Stabilisasi Politik dan Keamanan sebagai Dasar Pembangunan
Sejarah Indonesia 117
5. Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara baik di pusat maupun di daerah dari unsur-unsur
komunisme. Dalam rangka menciptakan kondisi politik yang stabil dan kondusif bagi
terlaksananya amanah rakyat melalui TAP MPRS No.IXMPRS1966, yaitu melaksanakan pemilihan umum pemilu, pemerintah Orde Baru melakukan
‘pelemahan’ atau mengeliminasi kekuatan-kekuatan yang secara historis dinilai berpotensi mengganggu stabilitas dan merongrong kewibawaan pemerintah.
Pelemahan itu dilakukan antara lain terhadap pendukung Soekarno, kelompok Partai Sosialis Indonesia PSI dan kelompok Islam Fundamentalis yang
sering disebut kaum ekstrimis kanan. Selain itu, pemerintahan Soeharto juga menciptakan kekuatan politik sipil baru yang dalam pandangannya lebih
mudah dikendalikan. Organisasi itu adalah Sekretariat Bersama Golongan Karya Sekber Golkar yang kemudian lebih dikenal dengan nama Golkar.
Berdasarkan Tap MPRS No IXMPRS1966, pemerintah diharapkan segera melakukan pemilu pada tahun 1968. Namun karena berbagai pertimbangan
politik dan keamanan, pemilu baru dapat diselenggarakan pada 1971. Lembaga Pemilu sebagai pelaksana pemilu dibentuk dan ditempatkan di bawah
koordinasi Departemen Dalam Negeri, sedangkan peserta pemilu ditetapkan melalui Keputusan Presiden No.23 tanggal 23 Mei 1970. Berdasarkan surat
keputusan itu, jumlah partai politik parpol yang diijinkan ikut serta dalam pemilu adalah 9 parpol, yaitu: NU, Parmusi, PSII, Perti Persatuan Tarbiyah
Islamiyah, Partai Kristen Indonesia, Partai Khatolik, Partai Musyawarah Rakyat Banyak Murba, dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
IPKI ditambah dengan Golkar. Adapun perolehan suara hasil pemilu 1971 adalah sebagai berikut: Golkar236 kursi, 62,82, NU 58 kursi,18,68,
Parmusi 24 kursi 5,56, PNI 20 kursi,6,93, PSII 10 kursi,2,39, dan Parkindo 10 kursi, 2,39. Anhar Gonggong ed, 2005: 150
Pada akhir tahun 1971, pemerintah Orde Baru melemparkan gagasan penyederhanaan partai politik dengan alasan–alasan tertentu, seperti kasus
pada masa “demokrasi parlementer”. Pada masa itu, banyaknya partai dianggap tidak memudahkan pembangunan, justru sebaliknya menambah
permasalahan. Penyebabnya bukan saja karena persaingan antarparpol, melainkan juga persaingan di dalam tubuh parpol antara para pemimpinnya
tidak jarang memicu timbulnya krisis, bahkan perpecahan yang dinilai bisa mengganggu stabilitas polkam. Atas dasar itu, pemerintah berpendapat perlu
adanya penyederhanaan partai sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi Pancasila. Pada awalnya banyak parpol yang menolak gagasan itu, yang
118 Kelas XII SMAMA
sedikit banyak dinilai telah menutup aspirasi kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945. Namun adanya tekanan pemerintah
menyebabkan mereka tidak mempunyai pilihan lain.
Realisasi penyederhanaan partai tersebut dilaksanakan melalui Sidang Umum MPR tahun 1973. Sembilan partai yang ada berfusi ke dalam dua partai baru,
yaitu Partai Persatuan Pembangunan PPP dan Partai Demokrasi Indonesia PDI. Empat Partai Islam, yaitu Nahdatul UlamaNU, Parmusi, Partai
Sarekat Islam IndonesiaPSII, dan Perti bergabung dalam PPP. Sementara itu lima partai non Islam, yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia Parkindo,
Partai Khatolik, Partai Murba, dan IPKI bergabung dalam PDI. Selain kedua kelompok tersebut ada pula kelompok Golkar yang semula bernama Sekber
Golkar. Pengelompokkan tersebut secara formal berlaku pula di lingkungan DPR dan MPR. Gonggong dan Asy’arie, ed, 2005.
Partai Peserta Pemilu 1971 Hasil Fusi Partai 1973
Peserta Pemilu Hingga Tahun 1997 Partai NU Nahdlatul Ulama
Parmusi Partai Muslimin Indonesia PPP Partai Persatuan Pembangunan Perti Persatuan Tarbiyah Islamiah
PSII Partai Syarikat Islam Indonesia PNI Partai Nasional Indonesia
Partai Katholik Parkindo Partai Kristen Indonesia PDI Partai Demokrasi Indonesia
Partai Murba IPKI Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia Golkar Golongan Karya
Golkar Golongan Karya Di samping melakukan penyederhanaan partai, pemerintah menetapkan pula
konsep “massa mengambang”. Partai-partai dilarang mempunyai cabang atau ranting di tingkat kecamatan sampai pedesaan. Sementara itu jalur parpol ke
tubuh birokrasi juga terpotong dengan adanya ketentuan agar pegawai negeri sipil menyalurkan suaranya ke Golkar monoloyalitas.
Sejarah Indonesia 119
Pemerintahan Orde Baru berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap
lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776
pemilih untuk memilih 460 orang anggota DPR dimana 360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat.
Semua pemilu yang dilakukan pada masa Orde Baru dimenangkan oleh Golkar. Hal itu disebabkan oleh
pengerahan kekuatan-kekuatan penyokong Orde Baru untuk mendukung Golkar. Kekuatan-kekuatan penyokong
Golkar adalah aparat pemerintah pegawai negeri sipil dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ABRI.
Melalui kekuatan-kekuatan tersebut, pemerintah mengarahkan masyarakat untuk memilih Golkar.
Meskipun anggota ABRI tidak terlibat dalam Golkar secara langsung, para anggota keluarga dan pensiunan
ABRI Purnawirawan banyak terlibat dan memberikan dukungan penuh kepada Golkar. Semua pegawai negeri
sipil diwajibkan menjadi anggota Golkar. Dengan dukungan pegawai negeri sipil dan ABRI, Golkar dengan
leluasa menjangkau masyarakat luas di berbagai tempat dan tingkatan. Dari tingkatan masyarakat atas sampai
bawah. Dari kota sampai pelosok desa.
Penyelenggaraan pemilu selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia
sudah tercipta dengan baik. Apalagi pemilu-pemilu tersebut berlangsung dengan slogan “Luber” Langsung,
Umum, Bebas, dan Rahasia. Suara-suara ketidakpuasan dari masyarakat terhadap demokrasi dikesampingkan.
Ketidakpuasan yang ada di masyarakat misalnya mengenai dibatasinya jumlah partai-partai politik dan pengerahan
pegawai negeri sipil dan ABRI, serta anggota keluarga mereka untuk mendukung Golkar.
Selain melakukan depolitisasi terhadap orsospol pelarangan kegiatan partai politik di tingkat kecamatan
dan desa dimana partai-partai politik dilarang mempunyai cabang atau ranting di tingkat pedesaan, depolitisasi juga diberlakukan di dunia pendidikan,
terutama setelah terjadinya peristiwa malapetaka lima belas Januari Malari tahun 1974.
Partai Golkar
PPP 1973-1984
PPP 1984-1997
PDI 1973-1977
Sumber: Diolah dari berbagai
sumber Gambar 4.6
Lambang Golkar, PPP, dan PDI
120 Kelas XII SMAMA
Peristiwa 15 Januari 1974 Menjelang kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka, pada 15 Januari
1974 di Jakarta terjadi demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang disusul dengan aksi anarki. Proyek Senen, gedung Toyota Astra, sejumlah
toko milik pedagang Cina di Jalan Hayam Wuruk, Gajah Mada, Glodok dan Cempaka Putih, terbakar habis karena aksi tersebut. Geger Jakarta ini
mengejutkan jajaran aparat keamanan dan pemerintah, karena itu diberi julukan Malapetaka Lima Belas Januari yang populer dengan Malari R.P
Soejono ed, 2009:637
Peristiwa itu diawali oleh kegiatan para aktivis mahasiswa yang tergabung dalam grup-grup diskusi yang mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah.
Kritik-kritik mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah mulai terjadi sejak awal tahun 1970-an, berawal dari grup-grup diskusi di kampus Universitas
Indonesia Salemba, berlanjut dengan keputusan para mahasiswa untuk melakukan demonstrasi menentang kenaikan harga bensin dan menuntut
pemberantasan korupsi. Para mahasiswa juga meminta pemerintah untuk meninjau kembali strategi pembangunan yang hanya menguntungkan kaum
kaya. Pada akhir Repelita I mahasiswa mensinyalir terjadinya penyelewengan program pembangunan nasional yang dilakukan oleh pejabat-pejabat
pemerintah. Kebijakan ekonomi yang memberikan keistimewaan kepada investor Jepang, dinilai merugikan rakyat.
Ketika mereka mendengar rencana kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka ke Indonesia pada tanggal 14 Januri 1974, para mahasiswa memanfaatkan
momentum tersebut untuk berdemostrasi menyampaikan tuntutannya. Menjelang kedatangan PM Tanaka, para mahasiswa berdemonstrasi di depan
kantor Ali Moertopo dengan membakar boneka-boneka yang menggambarkan diri PM Tanaka serta Sudjono Humardani, Asisten Pribadi Aspri Presiden.
Kemudian setelah Tanaka tiba di Indonesia, ribuan mahasiswa berbaris menuju pusat kota dengan menyebarkan plakat-plakat yang menuntut pembubaran
Aspri Presiden, penurunan harga, dan pemberantasan korupsi. Demonstrasi yang tadinya berjalan damai, tiba-tiba berubah menjadi liar tidak terkendali
yang akhirnya berkembang menjadi huru-hara. Mobil-mobil Jepang dibakar, etalase gedung importir Toyota Astra Company dihancurkan, pabrik Coca
Cola diserang, dan kompleks pertokoan Senen dijarah dan dibakar Crouch, 1999:354. Sebagai buntut dari peristiwa tersebut, 700 orang ditahan dan 45
orang diantaranya dipenjara.
Sejarah Indonesia 121
Untuk meredam gerakan mahasiswa, dikeluarkan SK0281974 tentang petunjuk-petunjuk Kebijaksanaan Dalam rangka Pembinaan Kehidupan
Kampus Perguruan Tinggi. Demonstrasi dilarang, kegiatan kemahasiswaan difokuskan pada bidang penalaran, seperti diskusi dan seminar.
Selain mengembalikan setiap dinamika kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan dalam kerangka ketaatan terhadap Pancasila sebagai road map
idiologis, pemerintah Orde Baru menghimpun energi semua komponen bangsa kedalam agenda bersama yang diformulasikan dalam bentuk Trilogi
Pembangunan. Suatu rencana kemandirian bangsa yang diletakkan pada pilar stabilitas, pembangunan di segala bidang dan pemerataan pembangunan
beserta hasil-hasilnya kepada seluruh rakyat.
Semua penghalang pembangunan, termasuk segala hal yang dapat memicu munculnya instabilitas bangsa harus disingkirkan. Itulah kira-kira makna
pesan yang terangkum dalam Trilogi Pembangunan, yaitu terwujudnya stabilitas politik dan keamanan, pembangunan di segala aspek kehidupan dan
pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya.
Trilogi Pembangunan itu tidak lain merupakan suatu rencana bangsa Indonesia yang digelorakan Presiden Soeharto untuk mewujudkan tujuan negara
sebagaimana amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Negara yang ingin diwujudkan adalah sebuah pemerintahan yang dapat melindungi segenap
bangsa, mampu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mampu turut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan negara itu harus dicapai dengan berdasarkan Pancasila.
Stabilitas nasional sendiri meliputi stabilitas keamanan, ekonomi dan politik. Stabilitas Nasional bukan hanya merupakan prasyarat terselenggaranya
pembangunan, akan tetapi merupakan amanat sila kedua Pancasila untuk terwujudnya “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Kebebasan seseorang
dibatasi oleh kebebasan orang lain dan resultan dari kebebasan masing- masing individu itu berupa pranata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
Trilogi Pembangunan 1. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. 3. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada
terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
122 Kelas XII SMAMA
bernegara yang berkeadaban. Oleh karena itu, merupakan kebenaran universal di manapun jika bentuk-bentuk tindakan yang tidak beradab, dalam aspek
apapun tidak dapat ditoleransi.
Dari semua usaha-usaha yang dilakukan oleh Presiden Soeharto pada masa awal pemerintahannya, semuanya bertujuan untuk menggerakkan jalannya
kegiatan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi bisa berjalan dengan baik jika ada stabilitas politik dan keamanan.