambar eksplan membentuk daun dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Eksplan Membentuk Daun

Tabel 7. Rekapitulasi Peubah Amatan Sidik Ragam pada Mikropropagasi Tanaman Karet pada Lama Penyinaran dan Komposisi Media yang Berbeda (4 minggu setelah kultur)

Peubah Amatan Perlakuan

C A C x A

Persentase Eksplan Membentuk Tunas (%) ** ** **

Umur Muncul tunas (hari) - - -

Jumlah Tunas (tunas) ** ** **

Panjang Tunas (cm) ** ** **

Persentase Eksplan Membentuk Daun (%) ** ** **

Jumlah Daun (helai) ** ** **

Kehadiran Kalus Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Warna Kalus Tidak ada Tidak ada Tidak ada


(1)

Lampiran 17. Komposisi Media Murashige dan Skoog (MS)

(Sumber : Murashige and Skoog, 1962).

Bahan Kimia Konsentrasi Media (mg/l)

Makro Nutrien (Stok I)

NH4 NO3 1650,000

KNO3

CaCl2.2H2O

MgSO4.7H2O

1900,000 440,000 370,000

KH2PO4 170,000

Mikro Nutrien (Stok II)

MnSO4.H2O

ZnSO4.7H2O

H3BO3

6,900 8,600 6,200

KI 0,830

Na2MoO4.2H20 0,250

CuSO4.5H2O 0,025

CoCl2.6H2O

Iron (Stok III)

0,025

FeSO4.7H2O 27,800

Na2.EDTA 37,200

Vitamin (Stok IV)

Nikotinic acid 0,500

Pyridoxin HCL 0,500

Thiamine HCL 0,100

Myo-inositol 100,000

Sukrosa Agar

30.000,000 7.000,000


(2)

Lampiran 18. Komposisi Media Woody Plant Medium (WPM)

Bahan Kimia Konsentrasi Media (mg/l)

Makro Nutrien (Stok I)

NH4 NO3 400,000

MgSO4.7H2O 370,000

KH2PO4

CaCl2.2H2O

Ca(NO3)2.4H2O

170,000 96,000 576,000 K2SO4

Mikro Nutrien (Stok II)

H3BO3

99,000

6,200

MnSO4.H2O 16,900

ZnSO4.7H2O 8,600

Na2MoO4.2H20 0,250

CuSO4.5H2O

Iron (Stok III)

0,250

FeSO4.7H2O 27,800

Na2.EDTA 37,300

Vitamin (Stok IV)

Nikotinic acid 0,500

Pyridoxin HCL 0,500

Thiamine HCL 1,000

Myo-inositol 100,000

Sukrosa Agar

50.000,000 5.000,000


(3)

Lampiran 19. Bagan Penelitian

C1A3 C1A1 C1A2 C1A4 C1A3 C1A5

C1A4 C1A6 C1A5 C1A6 C1A6 C1A4

C1A6 C1A6 C1A3 C1A5 C1A2 C1A2

C1A1 C1A1 C1A5 C1A4 C1A3 C1A2

C1A6 C1A2 C1A4 C1A2 C1A1 C1A3

C1A3 C1A5 C1A1 C1A5 C1A4 C1A1

C2A5 C2A3 C2A6 C2A2 C2A1 C2A4

C2A4 C2A6 C2A2 C2A4 C2A3 C2A2

C2A1 C2A1 C2A1 C2A6 C2A5 C2A5

C2A2 C2A4 C2A5 C2A2 C2A1 C2A3

C2A6 C2A5 C2A3 C2A3 C2A2 C2A4

C2A3 C2A1 C2A6 C2A4 C2A3 C2A5

C3A6 C3A4 C3A3 C3A6 C3A2 C3A6

C3A4 C3A1 C3A2 C3A5 C3A5 C3A4

C3A3 C3A5 C3A2 C3A6 C3A3 C3A1


(4)

Lampiran 18. Foto Penelitian

C1A1 C1A2 C1A3


(5)

C2A1 C2A2 C2A3


(6)

C3A1 C3A2 C3A3


Dokumen yang terkait

Respon Pertumbuhan Stump Karet (Hevea Brassiliensis Muell Arg.) Terhadap Pemberian Growtone Pada Berbagai Komposisi Media Tanam

7 52 92

Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) Pada Komposisi Media Dan Genotipe Berbeda

0 43 86

Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Dari Eksplan Nodus Pada Media Ms Dengan Pemberian Benzil Amino Purin (Bap) Dan Naftalen Asam Asetat (Naa)

9 88 81

Peningkatan Mutu Kayu Karet (Hevea braziliensis MUELL Arg) dengan Bahan Pengawet Alami dari Beberapa Jenis Kulit Kayu

2 55 78

Respons Morfologi Benih Karet (Hevea brasilliensis Muell Arg.) Tanpa Cangkang terhadap Pemberian PEG 6000 dalam Penyimpanan pada Dua Masa Pengeringan

2 90 58

Respons Pertumbuhan Stum Mata Tidur Karet (Hevea brasilliensis Muell Arg.) Dengan Pemberian Air Kelapa Dan Pupuk Organik Cair.

15 91 108

Seleksi Dini Pohon Induk Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) Dari Hasil Persilangan RRIM 600 X PN 1546 Berdasarkan Produksi Lateks Dan Kayu

0 23 84

Uji Ketahanan Beberapa Klon Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Terhadap Penyakit Gugur Daun ( Corynespora Cassiicola (Berk. &amp; Curt.) Wei.) Di Kebun Entres

0 57 66

Uji Resistensi Beberapa Klon Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Dari Kebun Konservasi Terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

0 35 61

Pengaruh Lama Penyinaran dan Komposisi Media Terhadap Mikropropagasi Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg)

0 8 92