Integrasi Timor-Timur Sistem dan Struktur Politik-

Sejarah Indonesia 137 Integrasi Timor-Timur ke dalam wilayah Indonesia tidak terlepas dari situasi politik internasional saat itu, yaitu perang dingin dimana konstelasi geopolitik kawasan Asia Tenggara saat itu terjadi perebutan pengaruh dua blok yang sedang bersaing pada saat itu yaitu Blok Barat Amerika Serikat dan Blok Timur Uni Soviet . Dengan kekalahan Amerika Serikat di Vietnam pada tahun 1975, berdasarkan teori domino yang diyakini oleh Amerika Serikat bahwa kejatuhan Vietnam ke tangan kelompok komunis akan merembet ke wilayah–wilayah lainnya. Berdirinya pemerintahan Republik Demokratik Vietnam yang komunis dianggap sebagai ancaman yang bisa menyebabkan jatuhnya negara-negara di sekitarnya ke tangan pemerintahan komunis. Kemenangan komunis di Indocina Vietnam secara tidak langsung juga membuat khawatir para elit Indonesia khususnya pihak militer. Pada saat yang sama di wilayah koloni Portugis Timor-Timur yang berbatasan secara langsung dengan wilayah Indonesia terjadi krisis politik. Krisis itu sendiri terjadi sebagai dampak kebebasan yang diberikan oleh pemerintah baru Portugal di bawah pimpinan Jenderal Antonio de Spinola. Ia telah melakukan perubahan dan berusaha mengembalikan hak-hak sipil, termasuk hak demokrasi masyarakatnya, bahkan dekolonisasi. Di Timor-Timur muncul tiga partai politik besar yang memanfaatkan kebebasan yang diberikan oleh pemerintah Portugal. Ketiga partai politik itu adalah: 1 Uniao Democratica Timorense UDT-Persatuan Demokratik Rakyat Timor yang ingin merdeka secara bertahap. Untuk tahap awal UDT menginginkan Timor-Timur menjadi negara bagian dari Portugal: 2 Frente Revoluciondria de Timor Leste Independente Fretilin-Front Revolusioner Kemerdekaan Timor-Timur yang radikal –Komunis dan ingin segera merdeka; dan 3 Associacau Popular Democratica Timurense Apodeti- Ikatan Demokratik Popular Rakyat Timor yang ingin bergabung dengan Indonesia. Selain itu terdapat dua Partai kecil, yaitu Kota dan Trabalista. Ketiga partai tersebut saling bersaing, bahkan timbul konlik berupa perang saudara. Pada tanggal 31 Agustus 1974 ketua umum Apodeti, Arnaldo dos Reis Araujo, menyatakan partainya menghendaki bergabung dengan Republik Indonesia sebagai provinsi ke-27. Pertimbangan yang diajukan adalah rakyat di kedua wilayah tersebut mempunyai persamaan dan hubungan yang erat, baik secara historis dan etnis maupun geograis. Menurutnya integrasi akan menjamin stabilitas politik di wilayah tersebut. Pernyataan tokoh Apodeti itu mendapat respons yang cukup positif dari para elit politik Indonesia, terutama dari kalangan elit militer, yang pada dasarnya memang merasa khawatir jika 138 Kelas XII SMAMA Timor-Timur yang berada di “halaman belakang” jatuh ke tangan komunis. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia tidak serta merta menerima begitu saja keinginan orang-orang Apodeti. Sumber : Anhar Gonggong dan Musa Asy ‘arie, 2005 Gambar 4.12 Demonstrasi masyarakat Timor-Timur yang menginginkan integrasi Keterlibatan Indonesia secara langsung di Timor-Timur terjadi setelah adanya permintaan dari para pendukung “Proklamasi Balibo”, yang terdiri UDT bersama Apodeti, Kota dan Trabalista. Keempat partai itu pada tanggal 30 November 1975 di kota Balibo mengeluarkan pernyataan untuk bergabung dengan pemerintahan Republik Indonesia. Pada tanggal 31 Mei 1976 DPR Timor-Timur mengeluarkan petisi yang isinya mendesak pemerintah Republik Indonesia agar secepatnya menerima dan mengesahkan bersatunya rakyat dan wilayah Timor Timur ke dalam Negara Republik Indonesia. Atas keinginan bergabung rakyat Timor Timur dan permintaan bantuan yang diajukan, pemerintah Indonesia lalu menerapkan “Operasi Seroja” pada Desember 1975. Operasi militer ini diam-diam didukung oleh Amerika Serikat AS yang tidak ingin pemerintahan komunis berdiri di Timor Timur. Pada masa itu Perang Dingin antara AS dengan Uni Sovyet yang komunis memang tengah berlangsung. Bersamaan dengan operasi-operasi keamanan yang dilakukan, pemerintah Indonesia dengan cepat juga menjalankan proses pengesahan Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia dengan mengeluarkan UU no. 7 Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI dan pembentukan Daerah Tingkat I Timor Timur. Pengesahan ini akhirnya diperkuat melalui Tap MPR nomor IVMPR1978. Timor Timur secara resmi menjadi propinsi ke 27 di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Sejarah Indonesia 139 Negara-negara tetangga dan pihak Barat, termasuk Amerika Serikat dan Australia dengan alasannya masing-masing umumnya mendukung tindakan Indonesia. Kekhawatiran akan jatuhnya Timor-Timur ke tangan komunis membuat negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat dan Australia secara diam-diam mendukung tindakan Indonesia. Mereka secara de-facto dan selanjutnya de-jure integrasi Timor-Timur ke wilayah Indonesia. Akan tetapi, penguasaan Indonesia terhadap wilayah itu ternyata menimbulkan banyak permasalahan yang berkelanjutan, terutama setelah berakhirnya “perang dingin” dan runtuhnya Uni Soviet. TUGAS Setelah berakhirnya “perang dingin”, integrasi Timor-Timur ke Indonesia kembali dipermasalahkan oleh dunia internasional. Buat tulisan yang berisi analisis mengenai permasalahan apa saja yang terjadi di Timor-Timur sehingga Indonesia menjadi sorotan di dunia internasional tersebut.

D. Dampak Kebijakan Politik dan Ekonomi Masa Orde Baru

Pendekatan keamanan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru dalam menegakkan stabilisasi nasional secara umum memang berhasil menciptakan suasana aman bagi masyarakat Indonesia. Pembangunan ekonomi pun berjalan baik dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena setiap program pembangunan pemerintah terencana dengan baik dan hasilnya dapat terlihat secara kongkret. Indonesia berhasil mengubah status dari negara pengimpor beras menjadi bangsa yang bisa memenuhi kebutuhan beras sendiri swasembada beras. Penurunan angka kemiskinan yang diikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyat, penurunan angka kematian bayi dan angka partisipasi pendidikan dasar yang meningkat. Namun, di sisi lain kebijakan politik dan ekonomi pemerintah Orde Baru juga memberi beberapa dampak yang lain, baik di bidang ekonomi dan politik. Dalam bidang politik, pemerintah Orde Baru cenderung bersifat otoriter, Presiden mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam mengatur jalannya pemerintahan. Peran negara menjadi semakin kuat yang menyebabkan timbulnya pemerintahan yang sentralistis. Pemerintahan sentralistis ditandai dengan adanya pemusatan penentuan kebijakan publik pada pemerintah pusat. Pemerintah daerah diberi peluang yang sangat kecil untuk mengatur 140 Kelas XII SMAMA pemerintahan dan mengelola anggaran daerahnya sendiri. Otoritarianisme merambah segenap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk kehidupan politik. Pemerintah Orde Baru dinilai gagal memberikan pelajaran berdemokrasi yang baik, Golkar dianggap menjadi alat politik untuk mencapai stabilitas yang diinginkan, sementara dua partai lainnya hanya sebagai alat pendamping agar tercipta citra sebagai negara demokrasi. Sistem perwakilan bersifat semu bahkan hanya dijadikan topeng untuk melanggengkan sebuah kekuasaan secara sepihak. Demokratisasi yang terbentuk didasarkan pada KKN Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, sehingga banyak wakil rakyat yang duduk di MPR DPR yang tidak mengenal rakyat dan daerah yang diwakilinya. Meskipun pembangunan ekonomi Orde Baru menunjukan perkembangan yang menggembirakan, namun dampak negatifnya juga cukup banyak. Dampak negatif ini disebabkan kebijakan Orde Baru yang terlalu memfokuskan mengejar pada pertumbuhan ekonomi, yang berdampak buruk bagi terbentuknya mentalitas dan budaya korupsi para pejabat di Indonesia. Distribusi hasil pembangunan dan pemanfaatan dana untuk pembangunan tidak dibarengi kontrol yang efektif dari pemerintah terhadap aliran dana tersebut sangat rawan untuk disalahgunakan. Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan terbukanya akses dan distribusi yang merata sumber-sumber ekonomi kepada masyarakat. Hal ini berdampak pada munculnya kesenjangan sosial dalam masyarakat Indonesia, kesenjangan kota dan desa, kesenjangan kaya dan miskin, serta kesenjangan sektor industri dan sektor pertanian. Selain masalah–masalah diatas, tidak sedikit pengamat hak asasi manusia HAM dalam dan luar negeri yang menilai bahwa pemerintahan Orde Baru telah melakukan tindakan antidemokrasi dan diindikasikan telah melanggar HAM. Amnesty International misalnya dalam laporannya pada 10 Juli 1991 menyebut Indonesia dan beberapa negara Timur Tengah, Asia Pasiik, Amerika Latin, dan Eropa Timur, sebagai pelanggar HAM. Human Development Report 1991 yang disusun oleh United Nations Development Program UNDP juga menempatkan Indonesia kepada urutan ke 77 dari 88 pelanggar HAM Anhar Gonggong ed, 2005:190. Sekalipun Indonesia menolak laporan kedua lembaga internasional tadi dengan alasan tidak “fair”dan kriterianya tidak jelas, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam negeri sendiri pemerintah Orde Baru dinilai telah melakukan beberapa tindakan yang berindikasi pelanggaran HAM. Dalam kurun waktu 1969-1983 misalnya, dapat disebut peristiwa Pulau Buru Tempat penjara bagi orang-orang yang diindikasikan terlibat PKI 1969-1979, peristiwa