Tabel 22 Atribut dan kriteria skor pada dimensi etika
No. Atribut
Skor Kriteria pemberian skor
1. Kedekatan dan ketergantungan
0;1;2;3 Kedekatan secara geografis dan hubungan sejarah:
tidak dekat dan tidak tergantung 0; tidak dekat dan cukup tergantung 1; dekat dan cukup
tergantung 2; dekat dan sangat tergantung 3
2. Pilihan perikanan
0;1;2 Pilihan perikanan: tidak ada 0; beberapa 1;
banyak 2 3. Kesetaraan berkegiatan
0;1;2 Mempertimbangkan basis tradisisejarah: tidak 0;
ya 1; perikanan tradisional 2 4. Keadilan pengelolaan
0;1;2;3;4 Pola pengelolaan: tidak ada 0; konsultatif 1; co-
managementleader pemerintah 2; co- managementleader masy. 3; murni co-
management yg setara 4
5. Mitigasi-Destruksi habitat 0;1;2;3;4 Kerusakan dan mitigasinya terhadap habitat ikan:
banyak kerusakan 0; beberapa kerusakan 1; tidak ada kerusakan atau mitigasi 2; beberapa
mitigasi 3; banyak mitigasi 4
6. Mitigasi-deplesi ekosistem 0;1;2;3;4 Kerusakan dan mitigasinya yang berdampak pada
ekosistem: banyak kerusakan 0; beberapa kerusakan 1; tidak ada kerusakan atau mitigasi
2; beberapa mitigasi 3; banyak mitigasi 4 7. Penangkapan yang
melanggar aturan ;1;2
Tidak ada 0; beberapa 1; banyak 2 8. Buangan dan limbah
;1;2 Tidak ada 0; beberapa 1; banyak 2
Sumber : Pitcher and Preikshot 2001 dimodifikasi
Tabel 23 Definisi atribut pada dimensi etika
No Atribut
Definisi 1.
Kedekatan dan ketergantungan perikanan
Kedekatan secara geografis wilayah dan keterkaitan usaha perikanan secara historis
2. Pilihan perikanan
Keberadaan pilihan kegiatan perikanan selain daripada yang dilakukan
3. Kesetaraan berkegiatan
Pertimbangan basis tradisi atau historis dalam melakukan usaha perikanan
4. Keadilan pengelolaan
Derajat keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan 5.
Mitigasi-Destruksi habitat Tingkat mitigasi dan destruksi terhadap habitat
sumberdaya ikan 6.
Mitigasi-deplesi ekosistem Tingkat mitigasi dan deplesi yang mengakibatkan
perubahan ekosistem 7.
Penangkapan yang melanggar aturan
Keberadaan pelaggaran dalam kegiatan perikanan yang dilakukan IUU fishing
8. Buangan dan limbah
Keberadan buanganlimbah yang disebabkan kegiatan perikanan
Sumber : Pitcher and Preikshot 2001
1 Kondisi masing-masing atribut keberlanjutan pada dimensi etika 1 Keterpautan historis dan atau geografis
Usaha perikanan di Laut Arafura secara sosial memiliki kedekatan dan ketergantungan terhadap aspek geografis dan historis karena sejak dahulu Laut
Arafura dikenal sebagai fishing ground perikanan dan diusahakan oleh masyarakat walaupun dimulai secara tradisional. Potensi sumberdaya ikan yang cukup
melimpah terutama udang dan ikan demersal pada akhirnya mendorong pemanfaatan sumberdaya ikan di Laut Arafura secara komersial. Sejarah
perkembangan perikanan di Laut Arafura merupakan bagian dari sejarah perikanan nasional. Menurut Murdiyanto 2011, perkembangan perikanan di
Indonesia dimulai tahun 1950-an yaitu dengan diujicobakannya trawl oleh Yayasan Perikanan Laut YPL Makassar. Selanjutnya tahun 1970 – 1980
merupakan masa kejayaan trawl udang, serta berkembangnya secara pesat teknologi penangkapan ikan seperti gillnet, pancing, purse seine, dan sebagainya.
Dengan demikian pada hakikatnya pengembangan perikanan skala komersial atau skala besar diatas 30 GT secara kultural bukanlah hal baru bagi
masyarakat. Skor keterpautan historis dan atau geografis untuk seluruh jenis perikanan dapat diberikan nilai 2.
2 Pilihan perikanan Banyak pilihan kegiatanusaha perikanan lainnya di Laut Arafura antara
lain : pukat ikan, pukat udang, gillnet, pancing cumi, pancing rawai dasar, dan lain-lain. Disamping itu terdapat pula jenis alat penangkapan lain diluar 5 jenis
yang dominan. Hal ini membuat masyarakat atau nelayanABK di Laut Arafura memiliki keleuasaan untuk memilih kegiatan perikanan yang diinginkan. Skor
pilihan perikanan untuk seluruh jenis perikanan dapat diberikan nilai 2. 3 Kesetaraan kesempatan perikanan
Meskipun usaha perikanan di Laut Arafura secara sosial historis memiliki kaitan erat dengan masyarakat sekitarnya, tetapi masuknya usaha perikanan
komersial atau skala besar diatas 30 GT adalah dilakukan dengan pertimbangan
kelayakan teknis dan ekonomis, sedikit sekali yang mempertimbangkan aspek tradisi atau sejarah perikanan di lokasi. Skor kesetaraan kesempatan perikanan
untuk seluruh jenis perikanan dapat diberikan nilai 0. 4 Keadilan dalam hal pengelolaan pelibatan nelayanABK
Kaitannya dengan pihak lain terhadap pengelolaankegiatan usaha yang dilakukan, perikanan skala komersial sangat sedikit mengakomodir nelayanABK
dalam hal pengelolaanoperasional. Peran masing-masing pelaku yang terlibat dalam operasi penangkapan ikan skala komersial diatas 30 GT disesuaikan
dengan tugas dan tanggung jawabnya. Pembagian tugas sudah dilakukan secara profesional sehingga kebijakan atau keputusan yang strategis tentang pengelolaan
atau operasional penangkapan terbatas hanya oleh pimpinan atau manajer bagian penangkapan beserta nakhoda kapal. Hal ini berlaku untuk seluruh jenis
perikanan sehingga skornya sama yaitu 0. 5 Mitigasi – destruksi habitat
Pengoperasian alat penangkap ikan yang tergolong selektif seperti pancing cumi, pancing rawai dasar, dan gillnet oseanik pada umumnya tidak
menimbulkan kerusakan habitat sehingga upaya mitigasinya juga tidak terlalu signifikan. Untuk ketiga jenis perikanan ini dapat diberikan skor 2.
Pengoperasian pukat udang dapat menimbulkan kerusakan habitat sumberdaya ikan karena alat penangkap ikan ini kurang selektif dan banyak
menghasilkan by-catch dan discard. Disamping itu efek “sapuan” pada bagian kantong jaring dapat merusak kondisi substrat tempat hidup habitat ikan dan
udang. Skor mitigasi – destruksi untuk perikananpukat udang diberikan nilai 0. Sama halnya dengan perikanan pukat udang, pengoperasian pukat ikan
mampu merusak habitat sumberdaya ikan tetapi dampaknya tidak sebesar pada pukat udang karena pukat ikan lebih banyak beroperasi pada bagian kolom
perairan. Skor kerusakan habitat untuk perikanan pukat ikan lebih kecil dibandingkan dengan perikanan pukat udang sehingga dapat dinilai 1.
6 Mitigasi – destruksi ekosistem Destruksi terhadap eskosistem yang diakibatkan pengoperasian alat
penangkap ikan dapat dianalogikan dengan destruksi pada habitat sumberdaya ikan. Hal ini dipahami karena habitat merupakan bagian dari ekosistem yang
lebih besar. Habitat sumberdaya ikan yang mengalami kerusakan selanjutnya akan membuat ketidakseimbangan interaksi dalam ekosistem, misalnya antar
spesies dalam satu habitat maupun antar habitat satu dengan yang lainnya. Interaksi yang terjadi contohnya adalah hubungan mangsa-memangsa predator-
prey , simbiosis dan rantai makanan. Dalam interaksi yang lebih luas maka
ekosistem juga menyangkut biota lain selain ikan serta keseluruhan organisme yang ada di laut dan daratan pesisir.
Berdasarkan hal tersebut maka penentuan skor mitigasi – destruksi ekosistem dapat mengacu kepada skor mitigasi – deplesi habitat. Pada jenis
perikanan yang selektif seperti gillnet dan pancing dapat dikatakan sangat kecil dampak kerusakannya terhadap ekosistem sehingga diberikan nilai skor 2. Pada
perikanan pukat udang banyak mengakibatkan kerusakan ekosistem sehingga skornya adalah 0, sedangkan pada pukat ikan dapat diberikan skor 1.
7 Penangkapan yang melanggar aturan Perairan Laut Arafura merupakan salah satu kawasan yang rawan kegiatan
IUU Fishing illegal unreported unregulated fishing. Kegiatan IUU Fishing di
laut Arafura dapat berupa pencurian ikan, penggunaan alat dan metode penangkapan yang dilarang pengeboman ikan, penggunaan racun, penggunaan
pair trawl , pengoperasian kapal tanpa dokumen perizinan, penggunaan izin
palsu, transhipment, dan lain-lain. IUU Fishing dapat dilakukan oleh kapal-kapal asing maupun kapal domestik.
Berdasarkan wawancara dengan pengawas perikanan di lapangan, kapal- kapal yang sering tertangkap melakukan IUU fishing adalah kapal-kapal jenis
pukat ikan dan gillnet oseanik skor 2. Selanjutnya adalah kapal pukat udang walaupun tidak sebanyak pada pukat ikan dan gillnet oseanik skor 1. Sedangkan
untuk perikanan pancing cumi dan pancing rawai dasar tingkat pelanggaran sangat sedikit skor 0.
8 Buangan dan limbah termasuk organisme Limbah merupakan hasil samping yang tidak diharapkan atau tidak
dimanfaatkan dari suatu kegiatan. Kegiatan perikanan umumnya
menghasilkan limbah baik dalam bentuk organik maupun an-organik. Bentuk organik misalnya berupa sisa-sisa ikan mati busuk, organisme lain yang mati
tertangkap kemudian dibuang seperti kura-kura atau burung laut, bahkan ikan spesies target maupun non-target penangkapan dapat juga dibuang sebagai discard
oleh sebab-sebab tertentu misalkan terbatasnya kapasitas palkah ikan. Bentuk limbah atau buangan an-organik yang umum dari kegiatan perikanan contohnya
adalah tumpahan minyak yang mencemari perairan oil spill. Sebagaimana telah diuraikan pada dimensi ekologi, pengoperasian kapal-
kapal besar di Arafura terutama yang menggunakan alat penangkap ikan berupa pukat yang ditarik pukat udang dan pukat ikan memberikan limbah yang cukup
besar berupa discard. Pada perikanan pukat udang, discard dan by-catch adalah yang tertinggi dibanding alat penangkap ikan lainnya. By-catch pukat udang
tercatat 332.186 tontahun, sebagian besarnya dibuang ke laut sebagai discard Purbayanto, et al., 2006. Skor buangan untuk perikanan pukat udang adalah
tertinggi yaitu 2. Discard juga ditemui pada perikanan pukat ikan tetapi jumlahnya tidak sebanyak pada pukat udang skor 1. Sedangkan pada perikanan
dengan alat penangkap ikan yang selektif yaitu gillnet oseanik, pancing cumi, dan pancing rawai dasar discard atau limbah yang dihasilkan sangat sedikit skor 0.
2 Status keberlanjutan perikanan pada dimensi etika Output yang diperoleh dengan metode RAPFISH pada dimensi etika
menunjukkan nilai indeks keberlanjutan perikanan tangkap sebagaimana disajikan pada Tabel 24 dan Lampiran 5.
Tabel 24 Indeks keberlanjutan perikanan pada dimensi etika No.
Kegiatan Perikanan Tangkap
Indeks Keberlanjutan Perikanan
Status Keberlanjutan
1. Pukat Ikan 26,46
Kurang 2. Gillnet Oseanik
37,51 Kurang
3. Pukat Udang 21,19
Buruk 4. Pancing Cumi
46,57 Kurang
5. Pancing Rawai Dasar 46,57
Kurang Rata-rata indeks
35,66 Kurang
Selanjutnya jika nilai dimensi etika pada Tabel 24 tersebut diplotkan dalam gambar ordinansi maka akan nampak sebagaimana Gambar 37.
RAPFISH Ordination
Down Up
Bad Good
-60 -40
-20 20
40 60
20 40
60 80
100
Fisheries Status O
th e
r D is
ti n
g is
h in
g F
e a
tu re
s
Real Fisheries Reference anchors
Anchors
Gambar 37 Posisi status keberlanjutan perikanan pada dimensi etika
keterangan: PIK= pukat ikan, PUD= pukat udang, GIL= gillnet oseanik, PAC= pancing cumi, PRD= pancing rawai dasar
Sementara itu hasil analisis Monte Carlo yang ditujukan untuk melihat tingkat kestabilan d ar i hasil analisis ordinansi dengan iterasi 30 kali dapat
dilihat pada Gambar 38. Keberlanjutan perikanan dari dimensi etika secara rata- rata memiliki nilai yang paling rendah dibandingkan dimensi lainnya yaitu 35,66
atau dengan status kurang berlanjut. Berdasarkan dimensi etika, semua jenis
PUD
PAC GIL
PIK
PRD
perikanan yang beroperasi di Arafura berada dalam status kurang berlanjut. Nilai keberlanjutan masing-masing perikanan yaitu: pancing cumi dan pancing rawai
dasar masing-masing 46,6; gillnet oseanik 37,5; pukat ikan 26,5; dan terendah adalah pukat udang 21,2 seperti terlihat pada Gambar 37. Simulasi
RAPISH untuk dimensi etika ini menghasilkan parameter statistik yang memadai yaitu nilai stress = 14,2 dan R
2
= 94,3.
Rapfish Ordination - Monte Carlo Scatter Plot
-60 -40
-20 20
40 60
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Fisheries Status
O th
e r D
is ti
n g
is h
in g
F e
a tu
re s
Gambar 38 Kestabilan nilai ordinasi dengan analisis Monte Carlo pada dimensi etika keterangan: kuning=pukat udang; biru=pukat ikan;
ungu=p.rawai dasar; pink=gillnet oseanik; hijau muda=p.cumi
Berdasarkan analisis sensitivitas diketahui bahwa atribut utama yang paling berpengaruh untuk dimensi etika adalah keadilan dalam hal pengelolaan
Gambar 39. Keadilan yang dimaksud adalah pelibatan masyarakat dalam hal pengelolaan atau pemanfaatan perikanan, yang ditunjukkan oleh nilai perubahan
rms tertinggi yaitu 6,59.
Leverage of Attributes
4,59 5,52
5,67 6,59
2,80 2,41
4,27 3,06
1 2
3 4
5 6
7 kedekatan ketergantungan
pilihan perikanan kesetaraan kesempatan
keadilan dalam pengelolaan
mitigasi-destruksi habitat mitigasi-deplesi
ekosistem illegal fishing
buangan dan limbah
A ttr
ib u
te
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed on Statis scale 0 to 100
Gambar 39 Hasil analisis leverage pada dimensi etika
Analisis sensitivitas juga menunjukkan bahwa mitigasi-deplisi habitat dan ekosistem merupakan atribut yang kurang memiliki pengaruh bagi keberlanjutan
perikanan secara etika. Nilai perubahan rms untuk mitigasi-deplisi ekosistem adalah terkecil yaitu 2,41 sedangkan mitigasi-deplisi habitat 2,80.
3 Pembahasan keberlanjutan perikanan pada dimensi sosial Keberlanjutan perikanan pada dimensi etika di Laut Arafura adalah kurang
berlanjut yaitu dengan rata-rata skor 35,66. Nilai ini merupakan terendah dibanding keberlanjutan pada dimensi lainnya. Skor keberlanjutan perikanan
dimensi etika yang paling rendah adalah pada perikanan pukat udang skor 21,19. Hal ini dikontribusikan terutama oleh bycatch dan discard yang tertinggi
dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Selain itu pula perikanan pukat udang termasuk sering melakukan IUU fishing disamping pukat ikan dan gillnet oseanik.
Secara etika, usaha perikanan akan memiliki nilai yang tinggi bila memperhatikan dan melibatkan aspek masyarakat lokal dalam kegiatannya.
Keadilan pengelolaan akan mempengaruhi tingkat penerimaan atau penolakan
masyarakat terhadap usaha perikanan yang dilakukan. Sebagai contoh di Papua, sejak tahun 1980-an sudah terdapat perusahaan perikanan yang eksis karena selain
membuka lahan perekonomian baru juga memfasilitasi masyarakat setempat untuk memperoleh kebutuhan dasar dan mata pencaharian. Oleh karena itu
keadilan pilihan dalam hal pengelolaan sangat besar pengaruhnya pada keberlanjutan dimensi etika.
Hasil analisis sensitivitas juga menunjukkan bahwa pengaruh atribut mitigasi-deplesi ekosistem terhadap keberlanjutan secara etika sangat rendah. Hal
ini menunjukkan bahwa usaha perikanan di Arafura juga kurang memperhatikan aspek mitigasi atau pencegahan dampak buruk yang ditimbulkan terhadap
ekosistem dan habitat sehingga atribut ini hasilnya kurang sensitif. Dalam rangka meningkatkan keberlanjutan perikanan dari aspek etika
perlu ditempuh antara lain peningkatan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan usaha perikanan. Perlu dibuat aturan yang tegas terhadap dampak
negatif yang ditimbulkan usaha perikanan tangkap terhadap ekosistem dan habitat serta upaya pencegahannya pada kegiatan perikanan di Laut Arafura.
4.1.6 Status keberlanjutan perikanan di Arafura secara keseluruhan Berdasarkan hasil analisis RAPFISH secara keseluruhan diketahui bahwa
perikanan tangkap di perairan Arafura cukup berlanjut yaitu dengan skor 54,68. Bila dirinci berdasarkan masing-masing dimensi diketahui bahwa dimensi
ekologi, sosial, dan teknologi dalam kondisi cukup berlanjut, sedangkan aspek ekonomi dan etika dalam kondisi kurang berlanjut. Bila diuraikan berdasarkan
perikanan alat tangkap maka perikanan pancing cumi, pancing rawai dasar, dan gillnet dalam status cukup berlanjut, sedangkan perikanan pukat udang dan pukat
ikan berada dalam status kurang berlanjut. Hasil analisis RAPFISH selengkapnya diuraikan pada Tabel 25 berikut.
Tabel 25 Hasil analisis RAPFISH menurut jenis alat dan dimensi
Alat Penangkap Ikan API
Dimensi atau Aspek Rata2
API
Ranking API
Kriteria API
Ekologi Ekonomi
Sosial Teknologi
Etika
Pukat Ikan 52,51
50,65 52,93
51,03 26,46
46,71 4
Kurang Gillnet
99,97 35,99
50,62 69,66
37,51 58,75
3 Cukup
Pukat Udang 38,50
47,79 54,36
58,87 21,19
44,14 5
Kurang Pancing Cumi
99,97 57,17
53,91 64,20
46,57 64,36
1 Cukup
Pancing Rawai Dasar 85,19
44,38 54,13
66,80 46,57
59,41 2
Cukup
Rata2 Dimensi
75,23 47,20
53,19 62,11
35,66 54,68
- -
Ranking Dimensi
1 4
3 2
5 -
- -
Kriteria Dimensi Cukup Kurang Cukup
Cukup Kurang
- -
-
Secara grafis, status keberlanjutan perikanan di Arafura berdasarkan dimensi diperlihatkan pada Gambar 40, sedangkan berdasarkan alat penangkap
ikan diperlihatkan pada Gambar 41.
25 50
75 100
EKOLOGI
EKONOMI
SOSIAL TEKNOLOGI
ETIKA
PUKAT IKAN GILLNET
PUKAT UDANG PANCING CUMI
PANCING RAWAI DASAR
Gambar 40 Diagram layang-layang keberlanjutan perikanan di Laut Arafura berdasarkan dimensi
Pada Gambar 40 terlihat bahwa keberlanjutan berdasarkan ekologi memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan dimensi lainnya yang
ditunjukkan oleh garis-garis bidang lebih yang mengarah ke sudut bagian atas
sudut ekologi. Nilai rata-rata keberlanjutan ekologi ini 75,23 dengan status cukup berlanjut. Sedangkan keberlanjutan pada dimensi etika merupakan yang
paling rendah dengan nilai rata-rata 35,66 kurang berlanjut. Keberlanjutan perikanan berdasarkan jenis alat penangkapan ikan yang
ditunjukkan Gambar 41 memperlihatkan bahwa perikanan pancing cumi adalah paling berlanjut dengan skor rata-rata 64,36. Sedangkan yang paling rendah
nilainya adalah perikanan pukat udang dengan nilai rata-rata 44,14 atau statusnya kurang berlanjut. Gambar 41 memperlihatkan juga bahwa keberlajutan secara
ekologi seluruh jenis alat penangkap ikan merupakan yang tertinggi yaitu ditunjukkan oleh ukuran poligon ekologi garis berwarna biru dari seluruh jenis
alat penangkap ikan.
25 50
75 100
PUKAT IKAN
GILLNET
PUKAT UDANG PANCING CUMI
PANC. RAWAI DASAR
EKOLOGI EKONOMI
SOSIAL T EKNOLOGI
ET IKA
Gambar 41 Diagram layang-layang keberlanjutan perikanan di Laut Arafura berdasarkan jenis alat
penangkap ikan
4.2 Keberlanjutan Perikanan Berbasis Optimasi Alat Penangkap Ikan