Penghubung sistem Interface Penghubung sistem interface

84 Lanjutan Tabel 6 Stakeholders Proses pengolahan input dan penyimpanan Bentuk output Saluran output Lembaga Keuangan Proses: - Mengolah data potensi usaha usahatani - Menyusun kebutuhan modal usaha - Mengembangkan sistem informasi kelembagaan keuangan mikro - Membangun jaringan penyaluran dana Penyimpanan: - Pangkalan data - Data sheet - Daftar calon mitra lembaga keuangan - Alokasi modal untuk pengembangan usaha ekonomi mikro spesifik lokasi - Jaringan pemanfaatan, penyaluran, dan pengembalian dana dari lembaga keuangan - Prosedur dan pedoman teknis pemanfaatan dana untuk pengembangan ekonomi mikro lokal - Media massainternet - Pengusaha lokal - Kelompok tani - Kelembagaan ekonomi mikro lokal Lembaga Pengaturan Proses: - Mengolah data produk petani jumlah, jenis, mutu - Menganalisis kebutuhan pasar mutu produk, jumlah dan jenis - Menganalisis kebutuhan dan stok saprotan - Mengembangkan jaringan kemitraan usaha dan pengembangan kelembagaan keuangan mikro Penyimpanan: - Pangkalan data - Data sheet - Datasheet dan pangkalan data produk petani di wilayah kerja lembaga pengaturan - Rencana pengaturan stock saprotan sesuai dengan kebutuhan wilayah - Informasi kebutuhan pasar sesuai dengan mutu, jumlah, dan jenis produk - Jaringan kemitraan usaha - Prosedur pengaturan penyaluranpemanfaatan pengembalian kredit dari lembaga keuangan - Forum koordinasi - PetaniPenyuluh - Media massainternet - Lembaga keuangan

e. Penghubung sistem Interface Penghubung sistem interface

adalah tempat dimana komponen atau sistem dan lingkungannya bertemu atau berinteraksi dan tergambar dalam diagram alir atau diagram sebab akibat hubungan pengaruh antarkomponen sistem komunikasi. Penghubung sistem merupakan suatu media penghubung antara satu subsistem dengan subsistem lainnya untuk membentuk satu kesatuan, sehingga sumber-sumber daya mengalir dari subsistem yang satu ke subsistem lainnya. Dengan kata lain melalui penghubung ini output dari suatu subsistem akan menjadi input untuk subsistem lainnya. 85 Hasil analisis lainnya adalah terdapat kesenjangan jaringan sistem informasi yang terkait dengan problem, problem solving, inovasi, hasil riset, maupun teknologi tepat guna baik di pusat ke daerah dan antar daerah, serta antar daerah dengan lokal. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya inovasi yang berkelanjutan, meskipun biaya telah banyak dikeluarkan untuk menghasilkan inovasi melalui dana riset. Salah satu permasalahannya adalah karena mekanisme penghubung sistemnya belum berfungsi dengan baik sehingga belum mampun mempertemukan antara input yang dibutuhkan oleh subsistem lain dengan output yang dihasilkan yang sesuai dengan kebutuhan pengguna. Proses pengelolaan inovasi pertanian oleh lembaga terkait menjadi output yang bermanfaat bagi lembaga lain dalam subsistem jaringan inovasi pertanian masih terpola pada mekanisme formalitas pencapaian target lembaga dan belum berorientasi pada pengguna, khususnya pengguna akhir yaitu petani. Output yang dihasilkan oleh lembaga sebagian besar masih tersimpan di lembaga yang bersangkutan dalam sistem penyimpanan baik secara elektronis maupun hardcopy. Kalaupun telah terdistribusi, informasi inovasi pertanian masih banyak yang tertahan di lembaga subsistem terkait lainnya. Misalnya paket-paket teknologi pertanian dalam bentuk elektronis maupun hard copy masih banyak tersimpan di Balai Penyuluhan Pertanian maupun Dinas-Dinas Pertanian terkait. Lembaga pemadu sistem yang mampu mendistribusikan informasi inovasi pertanian sekaligus mengolah kembali menjadi informasi inovasi yang tepat guna dengan melibatkan penyuluh pertanian formal maupun swadaya perlu dikembangkan. Dengan demikian, sinergi antar lembaga dapat dioptimalkan dan outputnya dapat diterjemahkan kembali sesuai dengan kondisi pengguna akhir. Lembaga pemadu sistem juga perlu difungsikan sebagai penyaring umpan balik dari pengguna akhir ke lembaga terkait yang tergabung dalam sistem jaringan informasi inovasi pertanian sehingga mampu menghasilkan inovasi pertanian yang berkelanjutan dalam perspektif knowledge sharing antarlembaga maupun lembaga dengan pengguna akhir. Dengan berkembangnya teknologi informasi, proses knowledge sharing dapat diakselerasi sesuai kebutuhan. Cyber Extension merupakan salah satu upaya untuk mendukung terjadinya knowledge sharing dalam mekanisme pengembangan jaringan informasi inovasi pertanian. 86 Eriyatno 1996 menyatakan bahwa salah satu cara untuk mengidentifikasi sistem jaringan komunikasi informasi inovasi pertanian adalah menggunakan t e o r i black-box kotak gelap. Konsep yang digunakan dalam analisis kotak hitam adalah sebuah kotak hitam yang tidak diketahui apa yang terjadi di dalamnya, tetapi hanya diketahui input yang masuk dan output yang keluar dari kotak gelap tersebut. Dalam menyusun kotak gelap, harus diketahui tiga informasi, yaitu 1 peubah input, 2 peubah output, dan 3 parameter yang membatasi sistem Gambar 9. Input terdiri a t a s input lingkungan, yang berasal dari luar sistem exogenous dan input dari dalam sistem endogenous. Input dari dalam sistem terbagi menjadi input terkontrol dan input yang tidak terkontrol. Output terdiri atas output yang dikehendaki desirable output dan output yang tidak dikehendaki. Output yang diharapkan biasanya dihasilkan dari pemenuhan kebutuhan yang ditentukan pada langkah analisis kebutuhan. Sedangkan output yang tidak diharapkan umumnya berupa dampak yang ditimbulkan dan mungkin berbahaya. Berkaitan dengan sistem jaringan komunikasi informasi inovasi pertanian, input terkendali di antaranya adalah visi, misi, dan tupoksi masing-masing lembaga yang termasuk dalam sistem, informasi inovasi pertanian yang dibutuhkan dengan bentuk, jenis, dan format serta media penyaluran yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing lembaga terkait, k e giatan atau program komunikasi inovasi pertanian, dukungan sarana prasarana serta anggaran untuk kegiatan komunikasi inovasi pertanian yang diterapkan, kualitas aplikasi teknologi informasi dan komunikasi, dan kualitas pelaku komunikasi inovasi pertanian. Sedangkan input tidak terkendali di antaranya adalah kualitas sumber daya manusia pengguna sistem jaringan pelaku agribisnis, status sosial ekonomi petani, perilaku pengguna sistem jaringan atau pelaku agribisnis, potensi pasar, ketersediaan dan peranan kelembagaan lokal petani, serta perilaku lembaga swadaya masyarakat LSM. 87 Gambar 9 Pola Analisis Sistem Jaringan Komunikasi Informasi Inovasi Pertanian Menggunakan Pendekatan Diagram Kotak Gelap Black Box I nput tidak terkendali • Kualitas SDM pelaku agribisnis • Status sosial ekonomi petani • Perilaku pengguna sistem jaringan atau pelaku agribisnis • Potensi pasar • Ketersediaan dan peranan kelembagaan lokal petani • Perilaku lembaga swadaya masyarakat LSM I nput terkendali • Visi, misi, dan tupoksi lembaga • Informasi inovasi pertanian yang dibutuhkan • K e giatan atau program komunikasi inovasi pertanian • Sarana prasarana anggaran k om u n i k asi i n ov asi p er t an i an • Kualitas aplikasi TIK • Kualitas pelaku komunikasi inovasi pertanian I nput lingkungan • Peraturan perundang- undangan • Kebijakan pengembangan akses informasi berbasis TI • Infrastruktur jaringan TI • Tradisi budaya masyarakat Sistem jaringan informasi komunikasi inovasi pertanian: • Konvergensi komunikasi • Sinergi dan integrasi program • I nterface elemen sistem Output tidak dikehendaki • Masalah sosial dan reduksi budaya • Kesenjangan sosial antara yang memiliki akses terhadap aplikasi TI K dan yang tidak • Overload information sehingga tidak mampu diorganisasi dan dikelola sesuai kebutuhan. Output yang dikehendaki • Laporan hasil penelitian • Produk bibit, benih, varietas, prototipe alsintan, peta, model, teknologi pengetahuan baru • Informasi teknologi tepat guna • Panduan pengelolaan informasi, • Abstrakdaftar isi majalah terbaru • Informasi hasil penelitian pengkajian fullteks offline dan online • Hasil penelusuran informasi • Jurnal tercetak dan elektronis • Situs pertanian • Sistem komunikasi inovasi pertanian yang dinamis Manajemen • Pengembangan sistem informasi manajemen berbasis TI K • Mekanisme monitoring dan evaluasi reguler • Peningkatan kapasitas pelaku komunikasi di bidang aplikasi TI K • Penguatan sistem pangkalan data informasi inovasi pertanian Input lingkungan yang dapat memberikan pengaruh pada kotak hitam yang dianalogkan dengan sistem jaringan komunikasi informasi inovasi pertanian di antaranya adalah berupa peraturan perundang-undangan, kebijakan 88 pengembangan akses dan infrastruktur informasi dan komunikasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi, kondisi fisik lingkungan khususnya instalasi jaringan teknologi informasi dan komunikasi, serta tradisi dan budaya masyarakat. Output terdiri atas dua kategori, yaitu output yang diharapkan dan output yang tidak diharapkan. Output yang diharapkan by design, dihasilkan melalui kegiatan tertentu dan target output yang telah ditetapkan atau direncanakan. Output utama yang diharapkan adalah hasil yang diharapkan dari pengelolaan sistem jaringan komunikasi informasi inovasi pertanian tersebut yaitu terpenuhinya kebutuhan informasi inovasi pertanian secara tepat guna yang berkelanjutan. Output yang diharapkan di antaranya adalah laporan hasil penelitian, produk berupa bibit, benih, varietas, prototipe alsintan, peta, model, teknologipengetahuan baru, artikel untuk jurnal atau publikasi ilmiah dan ilmiah populer, informasi untuk bahan warta pertanian, informasi teknologi tepat guna, produkprototipe baru bidang pertanian termasuk saprodi, bahan untuk menghasilkan produkpengetahuan, panduan pengelolaan informasi, abstrak, daftar isi majalah terbaru, informasi hasil penelitianpengkajian fullteks yang dapat diakses offline dan online, hasil penelusuran informasi, jurnal elektronis, situs pertanian, serta sistem komunikasi inovasi pertanian yang dinamis dan mampu menyediakan informasi inovasi pertanian secara tepat guna yang berkelanjutan. Output yang tidak diharapkan adalah hasil negatif atau dampak yang tidak diharapkan terjadi yang muncul bersama-sama dengan output yang diharapkan. Beberapa output yang tidak diharapkan dari sistem jaringan komunikasi informasi inovasi pertanian khususnya terkait dengan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi adalah masalah sosial dan reduksi budaya, kesenjangan sosial antara yang memiliki akses terhadap aplikasi teknologi informasi dan komunikasi dan yang tidak, dan overload information atau informasi yang sangat berlimpah yang diterima pengguna sehingga tidak mampu diorganisasi dan dikelola dengan baik sesuai kebutuhan dan kondisi sumber daya lokal. 89 Umpan balik dari adanya output yang tidak diharapkan adalah manajemen sistem jaringan komunikasi informasi inovasi pertanian. Salah satu mekanisme sistem manajemen adalah pengembangan sistem informasi yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi dan mekanisme pengendalian yang meliputi kegiatan monitoring dan evaluasi. Hasil Penelitian yang telah Dilakukan dan State of the Art Teknologi informasi dan komunikasi mengacu pada penggunaan peralatan elektronik utamanya komputer untuk memproses suatu kegiatan tertentu. Teknologi informasi dan komunikasi mempunyai kontribusi peranan yang potensial dan nyata dalam mencapai manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan. Teknologi informasi dan komunikasi merujuk pada sistem untuk menghasilkan, menyimpan, mengirimkan, dan mencari kembali file atau dokumen digital. File- file tersebut dapat memuat teks, suara, dan gambar baik gambar diam maupun gambar bergerak. Teknologi informasi dan komunikasi, khususnya internet juga telah mentransformasikan seluruh kegiatan manusia yang secara langsung bergantung pada informasi, termasuk di wilayah perdesaan. Di dunia yang berkembang saat ini, revolusi teknologi informasi dan komunikasi telah mempengaruhi tiap lapisan kehidupan dan telah memberikan keuntungan yang tidak terukur untuk masyarakat. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dapat digunakan untuk menjembatani informasi dan pengetahuan yang tersebar di antara yang menguasai informasi dan yang tidak. Akses terhadap komunikasi digital membantu meningkatkan akses terhadap peluang pendidikan, meningkatkan transparansi dan efisiensi layanan pemerintah, memperbesar partisipasi secara langsung dari ”used- to-be-silent-public ” masyarakat yang tidak mampu berpendapat dalam proses demokrasi, meningkatkan peluang perdagangan dan pemasaran, memperbesar pemberdayaan masyarakat menciptakan jaringan komunikasi dan peluang pendapatan, serta akses terhadap informasi pengobatan untuk masyarakat yang terisolasi dan meningkatkan peluang tenaga kerja Servaes 2007. 90 Sejalan dengan temuan Servaes, dari hasil penelitian Wahid 2006 diketahui bahwa penggunaan internet aplikasi teknologi informasi di Indonesia cenderung dimanfaatkan khususnya untuk meningkatkan kapabilitas pendidikan secara personal maupun sosial. Pengalaman dari pemanfaatan internet di sekolahan diketahui bahwa aplikasi teknologi informasi dan komunikasi dapat memainkan peranan yang penting dalam mengembangkan sikap dan keahlian masyarakat untuk meningkatkan manfaat sosial dari penggunaan sumber informasi yang dapat diakses melalui internet. Hal ini berarti juga mendorong pada proses untuk mendidik masyarakat dalam bagaimana caranya menggunakan sumber informasi melalui internet tersebut untuk mencari informasi yang tepat dan relevan dalam bahasa yang dapat dipahami yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas hidup. Telepon genggam merupakan sarana teknologi informasi dan komunikasi yang juga memiliki peranan yang cukup besar dalam proses berbagi informasi maupun pengetahuan. Berkaitan dengan penggunaan telepon genggam, penelitian Borae dan Namke 2009 menyatakan bahwa motif interpersonal dan komunikasi tatap muka merupakan dua alasan yang dominan berhubungan dengan pemanfaatan telepon genggam. Telepon genggam merupakan sarana teknologi informasi dan komunikasi yang dapat menggunakan panggilan suara dan pesan teks menelepon dan SMS. Semakin sering seseorang terlibat dalam interaksi tatap muka positif dengan pihak lain memiliki motivasi yang tinggi untuk lebih sering menggunakan telepon genggam. Sebaliknya orang yang sedikit terlibat dalam interaksi sosial secara tatap muka dengan pihak lain, kurang memiliki motivasi menggunakan telepon genggam untuk tujuan komunikasi interpersonal. Selanjutnya di bidang pendidikan politik masyarakat, Purbo 2002 memiliki argumentasi bahwa pergerakan golongan akar rumput grassroots movements mendorong pengembangan akses dan pemanfaatan internet di Indonesia. Kenyataan ini merupakan gambaran besarnya peluang pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pendidikan masyarakat untuk komunikasi inovasi pertanian sebagaimana disajikan dalam beberapa hasil penelitian berikut. 91 Berkaitan dengan bagaimana teknologi informasi dan komunikasi dapat mempromosikan pertanian yang berkelanjutan dan memberdayakan petani, Alemna 2006 menyatakan bahwa dengan adanya pertukaran informasi melalui pemanfaatan peralatan elektronis telah merevitalisasi peranan dari layanan penyuluhan dalam penyiapan informasi, pendidikan, dan membantu dalam proses pengambilan keputusan untuk produsen pertanian di India. Temuan Alemna 2006 diperkuat oleh Mauren 2009 yang menyatakan bahwa pengembangan sumber informasi dengan sinergi aplikasi teknologi informasi dan komunikasi seperti telecenter, radio komunitas, dan telepon genggam melalui pengiriman pesan singkat atau SMS dapat dioptimalkan untuk meningkatkan akses petani ke sumber informasi. Integrasi teknologi informasi untuk mengelola, mengakses, dan mendiseminasikan informasi pertanian seperti di pusat penelitian Kabarole Kabarole Research CentreKRC dan pusat informasi Kubere Kubere Information CentresKIC, mampu menyiapkan atau mendiseminasikan informasi pertanian sehingga selalu dapat diakses dalam bentuk tercetak, audio, maupun visual yang dibutuhkan dan mudah dipahami petani di Uganda. Media ini memiliki peran yang besar untuk dijadikan sebagai meddia berbagi informasi dan pengembangan jaringan sehingga membantu petani maupun masyarakat umum, serta memberikan kesempatan pemerintah dan kementerian terkait merespon kebutuhan petani yang mendesak. Kesimpulan hasil penelitian Maureen adalah: “Information and Communication technologies ICTs can empower rural farmers in Uganda to participant in decision making, exchanging ideas with other farmers in developed and developing countries in order to improve on the quality of their agricultural produce”. Teknologi informasi dan komunikasi juga telah memberikan peluang yang besar dalam peningkatan kapasitas individu dan sosial masyarakat termasuk dalam mendukung kegiatan pembangunan pertanian khususnya untuk kegiatan komunikasi pertanian. Namun demikian, karena sifatnya yang relatif baru, aplikasi teknologi informasi dalam komunikasi inovasi pertanian perlu memperhatikan beberapa karakteristik teknologi informasi dan komunikasi sebagai media baru atau inovasi yaitu keuntungan relatif, kemudahan 92 diaplikasikan, kemudahan untuk dilihat hasilnya, serta kesesuaian dengan kebutuhan dan kesesuaian dengan budaya Browning dan Sornes 2008, Rogers 2003. Di samping itu, dalam implementasinya di lapangan juga perlu diketahui faktor lain yang mempengaruhi dilihat dari sisi internal yaitu individu penerima dan pengguna maupun dari segi lingkungan. Berdasarkan analisis berbagai hasil penelitian yang terkait dengan aplikasi teknologi informasi dalam komunikasi inovasi dapat disimpulkan bahwa secara umum tingkat aplikasi teknologi informasi dan komunikasi dalam komunikasi inovasi ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dari pelaku komunikasi dan faktor eksternal khususnya lingkungan Teo et al. 2007, Marwan 2008, Godschalk Lacey 2001, dan Aldhmour 2009. Mundorf dan Laird 2008 menyatakan bahwa pendidikan dan faktor sosial ekonomi merupakan variabel yang diduga mempengaruhi penggunaan internet. Hal ini sejalan dengan Venkatesh et al. 2003 yang menyatakan bahwa faktor perantara yang berpengaruh terhadap perilaku pengguna memanfaatkan teknologi informasi diantaranya adalah: umur dan pengalaman atau lama menggunakan teknologi informasi. Sedangkan Spitzberg 1994 dan 2006 menyatakan bahwa perilaku atau kapasitas pengguna teknologi informasi menentukan kategori dan jangkauan pemanfaatan teknologi informasi baik untuk pengelolaan data, implementasi komunikasi, maupun pengembangan jaringan. Hasil penelitian Jayathilake et al. 2010 menyatakan bahwa faktor pembatas terpenting yang mempengaruhi penggunaan teknologi informasi dan komunikasi di bidang pertanian adalah biaya untuk akses teknologi informasi dan komunikasi. Ketiadaaan training atau pelatihan bagi petani dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi merupakan faktor kedua yang mempengaruhi penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi adalah kepercayaan terhadap teknologi informasi dan komunikasi serta keterbatasan infrastruktur. Dalam penelitian ini juga diketahui bahwa penggunaan telepon genggam merupakan aplikasi teknologi informasi dan 93 komunikasi yang sangat dikenal baik oleh petani dibandingkan dengan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi lainnya semacam internet. Survei yang dilakukan oleh the International Society for Horticultural Sciences ISHS telah mengidentifikasi hambatan-hambatan dalam mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi oleh petani khususnya petani hortikultura, yaitu: keterbatasan kemampuan, kesenjangan dalam pelatihan training, kesadaran akan manfaat teknologi informasi dan komunikasi, waktu, biaya dari teknologi yang digunakan, integrasi sistem, dan ketersediaan software. Partisipan dari negara maju menekankan pada hambatan: tidak adanya manfaat ekonomi yang dapat dirasakan, tidak memahami nilai lebih dari teknologi informasi dan komunikasi, tidak cukup memiliki waktu untuk menggunakan teknologi, dan tidak mengetahui bagaimana mengambil manfaat dari penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Responden dari negara berkembang menekankan pentingnya “biaya teknologi teknologi informasi dan komunikasi” dan “kesenjangan infrastruktur teknologi. Hasil penelitian dari the Institute for Agricultural and Fisheries Research sejalan dengan survei ISHS dan survey dari the European Federation for Information Technology in Agriculture EFITA yang mengindikasikan adanya suatu pergeseran dari kecakapan secara teknis teknologi informasi dan komunikasi sebagai suatu faktor pembatas menuju pada kesenjangan pemahaman bagaimana mengambil manfaat dari pilihan teknologi informasi dan komunikasi yang bervariasi Taragola et al. 2009. Studi yang telah dilakukan oleh Electronic Networking for Rural AsiaPacific ENRAP di Asia Pasifik termasuk di Indonesia menemukan bahwa kesuksesan efektivitas intervensi aplikasi teknologi informasi dan komunikasi utamanya bergantung pada dampaknya terhadap mata pencaharian dan aset mata pencaharian. Keberlanjutan sustainability suatu intervensi aplikasi teknologi informasi dan komunikasi memiliki dua aspek penting: yaitu kemampuan dalam melanjutkannya dalam jangka panjang dan kemampuannya untuk mengurangi vulnerabilities dari target beneficiaries. Sedangkan kesadaran dan komitmen stakeholders , ketepatan relevansi isi, penggunaan bahasa lokal dan upaya penyediaan akses terhadap intervensi teknologi informasi dan komunikasi adalah 94 faktor kritis lain yang penting bagi keefektivan dan kesuksesan dari suatu intervensi aplikasi teknologi informasi dan komunikasi yang ditargetkan bagi kehidupan masyarakat pedesaan. Intervensi yang bersifat demand-driven dalam fungsinya seperti halnya teknologi tepat guna sesuai dengan yang dipilih atau diinginkan pengguna mempunyai prevalensi kesuksesan yang lebih tinggi ENRAP 2009. Secara umum, teknologi informasi dan komunikasi telah menunjukkan peranannya yang besar dalam proses pendidikan masyarakat. Namun demikian, dalam kasus pembelajaran jarak jauh, meskipun pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi merupakan salahsatu alternatif proses pembelajaran yang sangat menarik tetapi memerlukan tahapan khusus sesuai dengan situasi dan kondisi peserta belajar serta masih belum dapat menggantikan proses pembelajaran yang ada saat ini yaitu traditional face-to-face instruction. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian terkait transformasi model pembelajaran yang dilakukan Holbein 2008 yang mengungkapkan bahwa pelaksanaan pembelajaran jarak jauh kemungkinan tidak diperlukan oleh seluruh peserta belajar. Pelaksanaan pembelajaran jarak jauh yang efektif memerlukan tahapan pemikiran antara kedua belah pihak sebagai pelaku komunikasi. Bagi pelaku belajar yang masih memerlukan pertemuan tatap muka, struktur dan model pembelajaran yang disertai dengan interaksi baik verbal maupun nonverbal kemungkinan tidak nyaman dengan pelaksanaan pembelajaran jarak jauh tersebut. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran jarak jauh belum sepenuhnya 100 persen dapat menggantikan model pembelajaran yang dilakukan secara tatap muka. Berdasarkan hasil penelitian Holbein 2008 memberikan satu catatan penting bahwa dalam mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pembelajaran masyarakat diperlukan proses pendampingan. Hal ini diperkuat dengan temuan dari hasil penelitian yang dilakukan Sooknanan et al. 2002 mengenai difusi inovasi dalam bidang pendidikan yang dilakukan di Trinidad dan Tobago. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa pendidikpendamping guru yang memiliki kompetensi dan 95 kapasitas dalam aplikasi teknologi informasi dan komunikasi dapat dimanfaatkan sebagai sumberdaya dalam pembuatan keputusan pemerintah. Dengan demikian, faktor kunci yang dapat dilakukan untuk mempercepat implementasi atau proses adopsi teknologi informasi dan komunikasi dalam kegiatan pendidikan adalah mengikutsertakan pendamping yang berkompeten dalam proses pembelajaran. Pihak yang memungkinkan menjadi pendamping dalam proses pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk bidang komunikasi pertanian di antaranya adalah penyuluh. Penyuluh yang dimaksud adalah penyuluh yang berkompeten dalam proses perencanaan dan pelaksanaan komunikasi inovasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Namun demikian dalam implementasinya di lapangan, masih terdapat beberapa kendala di antaranya sebagaimana hasil penelitian Akpabio et al. 2007 yang dilakukan terhadap 160 penyuluh berafiliasi baik negeri maupun swasta organisasi ekstensi di empat negara bagian di Delta Niger. Hasil penelitian menunjukkan adanya kendala-kendala spesifik penting yang berkaitan dengan: keterbatasan dalam pengembangan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi, tingginya biaya peralatan penyiaran baik untuk radio maupun televisi, serta tingginya biaya aksesinterkoneksi dan masalah tenaga listrik. Berdasarkan analisis faktor untuk mengidentifikasi kendala dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi mengkristal menjadi tiga faktor yaitu: poor enabling environment, lack of access and dissemination of unrelated information lingkungan yang kurang mendukung, akses terbatas, dan diseminasi informasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Dalam penelitian mengenai adopsi dan difusi sistem informasi sumberdaya manusia di Singapura, Teo et al. 2007 mengatakan bahwa selain karakteristik inovasi dan karakteristik lingkungan, karakteristik organisasi juga memiliki peranan yang relatif penting dalam keputusan adopsi. Berkaitan dengan hasil penelitian tersebut, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inisiatif organisasi merupakan hal yang sangat diperlukan untuk mempercepat proses adopsi teknologi baru. Dengan demikian, dalam mendorong proses pendampingan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung kegiatan komunikasi pertanian, perlu diperhatikan unsur kelembagaan penyuluhan baik di 96 tingkat penyuluh sebagai pendamping maupun kelembagaan di tingkat petani sebagai pengguna. Kelembagaan diharapkan dapat meningkatkan proses berbagi informasi dan pengetahuan termasuk dalam proses pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian Godwin 2008 yang menyatakan bahwa bahwa komunitas informatika Community Informatics dapat mendorong adanya implikasi yang lebih luas dari penggunaan teknologi internet untuk regenerasi daerah dan memberdayakan warga negara. Komunitas informatika bersifat dinamis dan dapat menjadi titik temu antara ruang online dan offline . Berdasarkan hasil kajian Sumardjo et al. 2010 diketahui bahwa beberapa permasalahan yang dihadapi stakeholders untuk mensinergikan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi dalam mengimplementasikan cyber extension pada umumnya adalah: 1 Manajemen komitmen dan kebijakan belum konsisten dan terbatasnya kemampuan manajerial di bidang teknologi informasi dan komunikasi, 2 Infrastruktursarana kurang stabilnya pasokan listrik dan keterbatasan jaringan komunikasi, luasnya wilayah jangkauan, dan terbatasnya anggaran, 3 Sumberdaya Manusia terbatasnya kapasitas pelaku dan pengguna dalam aplikasi teknologi informasi dan komunikasi, dan 4 Budaya, yaitu rendahnya kultur berbagi dan rendahnya kesadaran untuk mendokumentasikan data. Berdasarkan berbagai hasil penelitian yang telah dilaksanakan di beberapa negara antara lain di Singapura, Uganda, India, Nigeria, Republik Trinidad dan Tobago, serta negara-negara di Asia Pasifik lainnya termasuk Indonesia diketahui bahwa meskipun memiliki potensi yang besar dalam peningkatan kapasitas masyarakat, namun masih terdapat beberapa kendala dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung pembangunan masyarakat khususnya pembangunan pertanian. Sinergi aplikasi teknologi informasi dan komunikasi telah merevitalisasi peranan layanan penyuluhan dalam penyiapan informasi, pendidikan dan membantu dalam pengambilan keputusan usahatani serta memperbesar pemberdayaan dengan memberi peluang bagi masyarakat dalam akses terhadap sumber daya informasi untuk peningkatan pendapatan. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam cyber extension 97 dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal pelaku komunikasi dan faktor eksternal yaitu fasilitasi training, biaya operasional, dan infrastruktur. Sedangkan kendala dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi adalah keterbatasan infrastruktur dan kapasitas pengelola maupun pengguna, tingginya biaya operasional pengembangan koneksi, kurang stabilnya pasokan listrik, belum dirasakannya manfaat secara ekonomi, belum konsistennya komitmen dan kebijakan yang ada, serta masih rendahnya kultur berbagi dan kesadaran untuk mendokumentasikan data. Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang lebih memfokuskan pada masing-masing aspek yang berpengaruh terhadap pemanfaatan teknologi informasi, maka penelitian ini menganalisis hubungan antara faktor internal dan eksternal pelaku komunikasi dengan perilaku dalam memanfaatkan teknologi informasi, tingkat pemanfaatan cyber extension, dan tingkat keberdayaan petani khususnya petani sayuran. Penelitian ini juga menganalisis faktor dominan yang mempengaruhi perilaku dalam memanfaatkan teknologi informasi, tingkat pemanfaatan cyber extension, dan tingkat keberdayaan petani sehingga memudahkan dalam perumusan kebijakan guna meningkatkan dan mempercepat proses komunikasi inovasi pertanian sampai di tingkat petani. 98 99 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Masalah mendasar yang dihadapi dunia pertanian adalah semakin hilangnya generasi cerdas yang mampu mengkapitalisasi pengetahuan untuk kepentingan dunia pertanian. Sementara itu, bertani tidak sekedar membutuhkan kecerdasan turunan, melainkan juga membutuhkan inovasi yang dikembangkan dengan berbasis pengetahuan. Banyaknya produk-produk pertanian kita yang kalah bersaing meski di pasar domestik seperti wortel, bawang merah, cabai, dan kentang menunjukkan ketidakmampuan pelaku pembangunan pertanian dalam menggunakan informasi dan pengetahuan untuk meningkatkan daya saing produk pertanian. Oleh karena itu, inovasi di bidang pemasaran sangat dibutuhkan oleh petani Indonesia. Berkaitan dengan pemikiran tersebut, upaya membangun knowledge-based agriculture atau pertanian yang berbasis pada ilmu pengetahuan merupakan suatu kebutuhan yang harus segera dipenuhi. Implementasi knowledge-based agriculture akan memberikan kemampuan pada petani untuk selalu memahami dinamika pasar yang terjadi sehingga dengan informasi dan pengetahuan yang dimiliki mereka bisa berintegrasi dengan dinamika pasar yang terjadi. Pembangunan knowledge-based agriculture membutuhkan sinergi total dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan yang didedikasikan untuk petani dan dunia pertanian. Knowledge-based agriculture menggarisbawahi akan pentingnya proses belajar yang terus-menerus di kalangan petani sendiri. Dalam pertanian berbasis pengetahuan, inovasi juga didorong oleh interaksi antara produsen dan pengguna. Pasar-pasar pertanian yang mempertemukan petani dengan konsumennya secara langsung memungkinkan petani mengetahui dengan baik apa yang diinginkan oleh konsumen. Dengan dukungan pengetahuan yang memadai dan dukungan infrastruktur research and development yang dimiliki lembaga- lembaga penelitian maka petani akan mampu menyediakan apa yang dibutuhkan konsumen dengan baik. Dengan knowledge-based agriculture kita akan mampu mengubah keunggulan komparatif pertanian sehingga benar-benar menjadi keunggulan kompetitif. Knowledge-based agriculture akan mendorong petani 100 dan dunia pertanian Indonesia yang inovatif sehingga memberikan daya tarik yang tinggi baik di pasar domestik maupun pasar internasional. Dalam konsep komunikasi inovasi sebagai knowledge sharing mendukung terciptanya knowledge-based agriculture, maka petani menggunakan berbagai sumber informasi untuk mendapatkan inovasi yang diperlukan dalam mengelola usahataninya. Gagasan tersebut yang melandasi konsep “sistem pengetahuan dan informasi pertanian atau agricultural knowledge and information system AKIS yang dirumuskan sebagai: peningkatan keserasian antar pengetahuan, lingkungan, dan teknologi yang diperlukan melalui sinergi dari berbagai pelaku, jejaring kerja, dan lembaga yang akan menciptakan proses kesinambungan dalam transformasi, transmisi, dokumentasi documentation, pencarian informasi search, pemanggilan retrieval, integrasi, difusi, serta pemanfaatan bersama sharing inovasi. Dengan demikian, untuk mengelola usahataninya dengan baik, petani memerlukan berbagai sumber inovasi Ban dan Hawkins 2007, antara lain: informasi kebijakan-kebijakan pemerintah, hasil penelitian dari berbagai disiplin ilmu, pengalaman petani lain, dan informasi terkini mengenai prospek pasar yang berkaitan dengan sarana produksi dan produk pertanian. Sistem pengetahuan dan informasi pertanian tersebut dapat berperan dalam membantu petani dengan melibatkannya secara langsung dengan sejumlah besar kesempatan, sehingga mampu memilih kesempatan yang sesuai dengan situasi dan kondisi faktual di lapangan. Peningkatan efektivitas jejaring pertukaran informasi antar pelaku agribisnis terkait merupakan aspek penting untuk mewujudkan sistem pengetahuan dan informasi pertanian. Dengan dukungan aplikasi teknologi informasi sebagai salah satu inovasi untuk komunikasi inovasi pertanian melalui pemanfaatan cyber extension upaya untuk mewujudkan jaringan informasi bidang pertanian sampai di tingkat petani dapat diwujudkan. Dengan demikian, dapat mempercepat terciptanya knowledge-based agriculture. Dalam penelitian ini, studi komunikasi pembangunan yang digunakan mengacu pada pengembangan strategi komunikasi inovasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi sebagai salurannya. Dalam konteks metosologis, aspek komunikasi tidak sekedar menjadi variabel pengaruh penyebab, melainkan juga sebagai hasil variabel terikat dari suatu program pembangunan. Pada sisi 101 aksiologi, karena konsep komunikasi yang digunakan adalah partisipatif, maka komunikasi pembangunan, khususnya komunikasi inovasi pertanian akan didorong pada pembacaan persoalan tidak hanya dari dalam, namun juga dari sisi luar. Dengan demikian, komunikasi pembangunan tidak terbatas hanya dilihat dari hubungan antarkomunikator yang terlibat langsung, namun juga aspek langsung bahwa komunikasi sebagai proses, yang tidak dibatasi pada media atau pesan, namun pada interaksi dalam sebuah jaringan hubungan sosial dan jenis inovasi pesan yang disampaikan. Media komunikasi merupakan sebuah sistem yang mixed dari komunikasi massa dan saluran interpersonal, dengan dampak dan penambahan yang saling menguntungkan. Penyelenggaraan komunikasi pembangunan pertanian dan perdesaan harus melibatkan seluruh sektor lembaga media dan kementerian negara. Keterlibatan seluruh sektor merupakan integrasi dan koordinasi yang dapat menjamin keberlanjutan pembangunan. Dalam era globalisasi, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti komputer dan teknologi komunikasi, dapat digunakan untuk menjembatani informasi dan pengetahuan yang tersebar di antara yang menguasai informasi dan yang tidak. Dalam penelitian ini media komunikasi yang dilihat adalah sinergi aplikasi teknologi informasi dan komunikasi dalam membangun pengetahuan knowledge based information melalui cyber extension sebagai media komunikasi inovasi pertanian. Oleh karena itu, faktor lingkungan, khususnya peranan infrastruktur dan ketersediaan sarana teknologi informasi yang mampu mendukung pemanfaatan cyber extension sebagai media komunikasi untuk pemberdayaan petani sayuran juga akan diperhatikan secara khusus dalam penelitian ini. Permasalahan yang dijawab dalam penelitian ini yaitu sejauhmana perilaku petani sayuran memanfaatkan teknologi informasi dan seberapa besar tingkat pemanfaatan cyber extension oleh petani sayuran, apa saja faktor dominan yang mempengaruhi perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi, tingkat pemanfaatan cyber extension, dan tingkat keberdayaan petani sayuran, serta bagaimana strategi pemanfaatan cyber extension sebagai media komunikasi inovasi pertanian dalam pemberdayaan petani sayuran. Masalah penelitian tersebut selanjutnya dikaji dan dicari jawabannya secara deduktif dan induktif. 102 Penyusunan kerangka berpikir penelitian secara deduktif didasarkan atas teori komunikasi inovasi pertanian, komunikasi partisipatif, efek media, adopsi inovasi terkait dengan proses pengambilan keputusan, konvergensi komunikasi, dan teori pemberdayaan. Kajian secara induktif dilakukan dengan pengumpulan dan pengolahan data-data yang diperoleh dari pengukuran secara empirik untuk menguji model deduktif model hipotetik yang telah disusun. Pengukuran secara empirik dilakukan terhadap responden yang merupakan petani sayuran sebagai data pokok melalui metode survei dengan kuesioner. Selanjutnya dilakukan analisis data secara deskriptif dan inferensial. Sebagai pelengkap hasil analisis data deskriptif dan inferensial, digunakan pula data kualitatif yang dihimpun melalui mekanisme dokumentasi, observasi, indept interview, dan focus group discussion . Analisis data hasil penelitian selanjutnya dimanfaatkan untuk menyusun strategi pemanfaatan cyber extension sebagai media komunikasi dalam pemberdayaan petani sayuran. Kerangka konseptual dalam kegiatan penelitian ini disajikan pada Gambar 9. Preposisi pertama yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa karakteristik individu petani, lingkungan, persepsi petani terhadap karakteristik cyber extension dapat mempengaruhi perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahatani. Preposisi kedua adalah tingginya pemanfaatan cyber exstension dipengaruhi oleh tingginya perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi. Sedangkan preposisi ketiga adalah tingkat keberdayaan petani sayuran yang tinggi dipengaruhi oleh tingginya pemanfaatan cyber extension oleh petani untuk mendukung kegiatan usahatani. Penelitian ini menggunakan pendekatan mikro melalui survei terhadap responden individu yaitu petani sayuran yang secara langsung memiliki akses terhadap teknologi informasi. Peubah-peubah penelitian diukur berdasarkan perspektif individu petani. Selanjutnya teori lapangan menekankan bahwa dalam pandangan ilmu psikologi sosial, fenomena yang penting adalah terletak pada individu dan bukan pada lingkungannya. Apa yang dipersepsikan secara subyektif oleh individu sangat penting menjadi bahan untuk dipelajari. 103 Gambar 10 Skema Kerangka Konseptual Penelitian Pemanfaatan Cyber Extension sebagai Media Komunikasi untuk Pemberdayaan Petani Sayuran Ob Penerimaan kolek yektifikasi tif Obyektifikasi Penerimaan kolektif Obyekti penerimaan kolektif fikasi Pengetahuan yang dibagikan Pengetahuan individu Obye penerimaan kolektif ktifikasi I nklusi KEBERDAYAAN PETANI SAYURAN Keberdayaan petani sayuran dicirikan oleh kemampuannya menen- tukan jenis komoditas yang diusahakan, kemampuan dalam mengatur input produksi, kemampuan dalam memasarkan hasil pertanian, kemampuan menentukan harga, kemampuan bekerjasama bersinergi, kemampuan mengelola informasi untuk mendukung kegiatan usahatani, kemampuan mengolah hasil pertanian, dan kemampuan akses teknologi PEMANFAATAN CYBER EXTENSI ON Pemanfaatan cyber extension yang dicirikan oleh sarana teknologi informasi yang dominan dimanfaatkan oleh pelaku komunikasi, intensitas pemanfaatan teknologi informasi, tingkat manfaat yang dirasakan, tingkat pengelolaan informasi, jangkauan sumber informasi pertanian yang diakses, dan aktivitas berbagi informasi secara interaktif I novasi Penciptaan pengetahuan Pengetahuan organisasi kelembagaan lokal I nternalisasi Knowledge retrieval Pengetahuan luar Eksternalisasi Berbagi pengetahuan PERI LAKU PEMANFAATAN TEKNOLOGI I NFORMASI Perilaku pemanfaatan teknologi informasi yang dicirikan oleh tingkat pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam menggunakan sarana teknologi informasi mendukung usahatani 104 Spitzberg 1994 dan 2006 menyatakan bahwa perilaku atau kapasitas pengguna teknologi informasi menentukan kategori dan jangkauan pemanfaatan teknologi informasi baik untuk pengelolaan data, implementasi komunikasi, maupun pengembangan jaringan. Berkaitan dengan hal tersebut, indikator tingkat pemanfaatan cyber extension dalam peneltian ini diukur dengan melihat pola manajemen atau kesadaran stakeholders dalam memanfaatkan media komunikasi yang tersedia untuk mengakses sumber informasi dan pengembangan jejaring sosial. Secara umum, tingkat pemanfaatan cyber extension dapat dianalogkan dengan preferensi stakeholders terhadap kecenderungannya untuk memanfaatkan teknologi informasi dalam akses dan pengelolaan informasi mendukung berfungsinya sistem informasi dan pengetahuan pertanian di tingkat petani. Pemanfaatan cyber extension dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu: kategori I, yaitu: basic atau dasar preferensi pemanfaatan secara tidak langsung karena masih dominan menggunakan media konvensional; kategori II yaitu intermediate atau menengah preferensikecenderungan pada penggunaan telepon genggam; dan kategori III, yaitu advanced atau lanjut preferensikecenderungan pada penggunaan telepon genggam berinternet dan sudah mulai mengenal komputer dan atau pemanfaatan komputer secara offline dan online dengan fasilitas internet. Karakteristik dari ketiga tingkat pemanfaatan cyber extension disajikan pada Tabel 7. Hasil survei yang telah dilakukan oleh the International Society for Horticultural Sciences ISHS menyatakan bahwa keterbatasan kemampuan; kesenjangan dalam pelatihan training, kesadaran akan manfaat teknologi informasi dan komunikasi, waktu, biaya dari teknologi yang digunakan, integrasi sistem dan ketersediaan software merupakan faktor pembatas dalam implementasi aplikasi teknologi informasi dan komunikasi Taragola et al. 2009. Batte et al. 1990 dan Warren et al. 2000 menyatakan bahwa penerapan teknologi informasi dan komunikasi sangat terkait dengan tingkat pendidikan, ukuran skala usaha pertanian dan efek negatif dari umur petani. Berkaitan dengan hal tersebut maka faktor-faktor yang diduga dominan mempengaruhi tingkat pemanfaatan cyber extension adalah: karakteristik individu petani, faktor lingkungan, persepsi petani terhadap karakteristik cyber extension, dan perilaku dalam menggunakan sarana teknologi informasi dan komunikasi. Sedangkan 105 perilaku dalam memanfaatkan teknologi informasi juga dipengaruhi oleh faktor internal pelaku komunikasi dan faktor eksternal Teo et al. 2007, Marwan 2008, Godschalk Lacey 2001, dan Aldhmour 2009. Faktor internal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah karakteristik individu petani dan persepsi petani terhadap karakteristik cyber extension. Sedangkan faktor eksternal yang dimaksud adalah faktor lingkungan fisik utamanya infrastruktur jaringan komunikasi dan ketersediaan sarana teknologi informasi dan faktor lingkungan sosial terkait dengan keterjangkauan fasilitasi training. Tabel 7 Pemanfaatan Cyber Extension diinspirasi dari Browning et al. 2008 Aspek cyber extension Pemanfaatan cyber extension Dasar Menengah Lanjut Sarana teknologi informasi yang dominan dimanfaatkan Mulai berbasis teknologi infor- masi namun masih dominan menggunakan media konvensional Berbasis pada teknologi informasi terbatas pada telepon baik telepon rumah maupun telepon genggan HP HP berinternet dan atau komputer offline dan online Intensitas pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahatani Tidak setiap hari menggunakan sarana teknologi informasi Menggunakan sarana teknologi informasi setidaknya satu kali dalam satu hari Menggunakan sarana teknologi informasi lebih dari satu kali dalam satu hari Tingkat manfaat yang dirasakan Memanfaatkan secara tidak langsung dan atau komunikasi searah Komunikasi dan atau mencari informasi secara interaktif Komunikasi secara interaktif, browsing, chatting, jejaring sosial, pengelolaan dokumentasi informasi, dan promosi usaha Pengembangan jejaring sosial jangkauan komunikasi atau interaksi Terbatas dan hanya dalam wilayah lokal sampai luar desa secara terbatas Cukup luas, namun masih dalam batas provinsi - nasional Sangat luas dan dapat menjangkau dunia global Aktivitas berbagi informasipengetahuan Berbagi informasi dominan melalui media konvensional Mulai mengenal teknologi informasi untuk sarana berbagi informasipengetah uan dengan pihak lain Aktif berbagi informasi secara interaktif dengan sarana teknologi informasi baik untuk berbagi pengetahuan, berkoordinasi, maupun bersinergi 106 Mundorf dan Laird 2008 menyatakan bahwa pendidikan dan faktor sosial ekonomi merupakan variabel yang diduga mempengaruhi penggunaan internet. Faktor sosial ekonomi yang dipelajari dalam penelitian ini dimasukkan dalam variabel karakteristik individu yang terdiri atas umur, pendidikan, kepemilikan sarana teknologi informasi dan komunikasi, lama menggunakan sarana teknologi informasi, dan luas penguasaan lahan. Hal ini sejalan dengan Venkatesh et al. 2003 yang menyatakan bahwa faktor perantara yang berpengaruh terhadap perilaku pengguna memanfaatkan teknologi informasi diantaranya adalah: umur, gender, pengalaman atau lama menggunakan teknologi informasi. Sedangkan perilaku pengguna dalam pemanfaatan teknologi informasi dimanifestasikan dalam peubah pengetahuan terhadap aplikasi teknologi informasi, sikap terhadap aplikasi teknologi informasi, dan keterampilan dalam memanfaatkan teknologi informasi. Browning and Sornes 2008 dalam artikelnya yang berjudul Roger’s Diffusion of Innovations menyatakan bahwa saluran komunikasi juga merupakan salah satu tipe suatu inovasi yang istimewa. Suatu saluran, dalam konteks inovasi dapat menjadi alat atau sarana untuk mengadopsi sesuatu yang baru atau suatu saluran komunikasi sendiri dapat menjadi sebuah inovasi. Teknologi informasi dan komunikasi adalah saluran, komunikasi, sehingga dapat dikatakan bahwa sarana teknologi informasi dan komunikasi di samping merupakan suatu inovasi juga merupakan pembawa inovasi. Oleh karena itu, karakteristik cyber extension sebagai suatu inovasi dalam mekanisme komunikasi inovasi pertanian yang mensinergikan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi dengan beragam media lainnya adalah sesuai dengan ciri inovasi sebagaimana disampaikan oleh Rogers 2003 yang untuk keperluan penelitian ini, terdiri atas 1 kesesuaian dengan kebutuhan, 2 kemudahan untuk diaplikasikan, 3 keuntungan relatif, 4 kemudahan untuk dilihat hasilnya, dan 5 kesesuaian dengan budaya lokal. Salah satu karakteristik petani sayuran adalah bersifat proaktif, khususnya terhadap komoditas yang harus diusahakan dan informasi harga produk yang dihasilkannya. Hal ini mengingat sifat komoditas sayuran yang harganya sangat berfluktuatif dan inovasi teknologi produksi tanaman sayuran yang cepat berkembang. Oleh karena itu, petani sayuran cenderung berupaya mengoptimalkan sumber informasi yang ada untuk memperoleh informasi terkait 107 dengan kegiatan usahatani yang dilaksanakannya. Pemanfaatan cyber extension yang diukur berdasarkan tingkat sarana teknologi informasi yang dominan digunakan, intensitas dalam pemanfaatan teknologi informasi, tingkat manfaat yang dirasakan, jenis pengelolaan informasi melalui sarana teknologi informasi, jangkauan sumber informasi, dan kualitas berbagi informasi secara interaktif diduga juga mempengaruhi tingkat keberdayaan petani. Tingkat keberdayaan petani dapat diindikatorkan dari: 1 kemampuan petani dalam menentukan jenis komoditas yang diusahakan, 2 kemampuan petani dalam mengatur input produksi, 3 kemampuan petani dalam memasarkan hasil pertanian yang diusahakan, 4 kemampuan petani dalam menentukan harga jual hasil usahatani; 5 kemampuan petani dalam bekerjasama, 5 kemampuan petani dalam mengelola informasi, 6 kemampuan petani dalam mengolah hasil pertanian, dan 8 kemampuan petani dalam mengakses teknologi pertanian yang dibutuhkan. Sedangkan gambaran petani yang memiliki tingkat keberdayaan tinggi dan rendah disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Paradigma Keberdayaan Petani yang Tinggi dan Rendah Aspek keberdayaan Petani dengan tingkat keberdayaan tinggi Petani dengan tingkat keberdayaan rendah Menentukan jenis komoditas yang diusahakan • Memahami dan mampu memilih sendiri jenis komoditas terbaik yang diusahakan dengan pertimbangan jaminan pasar dan produktivitas yang tinggi • Menentukan sendiri jenis komoditas yang diusahakan dan puas terhadap pilihannya karena menmberikan hasil yang baik • Menentukan lebih dari satu komoditas yang diusahakan untuk mengantisipasi kegagalan dari komoditas yang diusahakan lainnya • Kurang memahami dan kurang memiliki pilihan jenis komoditas yang diusahakan. Jenis komoditas dipilih tanpa mempertimbangkan jaminan pasar dan produktivitas • Menentukan jenis komoditas yang diusahakan bergantung pada orang lain ikut-ikutan atau karena kebiasaan • Menentukan hanya satu komoditas yang diusahakan dengan pertimbangan konvensional Akses terhadap input produksi • Memiliki akses terhadap input produksi bibit, pupuk, dan teknologi sesuai dengan kebutuhan usahataninya. • Mampu membeli input produksi dengan modal sendiri sesuai dengan kebutuhan usahataninya. • Pengaturan input produksi dilakukan secara sendiri didasarkan atas pertimbangan ilmiah atau proses pembelajaran. • Akses terhadap input produksi bibit, pupuk, dan teknologi sangat terbatas dan tidak dapat memenuhi kebutuhan usahataninya. • Harga input produksi tidak terjangkau dan atau membeli input produksi menggunakan modal orang lain. • Pengaturan input produksi hanya didasarkan atas saran pihak lain atau insting pribadi dan ketersediaan input produksi 108 Lanjutan Tabel 8 Aspek keberdayaan Petani dengan tingkat keberdayaan tinggi Petani dengan tingkat keberdayaan rendah Memasarkan hasil pertanian yang diusahakan • Mengetahui harga pasar komoditas yang diusahakan melalui berbagai sumber informasi, khususnya dengan pemanfaatan teknologi informasi. • Dalam menjual produk yang dihasilkan memiliki posisi tawar yang baik dan mampu menentukan sendiri harga produknya. • Mampu memasarkan produknya sendiri secara langsung baik ke pasar maupun didatangi oleh konsumen atau pedagang pengumpul. • Pengetahuan informasi pasar terhadap komoditas yang diusahakan rendah dan hanya mengandalkan informasi dari pedagangtengkulak. • Penentuan harga produk yang dihasilkan dilakukan oleh pihak lain, sehingga tidak memiliki kekuatan tawar yang baik. • Proses pemasaran produk lebih banyak bergantung pada pihak lain atau menunggu datangnya tengkulakpedagang pengumpul. Bekerjasama bersinergi Memiliki sikap positif untuk bekerjasama dengan pihak lain untuk memajukan usahataninya baik secara berkelompok maupun sendiri-sendiri. • Aktif dalam organisasi atau kelompok yang mengembangkan kegiatan kerjasama antar anggotanya. • Kurang menyukai dan tidak tertarik dengan berbagai bentuk kerjasama dan memilih melakukan kegiatan usahatani secara sendiri. • Membatasi diri atau bahkan menghindar dari aktivitas dalam suatu organisasi atau kelompok yang mengembangkan kegiatan bersama. Mengelola informasi untuk mendukung kegiatan usahatani • Memiliki kesempatan untuk akses informasi yang dibutuhkan, mengelola informasi yang diperolehnya dengan baik, dan memanfaatkannya untuk mendukung kegiatan usahataninya. • Informasi yang diperoleh atau dimilikinya dibagikan pada petani atau pihak lain . • Informasi yang diperoleh sangat terbatas karena tidak memiliki kesempatan yang mencukupi untuk akses informasi yang dibutuhkan. Informasi yang diperoleh pun tidak dikelola dan dimanfaatkan dengan baik untuk mendukung kegiatan usahataninya. • Kurang suka berbagi informasi atau pengetahuan yang dimilikinya kepada petani atau pihak lain. Mengolah hasil pertanian • Produk yang dihasilkan dapat diolah dengan baik untuk memperpanjang kualitas masa jual produk dan atau meningkatkan nilai tambah. • Tidak memiliki inisiatif untuk memperpanjang masa jual produk maupun mengolah produk untuk peningkatan nilai tambah. Akses teknologi mendukung usahatani • Mengakses secara proaktif inovasi terkait dengan teknologi yang dibutuhkan dan menerapkannya dengan baik dalam kegiatan usahataninya. • Hanya mengandalkan inovasi atau informasi yang diberikan oleh pihak lain, sehingga teknologi yang dapat diakses sangat terbatas. 109 Hubungan antar peubah yang menjadi kerangka berpikir dari penelitian ini selengkapnya disajikan pada Gambar 11. Pemanfaatan Cyber Extension Y1 Y1.1. Tingkat akses TI Y1.2. I ntensitas pemanfaatan Y1.3. Tingkat manfaat Y1.4. Tingkat pengelolaan informasi dengan TI Y1.5. Jangkauan sumber informasi Y1.6. Kualitas berbagi informasi secara interaktif Karakteristik I ndividu X1 X1.1. Umur X1.2. Pendidikan X1.3. Kepemilikan TI X1.4. Lama menggu- nakan TI X1.5. Luas penguasaan lahan X1.6. Tingkat kosmopolitan X1.7. Keterlibatan dalam kelompok Keberdayaan Petani Sayuran Y2 Y2.1. Kemampuan menentukan jenis komoditas Y2.2. Kemampuan mengatur input produksi Y2.3. Kemampuan memasarkan output Y2.4. Kemampuan menentukan harga hasil usahatani Y2.5. Kemampuan bekerjasama bersinergi Y2.6. Kemampuan mengelola informasi Y2.7. Kemampuan mengolah hasil pertanian Y2.8. Kemampuan mengakses teknologi Persepsi Petani Terhadap Karakteristik Cyber Extension X3 X3.1. Kesesuaian de- ngan kebutuhan X3.2. Kemudahan untuk diaplikasikan X3.3. Keuntungan relatif X3.4. Kemudahan untuk dilihat hasilnya X3.5. Kesesuaian dengan budaya lokal Perilaku Memanfaatkan TI X4 Y4.1. Pengetahuan terhadap aplikasi TI X4.2. Sikap terhadap aplikasi TI X4.3. Keterampilan dalam menggu- nakan TI Faktor Lingkungan X2 X2.1. Ketersediaan media komunikasi konvensional X2.2. Ketersediaan sarana akses informasi berbasis TI X2.3. Ketersediaan infrastruktur jaringan komunikasi X2.4. Keterjangkauan terhadap fasilitasi training Gambar 11 Kerangka Berpikir Hubungan Antar Peubah yang Diuji dalam Penelitian 110 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir dapat dirumuskan tiga hipotesis penelitian sebagai berikut. 1. Perilaku dalam memanfaatkan teknologi informasi dipengaruhi oleh karakteristik individu, faktor lingkungan, dan persepsi petani terhadap karakteristik cyber extension. 2. Tingkat pemanfaatan cyber extension dipengaruhi oleh perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi, karakteristik individu, faktor lingkungan, dan persepsi petani terhadap karakteristik cyber extension. 3. Tingkat keberdayaan petani sayuran dipengaruhi oleh tingkat pemanfaatan cyber extension, perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi, karakteristik individu, faktor lingkungan, dan persepsi petani terhadap karakteristik cyber extension. 111 METODE PENELITIAN Desain Penelitian Mengacu pada tujuan penelitian, peneliti berusaha mencari hubungan antar peubah yang terkait dengan karakteristik individu petani, perilaku komunikasi, faktor lingkungan, persepsi petani terhadap cyber extension, perilaku pemanfaatan teknologi informasi, dan tingkat pemanfaatan cyber extension dengan tingkat keberdayaan petani. Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti merancang penelitian ini dengan mengkombinasikan antara penelitian menerangkan explanatory research dengan penelitian deskriptif descriptive research. Rancangan ini sesuai dengan pendapat Babbie 1992 yang menyatakan bahwa penelitian yang bersifat menerangkan adalah, penelitian survai yang bertujuan menjelaskan pengaruh dan hubungan antar peubah melalui pengujian hipotesis. Penelitian semacam ini dalam deskriptifnya juga mengandung uraian-uraian, tetapi fokusnya terletak pada hubungan antar peubah. Sedangkan peubah yang diujikan adalah 1 karakteristik individu petani, 2 faktor lingkungan, 3 persepsi petani terhadap karakteristik cyber extension, 4 perilaku dalam memanfaatkan sarana teknologi informasi, 5 tingkat pemanfaatan cyber extension, dan 6 tingkat keberdayaan petani. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian mengambil kasus di dua kabupaten yaitu di wilayah yang terjangkau atau dapat akses sistem informasi pertanian sebagai rintisan implementasi cyber extension baik secara mandiri maupun melalui program tertentu yang dikembangkan oleh suatu lembaga. Wilayah yang dijadikan lokasi penelitian merupakan sentra produksi sayuran di Kabupaten Cianjur Jawa Barat dan Kota Batu Jawa Timur yang keduanya memiliki akses terhadap implementasi cyber extension. Wilayah BPP Pacet Kabupaten Cianjur merupakan lokasi terpilih untuk mewakili lokasi dengan jangkauan aksesibilitas cyber extension secara mandiri tanpa ada program khusus untuk meningkatkan akses masyarakat ke sistem informasi pertanian atau sumber informasi global. Sedangkan wilayah BPP Bumiaji, Kota Batu khususnya di Desa Giripurno merupakan lokasi terpilih yang mewakili lokasi dengan jangkauan aksesibilitas 112 cyber extension dengan dukungan program dari world bank yaitu melalui Telecenter Kartini Mandiri. Kedua lokasi dipilih sebagai kelanjutan kegiatan pengkajian dan penelitian yang telah dilaksanakan selama tahun 2009 sampai Juni 2010 yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi untuk akses informasi pertanian yang berlokasi di dua wilayah tersebut. Dengan demikian, sistem sosial dan ekosistem wilayah setempat mudah dipahami sehingga mendorong pada kualitas informasi dan data yang lebih akurat dan mendalam. Di samping itu, terbuka kesempatan yang lebih luas khususnya dalam menentukan peubah yang akan diuji melalui pendekatan kuantitatif berdasarkan hasil kajian dan penelitian pendahuluan yang telah dilakukan. Waktu pelaksanaan penelitian tahap pertama telah dirintis sejak tahun 2009 hingga Juni 2010. Sedangkan penelitian tahap II, khususnya survei untuk mengumpulkan data kuantitatif dan pengamatan intensif di lapangan dilaksanakan selama tujuh bulan, yaitu pada Bulan Juli 2010 – Januari 2011. Populasi dan Sampel Penelitian Penelitian ini bersifat survei yang dilaksanakan pada satu populasi yaitu petani yang menguasai lahan untuk berusahatani komoditas sayuran dan memiliki akses terhadap teknologi informasi minimal telepon rumah. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin melihat pemanfaatan cyber extension untuk mendukung keberdayaan petani sayuran. Sebagai media komunikasi baru, cyber extension mensinergikan teknologi informasi dalam pengembangan sistem informasi pertanian. Oleh karena itu secara ringkas, persyaratan dari responden dalam penelitian ini adalah: 1. Petani sayuran petani yang menguasai lahan untuk berusahatani sayuran 2. Memiliki kesempatan untuk memanfaatkan sarana teknologi informasi atau sarana untuk akses sistem informasi berbasis teknologi informasi dari lingkungan sekitar. 3. Menggunakan sarana teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahatani. Pemilihan petani sayuran didasarkan atas sifatnya yang lebih responsif terhadap informasi teknologi produksi maupun pemasaran karena komoditas yang 113 diusahakan memiliki kerentanan terhadap musim, cuaca, dan daya simpannya yang sangat pendek yang menyebabkan fluktuasi harga produk yang cukup tinggi. Oleh karena itu, petani sayuran cenderung bersifat proaktif terhadap aplikasi teknologi informasi untuk mengakses informasi pertanian, khususnya terkait dengan informasi harga, dan permintaan pasar dibandingkan dengan petani hortikultura lainnya dan memerlukan informasi yang cepat dan akurat sesuai dengan karakteristik usahataninya. Metode penarikan contoh yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan atas kesesuaian dengan kondisi ketersedian data dan perkiraan tingkat homogenitas populasi Krzanowski 2007, Nasution dan Usman 2006. Kerangka sampling dibuat berdasarkan hasil focus group discussion dengan para penyuluh di BPP Pacet dan Gapoktan Desa Giripurno wilayah Telecenter Kartini Mandiri serta penyebaran kuesioner awal untuk mengetahui kondisi aksesibilitas petani terhadap teknologi informasi pada umumnya. Dari 112 responden yang disurvei awal di BPP Pacet diketahui sebanyak 46 41,07 persen responden menyatakan biasa akses terhadap minimal salah satu sarana teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahatani. Sedangkan dari 150 responden yang disurvei awal di Desa Giripurno wilayah Telecenter Kartini Mandiri, diketahui bahwa sebanyak 71 47,33 persen responden menyatakan biasa akses terhadap minimal salah satu sarana TI untuk mendukung kegiatan usahatani. Dengan melihat jumlah petani sayuran di masing-masing wilayah penelitian petani sayuran potensial di BBP Pacet sejumlah 435 orang dan di wilayah Telecenter Kartini Mandiri sejumlah 500 orang, dapat diperkirakan jumlah populasi adalah 178 petani di wilayah BPP Pacet dan 189 petani di wilayah Telecenter Kartini Mandiri Desa Giripurno. Ellen 2010 menyatakan bahwa berdasarkan teknik pengambilan contoh dengan metode yang dikembangkan oleh Slovin maka batas minimal contoh n dalam penelitian dapat ditentukan dengan interval kepercayaan 95 persen dan toleransi terjadinya galat taraf signifikansi kesalahan atau error maksimum yang diijinkan e adalah sebesar 91 - 0,0502 atau 0,952 0,475. Dengan menggunakan nilai e = 0,07 maka jumlah contoh n minimal yang diijinkan dalam penelitian ini berdasarkan teknik Slovin adalah sebagai berikut. 114 Jumlah responden di Pacet: Jumlah responden di Batu: Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus Slovin tersebut diperoleh total responden minimal adalah sebanyak 191 responden, yaitu: n = N 2 1 + N e n1 = 1 + 178 0,07 2 178 = 95 n2 = 1 + 189 0,07 2 189 = 96 1. Petani sayur dengan akses sistem informasi berbasis teknologi informasi secara mandiri di Pacet dengan populasi sebanyak 178, maka respondennya sejumlah 95 orang. 2. Petani sayur dengan akses sistem informasi berbasis teknologi informasi dengan dukungan program pengembangan akses informasi melalui Telecenter di Desa Giripurno dengan populasi sebanyak 189, maka respondennya sejumlah 96 orang. Sebanyak 212 petani sayuran berhasil dipilih untuk menjadi responden yang berasal dari dua lokasi penelitian, dan setelah dibersihkan datanya cleaning data sebanyak 12 responden dianggap kurang layak, sehingga menjadi 200 responden dengan jumlah responden untuk masing-masing lokasi penelitian adalah sebanyak 100 petani Jumlah responden sebanyak 200 orang sudah sesuai dengan rule of thumb aturan dalam SEM sebagaimana yang dinyatakan oleh Wijayanto 2008 dan Kusnendi 2008 bahwa penggunaan SEM dengan metode estimasi maximum likelihood memerlukan sampel minimal 100-150 responden, atau sebanyak lima kali indikator-indikator observed variables. Penelitian ini menggunakan indikator sebanyak 33, sehingga diperlukan sampel minimal 33 x 5 = 165. Dengan melihat jumlah petani sayuran di masing-masing wilayah penelitian dan 115 untuk memenuhi uji statistika inferensia tersebut, maka jumlah responden sebanyak 200 orang telah cukup memadai untuk penelitian ini. Pengumpulan data terhadap petani didasarkan atas pendapat atau persepsi petani terhadap indikator-indikator yang diajukan dalam mengukur peubah- peubah penelitian. Menurut Sarwono 1984, persepsi adalah proses kategorisasi terhadap rangsangan dari luar yang di dalamnya terdapat unsur pemberian arti dan penilaian inferensiasi terhadap obyek tersebut. Persepsi dapat diartikan sebagai proses pemberian makna yang di dalamnya terdapat proses seleksipenilaian terhadap rangsangan berdasarkan pengamatan, wawasan, dan pengalamannya yang di dalamnya terdapat unsur penilaian terhadap peubah penelitian tersebut. Pemilihan informan penelitian untuk mendukung data kuantitatif dari survei yang dilakukan, adalah secara terarah purposeful sampling technique dengan penekanan pada sumber informasi kunci. Sumber informasi kunci adalah tokoh kunci dari lembaga formal, informal dan non-formal di lokasi penelitian. Tokoh kunci formal adalah pimpinan wilayah danatau kelembagaan formal. Kelembagaan formal adalah lembaga pemerintahan dari berbagai hierarki, yaitu tingkat kantor kecamatan, kantor desa, dan dinas pertanian setempat, serta norma formal yang berlaku peraturan, tata tertib organisasi, hukum, dan undang-undang. Kelembagaan informal dan non-formal antara lain kelembagaan adat lokal norma, tabu, p a m a l i , m a u p u n aturan tidak tertulis dan tokoh kunci lokal atau tetua adat. Data yang dihimpun merupakan data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari wawancara terstruktur dengan kuesioner yang dilakukan pada individu petani. Sedangkan data kualitatif bersumber pada kelembagaan termasuk kelembagaan komunikasi lokal, kelembagaan organisasi dan kelembagaan individu tokoh kunci. Data dikumpulkan dengan penggunaan External Factor Checklist untuk mengetahui keragaman peubah-peubah yang akan dianalisis dalam bentuk kuesioner semi-terstruktur berdasar topik pengamatan topic list. Informasi dihimpun melalui teknik wawancara semi- terstruktur dan indepth interview. 116 Teknik Pengumpulan Data dan Instrumentasi Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang dikumpulkan oleh peneliti dari sumber pertamanya yaitu responden petani sayuran yang terjangkau oleh implementasi cyber extension. Pengumpulan data primer dilakukan melalui a survey terstruktur dengan kuesioner yaitu bentuk pengumpulan data melalui pengisian kuesioner oleh responden dipandu penelitifasilitator di lapangan, b wawancara terstuktur yaitu bentuk interview terhadap responden dengan pedoman kuesioner yang telah dibuat, c focus group discussion di tingkat petanikelompok tani; dan d pengamatan langsung di lapangan pada beberapa tempat di mana petani biasanya berkumpul dan mencari informasi untuk mendukung usahatani. Data primer juga diperoleh dari ketua kelompoklembagaorganisasi, penyuluhpendampingfasilitator, dan beberapa responden atau informan kunci termasuk pedagang pengepul atau tengkulak. Data yang umumnya bersifat kualitatif dikumpulkan melalui wawancara semiterstruktur, pengamatan, indepth interview, dokumentasi, catatan harian, analisis kasus, dan focuss group discussion . Secara terperinci, cara pengumpulan data yang telah dilakukan adalah sebagai berikut. 1. Pengamatan observation, yaitu data dikumpulkan melalui pengamatan langsung terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di lokasi penelitian, khususnya terkait dengan proses interaksi dalam knowledge sharing antar petani, antara petani dengan pendampingfasilitator, dan antara petani dengan tokoh masyarakat. 2. Kuesioner questioner, yaitu sejumlah pertanyaan tertutup dalam mengukur peubah penelitian untuk diisi responden. 3. Wawancara interview, yaitu melakukan tanya jawab lisan secara langsung dengan responden penelitian untuk mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan. Wawancara dilakukan terhadap pelaku komunikasi inovasi petani sayuran dan juga tokoh masyarakat yang terkait dengan kelembagaan lokal. 4. Wawancara mendalam indepth interview yaitu melakukan tanya jawab lisan secara langsung dan mendalam guna memperdalam informasi yang telah 117 diperoleh sebelumnya. Wawancara mendalam juga dilakukan terhadap pelaku komunikasi inovasi petani dan penyuluhpendamping dan juga tokoh masyarakat yang terkait dengan kelembagaan lokal. 5. Focus Group Discussion FGD merupakan metode untuk menggali data kualitatif dari sekelompok orang yang bertanya tentang sikap dan pendapat mereka terhadap suatu isu atau tema terkait dengan penelitian. Pertanyaan diminta dalam grup pengaturan interaktif dimana peserta bebas untuk berbicara dengan anggota kelompok lainnya. Selain komunikasi verbal, dalam FGD juga dapat diamati pula komunikasi nonverbalnya. 6. Dokumentasi documentation, yaitu mengumpulkan data dengan cara penelusuran dan pencatatan data, dokumen, arsip, maupun referensi yang relevan di instansi yang ada kaitannya dengan penelitian. Data primer yang dituangkan dalam kuesioner dan dikumpulkan dari responden adalah: 1. Karakteristik individu petani yang meliputi: umur, pendidikan formal, kepemilikan sarana teknologi informasi, lama menggunakan sarana teknologi informasi, luas lahan yang dikuasai dan diusahakan untuk tanaman sayuran, tingkat kekosmopolitan, dan tingkat keterlibatan petani dalam suatu kelompok. 2. Faktor lingkungan yang meliputi: tingkat ketersediaan media komunikasi konvensional, tingkat ketersediaan sarana akses informasi berbasis teknologi informasi, tingkat ketersediaan infrastruktur jaringan komunikasi, dan keterjangkauan terhadap fasilitasi training 3. Karakteristik cyber extension yang meliputi: kesesuaian dengan kebutuhan, kemudahan untuk diaplikasikanm keuntungan relatif, kemudahan untuk dilihat hasilnya, dan kesesuaian dengan budaya lokal petani. 4. Perilaku dalam memanfaatkan sarana teknologi informasi yang meliputi: pengetahuan terhadap apalikasi teknologi informasi, sikap terhadap aplikasi teknologi informasi, keterampilan menggunakan sarana teknologi informasi untuk aksespengelolaan informasi, intensitas dalam menggunakan sarana teknologi informasi. 118 5. Pemanfaatan cyber extension yang meliputi: tingkat akses sarana teknologi informasi yang domonan dimanfaatkan, intensitas memanfaatkan sarana teknologi informasi, tingkat manfaat yang dirasakan, tingkat pengelolaan informasi dengan sarana teknologi informasi, jangkauan sumber informasi yang diakses, dan aktivitas berbagi informasi secara interaktif. 6. Tingkat keberdayaan petani, yaitu kemampuan petani dalam proses pengambilan keputusan untuk: menentukan jenis komoditas yang diusahakan, mengatur input produksi, memasarkan hasil pertanian, bekerjasama bersinergi, mengelola informasi, mengolah hasil pertanian, dan mengakses teknologi. Data sekunder yang dihimpun dalam penelitian ini meliputi dokumen data dan informasi yang terdapat di: 1. Instansi lingkup Kementerian Pertanian, yaitu: Direktorat Jenderal Hortikultura, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian, Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jawa Timur, dan Balai Penelitian Tanaman Sayuran. 2. Instansi lingkup Pemerintah Daerah: Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur, Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur dan Batu-Malang, serta Pemda Kabupaten, Kecamatan termasuk Balai Penyuluhan Pertanian, dan Desa di lokasi penelitian. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui: a studi dokumentasi, b wawancara mendalam, dan c focus group discussion yang dilakukan terhadap pejabat dan penyuluh atau pelaku komunikasi inovasi dan pembuat program komunikasi inovasi pertanian di lingkup instansi terkait. Jenis data sekunder ini meliputi: 1 Kebijakan peraturan Kementan terkait program komunikasi inovasi pertanian, 2 Program pengembangan informasi bidang pertanian mendukung implementasi cyber extension dari Kementan maupun Dinas Pertanian tingkat provinsi, 3 Keadaan wilayah pertanian di lokasi penelitian, 4 Program pengembangan wilayah pertanian di lokasi penelitian, 5 Data hasil penelitian atau evaluasi tentang program pembangunan pertanian. 119 Instrumen adalah suatu alat yang memenuhi persyaratan akademis, sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur suatu obyek ukur atau mengumpulkan data mengenai suatu peubah. Dalam bidang penelitian, instrumen diartikan sebagai alat untuk mengumpulkan data mengenai peubah-peubah penelitian untuk kebutuhan penelitian Djaali dan Mulyono 2004. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner sebagai pedoman wawancara secara terstruktur. Bentuk pertanyaan adalah pertanyaan tertutup dan beberapa pertanyaan terbuka. Pertanyaan tertutup adalah pertanyaan yang telah disiapkan jawabannya sehingga responden tinggal memilih yang sesuai. Sedangkan pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang memungkinkan responden menguraikan secara bebas dalam menjawab pertanyaan untuk memperjelas jawaban pertanyaan tertutup. Kuesioner dirancang sedemikian rupa dengan bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami oleh responden. Kuesioner disusun secara jelas dengan kata-kata yang tidak bermakna ganda, tidak menyinggung perasaan responden, dan menghindari bias kepentingan peneliti. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang diperkuat dengan data kualitatif. Penelitan kuantitatif dilakukan secara survai yang datanya dikumpulkan dari responden dengan menggunakan instrumen dalam bentuk kuesioner sebagai pedoman dalam melakukan wawancara atau alat pengumpulan data primer dan skunder. Kuesioner disusun sedemikian rupa sebelum digunakan saat penelitian, alat pengukur atau instrumen yang digunakan sudah teruji kesahihan validity dan keterandalannya reliability untuk memperoleh data dan informasi yang relevan dengan topik penelitian. Dalam penelitian kuantitatif keterpercayaan ditandai dengan adanya validitas dan reliabilitas. Validitas instrumen atau kesahihan kuesioner barkaitan dengan mengukur apa yang seharusnya diukur. Alat ukur dikatakan valid atau sahih apabila alat ukur tersebut dapat digunakan untuk mengukur secara tepat konsep yang sebenarnya ingin diukur. Validitas instrumen yang diuji dalam penelitian ini adalah validitas isi content validity dan validitas konstruk construct validity. Validitas isi dilakukan dengan mengkaji peubah-peubah penelitian melalui konsep dan teori yang relevan dan selanjutnya diturunkan menjadi definisi 120 operasional dan indikator pengukuran. Validitas isi juga didasarkan atas: 1 pendapat ahli baik dari berbagai kajian pustaka maupun pendapat pakar pembimbing dan nara sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan penelitian, 2 uji kesahihan logika, yaitu membandingkan teori komunikasi partisipatif dan teori konvergensi komunikasi dan kaitannya dengan aplikasi teknologi informasi dalam komunikasi inovasi pertanian khususnya cyber extension dan dengan teori keberdayaan petani. Pada garis besarnya, beberapa dasar teori yang digunakan antara lain: 1 Logika teori komunikasi partisipatif dan konvergensi komunikasi dalam kerangka pemanfaatan teknologi informasi untuk komunikasi inovasi: Servaes 2002, 2005, dan 2007: tentang komunikasi partisipatif dengan mengintegrasikan perbedaan budaya dan aplikasi teknologi informasi. Rogers and Kincaid 1981 tentang konvergensi komunikasi dan aspek pengembangan jaringan informasi. 2 Logika teori media baru untuk komunikasi inovasi pertanian: Browning et al. 2008, McMillan 2004, dan Rogers 2003: ciri inovasi terkait dengan ciri Cyber extension sebagai media baru untuk komunikasi inovasi. Wijekon et al. 2009 dan Taragola et al. 2009: konsep Cyber extension 3 Logika teori keberdayaan petani: Chambers 1995: konsep pemberdayaan Mayouk 2010: indikator tingkat keberdayaan Berdasarkan validitas isi yang telah dilakukan, maka substansi alat ukur yang digunakan telah mencerminkan seluruh isi yang dimiliki, serta informasi yang dikumpulkan telah sesuai dengan konsep yang digunakan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari kajian konsep dan teori serta hasil diskusi dengan pakar maka instrumen penelitian telah memenuhi validitas isi. Validitas konstruk menggambarkan mengenai kemampuan sebuah alat ukur untuk menjelaskan suatu konsep Ferdinand 2006. Uji validitas konstruk dalam penelitian ini dilakukan ujicoba kuesioner terhadap 35 orang responden yang relatif sama dengan obyek penelitian sesungguhnya. Langkah-langkah cara menguji validitas konstruk menurut Ancok 1995 adalah: 121 1 Mendefinisikan secara operasional konsep yang akan diukur; 2 Melakukan uji coba skala pengukuran pada sejumlah responden; 3 Mempersiapkan tabel tabulasi jawaban 4 Menghitung korelasi antara masing-masing pernyataan dengan skor total menggunakan teknik korelasi Rank Spearman Berdasarkan uji validitas konstruk dengan menggunakan SPSS Versi 19 diketahui bahwa instrumen penelitian terbukti valid Tabel 9 dengan nilai koefisien validitas rata-rata untuk masing-masing peubah antara 0,500-0,875 yang berarti bahwa instrumen dapat dipercaya. Artinya alat ukur ini dapat dipercaya untuk mengukur konsep atau peubah yang akan diukur. Tabel 9 Nilai Hasil Uji Validitas Instrumen Penelitian Peubah Kisaran nilai validi-tas koefisien r Keterangan Karakteristik Individu Petani X 1 0,530 - 0,780 Valid Faktor Lingkungan X 2 0,605 - 0,875 Valid Persepsi Petani terhadap Karakteristik Cyber extension X 3 0,530 - 0,644 Valid Perilaku dalam memanfaatkan teknologi informasiTI X 4 0,717 - 0,867 Valid Tingkat Pemanfaatan Cyber extension Y 1 0,500 - 0,719 Valid Tingkat Keberdayaan Petani Y 2 0,591 - 0,799 Valid Keterangan: nyata pada P0,05 Ancok 1989 menyatakan bahwa reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauhmana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau diandalkan. Ini berarti bahwa uji reliabilitas ditujukan untuk mengetahui dan mengukur tingkat akurasi atau konsistensi dari jawaban sesponden. Sedangkan Ferdinand 2006 mendefinisikan reliabilitas sebagai keterpercayaan, keterandalan, keajegan, atau kekonsistensian. Instrumen yang reliabel berarti instrumen yang dapat dipercaya, ajeg, atau konsisten mengukur suatu konsep. Instrumen dikatakan reliabel apabila instrumen itu secara konsisten memunculkan hasil yang sama setiap kali dilakukan pengukuran. Uji reliabilitas dilakukan terhadap 35 orang petani yang memiliki karakteristik yang hampir sama dengan sampel penelitian yang sesungguhnya. Hasil ujicoba instrumen diolah dan diuji reliabilitasnya dengan teknik Cronbach’s 122 Alpha menggunakan SPSS 19. Menurut Hadjar 1999, teknik Cronbach’s Alpha merupakan teknik yang paling cocok untuk menguji reliabilitas instrumen yang masing-masing butirnya lebih dari satu alternatif jawaban yang mungkin terjadi tidak ada jawaban yang salah atau benar. Hal ini juga sesuai dengan ciri dari pilihan jawaban kuesioner yang bukan merupakan skor 1 dan 0, melainkan dalam bentuk kategori dan uraian sebagaimana dinyatakan pula oleh Arikunto 1998. Oleh karena itu teknik ini tepat untuk pengukuran reliabilitas instrumen dalam mengukur tingkat keberdayaan petani, tingkat pengetahuan, keterampilan, dan aksesibilitas, atau pendapat seseorang terhadap suatu peubah yang tidak bertujuan untuk mengukur jawaban yang besar atau salah. Reliabilitas instrumen adalah hasil pengukuran yang dapat dipercaya. Reliabilitas instrumen diperlukan untuk mendapatkan data sesuai dengan tujuan pengukuran. Untuk mencapai hal tersebut, dalam penelitian ini akan dilakukan uji reliabilitas dengan menggunakan metode Cronbach’s Alpha diukur berdasarkan skala Cronbach’s Alpha 0 sampai 1. Jika skala tersebut dikelompokkan ke dalam lima kelas dengan range yang sama, maka ukuran kemantapan alpha dapat diinterprestasikan sebagai berikut. 1. Nilai Cronbach’s Alpha 0,00 s.d. 0,20, berarti kurang reliabel 2. Nilai Cronbach’s Alpha 0,21 s.d. 0,40, berarti agak reliabel 3. Nilai Cronbach’s Alpha 0,42 s.d. 0,60, berarti cukup reliabel 4. Nilai Cronbach’s Alpha 0,61 s.d. 0,80, berarti reliabel 5. Nilai Cronbach’s Alpha 0,81 s.d. 1,00, berarti sangat reliabel Triton 2005 Berdasarkan hasil analisis reliabilitas instrumen dengan menggunakan SPSS 19, diketahui bahwa instrumen yang disiapkan untuk keperluan penelitian sudah reliabel. Hal ini ditunjukkan dengan nilai reliabilitas Cronbach’s Alpha adalah antara 0,660 - 0,862 Tabel 10. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa instrument penelitian secara empirik sudah reliabel dan dapat digunakan untuk memperoleh data yang akurat. 123 Tabel 10 Nilai Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian Peubah Nilai reliabilitas Keterangan Karakteristik Individu Petani X 1 0,660 - 0,862 Reliabel Faktor Lingkungan X 2 0,750 - 0,853 Reliabel Persepsi Petani terhadap Karakteristik Cyber extension X 3 0,760 - 0,800 Reliabel Perilaku dalam Memanfaatkan TI X 4 0,747 - 0,810 Reliabel Tingkat Pemanfaatan Cyber Extension Y 1 0,710 - 0,757 Reliabel Tingkat Keberdayaan Petani Y 2 0,826 - 0,710 Reliabel Keterangan: nyata pada p0,01 Pengolahan dan Analisis Data Data dan informasi dijabarkan dan diinterpretasikan menurut alur logika melalui penerapan statistik induktif Bailey 1992 dan deskriptif dengan menerapkan pendekatan dan analisis sistem. Analisis data digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian dan menguji hipotesis. Pengolahan data digunakan analisis kuantitatif dan untuk mendukung dan mempertajam analisis kuantitatif dilengkapi dengan informasi berdasarkan data kualitatif Dey 1993 dan Moleong 1991. Analisis kuantitatif menggunakan statistik yang meliputi: 1 analisis statistik deskriptif, 2 analisis korelasi, 3 analisis uji beda uji t, dan 4 analisis Structural Equation Models Kusnendi 2008, Sarwono 2007, Johnson dan Wichen 2002. Sedangkan peubah-peubah yang dianalisis dan alat analisisnya adalah sebagai berikut. 1. Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis peubah a karakteristik individu petani, b faktor lingkungan, c persepsi terhadap karakteristik cyber extension , d Perilaku dalam memanfaatkan teknologi informasi, e tingkat pemanfaatan cyber extension; dan e tingkat keberdayaan petani sayuran. 2. Analisis Koefisien Korelasi Pearson Product Moment r digunakan untuk mengetahui hubungan peubah independen dengan peubah dependen sehingga dapat digunakan pula untuk menguji hubungan antar peubah dengan rumus sebagai berikut. 124 Keterangan: N = jumlah responden; X = skor mentah peubah X; Y = skor mentah peubah Y = N ∑ XY – ∑ X ∑ Y r xy √ [ N ∑ X 2 – ∑ X 2 ][ N ∑ Y 2 – ∑ Y 2 ] Johnson dan Wichern 2002 3. Analisis perbedaan dua rata-rata Uji t digunakan untuk menganalisis perbedaan antara dua buah mean hasil pengukuran peubah penelitian di dua daerah penelitian dengan rumus sebagai berikut. Keterangan: t = Nilai statistik t t hitung X 1 = Mean dari pengamatan sampel 1 X 2 = Mean dari pengamatan sampel 2 S X1-X2 = Standard error kedua kelompok Selanjutnya nilai t hitung dibandingkan dengan nilai t tabel untuk mengetahui perbedaan antara mean sampel masing-masing peubah. Apabila nilai t hitung t tabel maka terdapat perbedaan antara mean contoh. Sebaliknya apabila t hitung t tabel, maka tidak terdapat perbedaan antara mean contoh yang diuji pada level p0,05 atau p0,01. t = X 1 – X 2 S X1-X2 4. Structural Equation Models SEM untuk menganalisis pengaruh secara struktural antarpeubah baik secara langsung maupun tidak langsung Salimun 2002. SEM merupakan pendekatan terintegrasi antara analisis data dengan konstruksi konsep. Pada penelitian ini, SEM digunakan untuk pengujian model hubungan antarpeubah laten peubah eksogen dan peubah endogen dan mendapatkan model yang bermanfaat untuk prakiraan. Analisis SEM dengan LISREL terdiri atas dua komponen utama yaitu Model Persamaan Struktural a structural equation model dan Model Pengukuran a measurement model. 125 Tahap pertama dalam analisis SEM adalah pengujian secara simultan model pengukuran atau Confirmatory Factor Analysis CFA yang bertujuan untuk menghasilkan informasi indikator yang paling dominan merefleksikan peubah penelitian. Pengujian CFA dilakukan dengan tahapan: 1. Memeriksa adanya koefisien bobot faktor terstandarkan atau standardized loading factor SLF 1. Apabila ada, maka dilakukan perbaikan model dengan cara menetapkan SLF=1 atau error variance = 0 2. Memeriksa kemampuan indikator merefleksikan variabel, dengan cara: a menguji secara individual kebermaknaan dari setiap indikator apabila nilai uji t dari SLF 1,96 dikeluarkan dari model dan b mengevaluasi SLF dari indikator dalam model. Kusnendi 2008 menyatakan bahwa apabila nilai SLF kurang dari nilai cut of 0,5, maka indikator tersebut dikeluarkan dari model. 3. Menguji kecocokan saluran model overall model fit test pengukuran dengan menggunakan ukuran Goodness of Fit Test GFT utama dengan kriteria P- value dari statistik uji chi-square 0,05; nilai Root Mean Square Error of Approximation RMSEA 0,08, nilai Comparative Fit Index CFI 0,9; nilai Goodness-of-Fit Index GFI 0,9; dan nilai Adjusted Goodness-of-Fit Index AGFI 0,9. Di samping itu, digunakan pula nilai Normed Fit Indeks NFI sebagai ukuran perbandingan antara model yang diusulkan dengan baseline model . Sebagai koreksi nilai NFI dengan melibatkan derajat kebebasan, digunakan nilai Non Normed Fit Indeks NFI. Model dinyatakan fit apabila nilai NNFI mencapai 0,90. GFT ditunjukkan untuk mengevaluasi kesesuaian antara data yang dikumpulkan dengan model yang diajukan. Apabila nilai-nilai yang diperoleh belum memenuhi kriteria GFT, maka dilakukan perbaikan model. Sebaliknya apabila nilai-nilai yang diperoleh sudah memenuhi kriteria GFT, maka model telah fit dan dapat diberlakukan untuk populasi penelitian Kusnendi 2008 Untuk memudahkan analisis dan pengolahan data, disusun model hipotetik persamaan struktural dengan mengacu pada kerangka berpikir, sehingga jalur pengaruh antara variabel laten eksogen dan variabel laten endogen, serta variabel laten eksogen dan endogen dengan indikator refleksinya Gambar 12. 126 X 1.1 i = Beta besar, suatu matriks koefisien yang menggambarkan pengaruh dari peubah endogenous terhadap peubah endogenous lainnya. i = Gamma besar, suatu matriks koefisien yang menggambarkan pengaruh dari peubah exogenous peubah laten X X = Variabel manifesindikator untuk variabel laten eksogen Y = Variabel manifesindikator untuk variabel laten endogen λ X = Lambda-X, koefisien bobot faktor variabel manifes eksogen λ Y = Lambda-Y, koefisien bobot faktor variabel manifes endogen б = Theta-delta, kekeliruan pengukuran variabel manifesindikator eksogen X ξ = Ksi, suatu vektor dari peubah exogenous peubah laten X = Theta-epsilon, kekeliruan pengukuran variabel manifes endogen Y Gambar 12 Diagram Jalur Model Hipotetik Persamaan Struktural Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pemanfaatan Teknologi Informasi, Tingkat Pemanfaatan Cyber Extension, dan Tingkat Keberdayaan Petani Sayuran λx 4.2 λx 4.1 λx 4.3 .4.2 2.5 1.2 ζ 1 X 1.3 . 1.4 X 2.2 X 1.4 λx 1.1 . 1. 1 . 1.2 . 1.3 . 1.3 X 1.5 λx 3.4 Y 2 Y 2.3 Y 2.4 Y 2.1. Y 2.2 Y 2.5. Y 2.6 Y 2.7. Y 2.8 2.8 2.7 2.6 2.5 2.4 2.3 2.1 λy 2.8 λy 2.7 λy 2.6 λy 2.5 λy 2.4 λx 1.2 2.2 λy 2.1 λx 1.3 λy 2.3 λy 2.2 ζ 3 4.1 X 1.6. X 1.7 X 1 λx 1.6 λx 1.7 2.1 2.2 1.5 2.1 X .4.2 X 4 X 4.1. X 4.3 x 4.3 x 4.2 x 4.1 λx 1.4 λx 1.5 1.1 2.1 X 2.1 X 2 λx 2.1 2.2 2.2 X 2.2 λx 2.2 λx .2.4 λ.x 2.3 X 2.3 X 2.4 2.3 2.4 y 1.1 y 1.2 y 1.3 y 1.4 y 1.5 y 1.6 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 Y 1 ζ 2 1.2 .4.3 .1.3 λ.y 1.1 λ.y 1.6 λ.y 1.5 λ.y 1.2 λ.y 1.3 λ.y 1.4 X 3.1 X 3.2 X 3.3 X .3.4 X 3.5 X 3 λx 3.1 λx 3.2 λx 3.3 λx 3.5 3.1 .2.3 3.2 3.3 3.4 . 3.5 127 Berdasarkan path diagram dari model hipotetik persamaan struktural tersebut, dapat diidentifikasikan tiga model yang menjadi dasar analisis data dan pengujian hipotesis. Ketiga model tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut. Gambar 13 Model Perilaku dalam Pemanfaatan Teknologi Informasi Gambar 14 Model Tingkat Pemanfaatan Cyber Extension X 1 X 2 X 3 X 4 ζ 1 X 1 X 2 X 3 Y 1 ζ 2 X 1 X 2 Y 2 ζ 3 X 4 Y 3 = 2.1 X 1 + 2.2 X 2 + 2.3 X 3 + 2.4 X 4 + 2.1 Y 1 + 4.1 Y 1 + ζ 3 ζ 2 Y 1 .1.1 .1.2 .1.3 .1.4 .4.1 .4.2 .4.3 .2.4 .2.1 .2.2 .2.3 .2.1 K X 4 = .4.1 X 1 + .4.2 X 2 + .4.3 X 3 - ζ 1 Keterangan: X 1 = Karakteristik individu petani X 2 = Lingkungan X 3 = Persepsi terhadap karakteristik cyber extension X 4 = Perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi Y 1 = Tingkat Pemanfaatan cyber extension Keterangan: X 1 = Karakteristik individu petani X 2 = Lingkungan X 3 = Persepsi terhadap karakteristik cyber extension X 4 = Perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi Y 1 = 1.1 X 1 + 1.2 X 2 + 1.3 X 3 + 1.4 X 4 + ζ 2 .4.1 X 4 Y 1 = Pemanfaatan cyber extension Y 2 = Tingkat Tingkat keberdayaan petani e erangan: individu petani t X 1 = Karakteristik X 2 = Perilaku komunikasi = X 3 Lingkungan = Persepsi terhadap karakteristik cyber extension X 4 X 5 = Perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi Keterangan: X 1 = Karakteristik individu petani X 2 = Lingkungan X 3 = Persepsi terhadap karakteristik cyber extension X 4 = Perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi X 3 Gambar 15 Model Tingkat Keberdayaan Petani 128 Analisis data secara deskriptif, analisis atau uji korelasi, dan uji beda antar lokasi uji t menggunakan aplikasi SPSS versi 19. Sedangkan analisis SEM menggunakan program LISREL Linear Structural Relationship versi 8.7. Diharapkan melalui beberapa teknik analisis data tersebut dapat menjawab tujuan penelitian secara akurat. Proses analisis data yang terkait dengan data kualitatif untuk memperkuat analisis secara kuantitatif dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya. Catatan dibedakan menjadi dua, yaitu yang deskriptif dan yang reflektif Noeng Muhadjir 2000. Terkait dengan penelitian ini, analisis data kualitatif dilakukan terhadap data kualitatif yang diperoleh melalui pengamatan, dokumentasi, wawancara mendalam. dan focus group discussion. Konseptualisasi dan Definisi Operasional Pengukuran dalam penelitian ini merujuk pada Kerlinger 1996, dimana pengukuran adalah pemberian angka pada obyek-obyek atau kejadian-kejadian menurut suatu aturan. Aturan tersebut adalah suatu metode untuk memetakan suatu sifat atau petunjuk tentang obyek tertentu. Data yang bersifat faktual dan terukur maupun data yang bersifat penilaian responden terhadap kondisinya, kemudian dikelompokkan dalam skala interval 1, 2, 3 berdasarkan kuartil atau pertimbangan tertentu lainnya. Pengelompokan ini untuk menyederhanakan data yang sangat beragam sehingga mudah untuk diinterpretasikan atau dideskripsikan Peubah dalam penelitian ini secara umum dikelompokkan dalam dua, yaitu peubah bebas yang mempengaruhi atau X dan peubah terikat yang dipengaruhi atau Y. Masing-masing peubah yang dimaksud adalah sebagai berikut. 1. Karakteristik Individu Petani X 1 2. Faktor Lingkungan X 2 3. Persepsi Petani terhadap Karakteristik Cyber Extension X 3 4. Perilaku Petani dalam Memanfaatkan Teknologi Informasi X 4 5. Tingkat Pemanfaatan Cyber Extension Y 1 6. Tingkat Keberdayaan Petani Y 2 129 Karakteristik individu petani X 1 Karakteristik individu petani adalah ciri-ciri yang melekat dan sumberdaya yang dimiliki pada individu petani yang membedakan dirinya dengan orang lain. Terkait dengan tujuan penelitian, indikator dari karakteristik individu petani yang dimaksud dalam penelitian ini adalah umur, pendidikan, kepemilikan sarana teknologi informasi, lama menggunakan sarana teknologi informasi, luas penguasaan lahan, tingkat kosmopolitan petani, dan keterlibatan dalam kelompok. Definisi operasional masing-masing peubah karakteristik individu petani disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Definisi Operasional dan Parameter Kelompok Peubah Karakteristik Individu Petani X 1 Indikator Definisi operasional Parameter Kategori pengukuran X 1.1 Umur Masa hidup yang telah dilalui responden sampai menjadi responden Dihitung berdasarkan jumlah tahun dari usia petani sampai dengan ulang tahun kelahiran terdekat saat menjadi responden. 1. Muda 2. Dewasa 3. Tua X 1.2 Pendidikan Lamanya responden memperoleh pendidikan formal baik yang telah maupun sedang diikuti Diukur berdasarkan jumlah tahun petani mengikuti pendidikan formal yang pernah ditempuh sampai jenjang pendidikan terakhir yang telah dan sedang diikuti. 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi X 1.3 Kepemilikan sarana teknologi informasi Jenis teknologi informasi dan komunikasi yang dimiliki untuk mendukung kegiatan usahatani Dihitung berdasarkan jumlah sarana teknologi informasi dan komunikasi yang dimiliki telepon rumah, telepon genggam, telepon genggam berinternet, Komputer, komputer berinternet, radio, televisi, dan VCDDVD pada saat dilakukan wawancara. Tidak memiliki diberi skor 0 dan memiliki diberi skor 1. Skor total adalah jumlah total sarana teknologi informasi yang dimiliki. 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi X 1.4 Lama menggunakan sarana teknologi informasi Rentang waktu petani menggunakan sarana teknologi informasi untuk akses informasi sampai dengan saat wawancara dilakukan Jumlah waktu bulan sejak pertama kali petan menggunakan salah satu dari sarana teknologi informasi telepon rumah, telepon genggam, komputer yang dihitung sejak bulan pertama kali menggunakan salah satu sarana teknologi informasi . 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 130 Lanjutan Tabel 11 Indikator Definisi operasional Parameter Kategori pengukuran X 1.5 Luas penguasaan lahan Lahan yang dapat diusahakan oleh petani untuk berusahatani tanaman sayuran. Luas penguasaan lahan diukur dengan menjumlahkan seluruh lahan yang diusahakan untuk menanam sayuran baik lahan yang dimiliki, disewa, maupun yang digarap dalam ukuran m 2 . 1. Sangat sempit 2. Sempit 3. Sedang 4. Luas X 1.6 Tingkat kekosmo- politan Akrivitas responden dalam melakukan hubungan atau kontak dengan berbagai sumber informasi baik yang berada di dalam lingkungannya maupun di luar lingkungannya Dihitung berdasarkan skor: 1 Jumlah kali petani keluar desa untuk kepentingan mendukung kegiatan usahataninya dalam satu bulan terakhir 2 Jumlah kali petani menerima tamu dan atau berhubungan dengan tamu yang datang dari luar desa atau luar sistem sosialnya terkait dengan kegiatan usahatani atau bidang pertanian dalam satu bulan terakhir 3 Jumlah kali petani aktif mencari informasi untuk mendukung kegiatan usahatani melalui berbagai media yang tersedia di lingkungannya dalam satu bulan terakhir 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi X 1.7. Keterlibatan dalam kelompok Keikutsertaan dan status petani dalam suatu kelompok tertentu yang menjadikan dirinya dapat bersinergi dengan pihak lain. Keterlibatan dalam kelompok diukur dengan: 1 Jumlah kelompok yang diikuti oleh petani 2 Status petani dalam kelompok yang diikuti 3 Keaktifan petani dalam merencanakan, melaksanakan, menerima manfaat, dan mengevaluasi kegiatan kelompok 1. Sangat sempit 2. Sempit 3. Sedang 4. Luas Faktor lingkungan X 2 Faktor lingkungan adalah kondisi faktor-faktor eksternal yang berpengaruh pada paradigma pemanfaatan cyber extension dan tingkat keberdayaan petani. Terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dalam implemebtasi cyber extension, maka faktor lingkungan dalam penelitian ini diukur melalui: tingkat ketersediaan media komunikasi konvensional, tingkat ketersediaan sarana akses informasi berbasis teknologi informasi, tingkat 131 ketersediaan infrastruktur jaringan komunikasi, dan keterjangkauan terhadap fasilitasi training. Definisi operasional dan parameter dari masing-masing indikator tersebut disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Definisi Operasional dan Parameter Kelompok Peubah Faktor Lingkungan X 2 Indikator Definisi operasional Parameter Kategori pengukuran X 2.1 Tingkat keterse- diaan media komunikasi konven- sional Jenis saluran komunikasi baik secara tatap muka maupun melalui media tercetak dan elektronis satu arah yang dapat dijangkau dan diakses untuk mendukung kegiatan usahatani. Diukur melalui identifikasi: 1 Keberadaan dan intensitas kegiatan pertemuan dengan penyuluh 2 Keberadaan dan intensitas kegiatan pertemuan dengan kelompok tani 1 Keberadaan media cetak surat kabar, majalah, brosur yang dapat dimanfaatkan dan intensitas pemanfaatannya untuk mendukung kegiatan usahatani 1. Sangat kurang memadai 2. Kurang memadai 3. Cukup memadai 4. Sangat memadai X 2.2 Tingkat ketersedia- an sarana akses informasi pertanian berbasis teknologi informasi Jenis saluran atau tempat yang memungkinkan petani menggunakan media komunikasi berbasis teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahatani. Diukur berdasarkan jumlah jenis sarana yang ada di lingkungan dan dapat digunakan untuk akses informasi berbasis TI, yaitu: 1 Telepon rumah 2 Telepon genggam 3 Komputer dan, komputer berinternet 4 Wartel 5 Warnettelecenter 1. Sangat tidak memadai 2. Kurang memadai 3. Memadai 4. Sangat memadai X 2.3 Tingkat keterse- diaan infrastruk- tur jaringan komunikasi Keterjangkauan dan kondisi infrastruktur jaringan komunikasi untuk akses informasi pertanian berbasis teknologi informasi Diukur berdasarkan: 1 Jumlah jenis infrastruktur jaringan komunikasi untuk akses informasi berbasis teknologi informasi jaringan listrik, jaringan telepon, jaringan internet yang tersedia di lingkungan petani. Setiap jenis infrastruktur untuk akses diberi skor 1: tidak tersedia dan skor 2: tersedia. 2 Kualitas dari masing-masng jenis infrastruktur yang dapat diakses. Kualitas diberikan untuk tiap jenis infrastruktur yang tersedia dengan skor 1: kurang baik; 2: cukup baik. Skor total adalah jumlah skor antara jumlah jenis infrastruktur dan kualitas infrastruktur yang ada dengan skor maksimum adalah 12. 1. Sangat tidak baik 2. Kurang baik 3. Baik 4. Sangat baik 132 Lanjutan Tabel 12 Indikator Definisi operasional Parameter Kategori pengukuran X 2.4 Keterjang- kauan terhadap fasilitasi training Kemudahan petani dalam memperoleh pelatihan terkait dengan penggunaan teknologi informasi, yaitu dalam penggunaan komputer, akses internet, dan akses informasi pertanian melalui telepon genggam. Diukur berdasarkan tingkat keikutsertaan petani dalam pelatihan pemanfaatan teknologi informasi, yaitu: 1 Penggunaan komputer untuk pengolahan data dan akses informasi 2 Pemanfaatan telepon genggam untuk akses informasi 3 Pemanfaatan dan pengelolaan informasi melalui internet 1. Sangat tidak terjangkau 2. Kurang terjangkau 3. Cukup terjangkau 4. Sangat terjangkau Persepsi petani terhadap karakteristik cyber extension X 3 Persepsi petani terhadap karakteristik cyber extension adalah pandangan petani terhadap ciri-ciri dari aplikasi teknologi informasi dalam pemanfaatan cyber extension untuk akses dan pengelolaan informasi. Sesuai dengan tujuan penelitian, indikator dari karakteristik cyber extension yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi: kesesuaian dengan kebutuhan, kemudahan untuk diaplikasikan, keuntungan relatif, kemudahan untuk dilihat hasilnya, dan kesesuaian dengan budaya lokal petani. Definisi operasional dan parameter dari masing-masing indikator disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Definisi Operasional dan Parameter Kelompok Peubah Persepsi Petani terhadap Karakteristik Cyber Extension X3 Indikator Definisi operasional Parameter Kategori pengukuran X 3.1 Kesesuaian dengan kebutuhan Penilaian petani terhadap ketepatan ciri cyber extension sebagai media untuk mendukung kegiatan usahatani. Diukur dengan mengidentifikasi aspek: 1 Tingkat kesesuaian antara pemanfaatan sistem informasi menggunakan HP dengan kebutuhan petani untuk mendukung usahatani 2 Tingkat kesesuaian antara pemanfaatan sistem informasi menggunakan HP berinternet dengan kebutuhan petani untuk mendukung usahatani. 3 Tingkat kesesuaian antara pemanfaatan sistem informasi menggunakan komputer dengan kebutuhan petani untuk mendukung usahatani 1. Sangat tidak sesuai 2. Kurang sesuai 3. Sesuai 4. Sangat sesuai 133 Lanjutan Tabel 13 Indikator Definisi operasional Parameter Kategori pengukuran 4 Tingkat kesesuaian antara pemanfaatan sistem informasi menggunakan komputer berinternet dengan kebutuhan petani untuk mendukung usahatani X 3.2 Kemudahan untuk diaplikasi- kan Penilaian petani terkait dengan mudah tidaknya sarana TI dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan usahatani. Diukur dengan mengidentifikasi aspek: 1 Tingkat kemudahan pemanfaatan sistem informasi dengan menggunakan HP untuk mendukung usahatani 2 Tingkat kemudahan pemanfaatan sistem informasi dengan menggunakan HP berinternet untuk mendukung usahatani 3 Tingkat kemudahan pemanfaatan sistem informasi dengan menggunakan komputer untuk mendukung usahatani 4 Tingkat kemudahan pemanfaatan sistem informasi dengan menggunakan komputer untuk mendukung usahatani 1. Sangat sulit 2. Sulit 3. Mudah 4. Sangat mudah X 3.3 Keuntungan relatif Penilaian petani terhadap kelebihan dan manfaat dalam menggunakan teknologi informasi untuk akses informasi dibandingkan dengan tanpa menggunakan teknologi informasi. Diukur berdasarkan tingkat manfaat dan keterjangkauan biaya dari: 1 Penggunaan telepon genggam untuk melakukan aktivitas yang mendukung usahatani 2 Penggunaan telepon genggam berinternet untuk melakukan aktivitas yang mendukung usahatani 3 Penggunaan komputer untuk melakukan aktivitas yang mendukung usahatani 4 Penggunaan komputer berinternet untuk melakukan aktivitas yang mendukung usahatani 1. Sangat tidak menguntungkan 2. Kurang menguntungkan 3. Cukup menguntungkan 4.Sangat menguntungkan 134 Lanjutan Tabel 13 Indikator Definisi operasional Parameter Kategori pengukuran X 3.4 Kemudahan untuk dilihat hasilnya Tingkat kemampuan petani dalam melihat efek dari pemanfaatan teknologi informasi untuk akses dan pengolahan informasi dalam mendukung kegiatan usahatani. Diukur berdasarkan: 1 Kemudahan untuk melihat efek pemanfaatan sistem informasi dengan menggunakan telepon genggam untuk mendukung usahatani 2 Kemudahan untuk melihat efek pemanfaaatan sistem informasi dengan menggunakan telepon genggam berinternet untuk mendukung usahatani 3 Kemudahan untuk melihat efek dari pemanfaatan sistem informasi dengan menggunakan komputer untuk mendukung usahatani 4 Kemudahan untuk melihat efek dari pemanfaatan sistem informasi dengan menggunakan komputer untuk mendukung usahatani 1. Sangat sulit 2. Sulit 3. Cukup mudah 4. Sangat mudah X. 3.5 Kesesuaian dengan budaya lokal Pendapat petani terkait dengan ketepatan ciri cyber extension aplikasi teknologi informasi dalam sistem informasi dengan norma dan kebiasaan masyarakat setempat Diukur berdasarkan identifikasi: 1 Kesesuaian menggunakan telepon genggam untuk mendukung usahatani dengan budaya lokal 2 Kesesuaian menggunakan telepon genggam berinternet untuk mendukung usahatani dengan budaya lokal 3 Kesesuaian menggunakan computer untuk mendukung usahatani dengan budaya lokal 4 Kesesuaian menggunakan kompu-ter berinternet untuk mendukung usahatani dengan budaya lokal 1. Sangat tidak sesuai 2. Kurang sesuai 3. Sesuai 4. Sangat sesuai Perilaku dalam memanfaatkan sarana teknologi informasi X 4 Perilaku dalam memanfaatkan sarana teknologi informasi adalah respon pengguna yang dimanifestasikan sebagai tingkat pengetahuan terhadap sarana teknologi informasi, sikap terhadap pemanfaatan teknologi informasi, dan kemampuan atau keterampilan responden dalam menggunakan sarana teknologi informasi. Definisi operasional dan parameter perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi disajikan pada Tabel 14. 135 Tabel 14 Definisi operasional dan Parameter Perilaku dalam Pemanfaatan Teknologi Informasi X 4 Indikator Definisi operasional Parameter Kategori pengukuran X 4.1 Pengetahuan terhadap aplikasi teknologi informasi Jenis teknologi informasi dan komunikasi yang dimiliki untuk mendukung kegiatan usahatani Diukur berdasarkan jumlah skor total dari: 1 Pengetahuan petani terhadap fungsi telepon genggam 2 Pengetahuan petani terhadap fungsi telepon telepon genggam berinternet 3 Pengetahuan petani terhadap fungsi komputer 4 Pengetahuan petani terhadap fungsi komputer berinternet Masing-masing item jenis pengetahuan diberi nilai skor 1. Semakin banyak pengetahuannya terhadap pemanfaatan HP maupun komputer semakin tinggi skornya. Indeks peubah adalah total skor dari seluruh item jenis pengetahuan yang dimiliki. 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi X 4.2 Sikap terhadap aplikasi teknologi informasi Kecenderungan keberpihakan setuju tidaknya petani terhadap penggunaan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahatani. Diukur melalui keberpihakan petani terhadap: 1 Kecenderungan sikap setuju tidaknya terhadap pemanfaatan telepon rumah untuk mendukung kegiatan usahatani 2 Kecenderungan sikap setuju tidak-nya terhadap pemanfaatan telepon genggam untuk kegiatan usahatani 3 Kecenderungan sikap setuju tidaknya terhadap pemanfaatan telepon genggam berinternet untuk mendukung usahatani 4 Kecenderungannya sikap setuju tidaknya terhadap pemanfaatan komputer untuk mendukung kegiatan usahatani 5 Kecenderungannya sikap setuju tidaknya terhadap aplikasi atau pemanfaatan komputer berinternet untuk mendukung kegiatan usahatani 1. Tidak setuju 2. Ragu-ragu 3. Setuju 4. Sangat setuju X 4.3 Keterampilan dalam pemanfaatan teknologi informasi Tingkat kemampuan responden dalam menggunakan sarana TI. Keterampilan menggunakan sarana TI diukur melalui: tingkat kemampuan petani dalam menggunakan telepon selulerHP baik Diukur melalui: 1 Jenis penggunaan telepon genggam yang dapat dilakukan atau dikuasai oleh petani. 2 Jenis penggunaan telepon genggam berinternet yang dapat dilakukan atau dikuasai oleh petani 3 Jenis penggunaan komputer yang dapat dilakukan oleh petani. 4 Jenis penggunaan komputer berinter- net yang dapat dilakukan petani. 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 136 Lanjutan Tabel 14 Indikator Definisi operasional Parameter Kategori pengukuran berinternet maupun tidak dan komputer yang berinternet maupun tidak berinternet Masing-masing tingkat keterampilan untuk jenis penggunaan diberi skor: Tidak dapat menggunakan: diberi skor 1, Menggunakan dengan bantuan diberi skor 2 dan dapat menggunakan secara mandiri dibesi skor 3. Indeks peubah adalah total skor dari seluruh jenis kemampuan responden untuk menggunakan telepon genggam dan komputer Pemanfaatan cyber extension Y 1 Pemanfaatan cyber extension adalah jenis kecenderungan petani memanfaatkan teknologi informasi dalam sistem informasi pertanian melalui cyber extension yang ditunjukkan dengan tingkat kecenderungan petani untuk menggunakan media komunikasi berbasis teknologi informasi maupun konvensional untuk akses dan pengelolaan informasi pertanian. Indikator tipe implementasi cyber extension dalam penelitian ini meliputi: tingkat akses sarana teknologi informasi, intensitas pemanfaatan teknologi informasi, tingkat manfaat yang dirasakan, tingkat pengelolaan informasi melalui sarana teknologi informasi, dan jangkauan sumber informasi. Definisi operasional dan parameter dari indikator paradigma cyber extension disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Definisi Operasional dan Parameter Pemanfaatan Cyber Extension Y 1 Indikator Definisi operasional Parameter Kategori pengukuran Y 1.1 Tingkat akses sarana teknologi informasi Peralatan berbasis teknologi informasi yang biasa digunakan petani untuk mendukung kegiatan usahatani. Saluran atau media komunikasi yang paling sering dimanfaatkan untuk mencari informasi pertanian atau komunikasi inovasi pertanian pada tahun terakhir dengan kriteria: Dasar : dominan media konvensional Menengah : mulai dominan dengan teknologi informasi Lanjut : dominan menggunakan teknologi informasi HP dan mulai mengenal komputer dan atau internet 1. Dasar 2. Menengah 3. Lanjut 137 Lanjutan Tabel 15 Indikator Definisi operasional Parameter Kategori pengukuran Y 1.2 Intensitas pemanfaatan media berbasis teknologi informasi Curahan waktu yang dikeluarkan untuk menggunakan sarana teknologi informasi mendukung kegiatan usahatani. . Dihitung berdasarkan: 1 Jumlah waktu yang dicurahkan untuk pemanfaatan telepon rumah maupun telepon genggamHP untuk mendukung kegiatan usahatani dalam satu hari terakhir yang diukur dengan jumlah total menit. 2 Jumlah waktu yang dicurahkan untuk pemanfaatan komputer untuk mendukung kegiatan usahatani dalam satu minggu terakhir yang diukur dengan jumlah total menit 1. Dasar 2. Menengah 3. Lanjut Y 1.3 Tingkat manfaat yang dirasakan Ragam atau variasi jenis manfaat cyber extension yang dapat dirasakan oleh petani dengan menggunakan peralatan berbasis teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahatani. Jumlah ragam atau variasi akses informasi yang dilakukan petani dengan menggunakan teknologi informasi untuk akses informasi melalui cyber extension Jumlah ragam atau variasi akses informasi yang dilakukan petani dengan menggunakan teknologi informasi untuk komunikasi melalui cyber extension Jumlah ragam atau variasi akses informasi yang dilakukan petani dengan menggunakan teknologi informasi untuk promosi usahatani melalui cyber extension 1. Dasar 2. Menengah 3. Lanjut Y 1.4. Tingkat pengelolaan informasi dengan pemanfaatan sarana teknologi informasi Ragam atau jenis pemanfaatan peralatan berbasis teknologi informasi untuk mengolah atau mengelola informasi. Jumlah ragam atau variasi pengelolaan informasi yang dilakukan petani dengan menggunakan teknologi informasi dalam menyimpan atau mendokumentasikan informasi penting misalnya kontak person pelanggan Jumlah ragam atau variasi pengelolaan informasi yang dilakukan petani dengan menggunakan teknologi informasi untuk mengambil foto dan atau merekam suara Jumlah ragam atau variasi pengelolaan informasi yang dilakukan petani dengan menggunakan teknologi informasi untuk mengolah data dan pesan 1. Dasar 2. Menengah 3. Lanjut 138 Lanjutan Tabel 15 Indikator Definisi operasional Parameter Kategori pengukuran Y 1.5 Jangkauan sumber informasi Sumber informasi terjauh yang pernah dihubungi atau diakses oleh petani untuk mencari informasi pertanian pada tiga bulan terakhir Jangkauan sumber informasi yang digunakan untuk memperoleh informasi inovasi pertanian dengan kriteria: Dasar : terbatas dan hanya dalam wilayah lokal desa Menengah : Cukup luas namun masih terbatas dalam wilayah regional – nasional kecamatan- kabupaten-provinsi Lanjut: sangat luas dengan sudah dapat menjangkau secara nasional bahkan dunia global dengan pemanfaatan internet 1. Dasar 2. Menengah 3. Lanjut Y1.6 Kualitas berbagi informasi secara interaktif Frekuensi dan jangkauan berbagi informasi atas informasi yang diperoleh melalui aplikasi teknologi informasi kepada sesama petani maupun kepada penyuluh dan pihak terkait yang mendukung kegiatan usahatani dalam satu bulan terakhir. Jenis aktivitas berbagi informasi dengan pihak-pihak terkait untuk mendukung kegiatan usahatani dalam berbagi pengetahuan. Jenis aktivitas berbagi informasi dengan pihak-pihak terkait untuk mendukung kegiatan usahatani dalam berkoordinasi. Jenis aktivitas berbagi informasi dengan pihak-pihak terkait untuk mendukung kegiatan usahatani dalam bekerjasama 1. Dasar 2. Menengah 3. Lanjut Tingkat keberdayaan petani dalam berusahatani Y2 Tingkat keberdayaan petani adalah kemampuan yang dimiliki petani dalam proses pengambilan keputusan usahatani. Terkait dengan tujuan penelitian, indikator tingkat keberdayaan petani yang dimaksud adalah kemampuan petani dalam proses pengambilan keputusan untuk: menentukan jenis komoditas yang diusahakan, mengatur input produksi, memasarkan hasil pertanian, menentukan harga jual hasil usahatani, bekerjasama, mengelola informasi, mengolah hasil pertanian, dan mengakses teknologi pertanian. Definisi operasional dan parameter indikator tingkat keberdayaan petani secara lengkap disajikan pada Tabel 16. 139 Tabel 16 Definisi Operasional dan Parameter Kelompok Peubah Tingkat Keberdayaan Petani Y 2 Indikator Definisi operasional Parameter Kategori pengukuran Y 2.1 Kemampuan menentukan jenis komoditas yang diusahakan Daya yang dimiliki petani dalam menentukan jenis komoditas yang diusahakan dalam satu tahun terakhir. Dihitung berdasarkan jumlah skor: 1 Intensitas keterlibatan penyuluh dalam proses pengambilan keputusan petani untuk menentukan jenis komoditas yang diusahakan pada masa tanam terakhir. 2 Intensitas keterlibatan petani lain dalam proses pengambilan keputusan petani untuk menentukan jenis komoditas yang diusahakan pada masa tanam terakhir. 3 Intensitas keterlibatan pedagang pengumpul dalam proses pengambilan keputusan petani untuk menentukan jenis komoditas yang diusahakan pada masa tanam terakhir. 4 Intensitas keterlibatan pedagangkonsumen dalam proses pengambilan keputusan petani untuk menentukan jenis komoditas yang diusahakan pada masa tanam terakhir. 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi Y 2.2 Kemampuan dalam mengatur input produksi Daya yang dimiliki petani dalam mengatur input produksi dalam satu tahun terakhir. Dihitung berdasarkan jumlah skor: 1 Intensitas keterlibatan penyuluh dalam proses pengaturan input produksi pada masa tanam terakhir. 2 Intensitas keterlibatan petani lain dalam proses pengaturan input produksi pada masa tanam terakhir. 3 Intensitas keterlibatan pedagang pengumpul dalam proses pengaturan input produksi pada masa tanam terakhir. 4 Intensitas keterlibatan pedagangkonsumen dalam proses pengaturan input produksi pada satu musim terakhir 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi Y 2.3 Kemampuan dalam memasarkan hasil pertanian Daya yang dimiliki petani dalam menjual produk atau komoditas usahatani dalam satu tahun terakhir. Dihitung berdasarkan jumlah skor: 1 Intensitas keterlibatan penyuluh dalam proses pengambilan keputusan usahatani untuk memasarkan hasil pertanian pada masa panen terakhir. 2 Intensitas keterlibatan petani lain dalam proses pengambilan keputusan usahatani untuk memasarkan hasil pertanian pada masa panen terakhir 3 Intensitas keterlibatan pedagang pengumpul dalam proses pengambilan keputusan usahatani untuk memasarkan hasil pertanian pada masa tanam terakhir. 4 Intensitas keterlibatan pedagangkonsumen dalam proses pengambilan keputusan usahatani untuk memasarkan hasil pertanian pada masa panen terakhir 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 140 Lanjutan Tabel 16 No Indikator Parameter Kategori pengukuran Y 2.4 Kemampuan menentukan harga produk yang dihasilkan Daya yang dimiliki petani dalam menentukan harga jual hasil usahatani dalam satu tahun terakhir. Dihitung berdasarkan jumlah skor: 1 Intensitas keterlibatan penyuluh dalam proses pengambilan keputusan usahatani untuk menentukan harga jual hasil pertanian pada masa panen terakhir. 2 Intensitas keterlibatan petani lain dalam proses pengambilan keputusan usahatani untuk menentukan harga jual hasil pertanian pada masa panen terakhir 3 Intensitas keterlibatan pedagang pengumpul dalam proses pengambilan keputusan usahatani untuk menentukan harga jual hasil pertanian pada masa panen terakhir. 4 Intensitas keterlibatan pedagangkonsumen dalam proses pengambilan keputusan usahatani untuk menentukan harga jual hasil pertanian pada masa panen terakhir 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi Y 2.5 Kemampuan bekerjasama bersinergi Keaktifan dalam melakukan kegiatan bersama dengan pihak lain untuk mendukung kegiatan usahataninya. Dihitung berdasarkan jumlah skor: 1 Keaktifan bekerjasama untuk memasarkan hasil pertanian, mengelola usaha produktif, dan mengadakan input produksi 2 Manfaat dan keuntungan yang dirasakan dalam bekerjasama untuk memasarkan hasil pertanian, mengelola usaha produktif, dan mengadakan input produksi 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi Y 2.6 Kemampuan mengelola informasi Aktivitas petani dalam mengelola informasi yang diperolehnya baik untuk dirinya sendiri maupun pihak lain. Dihitung berdasarkan jumlah skor: 1 Kemampuan petani dalam memanfaatkan informasi yang diperolehnya untuk mendukung kegiatan usahataninya atau dibagikan pada orang lain. 2 Kemampuan petani dalam mengelola informasi untuk dibagikan pada petanipihak lain untuk mendukung kegiatan usahatani. 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 141 Lanjutan Tabel 16 No Indikator Parameter Kategori pengukuran Y 2.7 Kemampuan mengolah hasil pertanian Aktivitas petani dalam melakukan pascapanen hasil pertanian yang diperolehnya untuk memperpanjang masa jual dan atau meningkatkan nilai tambah produk. Dihitung berdasarkan jumlah skor: 1 Jumlah jenis aktivitas petani untuk memperpanjang masa jual atau meningkatkan nilai tambah produk pertanian 2 Frekuensi aktivitas petani untuk memperpanjang masa jual atau meningkatkan nilai tambah produk pertanian. 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi Y 2.8 Kemampuan mengakses teknologi Tingkat kemudahan dalam memperoleh teknologi untuk mendukung kegiatan usahatani. Dihitung berdasarkan jumlah skor: 1 Jenis teknologi yang diakses untuk mendukung kegiatan usahatani dalam setahun terakhir 2 Jenis pemanfaatan teknologi yang diakses untuk mendukung kegiatan usahatani dalam setahun terakhir atau dibagikan pada orang lain. 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi Data kuantitatif yang diperoleh dari lapangan melalui kuesioner merupakan data skala ordinal dengan simbol 1, 2, dan 3. Untuk keperluan analisis statistik statistik parametrik, dilakukan transformasi data ke data interval atau rasio. Dalam transformasi indeks indikator, tiap indikator memiliki nilai 0 – 100. Nilai indeks terkecil 0 diberikan untuk jumlah skor terendah dan nilai 100 untuk jumlah skor tertinggi dari setiap indikator Sumardjo 1999. Pembulatan angka menyesuaiakan pembulatan dalam program komputer. Transformasi indeks dilakukan dengan rumus: Jumlah skor indikator yang dicapai – jumlah skor indikator minimal Indeks indikator = Jumlah skor indikator maksimal – jumlah skor indikator minimal × 100 Indeks peubah = Jumlah skor peubah yang dicapai × 100 Jumlah skor peubah maksimal 142 Dengan penghitungan rumus tersebut, maka sebaran data berubah menjadi skala rasio dengan skor berkisar antara 0 – 100. Untuk keperluan interpretasi, skor dikelompokkan menggunakan empat jenjang tingkatan sebagai berikut: 1 Sangat rendah berada pada kisaran nilai 0 – 25; 2 Rendah berada pada kisaran nilai 26 – 0; 3 Sedang berada pada kisaran nilai 51 – 75; dan 4 Tinggi berada pada kisaran 76 – 100. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN RESPONDENPETANI SAYURAN Kedua lokasi penelitian yaitu di wilayah BPP Pacet dan BPP Bumiaji merupakan sentra tanaman sayuran dataran tinggi yang sama-sama memiliki jaringan untuk akses terhadap implementasi cyber extension. Namun demikian, kedua lokasi memiliki perbedaan dalam hal dukungan akses terhadap sistem informasi berbasis teknologi informasi. Wilayah BPP Pacet adalah lokasi pengembangan pertanian dengan aksesibilitas terhadap sistem informasi berbasis teknologi informasi secara mandiri. Sedangkan wilayah BPP Bumiaji Desa Giripurno adalah wilayah pengembangan pertanian dengan aksesibilitas terhadap sistem informasi berbasis teknologi informasi dengan dukungan program pengembangan access point berupa telecenter binaan World Bank yaitu Telecenter Kartini Mandiri. Secara umum, gambaran kegiatan pengembangan pertanian untuk komoditas hortikultura khususnya sayuran untuk masing-masng lokasi dideskripsikan sebagai berikut. Gambaran Umum Pengembangan Hortikultura Sayuran di Kabupaten Cianjur Sebagaimana daerah beriklim tropis, di wilayah Cianjur Utara tumbuh subur tanaman sayuran, teh dan tanaman hias. Di wilayah Cianjur Tengah tumbuh dengan baik tanaman padi, kelapa dan buah-buahan. Sedangkan di wilayah Cianjur Selatan tumbuh tanaman palawija, perkebunan teh, karet, aren, cokelat, kelapa serta tanaman buah-buahan. Potensi lain di wilayah Cianjur Selatan antara lain obyek wisata pantai yang masih alami dan menantang investasi. Sebagai daerah agraris yang pembangunanannya bertumpu pada sektor pertanian, Kabupaten Cianjur merupakan salah satu daerah swa-sembada padi. Produksi padi pertahun sekitar 625.000 ton dan dari jumlah sebesar itu telah dikurangi kebutuhan konsumsi lokal dan benih, masih memperoleh surplus padi sekitar 40 persen. Produksi pertanian padi terdapat hampir di seluruh wilayah Cianjur kecuali di Kecamatan Pacet dan Sukanegara. Kecamatan Pacet merupakan wilayah Kabupaten Cianjur yang lahan pertaniannya didominasi oleh tanaman sayuran dan tanaman hias. Dari wilayah ini pula setiap hari belasan ton sayur mayur dipasok ke Jabotabek. Kabupaten Cianjur adalah salah satu kabupaten yang ditunjuk oleh pemerintah pusat dalam pembangunan proyek kawasan terpadu Agropolitan. Kabupaten Cianjur memiliki luas wilayah 350.148 hektar dengan jumlah penduduk berdasarkan hasil sensus penduduk SP tahun 2000 berjumlah 1.931.840 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 2,11 persen. Lapangan pekerjaan utama penduduk Kabupaten Cianjur di sektor pertanian yaitu sekitar 62,99 persen. Sektor lainnya yang cukup banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor perdagangan yaitu sekitar 14,60 persen. Sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar terhadap APBD Kabupaten Cianjur yaitu sekitar 42,80 persen disusul sektor perdagangan sekitar 24,62 persen. Produksi sayuran dari kecamatan Pacet mendominasi total produksi sayuran di Kabupaten Cianjur yang mencapai 2.683.269 kuintal pada tahun 2003. Pada tahun tersebut dapat digambarkan bahwa produksi sayuran di Kecamatan Pacet mencapai 831.071 kuintal, sementera daerah lain seperti Kecamatan Sukaresmi 74.620 kuintal, dan Kecamatan Cugenang mencapai 531.858 kuintal. Hal tersebut menjadikan kecamatan Pacet sebagai kawasan andalan sayuran untuk memasok ke berbagai daerah. Komoditas sayuran yang banyak diproduksi di Kabupaten Cianjur antara lain wortel, bawang daun, sawi, dan kubis. Pada tahun 2003 total produksi wortel sebesar 62.880 ton, bawang daun sebesar 51.511 ton, sawi 23.574 ton, kubis 21.190 ton, cabai merah 17.136 ton, kacang panjang 13.834 ton, kacang merah 6.494 ton, lobak 3.644 ton, kentang 2.427 ton, kembang kol 684 ton, dan bawang merah sebesar 353 ton. Karena produksi yang cukup besar itu, berbagai komoditas hortikultura ini tak hanya memenuhi pasaran untuk kebutuhan Cianjur dan sekitarnya. Sebagian besar sayur-mayur yang diproduksi petani di kawasan kecamatan Pacet justru dilempar ke daerah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Sebagai kawasan penyangga ibu kota negara sayuran dari Kecamatan Pacet lebih cepat masuk ke Jakarta dibandingkan ke daerah lain. Namun demikian, syaratnya adalah mutunya harus sesuai dengan standar yang telah tetapkan. Untuk menjamin ketersediaan sayuran, sejumlah pengusaha telah menjalin kontrak pembelian sayur langsung dengan petani setempat. Berdasarkan data hasil evaluasi produktivitas untuk tujuh komoditas sayuran unggulan di BPP Pacet yang dilaksanakan pada tahun 2009 BPP Pacet 2010 yang disajikan pada Tabel 17, diketahui bahwa peningkatan produktivitas perubahan positif terbesar adalah pada komoditas wortel dan yang kedua adalah komoditas bawang daun. Tabel 17 Produktivitas tahun 2008-2009 dan Sasaran tahun 2010 untuk Komoditas Unggulan di BPP Pacet Komoditi Unggulan Produktivitas kuha Perubahan naikturun dalam kuha Sasaran programa 2010 kuha 2008 2009 Wortel 192,00 200,23 8,23 203,23 Bawang Daun 170,00 175,00 5,00 178,00 Tomat 30,90 35,11 4,21 38,11 Brokoli 37,95 41,28 3,33 44,28 Buncis 42,00 45,54 3,54 48,54 Seledri 102,00 106,39 4,39 109,39 Cabai 120,00 123,22 3,22 126,22 Jumlah persen 826,66 874,65 47,99 907,65 Rata-rata persen 75,15 79,51 4,36 82,51 Sumber: BPP Pacet 2010 Kecamatan Pacet dijadikan oleh pemerintah Kabupaten Cianjur sebagai kawasan terpadu Agropolitan. Produksi sayuran di kawasan ini sangat baik terutama untuk pasar-pasar yang mengutamakan kualitas, karena di kawasan agropolitan ini menawarkan beberapa komoditas sayuran yang bermutu tinggi dan siap untuk dipasarkan di tingkat internasional. Tanaman hortikultura di Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur khususnya sayuran menjadi salah satu ikon unggulan, selain didukung oleh lahan yang subur juga dilakukan oleh para petani yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan di bidang hortikultura yang memadai. Secara umum, komoditas sayuran unggulan yang diusahakan oleh petani di wilayah BPP Pacet adalah bawang daun, seledri, tomat, wortel, cabai, selada keriting, dan kubis. Tujuan pemasaran produk sayuran ini sebagian besar adalah di wilayah lokal, yaitu: pedagang pengumpul 42 persen, Pasar tradisional 21 persen, STA Gombong 17 persen, dan konsumen langsung sebesar 7 persen. Namun demikian, pada akhir-akhir ini pemasaran produk hortikultura khususnya sayuran yang dibudidayakan oleh anggota kelompok tani binaan BPP Pacet sudah menembus pasar supermarket yaitu Green Luck, Papaya, Kamome Kamcik di daerah Jakarta dan beberapa hotel yaitu: Novotel Hotel dan Lido Like Hotel yang berada di daerah Bogor, Hotel Pangrango Sukabumi, serta restoran cepat saji di Bogor dan Asuka restoran Cikarang. Dalam memasarkan hasil komoditas sayuran, terdapat beberapa asosiasi utama petani sayuran di wilayah BPP Pacet sebagaimana disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Jumlah Anggota Pedagang Sayuran di BPP Pacet menurut Nama Asosiasi Nama Asosiasi Jumlah anggota orang Keterangan usaha Asosiasi Agro Makmur 20 Usaha pengiriman komoditas dilakukan kontinu setiap hari berdasarkan kontrak permintaan Mulia Tani Suplier 35 Shabat Tani Suplier 15 HAS Suplier 10 H. Ayub Suplier 2 Karunia Tani Suplier 2 Asep Endu Suplier 2 Sumber: BPP Pacet 2009 Selain melalui asosiasi, salah satu kelompok tani yang dirintis sejak tahun 2000 yaitu Kelompok Tani Agro Segar di Kampung Cigombong Desa Ciherang kecamatan Pacet berkembang sangat pesat. Selain menjadi salah satu pusat pemasok kebutuhan sayur mayur untuk beberapa kota besar di tanah air maupun luar negeri, poktan Agro Segar menjadi salah satu pilot project Agro industry di Kabupaten Cianjur. Melalui Agro Segar, komoditas sayuran di Pacet sudah mulai tembus pasar luar negeri, di antaranya Korea dan Jepang yang nilainya terus meningkat, namun permintaan pasar belum dapat dipenuhi karena keterbatasan produksi yang sesuai dengan permintaan pasar. Gambaran Umum Pengembangan Hortikultura Sayuran di Kota Batu Tanaman hortikultura seperti sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan tanaman obat merupakan jenis tanaman yang banyak diusahakan di Kota Batu terutama jenis tanaman hortikultura dataran tinggi. Jenis tanaman sayuran semusim yang banyak dibudidayakan oleh petani Kota Batu antara lain kentang, kobis, sawi, wortel, bawang merah, bawang putih, tomat dan brokoli. Kota Batu sangat memungkinkan untuk dikembangkannya tanaman sayur-sayuran yang banyak bermanfaat untuk kebutuhan manusia. Dari aspek klimatologis, Kota Batu sangat tepat untuk budidaya sayuran dataran tinggi seperti diantaranya kentang, kobis, sawi, wortel, bawang merah, bawang putih, tomat, dan brokolikembang kol. Sayuran seperti kentang, kobis, sawi, brokoli dan wortel lebih banyak dibudidayakan di Kecamatan Bumiaji karena kondisi iklim yang lebih sesuai sedangkan bawang merah, bawang putih dan tomat lebih banyak dibudidayakan di Kecamatan Junrejo. Tanaman kentang pada tahun 2009 mengalami peningkatan luas panen dan produksi dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 70,50 persen dan 71,47 persen. Hal ini diikuti dengan meningkatnya produktivitas kentang. Peningkatan luas tanam ini dimungkinkan karena optimisme petani bahwa menanam kentang akan menghasilkan keuntungan dengan tidak adanya lagi ancaman Nematoda Sista Kuning NSK yang sempat menyerang pada tahun sebelumnya. Tanaman kubis yang mengalami penurunan luas panen sebesar 16,64 persen memberikan dampak pada penurunan produksi kubis sebesar 28,34 persen. Hal ini karena adanya pengaruh pasar dimana harga kubis sempat turun dengan harga yang sangat rendah pada tahun 2009 sehingga pada musim tanam berikutnya petani tidak lagi menanam kubis karena dianggap tidak menguntungkan. Di samping itu, areal lahan kubis sebagian juga sudah beralih untuk tanaman kentang. Tanaman sawi mengalami peningkatan luas panen sebesar 0,23 persen dibandingkan tahun sebelumnya karena selain masa tanamnya pendek sehingga dapat segera menghasilkan juga harga pasar komoditas tersebut relatif stabil. Sayuran wortel pada tahun 2009 mengalami penurunan luas panen dan produksi kubis sebagian areal beralih ke tanaman kentang. Di sisi lain walaupun terjadi penurunan luas panen dan produksi, produktivitas tanaman wortel mengalami peningkatan yang bisa disebabkan oleh benih wortel yang lebih bagus ataupun pemelihaaran yang lebih baik sehingga hasil yang didapat lebih optimal. Tanaman bawang merah dan bawang putih sama-sama mengalami peningkatan produksi karena adanya peningkatan luas panen. Walaupun ada penurunan produktivitas namun tidak terlalu besar sehingga produktivitas bawang merah dan bawang putih dianggap relatif stabil. Tanaman tomat, peningkatan luas panen yang berdampak pada peningkatan produksi yang tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas. Produktivitas tomat menurun sebesar 8,52 persen. Hal ini disebabkan banyak terjadi hujan sepanjang tahun 2009 sehingga menyebabkan banyak tanaman tomat yang busuk dan akhirnya rontok. Brokoli pada tahun 2009 mengalami kenaikan produksi sebesar 16,09 persen karena adanya peningkatan luas panen sebesar 10,33 persen. Produktivitas brokoli pada tahun 2009 juga meningkat karena adanya usaha intensifikasi yang dilakukan dalam budidaya brokoli sehingga kualitas brokoli juga terjadi peningkatan. Perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas sayuran tahun 2008-2009 dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 16 dan Tabel 19. Gambar 16 Perkembangan Luas Panen Tanaman Sayuran Kota Batu Tahun 2008-2009 Tabel 19 Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Sayuran Kota Batu Tahun 2008-2009 Uraian Tahun Kenaikanpenurunan persen 2008 2009 Kentang - Luas Panen ha 278,00 474,00 70,50 - Produksi ku 50.040,00 85.803,48 71,47 - Produktivitas kuha 180,00 181,02 0,57 Kobis - Luas Panen ha 727,00 606,00 16,64 - Produksi ku 147.408,00 105.637,92 28,34 - Produktivitas kuha 202,76 174,32 14,03 Sawi - Luas Panen ha 856,00 858,00 0,23 - Produksi ku 145.932,00 149.497,92 2,44 - Produktivitas kuha 170,48 174,24 2,20 Wortel - Luas Panen ha 669,00 537,00 19,73 - Produksi ku 104.455,00 91.316,85 12,58 - Produktivitas kuha 156,14 170,05 8,91 Bawang merah - Luas Panen ha 487,00 524,00 7,60 - Produksi ku 55.591,00 59.594,52 7,20 - Produktivitas kuha 114,15 113,73 0,37 Bawang putih - Luas Panen ha 8,00 26,00 225,00 - Produksi ku 750,00 2.434,12 224,55 - Produktivitas kuha 93,75 93,62 0,14 Tomat - Luas Panen ha 228,00 299,00 31,14 - Produksi ku 38.988,00 46.772,57 19,97 - Produktivitas kuha 171,00 156,43 8,52 Brokolikembang kol - Luas Panen ha 242,00 267,00 10,33 - Produksi ku 35.848,00 41.617,29 16,09 - Produktivitas kuha 148,13 155,87 5,22 Gambar 17 Perkembangan Produksi Tanaman Sayuran Tahun 2008-2009 Gambar 18 Perkembangan Produktivitas Tanaman Sayuran di Kota Batu Tahun 2008-2009 Karakteristik Individu Responden Petani Sayuran Rensponden dalam penelitian ini adalah sebanyak 200 petani sayuran yaitu dengan kategori berdasarkan statusnya adalah: 162 petani dewasa, 16 orang pemuda tani, dan 22 orang selain sebagai petani juga merupakan pedagang pengepul. Dari 200 petani sayuran yang diteliti, sebanyak 51 orang 25,50 persen di antaranya adalah perempuan atau wanita tani. Aspek karakteristik individu petani yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi umur, pendidikan, kepemilikan sarana teknologi informasi, lama menggunakan teknologi informasi, luas penguasaan lahan, tingkat kekosmopolitan, dan tingkat keterlibatan dalam kelompok. Gambaran umum karakteristik individu petani berdasarkan kategori peubah penelitian dan rata-rata dan uji beda untuk masing-masing lokasi disajikan pada Tabel 20. Rata-rata umur responden di dua lokasi berada pada usia produktif yaitu 40 tahun 38 tahun untuk Jawa Barat dan 42 tahun untuk Jawa Timur dengan usia termuda adalah 17 tahun yaitu pemuda tani di Pacet dan yang tertua adalah berusia 78 tahun yang merupakan petani dari Desa Giripurno, Bumiaji, Batu Jatim. Secara rata-rata, usia petani responden di wilayah Jabar relatif lebih muda dibandingkan dengan usia rata-rata petani di Jatim. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji beda rata-rata usia petani di dua lokasi penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara usia petani di Jabar dengan di Jatim. Di wilayah BPP Pacet Jabar, pemuda tani tampak lebih proaktif dalam mengembangkan usahatani sayuran. Meskipun masih berstatus sebagai mahasiswa, ternyata beberapa pemuda tani di Pacet tetap melakukan kegiatan usahatani di sela-sela kesibukannya untuk kuliah. Berdasarkan tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti, rata-rata petani sayuran di dua lokasi penelitian memiliki sebaran yang hampir sama yaitu dengan rata-rata jumlah tahun pendidikan formal yang pernah diikuti adalah selama 8 tahun atau setingkat lulus SD dan pernah masuk sekolah sampai tingkat SMP. Bahkan sebanyak 15 diantara responden penelitian sudah mengenyam pendidikan setingkat sarjana, sarjana muda, atau statusnya masih terdaftar di salah satu perguruan tinggi di lingkungannya. Secara umum, rata-rata pendidikan responden cukup tinggi yaitu setara SMP kelas 2 mengingat salah satu karakteristik petani responden yang dipilih adalah yang mampu akses terhadap teknologi informasi. Petani yang mampu akses terhadap teknologi informasi merupakan petani yang cenderung memiliki pendidikan relatif tinggi karena sarana teknologi informasi merupakan media komunikasi baru yang membutuhkan tingkat pengetahuan yang relatif lebih tinggi karena tingkat kerumitannya dibandingkan dengan media komunikasi lainnya. Tabel 20 Jumlah Petani Berdasarkan Kategori Peubah Karakteristik Individu dan Hasil Uji Beda Antar Lokasi Karakteristik individu Pengu- kuran Kategori Jumlah Persen Rata-rata Sig Uji t Jabar Jatim Umur Muda Tahun 30 20.00 Dewasa 30 - 50 63.00 38,40 42,46 0,036 Tua 50 16.50 Pendidikan formal Sangat rendah Tahun SD 58,00 Rendah SMP 18,00 8,02 8,17 0,552 Sedang SLTA 16,50 Tinggi SLTA 7,50 Kepemilikan sarana TI Sangat rendah Skor 25,00 22,00 Rendah 25,00 - 50,00 55,00 46,63 44,00 0,857 Sedang 50,00 - 75,00 17,50 Tinggi 75,00 5,50 Lama menggunakan TI Sangat baru 45 57,50 Baru Bulan 45 – 90 27,50 47,48 50,06 0,665 Lama 90 – 135 11,00 Sangat lama 135 4,00 Luas penguasaan lahan Sangat sempit 2.500 58,00 Sempit m 2 2.500 - 5.000 21,00 3178 4796 0,031 Sedang 5000 - 10.000 16,00 Luas 10.000 5,00 Tingkat kekosmopolitan Sangat rendah Skor 25,00 26.5 Rendah 25,00 - 50,00 50.5 60,00 57,07 0,559 Sedang 50,00 - 75,00 17.5 Tinggi 75,00 5.5 Keterlibatan dalam kelompok Sangat rendah Skor 25,00 49.00 Rendah 25,00 - 50,00 38.00 33,33 28,21 0,001 Sedang 50,00 - 75,00 10.50 Tinggi 75,00 2.50 Keterangan: signifikan pada P0,01 dan signifikan pada P 0,05 Responden penelitian merupakan petani sayuran yang dapat mengakses minimal pada salah satu jenis sarana teknologi informasi. Karakteristik individu petani yang diukur adalah jenis sarana teknologi informasi yang dimiliki khususnya terkait dengan kepemilikan telepon rumah, telepon genggam, telepon genggam berinternet, komputer, dan komputer berinternet. Berdasarkan hasil skoring terhadap jumlah sarana teknologi informasi yang dimiliki oleh petani, maka dapat dinyatakan bahwa kepemilikan sarana teknologi informasi petani sayuran baik di Pacet maupun Giripurno sebagian besar berada pada kategori sedang dengan memiliki rata-rata 1-2 sarana teknologi informasi. Sarana teknologi informasi yang terbanyak dimiliki oleh responden adalah telepon genggam yaitu sebanyak 85 persen petani responden telah memilikinya. Secara umum skor-rata-rata kepemilikan teknologi informasi adalah sebesar 47 persen untuk di Jabar dan 44 persen untuk di Jatim. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan responden, diketahui bahwa sebenarnya jenis atau tipe telepon genggam yang dimiliki petani sebagian besar sudah merupakan media konvergen yang dapat digunakan untuk mendengarkan radio, mengakses internet, sebagai kamera maupun video, bahkan ada beberapa di antaranya yang sudah dapat digunakan untuk menonton siaran televisi. Berdasarkan lamanya petani responden dalam menggunakan salah satu sarana Teknologi Informasi diketahui bahwa sebagian besar responden baik di wilayah Jabar maupun di Jatim termasuk dalam kategori rendah, yaitu kurang atau sama dengan empat puluh lima bulan. Terdapat beberapa petani yang menyatakan telah mengenal telepon genggam sejak pertama ada lebih dari 15 tahun yaitu tahun 1995 sebagai sarana komunikasi pemasaran sayuran yang dihasilkannya sebagaimana yang disajikan pada kasus Box 1 JG, 38 th, penguasaan lahan sangat luas. Box 1 “….saya memiliki HP sejak pertama HP ada…..Waktu itu pesawatnya masih besar dan beli kartu perdananya juga masih mahal…kalau tidak salah paket dengan pulsa sebesar lima ratus ribu. Tapi ya saya beli soalnya penting untuk menghubungi pedagang di luar kota pada saat mau memasarkan sayuran di luar kota Batu. …..Kalau sekarang HP bagus-bagus dan bisa internetan juga sudah murah. Lima ribu rupiah juga sudah bisa untuk beli kartu ya………………………….” Hal ini menunjukkan bahwa bagi petani yang sudah maju, teknologi informasi khususnya telepon genggam memberikan peluang baru untuk memperlancar kegiatan usahatani khususnya dalam memperluas jangkauan pemasaran dan mempermudah komunikasi. Meskipun harganya cukup mahal pada saat awal adanya telepon genggam, namun melihat tingkat manfaatnya yang tinggi, petani dengan suka rela bersedia untuk membelinya. Terkait dengan sarana teknologi informasi dengan jenis komputer, ada pula petani yang menyatakan telah mengenal komputer sejak masa sekolah yaitu 25 tahun yang lalu untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah. Meskipun telah mengenal komputer sejak 25 tahun lalu, namun petani tersebut mengaku bahwa baru memanfaatkannya untuk mendukung kegiatan usahatani sejak mengenal internet, yaitu sekitar sepuluh tahun yang lalu yaitu tahun 2000. Lahan yang dikuasai petani merupakan tumpuan harapan dalam memenuhi kebutuhan keluarga tani. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa lahan yang dikuasai dan dikelola oleh petani untuk usahatani sayuran baik di Jabar maupun di Jatim terdiri atas tiga macam sumber, yaitu pertama adalah lahan milik sendiri, kedua adalah lahan yang disewa dari orang lain, dan yang ketiga adalah lahan garapan baik milik orang lain maupun milik Perhutani. Lahan yang dikuasai petani untuk usahatani sayuran rata-rata adalah sebesar 3.986 m 2 dengan lahan yang dikuasai paling luas adalah sebesar 5 hektar 50.000 m 2 dan yang paling sempit adalah 100 m 2 . Secara umum, petani sayuran di Jatim memiliki rata-rata penguasaan lahan yang lebih luas dibandingkan dengan rata-rata luas lahan yang dikuasai oleh petani di Jabar. Hal ini nampaknya berpengaruh pula pada signifikansi lebih tingginya jumlah komoditas yang diusahakan oleh petani di Jatim dibandingkan dengan jumlah komoditas yang diusahakan oleh petani di Jabar. Rata-rata komoditas yang diusahakan oleh petani di Jabar adalah 3 komoditas dengan enam komoditas dominan yang diusahakan adalah wortel, bawang daun, pakcoy, caysin, sawi, dan kol. Sementara petani di Jatim rata-rata mengusahakan sebanyak 5 komoditas sayuran dengan komoditas dominan yang diusahakan adalah jagung manis, cabai, sawi, selada air, kailan, dan tomat. Petani di Jatim ada yang mengusahakan sayuran sampai 50 jenis komoditas termasuk komoditas sayuran eksotis untuk supplier hotel dan pasar luar jawa diantaranya adalah paprika, lettuce, ginseng, basil, kol merah, daun ketumbar, sukini, dan okra. Semakin banyak jumlah jenis komoditas yang diusahakan juga memberikan peluang adanya jaminan pasar dari komoditas yang diusahakan. Hal ini dibuktikan dengan nyatanya uji beda jaminan pasar untuk komoditas yang diusahakan antara petani di Jabar dengan di Jatim. Jumlah komoditas yang diusahakan oleh petani di Jatim rata-rata lebih banyak dan hal ini berimplikasi pada jaminan pasar yang juga lebih pasti dibandingkan dengan komoditas yang diusahakan oleh petani di Jabar. Namun demikian, secara umum, sebagian besar 73 persen responden menyatakan bahwa komoditas yang diusahakan memiliki jaminan pasar yang tinggi atau pasti memiliki pangsa pasar yang baik meskipun dengan harga yang cukup berfluktuasi. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh salah seorang petani di Batu sebagaimana dideskripsikan dalam kasus pada Box 2 JG, 38 th, penguasaan lahan sangat luas. Tingkat kekosmopolitan merupakan salah satu indikator aktivitas petani dalam berhubungan dengan pihak lain. Tingkat kekosmopolitan juga diartikan sebagai orientasi ke luar sistem sosial dengan hubungan interpersonal yang lebih luas. Kekosmopolitan dalam penelitian ini dilihat berdasarkan aktivitas responden keluar desa, menerima atau menemui tamu dari luar desa yang memiliki tujuan terkait dengan bidang pertanian, serta aktivitas petani dalam mencari informasi ke luar sistem sosialnya melalui berbagai media komunikasi yang dapat diakses atau tersedia di lingkungannya sebagaimana telah disajikan pada Tabel 20. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada umumnya 77 persen responden memiliki tingkat kekosmopolitan pada kategori sangat rendah dan Box 2 “….komoditas yang saya tanam sangat banyak sampai 50 macam……….Setiap hari panen, tapi selalu laku dan tidak perlu susah-susah memasarkannya. Banyak supplier yang sudah menghubungi dan jadi langganan untuk memasarkan langsung ke pasar atau memenuhi permintaan hotel. Ya kalau harganya naik turun ya wajar. Tapi kan karena jumlah komoditasnya banyak tidak terasa. Misalnya yang dua komoditas anjlog harganya, tapi yang tiga lagi lainnya naik. Beda kalau kita hanya tanam satu atau dua komoditas saja….wah repot karena kita tidak bisa tebak kondisi pasar sehingga kalau harga jatuh kita bisa tidak balik modal untuk beli bibit lagi…… rendah dengan skor antara 0-50. Petani sayuran yang tingkat kekosmopolitannya tinggi sebagian besar juga merupakan pedagang pengepul yang sering ke luar desa ke pasar untuk berdagang atau berhubungan dengan pihak lain terkait dengan profesinya sebagai pedagang pengepul. Intensitas responden keluar desa dalam satu bulan terakhir khususnya terkait dengan kegiatan usahatani terbesar adalah pada kategori sangat jarang dan kadang-kadang yaitu sebesar 80 persen. Petani menyatakan bahwa sebagian besar tujuan keluar desa adalah untuk membeli input produksi atau memasarkan hasil usahatani. Bagi petani yang juga sebagai pedagang pengepul bepergian ke luar desa merupakan kegiatan yang dilakukannya hampir setiap hari. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan kaum ibu tani yang cenderung melakukan aktivitasnya hanya di dalam lingkungan desa tanpa keluar desa. Berdasarkan hasil uji beda antar dua lokasi penelitian, diketahui adanya perbedaan rata-rata frekuensi keluar desa yang nyata antara petani di Jabar dengan di Jatim dimana petani di Jatim lebih tinggi mobilitasnya ke luar desa dibandingkan dengan petani di Jabar. Kedekatan lokasi wilayah Telecenter Kartini Mandiri di Desa Giripurno dengan jalan raya yang menghubungkan kota Batu dan Karangploso Malang dan sarana transportasi yang cukup memadai merupakan salah satu faktor pendukung tingginya mobilitas petani di Jatim. Berbeda dengan kondisi di Jabar yang meskipun relatif cukup dekat dengan pusat ibukota Jakarta, namun sebagian besar jalan akses menuju ke jalan raya puncak dalam kondisi yang kurang baik sehingga membatasi petani untuk pergi keluar desa. Lebih tingginya aktivitas petani sayur di Desa Giripurno untuk keluar desa dibandingkan dengan petani sayur di Pacet juga dipengaruhi oleh lebih banyaknya petani di Desa Giripurno, Bumiaji, Batu, Jatim yang juga berprofesi sebagai pedagang pengepul maupun sebagai inti dari petani yang dibinanya. Selain menjual hasil usahatani yang dihasilkan dari kebunnya sendiri dan kebun petani plasmanya, petani yang juga sebagai pedagang pengepul juga seringkali pergi keluar desa hingga ke Malang hanya untuk mencari benih atau bibit tanaman sayuran yang potensial ditanam di kebunnya sendiri dan dikembangkan di kebun petani plasmanya. Biasanya bibit atau benih tanaman sayuran yang harus didatangkan atau diadakan dari Malang adalah benih atau bibit tanaman sayuran yang termasuk dalam kategori eksotis okra, basil, lettuce, oi, kol merah, paprika, daun ketumbar dan atau bibitbenih unggul untuk komoditas tertentu seperti cabai merah. Lebih dari 50 persen petani responden baik di Jabar maupun Jatim menyatakan bahwa selama satu bulan terakhir tidak pernah menerima atau menemui tamu yang berkaitan dengan bidang pertanian, bahkan juga dengan penyuluh pertanian yang bekerja di wilayahnya. Sementara itu, hanya sekitar 13 persen responden yang menyatakan sering dan sangat sering menerima atau menemui tamu terkait dengan bidang pertanian. Responden yang sering menerima tamu biasanya adalah Ketua Gapoktan, atau pengurus kelompok tani. Terkait dengan intensitas petani responden dalam mencari informasi untuk mendukung kegiatan usahatani melalui berbagai media komunikasi baik media konvensional maupun media baru berbasis teknologi informasi, diketahui bahwa kelompok terbesar 68 persen berada pada kategori sangat rendah dan rendah. Media komunikasi yang paling sering digunakan petani adalah selain telepon genggam juga melalui aktivitas pertemuan kelompok, pertemuan dengan penyuluh, siaran televisi, siaran radio, dan media cetak. Selain sebagai modal manusia, petani dalam sistem sosialnya juga merupakan unsur dari modal sosial. Modal sosial merupakan cerminan sejauh mana masyarakat yang terdiri atas individu-individu yang bersifat unik mampu mengembangkan hubungan-hubungan, interaksi, dan transaksi sosial sehingga terwujud struktur sosial. Hal ini sejalan dengan pengertian dan unsur modal sosial yang dikemukakan oleh Putnam et al. 1993: “Features of social organization, such as trust, norms orreciprocity, and networks of civil engagement, that can improve the efficiency of society by facilitating coordinated”. Modal sosial juga dapat diukur dari besarnya kepercayaan dan timbal balik dalam suatu masyarakat atau di antara individu-individu. Hal ini sebagaimana disampaikan pula lebih lanjut oleh Putnam 2006 sebagai berikut. the collective value of all social networks and the inclinations that arise from these networks to do things for each other. Konsep modal sosial memiliki pendekatan yang lebih besar pada unsur individual. Investasi dalam hubungan sosial dikaitkan dengan harapan diperolehnya profit dari pasar. Modal sosial dapat bergradasi dari yang paling lemah encer sampai paling kuat kental yang dicirikan oleh struktur sosial masyarakat dari loose structure sampai ke solid structure. Sebagai indikator dari encerkentalnya kadar modal sosial adalah: 1. Aspek kebersamaan antarindividu di dalam masyarakat guna memenuhi berbagai kebutuhan. 2. Sejauhmana anggota-anggota masyarakat tahu, mau, dan mampu memanfaatkan waktu-waktu senggang leisure time menjadi waktu yang “berharga”, produktif, dan bahkan dapat menghasilkan uang. Status seseorang di dalam masyarakat umumnya diperoleh dari perjuangan berprestasi melalui jalur proses belajar learning process baik formal maupun nonformal dengan status yang diperoleh digolongkan sebagai achieved status. 3. Sejauhmana sistem jaringan networking dengan prinsip saling membantu dan saling menguntungkan, yang kuat membantu yang lemah dapat berkembang dalam sistem sosial masyarakat. Dalam implementasinya di lapangan, indikator ini dapat diukur dengan melakukan survei terhadap jumlah grup atau kelompok sosial yang ada dan keanggotaan grup dalam suatu masyarakat. 4. Keterpercayaan trust atau lebih tepatnya adalah tingkat kepercayaan sosial social trust. Indikator ini terkait dengan seberapa tinggi semangat saling menghargai, menghormati, dan mengakui recognizing eksistensi dan hak- hak antar anggota masyarakat. Sejalan dengan indikator modal sosial tersebut, dalam penelitian ini hanya digunakan salah satu dari indikator yaitu terkait dengan keterlibatan petani dalam bekerjasama atau berkelompok. Keterlibatan petani dalam kelompok diukur dengan tiga indikator, yaitu: keanggotaan dalam kelompok, keaktifan dalam kelompok, dan sikap terhadap kegiatan yang dilaksanakan oleh suatu kelompok. Sebagian besar petani responden merupakan anggota pada salah satu atau dua kelompok kerjasama. Beberapa alasan yang dikemukakan oleh petani yang tidak menjadi anggota kelompok manapun di wilayah Pacet di antaranya adalah karena tidak diajak oleh ketua kelompok atau tidak tahu pada saat akan dibentuk kelompok. Beberapa petani juga menyatakan meskipun tidak menjadi anggota kelompok, petani juga diperbolehkan aktif dalam kegiatan kelompok sehingga tidak harus menjadi anggota kelompok. Sedangkan petani di Batu yang tidak mengikuti kelompok apapun di antaranya dengan alasan sudah sibuk dengan kegiatan sendiri, tidak percaya lagi dengan kelompok tani yang ada saat ini, dan merasa tidak dilibatkan dalam kegiatan kelompok. Kelompok yang paling banyak diikuti oleh responden di Pacet adalah kelompok tani dan IRMAS kelompok pemuda ikatan remaja masjid. Sedangkan kelompok yang dominan diikuti oleh petani di Batu adalah kelompok tani, kelompok pengajiantahlil, dan koperasi. Dilihat dari keaktifannya dalam kelompok untuk ikut merencanakan, melaksanakan, merasakan manfaat, dan mengevaluasi kegiatan kelompok, diketahui bahwa sebagian besar tingkat keaktifan petani dalam kelompok termasuk dalam kategori sedang. Partisipasi aktif yang dominan dilakukan responden dalam kelompok yang diikutinya adalah ikut melaksanakan kegiatan kelompok dan merasakan manfaat kegiatan kelompok. Dua kegiatan lainnya yaitu proses perencanaan dan evaluasi jarang dilakukan oleh responden yang bukan pengurus. Hal ini dapat dipahami karena anggota kelompok dianggap tidak memiliki kewajiban dalam merencanakan dan mengevaluasi kegiatan yang dilaksanakan kelompoknya. Meskipun rata-rata skor untuk tingkat keanggotaan dan keaktifan dalam kelompok sebagian besar dalam kategori rendah dan sedang, namun ternyata hal ini berbanding terbalik dengan sikap positif responden terhadap kegiatan kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani responden telah menyadari akan pentingnya kegiatan kelompok, namun karena adanya beberapa faktor pengalaman yang kurang baik terhadap realisasi kegiatan kelompok, petani cenderung menjadi apatis terhadap kelompok sebagaimana dinyatakan oleh salah seorang responden dari batu yang disajikan pada Box 3 MS, 38 th, penguasaan lahan sedang sebagai berikut. Box 3 “….sekarang saya sudah tidak percaya lagi dengan kelompok tani. Buat apa ada kelompok tani kalau hanya menguntungkan pengurus dan anggota yang dekat pengurus saja. Pada saat mau dibentuk kita diminta tanda tangan kemudian kita dijanjikan akan dapat bantuan. Tetapi setelah bantuan pupuk dan bibit sudah ada ternyata saya tidak kebagian tanpa diberi penjelasan. Jadinya sekarang ya saya sendiri-sendiri saja tidak pernah aktif ikut kegiatan kelompok. Apalagi saya sudah sibuk hampir tiap hari jualan sayur ke pasar di Malang. Sebenarnya kelompok itu penting agar bisa bareng-bareng beli pupuk yang bersubsidi atau beli bibit yang bagus. Kalau kita beli sendiri jatuhnya mahal karena harus mengeluarkan biaya transportasi yang tidak sedikit………” Ketidakpercayaan petani terhadap kelompok tani ini di Desa Giripurno Jatim ini ternyata dibuktikan dengan adanya perbedaan yang nyata antara tingkat keterlibatan petani dalam kelompok di Giripurno dengan di Pacet, di mana petani di Pacet lebih aktif dalam kegiatan kelompok dibandingkan dengan petani di Giripurno. Hal ini berbanding terbalik dengan tingkat keanggotaan dimana tingkat keanggotaan petani dalam suatu kelompok di Pacet lebih rendah dibandingkan dengan tingkat keanggotaan petani di Giripurno. Apabila di Giripurno banyak petani yang sebenarnya terdaftar sebagai anggota namun tidak aktif karena kecewa terhadap pengelolaan kelompok, maka sebaliknya di Pacet banyak petani yang bukan anggota kelompok tani justru ikut aktif dalam kegiatan kelompok tani. Faktor Lingkungan untuk Mendukung Pemanfaatan Cyber Extension Konsekuensi aplikasi teknologi informasi dalam pemanfaatan cyber extension sebagai media komunikasi inovasi pertanian adalah tersedianya sarana prasarana pendukung beroperasinya aplikasi teknologi informasi baik dilihat dari infrastruktur jaringan komunikasi, sarana yang dapat dimanfaatkan untuk akses sistem informasi berbasis teknologi informasi, dan fasilitasi training untuk peningkatan kapasitas SDM dalam memanfaatkan cyber extension. Mengingat karakteristik petani yang masih banyak memanfaatkan media komunikasi konvensional meskipun sudah menggunakan teknologi informasi, maka dalam penelitian ini ketersediaan media komunikasi konvensional juga diperhatikan sebagai media untuk berbagi informasi yang diperoleh petani melalui aplikasi teknologi informasi Tabel 21. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa ketersediaan media komunikasi konvensional di dua lokasi sudah cukup memadai dan sangat memadai baik media komunikasi melalui tatap muka pertemuan dengan kelompok tani dan penyuluh, siaran radio, maupun siaran televisi dan media cetak. Pelangi Desa, Saung Tani, dan Dialog Pertanian merupakan acara siaran televisi yang dominan dilihat oleh petani. Sedangkan Radio Komunitas Edelwis dinyatakan oleh Petani di Desa Ciputri, Pacet sebagai media komunikasi dan sarana berbagi informasi pertanian. Sebanyak 41 persen responden yang menyatakan kurang dan sangat kurang memadai sebagian besar merupakan responden yang tidak menjadi anggota kelompok atau merasa apatis dengan media komunikasi yang ada karena informasi yang diperoleh dan atau kegiatan yang diikuti tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Media cetak merupakan media yang paling kurang tersedia dibandingkan dengan media konvensional lainnya. Media cetak yang dapat diakses oleh responden sebagian besar namya dari distributor sarana produksi. Petani di Jabar merasakan bahwa ketersediaan media komvensional terutama kegiatan pertemuan dengan penyuluh dan kelompok lebih tinggi dibandingkan dengan di Jatim. Hal ini juga didukung dengan adanya radio komunitas di Desa Ciputri di wilayah Pacet sebagai media komunikasi yang efektif untuk berbagi informasipengetahuan di lingkungan komunitas dan desa sekitarnya. Tabel 21 Jumlah Petani Berdasarkan Kategori Peubah Faktor Lingkungan untuk Pemanfaatan Cyber Extension dan Hasil Uji Beda Antar Lokasi Kategori faktor lingkungan Jumlah persen Rata-rata skor Sig uji t Jabar Jatim Ketersediaan media komunikasi konvensional Sangat tidak memadai 14,00 Kurang memadai 27,50 59,80 54,60 0,007 Cukup memadai 26,50 Sangat memadai 32,00 Ketersediaan sarana TI Sangat tidak memadai 50,00 Kurang memadai 18,00 31,25 47,25 0,001 Memadai 9,50 Sangat memadai 22,50 Ketersediaan jaringan komunikasi Sangat tidak baik 1,00 Kurang baik 16,50 76,92 83,42 0,023 Baik 25,00 Sangat baik 58,00 Keterjangkauan terhadap fasilitasi training Sangat tidak terjangkau 62,50 Kurang terjangkau 18,00 18,67 22,67 0,247 Terjangkau 8,50 Sangat terjangkau 11,00 Keterangan: signifikan pada P0,01 dan signifikan pada P 0,05 Berkaitan dengan fasilitas untuk akses sistem informasi berbasis teknologi informasi termasuk ketersediaan telecenter dan warnet atau komputer berinternet, sebanyak 50 persen petani responden menyatakan masih sangat tidak memadai. Hanya 23 persen petani yang menyatakan fasilitas untuk mendukung akses sistem informasi berbasis teknologi informasi sudah sangat memadai. Berdasarkan hasil uji beda, diketahui bahwa ketersediaan fasilitas atau sarana untuk akses sistem informasi berbasis teknologi informasi bagi petani di Desa Giripurno secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan di Pacet. Hal ini sangat dipahami karena di Desa Giripurno terdapat Telecenter Kartini Mandiri yang memungkinkan petani untuk mengakses informasi melalui internet yang telah dibangun oleh World Bank. Berdasarkan ketersediaan infrastruktur jaringan komunikasi jaringan internet, jaringan listrik, dan jaringan telepon diketahui bahwa baik di Jabar maupun di Jatim ketersediaan dan kondisi infrastrutur jaringan komunikasi di wilayahnya sudah sangat memadai. Beberapa desa di wilayah Pacet dan Giripurno tersedia jaringan telepon sehingga memungkinkan untuk digunakan sebagai sarana sambungan jaringan internet. Wilayah yang terjangkau sambungan telepon rumah justru di antaranya sudah dialihfungsikan sebagai sarana untuk instalasi jaringan internet. Sedangkan provider yang banyak tersedia dan digunakan sebagai jaringan telekomunikasi oleh petani di Pacet adalah yang berbasis Global System for Mobile Communication GSM yang didominasi oleh dua provider. Sedangkan di Giripurno didominasi dengan jaringan berbasis Code Division Multiple Access CDMA. Variasi koneksi jaringan ini sangat dipahami karena penggunaan layanan jaringan telekomunikasi oleh petani akan bergantung pada kondisi infrastruktur jaringan telekomunikasi atau provider yang paling mudah diakses oleh petani setempat. Cyber extension merupakan media komunikasi baru yang mensinergikan aplikasi teknologi untuk komunikasi inovasi dan sarana berbagi informasi. Oleh karena itu, pengembangan media belajar secara terprogram melalui pelatihan dan sosialisasi sangat diperlukan sehingga petani dapat memanfaatkan teknologi informasi yang tersedia dengan optimal. Namun demikian, kenyataannya mayoritas 81 persen responden menyatakan bahwa fasilitasi training sangat tidak terjangkau dan kurang terjangkau. Meskipun ada telecenter, namun pada kenyataannya kegiatan pelatihan pemanfaatan teknologi informasi untuk akses dan pengelolaan informasi masih belum intensif dilakukan bagi petani secara lebih luas. Kegiatan pelatihan yang dilaksanakan di Telecenter Kartini Mandiri meskipun telah menyentuh petani sayuran, namun sebagian besar masih ditargetkan bagi para pelajar dari sekolah di sekitar Kecamatan Bumiaji, Batu. Persepsi Petani Terhadap Karakteristik Cyber Extension Sebagaimana dinyatakan oleh Browning et al. 2008 bahwa pemanfaatan teknologi informasi merupakan media baru dalam komunikasi inovasi pertanian. Internet merupakan salah satu bentuk revolusi terkait dengan bagaimana kita dapat bekerja mengelola informasi dan berkomunikasi dengan orang lain secara lebih cepat dan tanpa terkendala ruang dan jarak. Dengan menggunakan surat elektronik atau email dan Short Message Service SMS kita dapat berkomunikasi langsung secara cepat dan berbagi informasi maupun dokumen. Sebagai media baru dalam komunikasi inovasi pertanian, cyber extension memiliki sifat-sifat khusus yang juga mempengaruhi pemanfaatan teknologi informasi di tingkat petani Browning Sornes 2008. Berkaitan dengan kepentingan penelitian, karakteristik cyber extension yang terkait dengan compatibilitas dibedakan antara kesesuaian dengan kebutuhan dan kesesuaian dengan budaya. Hal ini dengan pertimbangan bahwa cyber extension merupakan media baru yang mensinergikan aplikasi teknologi informasi yang cenderung sensitif dengan aspek kesesuaian dengan budaya masyarakat. Sedangkan untuk ciri triability digabungkan dengan complexity menjadi peubah kemudahan untuk diaplikasikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi petani terhadap kelima karakteristik cyber extension Tabel 22 pada umumnya sudah cukup baik dengan uraian untuk masing-masing karakteristik cyber extension sebagai berikut. 1. Sebagian besar 82 persen responden di lokasi penelitian menyatakan bahwa pemanfaatan teknologi informasi dalam komunikasi inovasi pertanian cyber extension sudah sesuai dan sangat sesuai dengan kebutuhan. Teknologi informasi, utamanya telepon genggam telah menjadi sarana utama dalam berkomunikasi untuk mendukung kegiatan usahatani khususnya untuk mengelola usahatani dan proses pemasaran. Sebagian besar petani menyatakan bahwa membeli pulsa untuk operasional telepon genggam sudah menjadi keharusan sebagaimana kebutuhan pokok sebagaimana dinyatakan oleh salah seorang petani di Batu dalam kasus pada Box 4 JG, 38 th, penguasaan lahan sangat luas sebagai berikut. Tabel 22 Jumlah Petani Berdasarkan Kategori Peubah Persepsi terhadap Karakteristik Cyber Extension dan Hasil Uji Beda Antar Lokasi Persepsi petani terhadap ciri CE Jumlah persen Rata-rata Sig uji t Jabar Jatim Kesesuaian CE dengan kebutuhan Sangat tidak sesuai 3,50 Kurang sesuai 15,00 76,92 77,83 0,002 Sesuai 64,50 Sangat sesuai 17,00 Kemudahan CE untuk diaplikasikan Sangat sulit 1,50 Sulit 16,00 71,33 73,83 0,000 Mudah 65,50 Sangat mudah 17,00 Keuntungan relatif CE Sangat tidak menguntungkan 5,50 Kurang menguntungkan 6,00 79,00 77,83 0,000 Menguntungkan 69,50 Sangat menguntungkan 19,00 Kemudahan CE untuk dilihat hasilnya Sangat sulit 1.00 Sulit 6.00 75.83 76.75 .000 Mudah 67.50 Sangat mudah 25.50 Kesesuaian CE dengan budaya Sangat tidak sesuai 2.00 Tidak sesuai 34.50 78.75 82.79 .032 Sesuai 30.50 Sangat sesuai 35.00 Keterangan: signifikan pada P0,01 dan signifikan pada P 0,05 Box 4 “…. Menggunakan HP untuk komunikasi dengan pedagang dan supplier, mengatur pekerja di kebun memberitahu tanaman apa yang dipanen hari ini. Memberitahu istri di rumah untuk menyiapkan makan siang buat pekerja di kebun, tanpa saya pulang dulu ke rumah………Semuanya membutuhkan HP agar lebih cepat komunikasinya. Membeli pulsa ibarat saya juga membeli beras karena sudah menjadi keharusan seperti sembako…yang harus ada setiap saat. Kadang-kadang saya transaksi dengan supplier lewat HP, terus nanti uangnya ditransfer lewat bank. Jadi sangat praktis, hemat waktu dan hemat tenaga meskipun harus keluar biaya untuk membeli pulsa. 2. Pada umumnya 83 persen petani merasakan dapat dengan mudah mengapli- kasikan sarana teknologi informasi khususnya telepon genggam untuk berkomunikasi dengan pihak lain misalnya menelepon atau mengirimkan pesan. Namun demikian, untuk jenis sarana teknologi informasi dengan menggunakan komputer dan internet, sebagian besar petani merasa belum mudah mengaplikasikanya karena harus memerlukan pelatihan khusus. 3. Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui bahwa sebagian besar 89 persen responden menyatakan bahwa aplikasi teknologi informasi dalam implementasi cyber extension lebih menguntungkan secara ekonomi dalam mendukung kegiatan usahatani apabila dibandingkan dengan sebelum menggunakan teknologi informasi. Keuntungan nyata yang sangat dirasakan oleh petani adalah dalam menghemat waktu dan biaya transportasi karena dibantu dengan pemanfaatan teknologi informasi khususnya dengan adanya telepon genggam. Dengan adanya telepon genggam, jangkauan pemasaran hasil pertanian juga lebih luas hingga mencapai luar kota bahkan sudah menjangkau luar pulau dan luar negeri. Keuntungan yang juga dirasakan petani dengan pemanfaatan teknologi informasi adalah dapat mengakses informasi sesuai dengan kebutuhan melalui internet. Hal ini berbanding lurus dengan kemudahan cyber extension untuk dilihat hasilnya dimana sebagian besar lebih dari 90 persen responden menyatakan sangat mudah untuk melihat hasilnya. 4. Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui bahwa hampir seluruh 93 persen responden menyatakan bahwa aplikasi teknologi informasi dalam implementasi cyber extension mudah dan sangat mudah dilihat hasilnya. Hal ini berbanding lurus dengan keuntungan relatif yang dapat dirasakan dengan adanya cyber extension. Petani yang belum mampu mengakses cyber extension pun sudah dapat melihat bahwa dengan adanya cyber extension, informasi yang dibutuhkan dapat lebih cepat diakses dan dapat memperluas jaringan pemasaran. 5. Sebagian besar 66 persen responden menyatakan bahwa aplikasi teknologi informasi dalam implementasi cyber extension utamanya dengan pemanfaatan telepon genggam sudah sesuai dengan budaya modern saat ini. Sebanyak 36 responden yang menyatakan tidak sesuai dan sangat tidak sesuai sebagian besar beralasan bahwa menggunakan teknologi informasi khususnya dengan akses internet belum membudaya di masyarakat karena selain sulit diakses juga khawatir terhadap dampak negatif yang mungkin terjadi terkait dengan penipuan dan pornografi cyber crime. Berdasarkan hasil uji beda diketahui bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara persepsi petani di Jabar dengan persepsi petani di jatim terhadap karakteristik cyber extension kecuali pada persepsi petani terhadap keuntungan relatif cyber extension. Petani di Jatim memiliki persepsi yang lebih positif terhadap karakteristik cyber extension dibandingkan dengan petani di Jabar dalam hal kesesuaian cyber extension dengan kebutuhan, kemudahan cyber extension untuk diaplikasikan, kemudahan cyber extension untuk dilihat hasilnya, dan kesesuaian cyber extension dengan budaya. Hal ini dapat dipahami karena di Jatim, responden berdomisili di wilayah jangkauan Telecenter Kartini Mandiri yang relatif memiliki peluang lebih besar terhadap kegiatan sosialisasi pemanfaatan cyber extension untuk mendukung kegiatan usahatani dibandingkan dengan Jabar. PERILAKU PETANI DALAM MEMANFAATKAN TEKNOLOGI INFORMASI, TINGKAT PEMANFAATAN CYBER EXTENSION, DAN TINGKAT KEBERDAYAAN PETANI SAYURAN Perilaku Petani dalam Memanfaatkan Teknologi Informasi Aspek perilaku terhadap pemanfaatan teknologi informasi yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani dalam memanfaatkan teknologi informasi. Pada umumnya, responden di kedua lokasi yaitu Pacet Jabar dan Giripurno Jatim memiliki tingkat pengetahuan terhadap pemanfaatan teknologi informasi yang masih rendah dengan skor tingkat pengetahuan di bawah 50. Namun demikian apabila dilihat dari aspek sikap, rata- rata responden memiliki sikap yang sangat positif. Sedangkan dari aspek keterampilan rata-rata termasuk dalam kategori sedang. Gambaran umum perilaku petani terhadap pemanfaatan teknologi informasi dan rata-rata skor untuk masing-masing lokasi disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Jumlah Petani Berdasarkan kategori Peubah Perilaku dalam Memanfaatkan Teknologi Informasi dan Hasil Uji Beda Antar Lokasi Potensi individu Jumlah Persen Rata-rata Sig Uji t Jabar Jatim Pengetahuan terhadap aplikasi TI Sangat rendah 29,00 Rendah 42,50 44,70 33,35 0,001 Sedang 15,00 Tinggi 13,50 Sikap terhadap pemanfaatan TI Tidak setuju ,00 Ragu-ragu ,00 85,67 92,08 0,000 Setuju 19,00 Sangat setuju 81,00 Keterampilan dalam pemanfaatan TI Sangat rendah 0,00 Rendah 49,50 Sedang 29,00 66,00 58,83 0,008 Tinggi 21,50 Keterangan: signifikan pada P0,01 dan signifikan pada P 0,05 Berdasarkan hasil analisis terhadap kategori tingkat pengetahuan dalam pemanfaatan sarana teknologi informasi, diketahui bahwa rata-rata untuk tingkat pengetahuan dan keterampilan petani sayuran dalam pemanfaatan teknologi informasi untuk wilayah BPP Pacet Jabar lebih tinggi dibandingkan dengan petani di wilayah Bumiaji Jatim. Hal ini dibuktikan pula dengan adanya perbedaan yang nyata antara tingkat pengetahuan dan keterampilan antara dua lokasi dimana untuk petani di Jabar dengan rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan petani di Jatim Keadaan ini berbanding terbalik dengan skor sikap antara petani di Jatim dengan skor sikap petani di Jatim dimana petani di Giripurno menunjukkan sikap yang secara nyata lebih positif dibandingkan dengan sikap petani di Pacet. Berdasarkan analisis lebih lanjut terhadap wawancara mendalam dan data kualitatif dari kuesioner individu diketahui bahwa hal ini terjadi karena justru petani yang terampil dan memiliki pengetahuan yang lebih tinggi ada beberapa di antaranya sikapnya menjadi ragu-ragu khususnya terkait dengan sikapnya terhadap pemanfaatan telepon genggam maupun komputer yang berinternet. Dengan terbukanya informasi melalui koneksi internet, sebagian petani di Jabar merasa khawatir maraknya penipuan dan pornografi sehingga lebih bersikap hati-hati dalam memanfaatkan teknologi informasi. Secara umum, seluruh peubah karakteristik individu yaitu umur, pendidikan formal, kepemilikan sarana teknologi informasi, lama menggunakan sarana teknologi informasi, luas penguasaan lahan, tingkat kekosmopolitan, dan keterlibatan dalam kelompok memiliki hubungan yang nyata dengan aspek perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi khususnya pada aspek pengetahuan dan keterampilan petani di Jatim dalam memanfaatkan teknologi informasi Tabel 24. Semakin tinggi pendidikan formal responden dan tingkat kepemilikan sarana teknologi informasi memiliki kecenderungan semakin tinggi pula pula pengetahuan, sikap, dan keterampilannya dalam memanfaatkan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahatani. Namun sebaliknya umur petani memiliki hubungan negatif dengan seluruh aspek perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi. Semakin tua umur petani, cenderung semakin rendah tingkat pengetahuan, sikap, dan keterampilannya dalam memanfaatkan teknologi informasi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Batte et al dan Warren et al 2000 bahwa faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di antaranya adalah umur, pendidikan, dan luas penguasaan lahan. Tabel 24 Nilai Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Perilaku Petani dalam Memanfaatkan Teknologi Informasi. Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Umur ‐.484 ‐.445 ‐.375 ‐.242 ‐.485 ‐.361 Pendidikan Formal .454 .680 .413 .332 .528 .614 Kepemilikan TI .506 .645 .404 .385 .511 .662 Lama menggunakan TI .298 .623 .206 0.124 .375 .590 Penguasaan lahan ‐0.012 .358 ‐0.008 0.127 0.088 .320 Tingkat kekosmopolitan ‐0.071 .402 ‐0.009 .269 0.027 .402 Keterlibatan dalam kelompok 0.096 .225 ‐0.149 0.052 0.034 .358 Tingkat pengetahuan terhadap TI Sikap terhadap pemanfaatan TI Keterampilan menggunakan TI Peubah Keterangan: signifikan pada P0,01 dan signifikan pada P 0,05 Adanya hubungan yang negatif antara umur dengan perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi ini dapat dipahami karena dalam aplikasi teknologi informasi membutuhkan tingkat kerumitan yang lebih tinggi karena setidaknya responden harus dapat membaca dengan lancar dan memahami perintah yang ada, sementara responden yang berusia tua cenderung memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya hubungan negatif antara umur dengan tingkat pendidikan, tingkat kepemilikan teknologi informasi, dan lama menggunakan sarana teknologi informasi sebagaimana disajikan dalam Tabel 1 pada Lampiran 1. Kondisi ini memberikan makna bahwa responden dari kelompok usia lebih muda memiliki perilaku yang lebih positif terhadap pemanfaatan teknologi dibandingkan dengan responden yang usianya lebih tua. Terdapat salah satu responden dengan usia tua 59 tahun, namun memiliki perilaku yang sangat positif dalam pemanfaatan teknologi informasi. Setelah dianalisis dari hasil wawancara mendalam ternyata responden telah lebih dari 10 tahun mengenal dan menggunakan komputer dengan jaringan internet, telepon genggam, dan komputer sebagaimana disajikan dalam kasus pada Box 5. Berbeda dengan di Jatim, ternyata luas penguasaan lahan, tingkat kekosmopolitan, dan keterlibatan dalam kelompok petani di Jabar tidak berhubungan nyata dengan seluruh aspek perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi. Dinamika kelompok dan intensitas penyuluhan di Jabar lebih tinggi dibandingkan dengan di Jatim sehingga petani memiliki tingkat kekosmopolitan dan keterlibatan dalam kelompok yang merata sehingga hubungannya dengan perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi menjadi kurang tampak. [Box 5] Bapak H. Tj.R Ciherang, Pacet, Cianjur: Petani usia tua, penguasaan lahan sempit dengan perilaku pemanfaatan teknologi informasi sangat positif, tingkat pemanfaatan cyber extension tinggi, dan tingkat keberdayaan tinggi Petani jamur yang berusia 59 tahun saat dilaksanakan penelitian adalah pensiunan pegawai Pertamina lulusan diploma yang mulai tertarik menjadi petani sayuran sejak awal tahun 2008. Lahan yang dimiliki tergolong sempit hanya 300 m 2 . Dengan lahan yang sempit dan modal dari hasil pensiun pak H Tj.R mencoba usaha budidaya jamur tiram yang sedang memiliki prospek yang baik untuk pemasarannya dan tanpa memerlukan lahan yang luas untuk mengusahakannya. Teknologi budi daya jamur lebih banyak dipelajari dari browsing melalui internet. Sedangkan pemasarannya selama ini selain promosi secara konvensional juga dilakukan melalui komunikasi elektronik dengan koleganya dengan e-mail dan telepon genggam. H Tj.R telah mengenal komputer dengan jaringan internet sejak sepuluh tahun yang lalu ketika masih bekerja di Pertamina. Saat ini untuk pengembangan produk jamur khususnya untuk pengolahan jamur tiram, H Tj.R sudah bermitra dengan swasta. Melalui kemitraan ini, produk yang dihasilkan adalah keripik jamur tiram dengan nama dagangnya adalah “Simiji Crispi” yang pemasarannya mulai merambah di minimarket dan toko-toko di sekitar Cianjur. Usaha sampingan lainnya adalah mengolah limbah media jamur tiram menjadi pupuk organik Herbafarm yang dapat digunakan untuk pupuk organik tanaman sayuran bagi anggota kelompok plasma yang dibinanya di Desa Ciherang. H Tj.R mengaku bahwa teknologi pembuatan pupuk organik selain diperolehnya melalui pelatihan juga diperkaya dari berbagai sumber informasi yang ditelusurinya melalui internet. Saat ini di rumahnya telah tersedia satu komputer desktop khusus untuk keperluan administrasi dan pengolahan data serta satu komputer lainnya yang dihubungkan dengan jaringan internet melalui fasilitas koneksi internet. Sebagai seorang petani yang menjadi panutan bagi anggota kelompoknya, H Tj.R biasa membagikan ilmu dan pengalamannya kepada petani binaannya yang tergabung dalam kelompok tani Rizqi. Selain kepada petani binaan di kelompoknya, di tempat usaha budidaya jamur dan pengelolaan limbah menjadi pupuk organik seringkali dijadikan ajang bagi pelaksanaan praktek kerja lapang untuk mahasiswa dari berbagai daerah. Meskipun sudah biasa memanfaatkan teknologi informasi, namun dia menyatakan bahwa tidak selamanya pak H Tj.R selalu percaya dengan informasi yang disampaikan melalui internet. Terkadang pak H Tj.R justru ragu dengan informasi yang diperolehnya dari internet karena seringkali berasal dari sumber yang belum jelas sehingga sikapnya sangat hati-hati dan selektif untuk menggunakan informasi yang diperolehnya dari internet apalagi kalau akan dibagikannya ke petani lain. Luas penguasaan lahan merupakan salah satu peubah yang secara nyata memiliki hubungan nyata positif dengan tingkat kepemilikan sarana teknologi informasi, lama menggunakan sarana teknologi informasi, tingkat kekosmopolitan dan tingkat keterlibatannya dalam kelompok Tabel 1 Lampiran 1. Fakta ini menunjukkan bahwa secara umum, responden yang memiliki lahan lebih luas adalah salah satu indikator bahwa responden tersebut memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi sehingga lebih memungkinkan untuk membeli sarana teknologi informasi. Di samping itu, semakin luas lahan yang diusahakan, semakin banyak jumlah komoditas yang diusahakan, dan akan semakin kompleks proses usahatani yang dijalani sehingga membutuhkan sarana teknologi informasi untuk membantu kegiatan usahatani baik untuk komunikasi dalam pengaturan kegiatan usahatani maupun untuk pemasaran dan komunikasi dengan pihak terkait utamanya dengan pedagang. Hal ini juga yang menyebabkan kecenderungan petani responden yang memiliki tingkat kepemilikan lahan lebih luas akan memiliki tingkat kekosmopolitan dan tingkat pemanfaatan teknologi informasi yang tinggi pula sebagaimana digambarkan dalam kasus pada Box 6. Tingkat kekosmopolitan petani di Jatim berhubungan nyata positif dengan pengetahuan, sikap, dan keterampilannya dalam memanfaatkan teknologi informasi pada P 0,01. Sedangkan keterlibatan petani Jatim dalam kelompok memiliki hubungan positif yang nyata dengan tingkat pengetahuan pada P 0,05 dan dengan aspek keterampilan dalam pemanfaatan teknologi informasi pada P 0,01. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi tingkat kekosmopolitan dan keterlibatan petani di Jatim dalam kelompok, semakin tinggi pula tingkat pengetahuan dan keterampilannya dalam memanfaatkan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahatani. Keterlibatan dalam kelompok dan tingkat kekosmopolitan yang tinggi merupakan aspek interaksi dengan pihak lain yang memungkinkan terjadinya proses berbagi informasi, pengetahuan, maupun keterampilan yang lebih tinggi sehingga mendorong pula pada tingginya tingkat pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahatani. [Box 6] Bapak JG, Giripurno, Bumiaji, Batu: Petani muda, penguasaan lahan luas, perilaku pemanfaatan teknologi informasi telepon genggam tinggi, belum biasa menggunakan komputer dan internet. Petani muda lulusan SMP yang berusia 38 tahun pada tahun 2010 ini menguasai lahan seluas 2,5 ha 1 ha milik sendiri dan 1,5 ha sewa. Komoditas yang diusahakan lebih dari 50 jenis termasuk jenis sayuran eksotis untuk masakan Eropa dan Cina daun ketumbar, tan’o, lettuce, paprika, basil, daun ginseng, okra, sukini, tomat cherry, kailan, sawi asin, brokoli, kol merah, bit, baby buncis. Merintis usahatani sayuran bersama istrinya sejak tahun 1997 dengan modal dari meminjam tetangga dan saudara. Selama setahun pertama usaha tani sayuran lambat berkembang dan sering ditipu pedagang hingga akhirnya berubah setelah mulai mengenal telepon genggam pada tahun 1998. Pak JG mengaku bahwa setelah menggunakan telepon genggam, keuntungan dari hasil usahataninya dapat meningkat setidaknya hingga 50 persen dan jangkauan pemasaran hingga ke luar Jawa yaitu ke Bali, Sumatera, dan Kalimantan. Pak JG saat ini telah memiliki beberapa mitra dalam memasarkan hasil usahatninya, di antaranya adalah supplier RM masakan China dan Hotel Shangrila di Bali. Komunikasi dengan mitra dilakukan melalui telepon dan proses pembayaran dari sayuran yang dikirim ke supplier dengan ditransfer melalui bank. Oleh karena itu, Pak JG menyatakan bahwa banyak sekali pihak luar yang harus dihubungi, sehingga menuntut dirinya untuk semakin sering memanfaatkan telepon genggam untuk komunikasi dan juga promosi produk yang diusahakannya ke berbagai pihak terkait di luar sistem sosial. Perkembangan usahatani sayuran semakin maju setelah memperoleh ilmuteknologi membuat bokasi dari staf Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur yang sedang praktek di lahannya sekitar 10 tahun yang lalu. Sampai saat ini pak JG memproduksi sendiri bokasi di lahan khusus untuk memenuhi kebutuhan pupuk organik di lahannya sendiri maupun di petani lain yang menjadi mitranya. Kemampuan pak JG dalam membuat bokasinya dibuktikannya sendiri dengan memperlihatkan bokasi yang sedang dalam proses pembuatan dan menyebutkan komposisi bokasi yang dibuatnya adalah: 1 ton bahan mentah untuk bokasi limbah sayuran ditambahkan dengan gula tetes 1 lt, TM 4 1 lt, dan TR 100 lt yang seluruh bahan tambahan ini dapat dibeli di apotik dengan harga yang masih terjangkau. Bahan lainnya adalah 3 karung sekam dan 50 kg bekatul. Setelah proses pencampuran selesai ditutup dengan karung goni dan disiram air secukupnya. Lahan yang disiapkan untuk membuat bokasi cukup luas karena pak JG berharap juga petani lainnya mengikuti jejaknya untuk memproduksi sendiri pupuk organik untuk menghemat pupuk kimia yang harganya semakin tinggi. Meskipun pak JG belum biasa menggunakan komputer dan akses internet, namun di rumahnya telah tersedia komputer dengan akses internet yang biasa digunakan oleh anaknya. Untuk mendukung kegiatan usahataninya, istrinya rajin membaca majalah termasuk majalah pertanian khususnya terkait dengan informasi tentang komoditas sayuran yang sedang diminati di tingkat konsumen. Tingkat kekosmopolitan dan keterlibatan petani dalam suatu kelompok ternyata tidak memiliki hubungan yang nyata dengan aspek sikap petani di Jabar terhadap pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahatani. Hal ini cukup dipahami karena aspek sikap petani di Jabar lebih cenderung dipengaruhi oleh pengalaman responden selama menggunakan teknologi informasi dan persepsinya terhadap karakteristik cyber extension. Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 25 diketahui bahwa untuk petani di Jabar maupun di Jatim tampak bahwa keterjangkauan terhadap fasilitasi training merupakan aspek faktor lingkungan yang memiliki hubungan positif secara nyata pada P 0,01 terhadap hampir keseluruhan aspek perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi kecuali untuk aspek sikap bagi petani di Jatim. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi keterjangkauan petani terhadap fasilitasi training akan meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani dalam pemanfaatan teknologi informasi. Tabel 25 Nilai Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Perilaku Petani dalam Memanfaatkan Teknologi Informasi Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Ketersediaan media konvensional 0.105 0.043 0.151 ‐0.039 .235 0.063 Ketersediaan sarana TI 0.118 .479 .328 .202 .245 .456 Ketersediaan infrastruktur 0.102 .328 0.098 0.174 0.135 .229 Keterjangkauan fasilitas training .394 .498 .346 0.185 .551 .503 Peubah Tingkat pengetahuan terhadap TI Sikap terhadap pemanfaatan TI Keterampilan menggunakan TI Keterangan: signifikan pada P0,01 dan signifikan pada P 0,05 Semakin tinggi ketersediaan sarana informasi berbasis teknologi informasi yang ada di lingkungan petani di Jawa Barat maupun di Jawa Timur akan mendorong pada semakin tingginya tingkat keterampilan, pengetahuan, dan sikap petani dalam pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahatani kecuali pada aspek pengetahuan bagi petani di Jawa Barat. Tidak adanya hubungan yang nyata antara ketersediaan sarana teknologi informasi dengan tingkat pengetahuan petani di Jawa Barat dalam pemanfaatan teknologi informasi disebabkan oleh proaktifnya petani di wilayah BPP Pacet. Meskipun sarana teknologi informasi khususnya yang berbasis internet tidak banyak tersedia di lingkungannya, namun petani yang sebagian besar masih tergolong muda biasa belajar untuk akses internet ke warung internet atau ke penyuluh pada saat mengikuti kegiatan kelompok. Salah satu fator pendukungnya adalah adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan akan informasi pasar karena dekatnya wilayah Pacet dengan pusat kota Jakarta sehingga sarana teknologi informasi sangat diperlukan untuk proses mempercepat akses informasi dan komunikasi. Di samping itu, kegiatan kelompok dianggap juga sebagai sarana penting untuk mendukung kegiatan berbagi informasi untuk mendukung kegiatan usahatani. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 25 diketahui pula bahwa ketersediaan infrastruktur jaringan di Jawa Timur memiliki hubungan yang nyata positif dengan tingkat pengetahuan petani terhadap teknologi informasi pada P 0,01 dan dengan tingkat keterampilan petani pada P 0,05. Pada umumnya kondisi infrastruktur jaringan komunikasi pada kedua lokasi penelitian telah cukup memadai untuk mengakses sistem informasi berbasis teknologi informasi, namun ketersediaan sarananya yang belum memadai khususnya untuk lokasi Jawa Barat. Sebaliknya ketersediaan media komunikasi konvensional hanya memiliki hubungan nyata positif dengan tingkat keterampilan petani di Jawa Barat dalam memanfaatkan teknologi informasi. Hal ini cukup dipahami karena dinamika kelompok di tingkat petani untuk wilayah BPP Pacet Jawa Barat lebih tinggi dibandingkan dengan di Jawa Timur. Karakteristik cyber extension merupakan aspek penting yang memiliki pengaruh yang nyata terhadap aspek perilaku petani di Jawa Barat maupun di Jawa Timur dalam memanfaatkan teknologi informasi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya hubungan positif yang nyata untuk hampir seluruh aspek persepsi petani terhadap karakteristik cyber extension dengan perilaku petani baik pengetahuan, sikap, maupun keterampilannya dalam memanfaatkan teknologi informasi. Persepsi petani terhadap kesesuaian cyber extension dengan budaya berhubungan positif secara nyata pada P0,01 dengan tingkat pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani di Jawa Timur dalam memanfaatkan teknologi informasi. Hubungan antara karakteristik cyber extension dengan perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi disajikan pada Tabel 26. Tabel 26 Nilai Hubungan antara Persepsi terhadap Karakteristik Cyber Extension dengan Perilaku Petani dalam Memanfaatkan Teknologi Informasi. Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Kesesuaian CE dengan kebutuhan .357 .532 .295 .285 .470 .555 Kemudahan untuk dilihat hasilnya .495 .411 .342 .212 .497 .387 Keuntungan relatif .285 .651 .417 .298 .527 .634 Kemudahan untuk diaplikasikan .308 .472 .493 .275 .413 .399 Kesesuaian dengan budaya 0.181 .261 .250 0.114 .283 .250 Peubah Tingkat pengetahuan terhadap TI Sikap terhadap pemanfaatan TI Keterampilan menggunakan TI Keterangan: signifikan pada P0,01 dan signifikan pada P 0,05 Keuntungan relatif cyber extension merupakan aspek karakteristik cyber extension yang paling tinggi hubungannya dengan aspek pengetahuan dan keterampilan petani khususnya di Jawa Timur dalam memanfaatkan teknologi informasi. Hal ini berarti semakin petani merasakan keuntungan dalam memanfaatkan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahataninya, semakin tinggi pula pengetahuan dan tingkat keterampilannya dalam memanfaatkan teknologi informasi. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh salah seorang responden dalam kasus pada Box 7 L, 30 th, penguasaan lahan sangat luas sebagai berikut. Berdasarkan hasil analisis lebih lanjut terhadap hubungan antar peubah perilaku pemanfaatan teknologi informasi yang disajikan pada Tabel 4 pada Lampiran 1 diketahui bahwa masing-masing aspek perilaku dalam pemanfaatan Box 7 “Sejak saya punya HP sekitar sepuluh tahun lalu….wah…saya benar- benar merasakan lebih beruntung karena dengan mudah dapat memperoleh informasi harga dan gampang menghubungi pedagang di pasar besar bahkan sampai di luar Jawa. Karena sudah merasakan banyak untungnya …ya saya terus belajar juga menggunakan HP untuk keperluan macam-macam, misalnya untuk ngambil foto produk saya terus saya kirimkan ke calon pedagang. Bahkan dengan adanya internet, sekarang saya sudah biasa mengakses internet lewat HP……jadi komunikasi lebih lancar…Di samping itu, kadang-kadang saya akses informasi tentang cuaca…dan informasi pasar..meskipun untuk informasi harga masih sering tidak cocok dengan yang di lapangan…. ” teknologi informasi baik untuk responden di Jawa Barat maupun di jawa Timur memiliki hubungan yang nyata positif pada P 0,01 dengan aspek perilaku lainnya. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan petani responden terhadap pemanfaatan teknologi informasi, memiliki kecenderungan semakin positif pula sikapnya dalam pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahatani, dan semakin terampil pula dalam menggunakan sarana teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahataninya. Dengan pengetahuan yang cukup memadai dalam aplikasi teknologi informasi, petani cenderung memiliki kemampuan untuk menilai apakah teknologi informasi yang digunakan dapat bermanfaat, sesuai dengan kebutuhan, dan sesuai dengan norma budaya sehingga cenderung bersikap positif bahwa teknologi informasi dapat bermanfaat untuk mendukung kegiatan usahataninya. Dengan tingkat pengetahuan yang tinggi dan sikap yang positif terhadap pemanfaatan teknologi informasi, selanjutnya responden akan memiliki motivasi untuk terus belajar menggunakan teknologi informasi sehingga menjadi lebih terampil. Hal ini sebagaimana telah dideskripsikan dalam kasus pada Box 7. Tingkat Pemanfaatan Cyber Extension Cyber extension merupakan media baru yang mensinergikan pemanfaatan teknologi informasi dalam komunikasi inovasi pertanian sampai di tingkat pengguna akhir. Dalam era konvergensi komunikasi, satu jenis sarana teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat multimedia memiliki banyak fungsi. Dewasa ini, masyarakat Indonesia sudah dapat mengakses internet di manapu berada, bukan hanya dari kantor, rumah atau warnet, tetapi juga dapat mengakses internet dari kafe, taman atau di dalam mobil secara nirkabel. Telepon genggam pun bukan sekedar alat telekomunikasi tetapi dapat digunakan sebagai alat pengolah data dan informasi secara multimedia serta akses internet. Kuatnya konvergensi teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia bukan hanya mendorong tumbuhnya perdagangan barang dan jasa, tapi juga memacu komunikasi politik di Indonesia lebih dinamis. Dalam pembaharuan tata pemerintahan, Electronic Government e-Government kini sudah menjadi terminologi yang sering dipakai untuk mendorong terjadinya transformasi paradigma dalam layanan publik. Akuntabilitas, transparansi, akurasi, kecepatan proses layanan, dan produktivitas menjadi kata yang sering diasosiasikan dengan e-Government [Wahyu Utomo dan Jurnas 2008]. Hal ini tentu saja juga berlaku bagi pengembangan teknologi informasi untuk pembangunan pertanian melalui implementasi cyber extension. Wilayah BPP Pacet dan Bumiaji khususnya wilayah Telecenter Kartini Mandiri Desa Giripurno merupakan lokasi dengan mayoritas petaninya berusahatani sayuran. Hasil wawancara dengan salah seorang responden diketahui bahwa pada umumnya teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahatani sayuran sudah banyak dimanfaatkan oleh petani sayuran khususnya untuk mencari informasi pasar dan berhubungan langsung dengan pedagang di pasar tujuan pemasaran sayuran. Selain itu dengan teknologi informasi, teknologi yang mendukung kegiatan pertanian, misalnya pembuatan pupuk organik dapat diakses dengan mudah. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa di kedua lokasi penelitian baik di Jawa Barat maupun di Jawa Timur, terdapat kasus petani yang juga mampu memproduksi sendiri pupuk organik untuk mensuplai kebutuhan pupuk di lahannya sendiri maupun dijual pada petani lain. Usaha petani dalam memprduksi pupuk organik didorong oleh tuntutan terhadap tingginya kebutuhan pupuk pada saat masa tanam sayuran, sementara akses terhadap pupuk bersubsidi cukup sulit. Oleh karena itu, berbekal pengetahuan dari berbagai pelatihan yang diikuti dan proses belajar secara mandiri secara terus menerus melalui pemanfaatan CD interaktif berisi informasi tentang pembuatan pupuk organik, salah seorang responden di lokas penelitian sudak mampu mengolah sendiri pupuk organik untuk mencukupi kebutuhan pupuk di wilayah kelompok binaannya. Petani yang memproduksi pupuk organik sendiri memiliki gudang penyimpanan dan pembuatan pupuk secara tersendiri dan cukup memadai. Sebagian petani yang sekaligus juga sebagai pedagang pengumpul, menyatakan bahwa dalam kegiatannya sehari-hari, tidak pernah lepas dari penggunaan teknologi informasi terutama telepon genggam. Lokasi pemasaran hasil usahatani yang sudah langsung menembus pasar induk Jakarta mengharuskan dirinya untuk setiap saat memantau harga pasar komoditas yang diusahakanakannya sendiri maupun yang diusahakan oleh kelompok binaannya. Untuk masing-masing komoditas, sudah memiliki tujuan kios pemasarannya. Misalnya untuk komoditas wortel dan bawang daun di PD Sayur Mayur HMJ ACU Pasar Induk Kramatjati dan komoditas buncis, paprika, dan pakcoy di Santa Family pasar Induk Kramatjati. Demikian halnya salah seorang petani dari Jatim menyatakan bahwa dengan teknologi informasi, memberikan kemudahan dalam bertransaksi secara elektronis tanpa harus bertemu langsung untuk menjual hasil usahataninya. Keberadaan telepon genggam telah mendongkrak jangkauan pemasaran produk yang dihasilkannya sampai ke luar jawa. Kemudahan proses komunikasi untuk mendukung kegiatan usahatani yang dirasakan oleh petani sayuran, di antaranya adalah manfaat penggunaan telepon genggam untuk memantau harga pasar agar memperoleh harga yang menguntungkan untuk produk yang diusahakanakannya sebagaimana dinyatakan oleh salah satu responden dalam kasus pada Box 8 Dj, 43 th, penguasaan lahan sempit. Selain telepon genggam, beberapa petani sudah memiliki laptop maupun komputer sebagai sarana pendukung kegiatan usahataninya. Salah satu kasus petani di Jawa Barat yang memiliki laptop di rumahnya menyatakan bahwa laptop lebih sering dimanfaatkan untuk mengakses informasi elektronis, yaitu materi pelatihan yang dikemas dalam bentuk Compact Disc CD. Materi informasi dalam CD diperoleh petani pada saat mengikuti pelatihan secara mandiri di Cianjur pada Bulan Maret 2009. Materi ini sering diperlihatkan kepada anggota kelompok lainnya. Sedangkan salah satu kasus petani di Jatim telah memanfaatkan jaringan komputer di rumahnya untuk mengakses pertanian secara online di rumahnya sebagaimana disajikan pada kasus dalam Box 9. Dengan adanya internet, petani sayuran tersebut merasakan banyak manfaat khususnya untuk akses informasi secara lebih cepat dan bervariasi. Box 8 “….melalui HP saya dapat kabar dari kios Kramatjati bahwa hari ini harga pakcoy sedang bagus. Tanpa pikir panjang saya minta pegawai kebun untuk memanen pakcoy keesokan harinya meskipun sebenarnya waktu panen normal masih lima hari lagi… Hal ini saya lakukan untuk mengantisipasi menurunnya harga dalam waktu yang tidak terlalu lama. dan Alhamdulillah dengan cara begini, meskipun ada satu produk yang kurang menguntungkan, di sisi lain ada satu produk yang sangat menguntungkan dengan cara jeli membaca pasar….” [Box 9] Bapak H Desa Giripurno: Petani dewasa, penguasaan lahan sedang, pemanfaatan teknologi informasi tingi, tingkat berbagi informasi melalui kelompok sangat tinggi, dan tingkat keberdayaan tinggi Pak H 43 th merupakan sarjana yang terjun langsung sebagai petani sayuran tulen. Sejak tahun 2009 pak H telah memasang jaringan internet di rumahnya. Pak H aktif di kelompok tani hutan dengan mengusahakan seluas 2500 m 2 lahan milik Perhutani selain mengusahakan lahan miliknya sendiri seluas juga 2500 m 2 . Selain akses informasi melalui internet, Pak H juga seringkali mengakses informasi elektronis tentang teknologi budidaya sayuran yang berwawasan lingkungan untuk menjaga kelestarian hutan dalam bentuk compact disk CD. Informasi yang diperolehnya seringkali dibagikan pula ke sesama petani yang lain agar juga dapat mengetahuinya. Selain itu, untuk menambah wawasan di bidang pertanian, pak Heru juga sering menonton siaran televisi yang bertajuk “Pelangi Desa” atau “Salam dari Desa”. Pak H menyatakan bahwa teknologi informasi saat ini sangat membantu pekerjaan sehari-hari dirinya sebagai petani dan sudah sangat sesuai dengan norma dan budaya. Namun demikian masyarakat khususnya petani belum banyak yang mengetahui adanya informasi pertanian yang dapat diakses untuk mendukung kegiatan usahatani. Pak H menyatakan bahwa seharusnya ada pihak dari pemerintah yang dapat mensosialisasikan sumber-sumber informasi pertanian yang dapat digunakan sebagai sumber informasi dan promosi usahatani. Masyarakat tidak berani menggunakan internet karena tidak mampu akses dan belum tahu manfaatnya. Terkait dengan content informasi pertanian, Pak H cenderung lebih mempercai informasi yang berasal dari swasta. Hal ini disebabkan berdasarkan pengalamannya selama mengakses informasi pertanian di salah satu situs yang disediakan oleh pemerintah seringkali tidak valid dan kurang mutakhir. Pak H mengharapkan pemerintah dapat membantu petani sayuran dengan menyediakan informasi harga yang mutakhir dan sampai di tingkat lokal. Meskipun pak H telah banyak merasakan manfaatnya dan menjadikan telepon genggam sebagai media komunikasi yang paling sering dimanfaatkan, namun pak H tetap menyatakan bahwa komunikasi tatap muka masih merupakan media komunikasi yang paling utama untuk komunikasi inovasi pertanian karena dapat lebih mudah terserap. Akses informasi melalui internet masih bersifat global sehingga dapat digunakan sebagai acuan. Namun informasi yang valid adalah melalui pertemuan dan langsung aplikasi di lapangan apalagi kalau dipandu oleh pendamping, penyuluh, atau fasilitator. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan beberapa petani di lokasi penelitian baik di Jawa Barat maupun di Jawa Timur diketahui bahwa pada umumnya petani telah memanfaatkan telepon genggam untuk komunikasi dan akses informasi pasar. Selain telepon genggam, beberapa petani sudah memiliki komputer yang selain untuk mengolah data juga dapat digunakan mengakses informasi elektronis multimedia maupun secara online. Beberapa petani telah memanfaatkan jaringan komputer dengan koneksi internet melalui jaringan telepon rumah untuk mengakses informasi pasar maupun teknologi pertanian secara online. Melalui internet, petani maju dapat berinteraksi langsung dengan petani lain dan penyuluh melalui jejaring sosial serta dapat mengakses informasi yang dibutuhkan secara lebih cepat dan bervariasi dari sumber informasi yang lebih luas. Dalam catatan Saetre dan Stephens 2008, teknologi komunikasi baru memungkinkan sebuah media memfasilitasi komunikasi interpersonal yang termediasi. Sifat interactivity dari penggunaan media konvergen telah melampaui kemampuan potensi umpan balik feedback, karena seorang pengguna dapat langsung sekaligus menjadi sumber informasi two-way-source. Berdasarkan wawancara dengan ka BPP Pacet dan salah satu Tenaga Harian Lapangan diketahui bahwa BPP Pacet sudah mulai menerapkan sistem layanan informasi melalui pemanfaatan jejaring informasi dengan aplikasi teknologi informasi. THL tersebut juga memiliki blog sendiri dengan alamat situs http:www.abdulsidik.com yang diluncurkan sejak 1 April 2010 dengan follower sampai Juni 2011 sebanyak 157 orang. Selanjutnya Desember 2011 melalui tangan dingin THL ini, BPP Pacet meluncurkan situs resmi BPP Pacet dengan alamat http:www.bpbtphpacet.com. Konsultasi pun selain dilakukan secara tatap muka di lapangan lokasi usahatani dan pertemuan-pertemuan rutin dengan petani juga dilakukan melalui sarana elektronis, yaitu telepon genggam bahkan melalui jejaring sosial “facebook”. Untuk lebih mendekatkan informasi kepada para pengguna langsungnya, BPP Pacet juga mengadakan infomobile ke wilayah binaan dengan membawa perlengkapan untuk akses internet laptop yang dilengkapi dengan fasilitasi jaringan internet. Melalui mekanisme berbagi informasi antarpetani dan antara ketua kelompok dengan anggotanya, informasi harga sayuran dari nokia lifetool dapat disebarluaskan secara lebih cepat. Proses berbagi informasi yang diakses oleh petani maju dari pemanfaatan cyber extension melalui kelembagaan komunikasi lokal merupakan salah satu upaya untuk mengatasi kesenjangan antara petani yang mampu mengakses sumber daya akses informasi berbasis teknologi informasi dengan yang tidak, Aplikasi teknologi bersifat mempercepat sampainya inovasi pertanian di tingkat pengguna. Alemna dan Joel 2006 dan Akpabio et al. 2007 menyatakan bahwa teknologi informasi dan komunikasi telah mempercepat pertukaran informasi dan merevitalisasi layanan penyuluhan dalam penyiapan informasi dan membantu dalam proses pengambilan keputusan untuk produsen pertanian. Hal ini sejalan dengan Maureen 2009 yang menyatakan bahwa cyber extension berfungsi untuk memperbaiki aksesibilitas petani terhadap informasi pasar, input produksi, tren konsumen yang berdampak positif pada kualitas dan kuantitas produksi. Secara umum, teknologi informasi dan komunikasi dapat diterapkan dalam mendukung manajemen sumber daya, pemasaran, penyuluhan, serta membantu negara-negara di dunia dalam meningkatkan produksi pangan dan mengurangi ancaman terhadap ketahanan pangan. Manfaat yang dapat diperoleh melalui kegiatan pengembangan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi dalam mendukung pembangunan pertanian Mulyandari 2005 adalah: 1. Mendorong terbentuknya jaringan informasi pertanian di tingkat lokal dan nasional. 2. Membuka akses petani terhadap informasi pertanian untuk a meningkatkan peluang potensi peningkatan pendapatan dan cara pencapaiannya, b meningkatkan kemampuan petani dalam meningkatkan posisi tawarnya, serta c meningkatkan kemampuan petani dalam melakukan diversifikasi usahatani dan merelasikan komoditas yang diusahakannya dengan input yang tersedia, jumlah produksi yang diperlukan, dan kemampuan pasar menyerap output. 3. Mendorong terlaksananya kegiatan pengembangan, pengelolaan, dan pemanfaatan informasi pertanian secara langsung maupun tidak langsung. 4. Memfasilitasi dokumentasi informasi pertanian di tingkat lokal indigeneous knowledge yang dapat diakses secara lebih luas. Berdasarkan hasil survei di lapangan, diketahui bahwa pada umumnya, teknologi informasi yang biasa dan dominan dimanfaatkan oleh petani sayuran untuk mendukung kegiatan usahataninya adalah telepon genggam. Sedangkan jenis pemanfaatan cyber extension untuk mendukung kegiatan usahatani dapat dikategorikan menjadi tiga manfaat utama, yaitu untuk akses informasi, komunikasi, dan promosi hasil atau kegiatan usahatani. Gambar 19. Gambar 19 Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Pemanfaatan Cyber Extension melalui Teknologi Informasi untuk Mendukung Kegiatan Usahatani Hampir seluruh petani responden memiliki akses terhadap telepon genggam dan sebagian besar 85 persen di antaranya telah memiliki sendiri media tersebut. Hal ini sangat dipahami karena telepon genggam merupakan media komunikasi yang sudah biasa petani manfaatkan karena mudah penggunaannya, relatif terjangkau biayanya, dan terasa manfaatnya khususnya terkait dengan efisiensi. Efisiensi yang sangat dirasakan oleh petani adalah dari segi waktu dan tenaga. Sebelum menggunakan telepon genggam, petani harus meluangkan waktu dan energi khusus untuk menemui langsung pedagang pengepul atau memasarkan hasil usahataninya. Namun setelah menggunakan telepon genggam, petani dengan mudah menghubungi pedagang pengepul untuk menawarkan hasil usahataninya. Melalui telepon genggam, petani juga mudah memperoleh informasi harga pasar dari luar wilayahnya sehingga dapat membandingkan harga komoditas yang dihasilkan sebelum menawarkannya ke pedagang pengumpul atau menjualnya langsung ke pasar. Apabila telepon genggam merupakan sarana teknologi informasi yang paling banyak diakses dan dimiliki petani, sebaliknya komputer berinternet merupakan sarana teknologi informasi yang paling sedikit diakses dan dimiliki oleh petani. Hanya sebanyak 7 persen responden yang memiliki komputer dengan fasilitas internet dan 20 persen responden yang dapat mengaksesnya. Rendahnya akses dan kepemilikan media komunikasi berbasis internet baik telepon genggam berbasis internet maupun komputer berbasis internet juga disebabkan oleh masih relatif barunya media tersebut dan dianggap oleh petani sebagai barang yang mahal, tidak mudah dijangkau, dan penggunaannya juga relatif sulit. Di samping itu, masih ada pula kekhawatiran atas dampak negatif akses internet bagi masyarakat apabila tidak pada tempatnya. Berdasarkan hasil penelitian diketahui pula bahwa telepon rumah saat ini sudah dianggap kurang praktis oleh sebagian besar responden yang semula memiliki telepon rumah. Kondisi ini disebabkan di antaranya oleh mahalnya biaya operasional elepon rumah akibat adanya beban biaya langganan dibandingkan dengan pulsa telepon genggam. Di samping itu, telepon rumah juga bersifat statis dan penggunaannya hanya terbatas untuk berkomunikasi langsung. Ada sebagian kecil responden yang telah memanfaatkan telepon rumah untuk dialihfungsikan sebagai sambungan internet dengan biaya sambungan internet yang relatif dapat dijangkau. Tingkat manfaat media komunikasi berbasis teknologi informasi yang dirasakan oleh petani adalah untuk komunikasi mendukung kegiatan usahatani, terutama untuk pemanfaatan telepon genggam. Hal ini ditunjukkan dengan hampir seluruh responden menggunakan telepon genggam sebagai sarana komunikasi mendukung kegiatan usahatani. Sedangkan untuk media komunikasi berbasis internet, sebagian besar pengguna yang mengakses, memanfaatkan telepon genggam atau komputer berinternet untuk akses informasi atau menelusur informasi khususnya informasi pasar dan cuaca. Manfaat yang dirasakan petani dengan memanfaatkan teknologi informasi adalah menghemat waktu, tenaga, serta biaya tanpa mengganggu aktivitas yang sedang dilakukan karena telepon genggam bersifat mobile yang dapat dibawa ke mana-mana dan tanpa membebani pengguna karena ringan. Di samping itu, dengan menggunakan telepon genggam dapat memperluas jaringan pemasaran hingga ke luar kota sampai ke luar pulau. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan terkait dengan dampak pemanfaatan teknologi informasi terhadap peningkatan harga jual produk yang dihasilkan diketahui bahwa rata-rata peningkatan harga produk yang dirasakan petani setelah menggunakan sarana teknologi informasi utamanya telepon genggam adalah sebesar 16 persen dengan nilai tengah sebesar 10 persen dan rata-rata persentase kenaikan harga jual untuk Jatim lebih tinggi Tabel 27. Lebih bervariasinya jenis komoditas sayuran yang diproduksi oleh petani di Jatim mendorong pada lebih tingginya persentase peningkatan harga jual komoditas sayuran tersebut karena memiliki pangsa pasar yang sudah lebih pasti. Sebagaimana halnya komoditas sayuran eksotis yang sudah langsung ditampung oleh supplier jotel berbintang maupun restoran masakan china dan eropa. Tabel 27 Persentase Peningkatan Harga Jual setelah Memanfaatkan Sarana TI Kategori kenaikan harga jual Persentase kenaikan Jumlah persentase Rata-rata Sig uji t Jawa Barat Jawa Timur Rendah 0 – 10 56,5 Sedang 11 – 20 18,00 12,20 19.01 .006 Tinggi 21 – 50 22,00 Sangat tinggi 50 3,50 Jumlah 100,00 Keterangan: signifikan pada P 0.01 Jauhnya selang antara nilai rata-rata dengan nilai tengah dari persentase peningkatan harga jual komoditas sayuran dihasilkan karena adanya sebaran yang cukup tinggi antara persentase peningkatan harga jual yang terendah yaitu 0 persen dengan persentase peningkatan harga jual tertinggi yaitu mencapai hingga sebesar 200 persen yaitu petani di Desa Giripurno. Kenaikan sebesar 200 persen ini dinyatakan oleh salah seorang wanita tani pada saat sebelum memiliki telepon genggam, sawi hasil usahataninya hanya dihargai sebesar Rp 1.000kg. Namun setelah dapat menghubungi pedagang besar di Malang dengan telepon genggam, harga sawi hasil kebunnya dihargai menjadi Rp 3.000kg. Persentase peningkatan harga jual hasil usahatani setelah menggunakan sarana teknologi informasi di antaranya dinyatakan oleh responden karena adanya faktor pemanfaatan teknologi informasi sehingga petani mudah memperoleh informasi harga produk yang dihasilkan dan selanjutnya memiliki posisi tawar yang lebih tinggi. Hal ini dibuktikan dengan adanya hubungan positif yang nyata pada P0,01 antara persentase peningkatan harga dari hasil usahatani dengan intensitas pemanfaatan teknologi informasi baik oleh petani di Jabar maupun di Jatim. Semakin tinggi intensitas petani dalam memanfaatkan teknologi informasi, semakin tinggi pula peluang petani memiliki posisi tawar sehingga memperoleh harga yang lebih tinggi dari hasil usahataninya Tabel 28. Selain intensitas pemanfaatan teknologi informasi, kemampuan mengakses teknologi dan jangkauan sumber informasi merupakan dua faktor lain yang memiliki hubungan nyata positif terhadap peningkatan harga jual hasil usahatani petani responden di Jatim. Tabel 28 Peubah yang Memiliki Hubungan Nyata dengan Persentase Peningkatan Harga Hasil Usahatani setelah Menggunakan Sarana Teknologi Informasi Peubah Nilai korelasi terhadap persentase peningkatan harga hasil usahatani Jawa Barat Jawa Timur Intensitas pemanfaatan TI .395 .223 Kemampuan mengakses teknologi .023 .333 Tingkat manfaat CE yang dapat dirasakan .386 .181 Keuntungan relatif CE .324 .169 Pengetahuan terhadap aplikasi TI .322 .195 Tingkat akses CE .296 .126 Lama menggunakan sarana TI .129 .219 Luas penguasaan lahan ‐.063 .198 Kemampuan mengelola informasi .214 .165 Sikap terhadap pemanfaatan TI .268 .043 Jangkauan sumberi informasi .087 .282 Keterampilan menggunakan TI .324 .106 Keterangan: signifikan pada P 0.01 signifikan pada P 0.05 Berbeda dengan di Jatim, bagi petani responden di Jawa Barat aspek yang juga memiliki hubungan positif yang nyata dengan kenaikan harga jual usahatani selain intensitas pemanfaatan teknologi infomasi adalah tingkat manfaat cyber extension yang dapat dirasakan, persepsi terhadap keuntungan relatif cyber extension, tingkat keterampilan petani responden dalam pemanfaatan teknologi informasi, pengetahuan terhadap aplikasi teknologi informasi, tingkat akses cyber extension, dan sikap petani responden dalam pemanfaatan teknologi informasi Pemanfaatan cyber extension untuk mendukung kegiatan usahatani mengubah pola komunikasi yang terjadi di antara petani yang semula lebih bersifat searah menjadi lebih bersifat interaktif dan tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, petani semakin dihadapkan pada banyaknya jenis sarana teknologi informasi yang dapat digunakan untuk mendukung kegiatan usahatani. Selain dapat menjangkau jaringan pemasaran yang lebih luas hingga ke manca negara, melalui jejaring facebook petani dapat langsung menanyakan permasalahan yang dihadapinya kepada penyuluh sekaligus sebagai media untuk saling berbagi informasi di antara petani. Indikator dari tingkat pemanfaatan cyber extension yang dipelajari dalam penelitian ini adalah tingkat akses sarana teknologi informasi yang dominan dimanfaatkan, tingkat manfaat sarana teknologi informasi yang digunakan, tingkat pengelolaan informasi dengan sarana teknologi informasi, jangkauan sumber informasi yang dapat diakses, dan tingkat berbagi informasi dengan pihak lain secara interaktif. Sebagaimana telah disampaikan dalam kerangka berpikir, bahwa tingkat pemanfaatan cyber extension bergantung pada kondisi petani dalam memanfaatkan sistem informasi berbasis teknologi informasi yang ada di lingkungannya yang selanjutnya dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu dasar, menengah, dan lanjut berdasarkan skor yang telah diperoleh untuk masing- masing indikator dari pemanfaatan cyber extension. Hasil penelitian di lapangan yang disajikan pada Tabel 29 menunjukkan bahwa untuk tingkat akses teknologi informasi yang dominan dimanfaatkan, sebagian besar responden 46 persen termasuk dalam kategori menengah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden telah memiliki kecenderungan menggunakan jenis sarana teknologi informasi yang sudah mulai ke arah interaktif dan yang terbanyak digunakan dalam pemanfaatan cyber extension adalah telepon genggam. Telepon genggam juga memiliki banyak fungsi yaitu dapat untuk menghitung, mengirim pesan, mendokumentasikan kejadian penting memfoto, membuat video, dan merekam. Sementara itu sebanyak 25 persen responden masih dalam kategori rendah dengan tingkat akses sarana teknologi informasi yang masih tingkat dasar yaitu telepon rumah dan sebanyak 29 persen lainnya masuk ke dalam kategori lanjut yang telah memanfaatkan sarana teknologi informasi sebanyak lebih dari dua jenis Gambar 20. Petani yang tidak memiliki telepon genggam namun dapat mengaksesnya, umumnya mengakses telepon genggam dari anggota keluarga yang lain suami, isteri, anak, saudara. Tabel 29 Jumlah Petani Berdasarkan Kategori Peubah Tingkat Pemanfaatan Cyber Extension dan Hasil Uji Beda Antar Lokasi Kategori pemanfaatan cyber extension Persentase Rata-rata Sig uji t Jabar Jatim Tingkat akses Dasar 25,00 Menengah 46,00 60,14 48,29 0,000 Lanjut 29,00 Tingkat manfaat yang dirasakan Dasar 87,50 Menengah 9,00 25,50 22,25 0,024 Lanjut 2,00 Intensitas pemanfaatan Dasar 86,00 Menengah 12,00 31,19 35,94 0,494 Lanjut 2,00 Tingkat pengelolaan informasi melalui TI Dasar 73,00 Menengah 22,00 34,75 19,33 0,000 Lanjut 5,00 Jangkauan sumber informasi Dasar 34,00 Menengah 51,50 47,20 36,80 0,001 Lanjut 14,50 Tingkat berbagi informasi Dasar 4,00 Menengah 18,50 76,27 71,93 0,089 Lanjut 77,50 Keterangan: signifikan pada P0,01 dan signifikan pada P 0,05 Gambar 20 Sebaran Petani Berdasarkan Kepemilikan dan Akses Terhadap Sarana Teknologi Informasi Berdasarkan jenis pemanfaatannya, pada umumnya 73 persen petani hanya memanfaatkan sarana teknologi informasi utamanya telepon genggam sebagai alat untuk komunikasi atau masih dalam kategori tingkat dasar. Meskipun telepon genggam yang dimilikinya sudah dapat dimanfaatkan pula untuk akses informasi secara online melalui jaringan internet, namun hanya sebagian kecil yang dapat memanfaatkannya. Alasannya di samping sulit mengakses informasi melalui telepon genggam juga karena belum mengetahui caranya untuk mengakses informasi secara online melalui telepon genggam yang berinternet. Selain telepon genggam berinternet, terdapat pula telepon genggam yang dapat melanggan content tertentu, di antaranya juga content informasi harga pertanian melalui layanan Nokia Lifetool yang merupakan hasil kerjasama antara Departemen Pertanian dengan salah satu produsen telepon genggam. Namun demikian, pada kenyataannya di lapangan layanan ini belum memasyarakat dan sebagian besar petani menyatakan tidak tahu ada layanan tersebut. Seluruh petani di Giripurno menyatakan tidak pernah mengakses layanan tersebut. Sementara di Pacet, beberapa petani khususnya di Desa Cipendawa telah mengenal dan memanfaatkannya. Belum memasyarakatnya layanan tersebut di antaranya juga belum adanya sosialisasi sampai di tingkat petani dan belum nyatanya manfaat informasi yang diperoleh melalui layanan tersebut bagi petani. Beberapa responden khususnya di Pacet yang sudah mengakses layanan informasi content informasi harga pasar dari paket nokia lifetools mengeluhkan informasi yang diperoleh sudah tidak tepat waktu, sering berulang, dan kurang sesuai dengan kondisi di lapangan sehingga mutu informasi yang diakses menjadi rendah. Sementara informasi pertanian dari situs pertanian yang dapat diakses melalui internet dinyatakan belum dapat langsung diaplikaskan di lapangan. Hal ini diduga merupakan salah satu penyebab dari rendahnya mutu informasi yang diakses dan tingkat kesesuaian informasi yang diakses dengan kebutuhan petani. Hal ini sejalan dengan pernyataan Gerster Zimmann bahwa teknologi informasi merupakan alat yang sangat bermanfaat untuk sharing informasi, namun seringkali belum dapat memecahkan permasalahan pembangunan yang disebabkan oleh isu sosial, ekonomi, dan politik. Informasi pun seringkali belum dapat digunakan sebagai pengetahuan karena belum mampu diterjemahkan langsung oleh masyarakat Servaes 2007. Perkembangan teknologi informasi saat ini telah mendorong berkembangnya sarana teknologi informasi dan komunikasi multimedia yang memiliki banyak fungsi dan bersifat interaktif. Selain multifungsi sebagai media komunikasi, sarana teknologi informasi juga dapat difungsikan sebagai sarana pengelolaan informasi baik untuk mengolah data menghitung, mengetik dan mengolah kata, juga dapat dimanfaatkan untuk mengambil gambar dan suara, serta menyimpan dan mentransfer data atau informasi. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa sebagian besar 73 persen responden masih dalam kategori tingkat dasar dalam pengelolaan informasi melalui sarana teknologi informasi yang dimilikinya. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya responden hanya menggunakan sarana teknologi informasi untuk penggunaan tingkat dasar, misalnya telepon genggam hanya untuk berkomunikasi dan komputer hanya untuk mengetik. Beberapa petani yang termasuk dalam kategori menengah dan lanjut sudah mulai memanfaatkan sarana teknologi informasi yang dimilikinya sebagai alat untuk mendokumentasikan kegiatan usahatani dan mempromosikannya melalui situs dikirim melalui telepon genggam. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh salah seorang petani yang telah memiliki jaringan pemasaran hingga ke luar Jawa sebagaimana kasus yang disajikan pada Box 10 JG, 38 th, penguasaan lahan luas. Perkembangan teknologi internet dalam era konvergensi media memungkinkan seseorang mengakses maupun berhubungan dengan pihak lain dalam jangkauan yang lebih luas tanpa terkendala oleh ruang dan waktu. Dengan demikian, teknologi informasi secara nyata mampu memperluas jangkauan sumber informasi yang dapat diakses. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan diketahui bahwa 51 persen responden memiliki jangkauan sumber informasi yang mampu diakses pada level Kecamatan dan Kabupaten atau termasuk dalam kategori menengah. Sebagian besar sumber informasi yang diakses oleh petani dalam kategori ini adalah para Penyuluh dari BPP, KCD tingkat Kecamatan, Petugas dari Dinas Pertanian Kabupaten maupun Kota, Distributor dan pedagang Sarana Produksi, dan Pedagang Besar tingkat Kabupaten. Selanjutnya sebanyak 14 persen responden bahkan telah memliki jangkauan sumber informasi di tingkat provinsi, antar provinsi bahkan nasional dan global melalui media telepon genggam maupun internet. Berdasarkan wawancara mendalam dan analisis terhadap data kualitatif, diketahui bahwa responden yang memiliki jangkauan sumber informasi tingkat lanjut adalah para petani yang juga merangkap pedagang pengepul atau Ketua Gapoktan maupun Pengurus Kelompok Tani. Sedangkan 34 persen responden yang masih memiliki jangkauan sumber informasi pada tingkat dasar merupakan petani yang sebagian besar hanya mengandalkan pedagang pengepul di tingkat desa untuk memasarkan hasil usahataninya dan memiliki kecenderungan mencari informasi pertanian melalui tatap muka pada saat ada pertemuan kelompok atau sesekali berkomunikasi dengan telepon genggam apabila sumber informasi yang ingin dihubungi berada di luar dusunnya. Berdasarkan hasil analisis korelasi yang disajikan pada Tabel 30 diketahui bahwa seluruh peubah karakteristik individu responden di Jatim berhubungan Box 10 …. Saya biasa foto-foto sayuran yang saya tanam dan sudah siap panen untuk saya kirimkan ke teman saya yang berada di Surabaya dan Bali untuk dipromosikan di sana. Gampang sekali sebentar juga langsung dia terima. Selanjutnya kalau sudah setuju, langsung pas panen saya kirim ke sana sesuai pesanan jumlah barangnya. Setelah barang sampai di tempat, uang pembayaran tinggal ditransfer ke rekening saya lewat bank. Saya ngitung-ngitung kadang-kadang juga dengan HP….kan juga dapat digunakan seperti kalkulator….jadi praktis banget. secara nyata dengan tingkat akses terhadap cyber extension, tingkat manfaat cyber extension yang dapat dirasakan, dan tingkat pengelolaan informasi melalui teknologi informasi. Faktor yang dominan berhubungan nyata positif dengan masing-masing aspek tingkat pemanfaatan cyber extension baik di Jawa Barat maupun di Jawa Timur adalah: pendidikan formal, lama menggunakan sarana teknologi informasi, dan kepemilikan sarana teknologi informasi. Tabel 30 Nilai Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Tingkat Pemanfaatan Cyber Extension Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Umur ‐.208 ‐.336 ‐.438 ‐.300 ‐0.137 ‐.243 ‐.224 ‐.248 0.078 ‐.232 ‐0.012 ‐0.017 Pendidikan Formal .411 .568 .466 .543 .377 .549 .219 .528 0.184 .484 .268 0.04 Kepemilikan TI .413 .727 .619 .824 .389 .613 .214 .483 0.141 .550 0.143 0.155 Lama menggunakan TI .385 .669 .362 .566 .342 .602 .216 .476 .248 .679 0.174 0.07 Penguasaan lahan 0.099 .513 0.078 .421 0.115 .440 0.015 .260 0.06 .401 .268 0.057 Kekosmopolitan 0.034 .464 0.097 .401 ‐0.019 .446 0.057 .366 0.143 .436 0.132 .267 Keterlibatan dalam kelompok ‐0.016 0.134 0.03 .338 0.12 .319 .204 .284 0.078 0.191 0.155 .424 Intensitas peman- faatan Tingkat akses Tingkat manfaat yang dirasakan Tingkat pengelo- laan iinformasi Jangkauan sum- ber informasi Kualitas berbagi informasi Peubah Keterangan: signifikan pada P 0.01 dan signifikan pada P 0,05 Umur memiliki hubungan negatif yang nyata terhadap tingkat akses teknologi informasi, tingkat manfaat yang dirasakan, dan tingkat pengelolaan informasi berbasis teknologi informasi. Hal ini dapat dipahami karena sebagian besar petani yang masih muda usia lebih mudah mengoperasionalkan teknologi informasi dan sudah lebih merasakan bahwa teknologi informasi khususnya telepon genggam selain sudah menjadi bagian dari kebutuhan pokok yang sudah sepantasnya dipenuhi juga merupakan gaya hidup dan sarana untuk bersosialisasi. Petani usia muda menyatakan bahwa selain bermanfaat untuk menunjang kegiatan usahatani, telepon genggam juga dapat digunakan sebagai sarana hiburan yang murah. Selain menghemat waktu dan menghemat ongkos transportasi, transaksi jual beli juga dapat dilakukan melalui telepon genggam. Demikian halnya untuk akses teknologi informasi telepon genggam maupun komputer yang berbasis internet, sebagian besar hanya petani yang berusia muda di bawah 45 tahun. Berdasarkan hasil analisis korelasi, juga diketahui bahwa luas penguasaan lahan petani responden di Jawa Timur berhubungan positif secara nyata dengan hampir seluruh aspek tingkat pemanfaatan cyber extension kecuali pada aspek kualitas berbagi informasi. Sebaliknya luas penguasaan lahan petani responden di Jawa Barat justru hanya memiliki hubungan yang nyata dengan aspek kualitas berbagi informasi secara interaktif. Keterlibatan dalam kelompok dan tingkat mobilitas petani responden di Jawa Timur secara umum memiliki hubungan positif yang nyata dengan hampir seluruh aspek pemanfaatan cyber extension. Semakin tinggi keterlibatan petani responden di Jawa Timur dalam kelompok yang diindikasikan dengan aktifnya petani menjadi anggota bahkan pengurus dalam suatu kelompok serta aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan evaluasi kegiatan kelompok semakin tinggi pula tingkat pemanfaatan cyber extension untuk mendukung kegiatan usahataninya. Tingkat kekosmopolitan memiliki hubungan positif yang nyata dengan seluruh aspek pemanfaatan cyber extension kecuali pada aspek kualitas berbagi informasi. Salah satu indikator tingkat kosmopolitan petani dilihat dari intensitas keluar sistem sosialnya. Semakin tinggi intensitasnya berhubungan dengan pihak luar sistem sosial semakin tinggi pula jenis pemanfaatan teknologi informasi dan semakin luas jangkauan sumber informasi yang diakses oleh petani. Hal ini sangat dipahami karena dengan keluar desa mendorong pada meningkatnya hubungan dengan pihak luar sistem sosial dan jangkauan sumber informasi hingga luar provinsi yang memberikan andil pada meningkatnya wawasan yang memacu pada meningkatnya jenis pemanfaatan teknologi informasi. Petani yang memiliki mobilitas ke luar desa cukup tinggi sebagian besar merupakan petani maju ketua kelompok, ketua Gapoktan, petani yang juga memiliki kios di pasar, sehingga memiliki jaringan yang cukup luas dengan pihak luar desa. Komunikasi yang sering dilakukan melalui telepon genggam ditujukan untuk memelihara jaringan yang telah dimiliki dan untuk berbagi informasi atau mencari informasi. Intensitas berinteraksi dengan tamu dari luar sistem sosial merupakan salah satu upaya yang dapat mempengaruhi jenis pengelolaan informasi melalui teknologi informasi dan jangkauan sumber informasi. Tamu dari luar sistem sosial yang ditemui oleh petani di antaranya adalah peneliti atau petugas yang berasal dari pusat, PPL, atau dari telecenter Kartini Mandiri termasuk dari World Bank yang melakukan kegiatan survei, pertemuan, tugas belajar, magang, atau sosialisasi pemanfaatan teknologi informasi. Kehadiran pihak luar desa dalam sistem sosial petani terbukti secara nyata memberikan andil positif terhadap seluruh aspek pemanfaatan cyber extension kecuali pada aspek berbagi informasi. Berdasarkan hasil uji beda terhadap jangkauan sumber informasi yang telah disajikan pada Tabel 29, diketahui bahwa pada umumnya, jangkauan sumber informasi petani di Pacet Jabar lebih luas jika dibandingkan dengan jangkauan sumber informasi petani di Giripurno Jatim. Tingginya jangkauan sumber informasi ini karena adanya aktivitas dari Dinas Pertanian di lokasi penelitian terkait dengan kegiatan Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu SLPHT maupun Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan PUAP yang sumber informasinya setidaknya adalah PPL yang berasal dari BPP setingkat Kecamatan dan dari Dinas Pertanian KabupatenKota. Di samping itu, BPP Pacet melalui akun facebook salah satu Tenaga Harian Lapangan THL membuka konsultasi pertanian yang dapat diakses petani di wilayah kerjanya melalui telepon genggam. Di samping itu, sebagian besar petani yang memiliki telepon genggam menyimpan nomor telepon genggam PPLnya, sehingga sering melakukan komunikasi melalui telepon genggam dengan PPL. Sementara di Giripurno, aktivitas penyuluhan di tingkat dusun sangat sedikit, sehingga hubungan antara petani dan PPL relatif tidak erat, sehingga yang mengenal PPL cenderung hanya Ketua dan pengurus Kelompok atau Gapoktan. Luasnya jangkauan sumber informasi serta tingginya tingkat pemanfaatan teknologi informasi dan pengelolaan informasi melalui teknologi informasi ternyata memberikan kecenderungan terhadap tingginya tingkat kualitas berbagi informasi yang dilakukan oleh petani. Hal ini ditunjukkan dengan kecenderungan tingginya kualitas berbagi informasi petani di Pacet rata-rata 77,50 persen. Tingginya kualitas berbagi informasi dipicu dengan adanya perkembangan teknologi informasi sebagaimana dideskripsikan dalam kasus pada Box 11 S, 30 th, penguasaan lahan sangat luas dan Box 12 wanita tani yang melanggan nokia lifetool I, 33 th, penguasaan lahan sempit. [Box 11] Bapak S: Petani muda, penguasaan lahan sangat luas, pemanfaatan teknologi informasi tinggi, tingkat berbagi informasi melalui keolompok sangat tinggi, dan tingkat keberdayaan tinggi Pak S adalah Ketua Kelompok Tani di Desa Cipendawa, Pacet, Cianjur yang masih tergolong muda 30 tahun dan lulusan SMP dengan tingkat penguasaan lahan dalam kategori luas 19.500 m 2 4.000 m 2 milik, 15.000 m 2 sewa, dan 500 m 2 lahan garapan. Sebagai ketua, pak S biasa berbagi informasi khususnya informasi pasar dan teknologi pertanian dengan petani anggota kelompoknya maupun petani di luar kelompok yang dibinanya. Telepon genggam merupakan salah satu media komunikasi yang oleh Pak S dianggap sebagai sarana yang sangat efektif untuk komunikasi dengan pedagang dalam memasarkan hasil usahatani maupun berbagi informasi dengan penyuluh dan petani lainnya. Namun demikian, pak S menyadari bahwa tidak semua petani mampu mengakses informasi melalui telepon genggam, sehingga pak Suhendar senantiasa menuliskan informasi yang diperolehnya melalui teknologi informasi di papan pengumuman dan atau menyampaikannya dalam setiap pertemuan kelompok. Pak S juga tidak segan-segan mengajak petani lain yang bukan anggota kelompoknya untuk ikut aktif dalam kegiatan kelompok dan tanpa membedakan apakah laki-laki maupun perempuan. Salah satu aktivitas berbagi yang sangat tampak selama penelitian dilakukan pak S adalah menyampaikan informasi harga yang diterima oleh salah satu anggota kelompoknya kepada anggota kelompok lainnya baik melalui papan pengumuman maupun diteruskannya pesan informasi harga dari salah satu provider yang menyelenggarakan layanan content tentang informasi pertanian ke no telepon genggam petani lainnya. Meskipun pak S tidak menyangkal bahwa informasi yang diterima dari nokia lifetool cukup bermanfaat, namun seringkali informasi yang diterima sudah tidak mutakhir, tidak tepat waktu, tidak spesifik lokasi, dan masih parsial. Oleh karena itu, pak Suhendar berharap pemerintah dapat menangani informasi pertanian dengan serius untuk membela kepentingan petani. Pak S sudah biasa menggunakan komputer milik Sekretariat Kelompok untuk mengerjakan tugasnya sebagai Ketua Kelompok. Penggunaan internet untuk akses informasi pun sudah mulai dikenalnya namun belum terbiasa menggunakannya. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya sarana yang dapat diakses untuk akses informasi melalui internet. Biasanya Pak S mencoba akses internet ke warnet yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. Tingkat mobilitas yang tinggi membuat pak S lebih terbuka dengan inovasi. Pak S juga sangat antusias mengikuti pelatihan pemanfaatan internet dan multimedia untuk akses informasi yang diselenggarakan di BPP Pacet oleh peneliti dan berniat memiliki komputer yang dapat akses ke internet yang akan dimanfaatkannya untuk mengakses informasi khususnya informasi pertanian. Berdasarkan hasil uji beda untuk seluruh indikator pemanfaatan cyber extension diketahui bahwa petani di wilayah BPP Pacet Jabar memiliki tingkat pemanfaatan cyber extension rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan petani di wilayah Telecenter Kartini Mandiri di Desa Giripurno Jatim untuk keempat indikator tingkat pemanfaatan cyber extension. Hal ini diduga diantaranya juga disebabkan oleh lebih proaktifnya petani di wilayah Jawa Barat Pacet terhadap pemanfaatan teknologi informasi termasuk dalam mengikuti berbagai pelatihan yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya hubungan positif antara keterjangkauan fasilitasi training dengan ketiga aspek perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi Tabel 31. Meskipun di Jawa Timur terdapat telecenter, namun pada kenyataannya kegiatan sosialisasi dan pelatihan lebih diprioritaskan bagi para pelajar bukan untuk petani. Tabel 31 Nilai Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Pemanfaatan Cyber Extension Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Ketersediaan media konvensional .234 ‐0.016 0.064 0.165 0.006 ‐0.038 0.017 0.158 ‐0.042 0.12 .337 .372 Ketersediaan sarana TI .313 .538 .297 .512 0.176 .337 ‐0.12 .412 ‐0.027 .377 .390 0.187 Ketersediaan infrastruktur .224 .240 0.043 .244 0.068 .248 .385 0.183 .228 0.089 0.185 .232 Keterjangkauan fasilitas training .314 .423 .473 .344 0.171 .342 .260 .325 .258 .296 0.18 ‐0.015 Peubah Intensitas peman- faatan Tingkat akses Tingkat manfaat yang dirasakan Tingkat pengelo- laan iinformasi Jangkauan sum- ber informasi Kualitas berbagi informasi Keterangan: signifikan pada P 0.01 dan signifikan pada P 0,05 Keterjangkauan fasilitasi training baik bagi petani responden di Jawa Barat maupun di Jawa Timur berhubungan positif secara nyata dengan tingkat akses teknologi informasi, tingkat manfaat yang dirasakan, tingkat pengelolaan informasi berbasis teknologi informasi, dan jangkauan sumber informasi yang Box 12 “..informasi harga sayuran yang saya peroleh dari nokia lifetool saya atau pak Suhendar tulis di papan tempat biasa kita berkumpul atau saya kirimkan pula ke petani lain yang punya HP. Kadang-kadang Bu E PPL keterangan penulis juga menelepon ke HP saya atau HP pak Suhendar untuk memberikan suatu informasi agar diteruskan ke ibu-ibu KWT atau petani lainnya terutama yang tidak memiliki HP atau tidak dapat akses terhadap sumber informasi melalui teknologi informasi tersebut” dapat diakses. Ketersediaan sarana akses informasi berbasis teknologi informasi berhubungan nyata positif dengan intensitas pemanfaatan cyber extension dan tingkat akses teknologi informasi oleh petani di Jawa Barat maupun di Jawa Timur. Sedangkan bagi petani responden di Jawa Tmur ketersediaan sarana teknologi informasi juga berhubungan positif dengan tingkat manfaat cyber extension yang dapat dirasakan, tingkat pengelolaan informasi, dan jangkauan sumber informasi. Kalau di Jawa Timur ketersediaan sarana teknologi informasi tidak berhubungan nyata dengan kualitas berbagi informasi, maka sebaliknya di Jawa Barat, ketersediaan sarana teknologi informasi berhubungan secara nyata dengan kualitas berbagi informasi. Ketersediaan infrastruktur jaringan di Jawa Timur maupun di Jawa Barat dominan berhubungan positif dengan intensitass pemanfaatan cyber extension. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik kualitas dan ketersediaan infrastruktur jaringan komunikasi akan meningkatkan pula intensitas petani responden dalam memanfaatkan cyber extension. Apabila ketersediaan infrastruktur jaringan di Jawa Barat berhubungan nyata dengan tingkat akses terhadap cyber extension, tingkat manfaat yang dirasakan, dan kualitas berbagi informasi secara interaktif, maka sebaliknya di Jawa Timur tidak terdapat hubungan yang nyata antara ketersediaan infrastruktur jaringan dengan ketiga aspek pemanfaatan cyber extension tersebut. Hasil penelitian ini memperkuat hasil survei yang dilakukan oleh International Society for Horticultural Science yang disampaikan oleh Taragola et al. 2009, hasil studi ENRAP 2009, dan Jayathilake 2010 yang memberikan gambaran tentang faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi informasi oleh petani hortikultura di antaranya adalah keterbatasan kemampuan kepemilikan teknologi informasi, pengetahuan, dan keterampilan, kesenjangan dalam fasilitasi training, kesadaran sikap terhadap manfaat teknologi informasi, dan biaya dari teknologi yang digunakan. Berbagai pertemuan kelompok tani dengan atau tanpa penyuluh, media cetak, maupun elektronis konvensional siaran televisi dan siaran radio berpengaruh terhadap kualitas petani dalam berbagi informasi. Semakin tinggi petani aktif dalam kelompok dan akses terhadap media komunikasi, semakin memberikan peluang yang tinggi untuk saling berbagi informasi dan pengetahuan dengan pihak lain utamanya sesama petani. Hal ini dibuktikan dengan adanya korelasi positif yang nyata antara ketersediaan media komunikasi konvensional dengan aspek kualitas berbagi informasi sebagaimana disajikan pada Tabel 32. Peran radio komunitas “Edelweis” yang berada di wilayah BPP Pacet juga memiliki peran yang cukup tinggi untuk meneruskan informasi yang diperoleh dengan memanfaatkan cyber extension ke petani di komunitasnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Yon 2009 bahwa dalam era kemunculan paradigma baru komunikasi pembangunan partisipatif-horizontal perlu dimunculkan kembali konsep komunikasi antar pribadi, media rakyat, dan komunikasi kelompok, dan model komunikasi dua tahap. Keuntungan relatif cyber extension merupakan karakteristik cyber extension yang memiliki korelasi positif yang nyata pada P0,01 dengan seluruh aspek peubah dari tingkat pemanfaatan cyber extension baik oleh petani responden di Jawa Barat maupun di Jawa Timur kecuali untuk aspek tingkat pengelolaan informasi secara interaktif dan jangkauan sumber informasi yang tidak ada hubungan nyata positif untuk petani di Jawa Barat dan aspek kualitas berbagi informasi untuk petani responden di Jawa Timur. Persepsi petani terhadap kesesuaian cyber extension dengan kebutuhan memberikan dampak positif pada seluruh aspek pemanfaatan cyber extension oleh petani responden di Jawa Timur kecuali pada aspek kualitas berbagi informasi. Sedangkan untuk di Jawa Barat aspek yang tidak memiliki hubungan nyata positif dengan persepsi petani terhadap kesesuaian cyber extension dengan kebutuhan adalah hanya pada tingkat pengelolaan informasi Tabel 32. Persepsi petani responden di Jawa Barat terhadap kesesuaian cyber extension dengan budaya berhubungan positif dengan intensitas pemanfaatan, dan tingkat akses cyber extension. Sedangkan bagi petani responden di Jawa Timur, aspek pemanfaatan cyber extension yang memiliki hubungan positif yang nyata dengan persepsi petani terhadap kesesuaian cyber extension dengan budaya adalah tingkat akses dan tingkat pengelolaan informasi dengan teknologi informasi. Tabel 32 Nilai Hubungan antara Persepsi terhadap Karakteristik Cyber Extension dengan Tingkat Pemanfaatan Cyber Extension Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Kesesuaian CE dengan kebutuhan .463 .472 .460 .546 .465 .493 0.131 .325 .260 .374 .204 0.06 Kemudahan untuk dilihat hasilnya .460 .390 .497 .375 .312 .491 .235 .399 0.123 .333 0.05 0.13 Keuntungan relatif .423 .652 .418 .571 .313 .567 0.078 .523 0.119 .577 .329 0.159 Kemudahan untuk diaplikasikan .397 .576 .312 .483 .306 .533 0.097 .350 ‐0.003 .421 0.114 0.118 Kesesuaian dengan budaya .273 0.097 .217 .263 0.178 0.105 0.076 .205 0.005 0.11 0.165 0.185 Peubah Intensitas peman- faatan Tingkat akses Tingkat manfaat yang dirasakan Tingkat pengelo- laan iinformasi Jangkauan sum- ber informasi Kualitas berbagi informasi Keterangan: signifikan pada P 0.01 dan signifikan pada P 0,05 Pemanfaatan teknologi informasi utamanya telepon genggam merupakan suatu kebutuhan untuk mendukung kegiatan usahatani khususnya dalam kegiatan pemasaran dan komunikasi. Semakin tinggi persepsi petani terhadap kesesuaian cyber extension dengan kebutuhan, semakin tinggi pula jenis sarana teknologi informasi yang diakses, semakin tinggi manfaat yang dirasakan, semakin tinggi jenis pengelolaan informasi berbasis teknologi informasi yang dilakukan. Penggunaan sarana teknologi informasi berbasis internet dianggap masih belum membudaya di sebagian besar petani karena keterbatasan sarana untuk akses dan pengetahuan petani untuk akses media komunikasi tersebut di samping kekhawatiran petani terhadap dampak negatif dari internet. Hal ini merupakan indikasi bahwa persepsi responden terhadap kesesuaian cyber extension dengan budaya memberikan pengaruh pada tingkat akses terhadap sarana teknologi informasi yang dibuktikan dengan adanya korelasi positif yang nyata antara kesesuaian cyber extension dengan budaya terhadap tingkat akses terhadap sarana teknologi informasi. Perilaku petani dalam pemanfaatan teknologi informasi, utamanya keterampilan dalam pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahatani berhubungan positif secara nyata terhadap tingkat akses dan pemanfaatan teknologi informasi Tabel 33. Tingkat pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani responden di Jawa Barat dan Jawa Timur dalam pemanfaatan teknologi informasi merupakan ketiga aspek perilaku pemanfaatan teknologi informasi yang memiliki hubungan yang nyata positif dengan hampir seluruh aspek peubah tingkat pemanfaatan cyber extension. Semakin terampil petani dalam menggunakan sarana berbasis teknologi informasi, semakin tinggi pula tingkat akses sarana teknologi informasi dan tingkat manfaat, tingkat pengelolaan informasi berbasis teknologi informasi, serta semakin luas pula jangkauan sumber informasi yang dapat diakses dan semakin berkualitas aktivitas berbagi informasinya. Hanya terdapat satu aspek pemanfaatan cyber extension yaitu kualitas berbagi informasi secara interaktif yang tidak berhubungan secara nyata dengan tingkat pengetahuan petani baik di Jawa Barat maupun di Jawa timur. Sedangkan sikap terhadap pemanfaatan teknologi informasi dan tingkat keterampilan petani di Jawa Timur dalam memanfaatkan teknologi informasi tidak berhubungan nyata dengan kualitas berbagi informasi. Tabel 33 Nilai Hubungan antara Perilaku Petani dalam Pemanfaatan Teknologi Informasi dengan Tingkat Pemanfaatan Cyber Extension Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Tingkat pengetahuan terhadap TI .477 .732 .716 .693 .474 .655 .417 .633 0.123 .595 0.061 0.136 Sikap terhadap pemanfaatan TI .353 .324 .501 .400 .290 .278 ‐0.06 .266 ‐0.09 .261 .227 0.172 Keterampilan menggunakan TI .535 .690 .705 .710 .433 .690 .315 .606 0.124 .614 .286 0.168 Kualitas berbagi informasi Peubah Intensitas peman- faatan Tingkat akses Tingkat manfaat yang dirasakan Tingkat pengelo- laan iinformasi Jangkauan sum- ber informasi Keterangan: signifikan pada P 0.01 dan signifikan pada P 0,05 Berdasarkan hasil analisis hubungan antara perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi dengan pemanfaatan cyber extension diketahui bahwa hanya ada tiga pola hubungan yang tidak menunjukkan tingkat hubungan yang nyata positif, yaitu hubungan antara pengetahuan terhadap aplikasi teknologi informasi dengan kualitas berbagi informasi, hubungan antara sikap terhadap pemanfaatan teknologi informasi dengan pengelolaan informasi dengan sarana teknologi informasi, dan hubungan antara sikap terhadap pemanfaatan teknologi informasi dengan jangkauan sumber informasi yang dapat diakses. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan informasi dengan sarana teknologi informasi dan jangkauan sumber informasi yang diakses cenderung tidak dipengaruhi oleh sikap responden terhadap pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahatani. Hal ini diduga tingginya tingkat jangkauan sumber informasi dapat pula disebabkan oleh faktor yang lain, di antaranya adalah oleh tingginya tingkat kosmopolitan dan tingkat keterlibatan dalam kelompok. Secara umum, apabila hubungan antar peubah sebagaimana disajikan pada Tabel 4 dalam Lampiran 1 dipelajari secara lebih mendalam maka tampak bahwa hamper seluruh hubungan antar peubah pada lima indikator tingkat pemanfaatan cyber extension yaitu tingkat akses terhadap teknologi informasi, intensitas pemanfaatan cyber extension, tingkat manfaat yang dirasakan, tingkat pengelolaan informasi, dan jangkauan sumber informasi menunjukkan hubungan positif yang nyata. Hal ini membuktikan adanya kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat akes teknologi informasi yang dominan dimanfaatkan untuk pemanfaatan cyber extension, semakin tinggi pula intensitasnya dalam memanfaatkan cyber extension, semakin tinggi pula manfaat yang dapat dirasakan, semakin tinggi pula tingkat pengelolaan informasi dengan menggunakan sarana teknologi informasi serta semakin luas pula jangkauan sumber informasi yang dapat diakses. Sedangkan untuk aspek kualitas berbagi hanya berhubungan nyata positif dengan dua indikator tingkat pemanfaatan teknologi informasi yang lainnya yaitu dengan tingkat akses teknologi informasi dan tingkat manfaat yang diasakan. Fakta ini memberikan gambaran bahwa semakin tinggi akses terhadap teknologi informasi akan meningkatkan pula kualitas berbagi informasi yang dilakukan oleh petani responden. Teknologi informasi dinyatakan oleh responden mampu mempermudah dalam berbagi pengetahuan dan informasi tanpa harus bertemu langsung dan mampu menjangkau pihak lain secara lebih luas karena tidak terkendala jarak, waktu, dan bahkan status. Petani yang sedang bekerja di kebun dapat langsung berbagi informasi dengan penyuluh yang sedang bertugas di kantor atau di tempat lain. Adanya konvergensi media juga mampu menjembatani komunikasi secara visual sehingga interactivity dapat terjadi secara lebih intens dan dekat sebagaimana disampaikan oleh Saetre dan Stephens 2008. Tingkat Keberdayaan Petani Sayuran Berdasarkan hasil kajian secara deduktif dirumuskan konsep tingkat keberdayaan petani adalah petani yang memiliki kekuatan secara mandiri dalam proses pengambilan keputusan usahataninya untuk menentukan komoditas, mengatur input produksi, memasarkan hasil, menentukan harga jual produk yang dihasilkan, mengelola informasi yang diperolehnya, mengelola hasil usahatani, dan mengakses teknologi yang dibutuhkan. Hal ini mengacu pada pendapat Mayouk 2010, bahwa salah satu keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari keberdayaannya dalam kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses sumber daya untuk kesejahteraan, serta kemampuan kultural dan politis. Di antara indikator kemampuan secara ekonomi adalah kebebasan petani dalam menentukan sendiri proses usahataninya dengan meminimalkan sedikit mungkin kekuasaan pihak lain dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam berusahatani. Mandiri bukan berarti mandiri dengan sikap menutup diri terhadap sistem sosialnya, namun juga membuka diri terhadap pengembangan modal sosial yang ada di lingkungannya melalui keaktifannya dalam bekerjasama atau bersinergi dengan pihak lain untuk kesejahteraan bersama. Hal ini sejalan dengan konsep yang dikemukakan oleh Slamet 2000 bahwa untuk menumbuhkan dan membina keberdayaannya, petani perlu diarahkan agar dengan kekuatan dan kemampuannya berupaya untuk bekerja sama dalam mencapai segala yang dibutuhkan dan diinginkan. Keberdayaan tidak berarti anti terhadap kerja sama atau menolak saling keterkaitan dan ketergantungan. Kemandirian justru menekankan perlunya kerja sama disertai tumbuh dan berkembangnya: aspirasi, kreativitas, keberanian menghadapi resiko, dan prakarsa seseorang bertindak atas dasar kekuatan sendiri dalam kebersamaan. Oleh karena itu, sebagai salah satu indikator dalam mengukur tingkat keberdayaan petani adalah kemampaun petani dalam bekerjasama atau bersinergi mendukung kegiatan usahatani. Petani berinteraksi dengan berbagai pihak dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan komoditas yang diusahakan, mengatur input produksi, memasarkan hasil, dan menentukan harga komoditas yang dihasilkannya. Pihak yang terlibat dalam berbagai proses pengambilan keputusan usahatani sayuran yang diukur dalam penelitian ini adalah petani lain, penyuluh, pedagang pengumpul, dan pedagangkonsumen. Ringkasan kategori petani berdasarkan tingkat keterlibatan pihak lain dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan usahatani disajikan pada Tabel 34. Tabel 34 Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Keterlibatan Pihak Lain dalam Proses Pengambilan Keputusan Usahatani Tingkat keterlibatan pihak lain Proses pengambilan keputusan usahatani jumlah responden dalam persen Menentuan komoditas Mengatur input Memasarkan hasil Menentukan harga Keterlibatan petani lain Tinggi 34,00 26,00 25,50 34,00 Sedang 37,00 36,50 33,50 21,50 Tidak terlibat 29,00 37,50 41,00 44,50 Keterlibatan penyuluh Tinggi 32,00 23,00 32,50 34,50 Sedang 29,00 39,50 15,50 14,50 Tidak terlibat 39,00 37,50 52,00 51,00 Keterlibatan pedagang pengepul Tinggi 41,00 40,50 44,50 56,00 Sedang 10,50 5,00 25,00 14,50 Tidak terlibat 48,50 54,50 30,50 29.50 Keterlibatan pedagangkonsumen Tinggi 34,50 34,50 27,00 36,00 Sedang 20,50 14,50 23,00 13,50 Tidak terlibat 45,00 51,00 50,00 50,50 Pada umumnya, petani lain secara merata terlibat di hampir seluruh proses pengambilan keputusan usahatani, dan yang tertinggi keterlibatannya adalah dalam menentuan komoditas yang diusahakan. Hal ini sangat dipahami karena sebagian besar petani bergantung masih pada petani lain yang lebih inovatif dalam mencoba komoditas baru untuk ditanam dan disebarkan pada petani lain. Bahkan di Desa Giripurno terdapat beberapa petani yang memang sengaja menyediakan lahan untuk pembibitan tanaman sayuran yang diperuntukkan bagi petani yang dibinanya untuk nanti hasilnya dijual ke petani penyedia bibit tersebut dengan harga jual menyesuaikan harga pasar. Responden juga menyatakan bahwa komoditas yang diusahakan seringkali bergantung pada ketua kelompok tani merupakan keputusan kelompok untuk mengusahakan komoditas tertentu. Apabila dilihat dari keseluruhan pihak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan usahatani diketahui bahwa pedagang pengumpul merupakan pihak yang paling dominan terlibat baik dalam menentukan komoditas, mengatur input, memasarkan hasil, dan menentukan harga. Baik di Giripurno maupun di Pacet tampak bahwa sebagian petani juga berprofesi sebagai pedagang pengumpul sekaligus sebagai pengurus suatu kelompok atau Gapoktan. Petani yang tidak melibatkan pedagang pengepul dalam proses pengambilan keputusan usahatani sebagian besar karena selain sebagai petani juga berprofesi sebagai pedagang pengepul. Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, petani yang menyatakan tingginya keterlibatan pedagangkonsumen dalam proses penentuan komoditas yang diusahakan karena terkait dengan trend permintaan konsumen dalam menentukan komoditas dan atau pedagang yang sangat terlibat pula dalam proses pengadaan input produksi utamanya pupuk dan obat-obatan untuk pemeliharaan tanaman. Salah satu permasalahan yang dihadapi petani adalah sulitnya input produksi utamanya pupuk bersubsidi dan bibit yang bermutu tinggi. Kalaupun ada, harganya sangat mahal dan sulit terjangkau sehingga pengaturan input produksi seringkali bergantung pada ketersediaan input yang ada pada pedagang sarana produksi. Fenomena yang terjadi di lapangan dapat dinyatakan bahwa rata-rata tingkat keberdayaan petani sebagian besar lebih dari 70 persen termasuk dalam kategori sangat rendah sampai sedang kecuali pada pengaturan input produksi yang sebagian besar 56 persen petani dalam kategori sedang sampai tinggi. Rendahnya tingkat keberdayaan petani ini sebagian besar karena tingginya keterlibatan pedagang pengepul di hampir seluruh proses pengambilan keputusan usahatani. Petani sayuran baik di Jawa Barat maupun di Jawa Timur menyatakan bahwa pedagang pengepul merupakan mitra yang dapat menjamin keberlanjutan usahataninya baik dalam hal penyediaan bibit maupun dalam menjamin komoditas yang dihasilkannya dapat dipasarkan. Bentuk kebergantungan petani terhadap pedagang pengepul ini dimulai dari penentuan komoditas yang ditanam, cara pemeliharaan, sampai pada saat panen sebagaimana disampaikan oleh salah seorang pemuda tani di Desa Giripurno pada Box 13 S, 33, penguasaan lahan sedang sebagai berikut. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan diketahui bahwa pada umumnya petani di Jatim lebih berdaya dibandingkan dengan petani di Jabar dalam hal menentukan komoditas, memasarkan hasil usahatani, dan menentukan harga komoditas yang dijualnya ke pedagang atau pengepul. Jumlah petani responden berdasarkan kategori tingkat keberdayaannya serta hasil uji beda antara di Jabar dan Jatim disajikan pada Tabel 35. Salah satu penyebab lebih tingginya rata-rata tingkat keberdayaan petani di Jatim dalam menentukan komoditas dan memasarkan hasil usahataninya adalah lebih tingginya variasi dan jumlah komoditas yang diusahakan oleh petani di Jatim yang sebagian besar merupakan komoditas sayuran eksotis okra, lettuce, kol merah, tan’o, sukini, paprika, dan daun ketumbar yang pangsa pasarnya adalah kelas menengah ke atas utamanya hotel berbintang. Dengan demikian petani di Batu cenderung lebih tinggi kemampuannya dalam hal perencanaan usahatani khususnya untuk menentukan komoditas yang diusahakannya meskipun dari segi tingkat pemanfaatan cyber extension masih dalam kategori rendah. Dengan memiliki jaringan pemasaran yang lebih luas, petani di Batu juga memiliki posisi tawar yang lebih baik. Di samping itu, dengan sarana teknologi informasi yang lebih tersedia untuk diakses di lingkungannya, informasi tentang harga pasar dan komoditas yang sedang dibutuhkan konsumen lebih mudah kemungkinannya untuk diakses. Box 13 “…. Saya menanam sayuran gimana yang diminta Bu L saja…….Bu L yang memberitahu saya untuk menanam kailan, sawi, bayem, wortel, dan jagung manis pada saat sekarang ini. Waktu panennya juga Bu L yang menentukan dan hasilnya langsung disetorkan ke Bu L begitu dipanen dari kebun. Berapapun yang saya tanam pasti laku dan dibeli dengan harga yang sudah ditentukan oleh Bu L. Saya sudah percaya sepenuhnya dengan Bu L. Kalau harga di pasaran naik, pasti harganya juga dinaikkan, tapi kalau harganya turun, Bu L akan membayar dengan harga yang tidak sampai merugikan saya. Jadi aman untuk usaha tanam sayuran selanjutnya….” Tabel 35 Jumlah Petani Berdasarkan Kategori Peubah Tingkat Keberdayaan Petani dan Hasil Uji Beda Antar Lokasi. Indikator keberdayaan petani Persentase Rata-rata Sig uji t Jabar Jatim Menentukan jenis komoditas Sangat rendah 0,00 Rendah 33,00 64,25 72,42 0,007 Sedang 29,00 Tinggi 38,00 Mengatur input usahatani Sangat rendah 0,00 Rendah 24,00 69,67 73,00 0,186 Sedang 50,00 Tinggi 26.00 Memasarkan hasil usahatani Sangat rendah 0,00 Rendah 20,00 67,67 73,00 0,036 Sedang 43,50 Tinggi 36,50 Menentukan harga jual produk Sangat rendah 0,00 Rendah 27.50 70,17 74,33 0,023 Sedang 37.00 Tinggi 35.50 Kemampuan bekerjasama Sangat rendah 0,00 Rendah 7.50 77.37 79,15 .907 Sedang 26.50 Tinggi 66.00 Mengelola informasi Sangat rendah 0,00 Rendah 21.50 69,67 66,89 0,956 Sedang 30.50 Tinggi 48.00 Mengolah hasil usahatani Sangat rendah 0,00 Rendah 57.50 48.56 47.89 0,017 Sedang 32.00 Tinggi 10.50 Mengakses teknologi Sangat rendah 0,00 Rendah 19.00 68.56 64.22 0,000 Sedang 50.00 Tinggi 31.00 Keterangan: signifikan pada P0,01 dan signifikan pada P 0,05 Terkait dengan tingkat keberdayaan dalam mengolah hasil usahatani dan mengakses teknologi, ternyata petani di Jabar lebih tinggi keberdayaannya dibandingkan dengan petani di Jatim. Wanita tani secara berkelompok sudah melakukan pengolahan hasil pertanian saat panen berlimpah dan tidak mampu diserap pasar misalnya dengan membuat manisan, kerupuk atau cake wortel. Petani di Pacet lebih aktif berkelompok dan peran pendamping penyuluh di wilayah kerja BPP Pacet juga relatif lebih baik dibandingkan dengan di Batu Jatim. Kondisi inilah yang juga diduga mendorong tingginya akses petani di Pacet terhadap teknologi pertanian. Wanita tani maju dapat mengakses informasi tentang teknologi pascapanen melalui internet selanjutnya dipraktekkan secara berkelompok. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Servaes 2007 bahwa teknologi informasi mampu meningkatkan peran perempuan yang semula cenderung pasif dan menciptakan peluang kerja peningkatan pendapatan. Berdasarkan hasil analisis korelasi, diketahui bahwa peubah yang memiliki hubungan nyata positif dengan tingkat keberdayaan petani sayuran baik untuk di Jabar maupun di Jatim umumnya adalah karakteristik individu, perilaku komunikasi, lingkungan strategis, persepsi terhadap karakteristik cyber extension, perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi, dan pemanfaatan cyber extension. Peubah-peubah tersebut lebih nyata berhubungan positif dengan tingkat keberdayaan petani pada aspek kemampuannya dalam bekerjasama, mengelola informasi, mengolah hasil usahatani, dan mengakses teknologi Tabel 36. Karakteristik individu yang dominan memiliki hubungan positif dengan tingkat keberdayaan petani dalam aspek kemampuan mengakses teknologi baik di Jawa Barat maupun di Jawa Timur adalah pendidikan, kepemilikan sarana teknologi informasi, dan lama menggunakan teknologi informasi. Tingkat keberdayaan yang berhubungan positif dengan pendidikan yang terbesar adalah pada aspek kemampuan mengakses teknologi. Semakin tinggi tingkat pendidikan petani sayuran semakin tinggi pula kemampuannya dalam mengakses teknologi untuk mendukung kegiatan usahatani. Sedangkan kepemilikan sarana teknologi informasi dan lama menggunakan sarana teknologi informasi memiliki hubungan yang positif pada empat aspek keberdayaan petani, yaitu selain dalam mengakses teknologi juga dalam bekerjasama, mengelola infomasi, dan mengolah hasil usahatani. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan sarana teknologi informasi yang dimiliki dan semakin lama menggunakan sarana teknologi informasi untuk mendukung usahatani mendorong pada semakin tingginya tingkat keberdayaan petani sayuran khususnya dalam mengakses teknologi, mengolah hasil pertanian, mengelola informasi yang diperolehnya dan juga dalam bekerjasama. Tabel 36 Nilai Hubungan antara Karakteristik Individu Petani dengan Tingkat Keberdayaan Petani Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Umur 0.026 0.175 0.129 0.183 ‐0.032 0.046 ‐0.015 0.028 ‐0.08 0.094 0.001 ‐0.161 0.067 ‐0.037 ‐0.112 ‐0.104 Pendidikan Formal .300 0.019 .259 0.076 .354 0.042 .256 ‐0.018 0.099 0.139 0.088 .246 .220 0.072 .313 .339 Kepemilikan TI ‐0.14 0.127 ‐0.189 .201 ‐0.166 .241 ‐.232 0.162 .228 .326 0.101 .404.271 .211 .224 .572 Lama menggunakan TI ‐0.072 0.06 ‐0.076 0.141 ‐0.066 .203 0 0.185 .213 .300 0.077 .403 0.12 .282 .264 .472 Penguasaan lahan .229 0.167 ‐0.15 0.179 ‐0.13 .252 ‐0.047 0.153 0.007 .224 ‐0.093 .202 0.115 0.174 0.022 .303 Kekosmopolitan ‐0.126 .317 ‐0.111 .373 ‐0.015 .231 0.043 .205 0.071 .336 0.16 .446 0.065 .288 0.026 .418 Keterlibatan dalam kelompok 0.013 0.039 ‐0.034 0.045 ‐0.083 ‐0.045 ‐0.01 ‐0.081 ‐.209 .400 0.036 .207 0.114 ‐0.005 0.042 .218 Kemampuan mengakses teknologi Kemampuan menentukan komoditas Kemampuan mengatur input Kemampuan me- masarkan hasil Kemampuan menentukan harga Kemampuan bekerjasama Kemampuan mengelola informasi Kemampuan mengelola hasil panen Peubah Keterangan: signifikan pada P0,01 dan signifikan pada P 0,05 Tingkat kekosmopolitan berhubungan positif secara nyata dengan hampir seluruh aspek tingkat keberdayaan petani sayuran. Semakin tinggi tingkat kosmopolitan petani, semakin tinggi pula tingkat keberdayaan petani dalam menentukan jenis komoditas, mengatur input, memasarkan hasil, menentukan harga komoditas yang dihasilkan, mengelola informasi, mengolah hasil usahatani, dan mengakses teknologi. Keterlibatan dalam kelompok memiliki hubungan secara nyata dengan tingkat keberdayaan petani pada aspek kemampuan dalam mengakses teknologi. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi keterlibatan petani dalam suatu kelompok, semakin tinggi pula kemampuan petani dalam mengakses teknologi. Kenyataan ini membawa pada kesimpulan bahwa untuk akses terhadap suatu teknologi pertanian, petani lebih cenderung tetap memanfaatkan media kelompok khususnya kelompok tani yang melakukan komunikas secara tatap muka melalui pertemuan kelompok. Kenyataan ini sejalan dengan IRRI 1989 bahwa inovasi berupa teknologi utamanya terkait dengan unsur obyek misalnya bibit atau benih dan praktek misalnya teknik budidaya dan pembuatan pupuk organik membutuhkan sarana untuk demonstrasi dan penjelasan secara interpersonal atau visual sehingga lebih mudah diterima pengguna di samping memerlukan pertimbangan pihak lain melalui forum diskusi. Tingkat kosmopolitan merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap sebagian besar aspek tingkat keberdayaan petani. Intensitas ke luar desa merupakan peubah yang secara nyata berhubungan dengan kemampuan petani dalam mengakses teknologi, mengatur input, memasarkan hasil, menentukan jenis komoditas, dan mengelola informasi. Sedangkan intensitas berinteraksi dengan pihak luar desa merupakan peubah yang dominan memiliki hubungan positif yang nyata dengan kemampuan petani dalam mengelola informasi dan intensitas petani mencari informasi melalui berbagai mediasumber informasi dominan mempengaruhi kemampuan petani dalam bekerjasama dan mengelola informasi, mengakses teknologi, dan mengolah hasil usahatani. Semakin tinggi interaksi petani dengan pihak luar desa yang terkait dengan kegiatan pertanian semakin tinggi pula keberdayaan petani. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk memacu intensitas interaksi petani dengan pihak luar desa adalah dengan mengoptimalkan kinerja penyuluh di lapangan atau tingkat desa. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan diketahui bahwa sebagian besar petani baik di Pacet terutama di Bumiaji menyatakan bahwa intensitas penyuluh di wilayahnya masih kurang, bahkan sebagian petani menyatakan selama satu tahun terakhir belum pernah bertemu dengan penyuluh. Namun demikian, mengingat terbatasnya jumlah penyuluh lapangan yang bertugas, maka perlu juga dilakukan pengembangan kemitraan dengan swasta dan sukarelawan pendamping petani serta mengoptimalkan kelembagaan komunikasi tingkat lokal. Berdasarkan hasil analisis korelasi antara faktor lingkungan dengan tingkat keberdayaan petani dapat dinyatakan bahwa penyediaan sarana akses informasi berbasis teknologi informasi akan mendorong pada peluang petani di Jawa Barat maupun di Jawa Timur untuk semakin meningkatkan akses informasi berbasis teknologi informasi Tabel 37. Meskipun tidak memiliki sarana teknologi informasi, namun setidaknya apabila terdapat dukungan sarana teknologi informasi yang dapat diakses petani dengan mudah, maka petani diberikan peluang yang lebih tinggi untuk akses terhadap sistem informasi berbasis teknologi informasi yang mendorong pada meningkatnya keberdayaan petani. Tabel 37 Nilai Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Tingkat Keberdayaan Petani Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Ketersediaan media konvensional ‐0.18 0.194 ‐0.107 0.196 0.007 0.164 0.102 0.104 0.139 .247 0.089 .247 .295 0.106 0.175 .260 Ketersediaan sarana TI .377 .249 .411 .286 ‐.295 .203 ‐0.196 0.186 .267 .245 0.135 .225.376 0.124 0.118 .379 Ketersediaan infrastruktur ‐0.153 .226 ‐0.142 0.156 ‐0.01 0.081 ‐0.047 0.134 0.012 0.081 ‐0.018 0.031 0.179 ‐0.009 0.123 .214 Keterjangkauan fasilitas training 0.017 ‐0.131 ‐0.097 ‐0.1 ‐.221 ‐0.055 ‐0.035 ‐0.093 .210 0.065 0.155 .272 0.071 .230 .299 0.156 Kemampuan bekerjasama Kemampuan mengelola informasi Kemampuan mengelola hasil panen Peubah Kemampuan menentukan komoditas Kemampuan mengatur input Kemampuan me- masarkan hasil Kemampuan menentukan harga Kemampuan mengakses teknologi Keterangan: signifikan pada P0,01 dan signifikan pada P 0,05 Lingkungan strategis yang dominan berhubungan positif secara nyata dengan keberdayaan petani adalah ketersediaan sarana untuk akses informasi berbasis teknologi informasi, media konvensional, dan fasilitasi training. Ketersediaan sarana akses informasi berbasis teknologi informasi mempengaruhi kemampuan petani dalam mengakses teknologi, bekerjasama, dan mengolah hasil usahatani. Sedangkan ketersediaan media komunikasi konvensional cenderung mempengaruhi kemampuan petani dalam mengakses teknologi, mengolah hasil usahatani, dan bekerjasama. Sedangkan fasilitasi training lebih banyak berpengaruh terhadap tingkat keberdayaan petani dalam mengakses teknologi dan dalam mengelola informasi berbasis teknologi informasi. Kesesuaian cyber extension dengan kebutuhan memiliki hubungan positif yang nyata terhadap tingkat keberdayaan petani dalam mengakses teknologi, mengolah hasil, mengelola informasi, dan bekerjasama. Kemudahan cyber extension diaplikasikan berpengaruh terhadap kemampuan petani bekerjasama, mengakses teknologi, dan mengolah hasil usahatani. Keuntungan relatif cyber extension memiliki hubungan yang nyata dengan kemampuan petani dalam mengakses teknologi dan bekerjasama Tabel 38. Tabel 38 Nilai Hubungan antara Persepsi Petani terhadap Karakteristik Cyber Extension dengan Tingkat Keberdayaan Petani Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Kesesuaian CE dengan kebutuhan ‐0.109 0.161 ‐0.072 0.19 ‐0.059 .316 0.049 .266 .219 .247 0.118 .440 .209 .317 .361 .404 Kemudahan untuk dilihat hasilnya ‐0.134 0.05 ‐0.124 0.084 ‐0.173 0.048 ‐0.192 0.073 .241 0.163 0.033 0.194 0.177 0.132 0.163 .241 Keuntungan relatif ‐0.04 0.092 ‐0.155 .207 ‐0.037 0.185 0.076 0.151 .240 .276 0.062 .349 0.102 .265 .219 .455 Kemudahan untuk diaplikasikan ‐0.113 0.18 ‐0.057 0.189 ‐0.003 0.114 ‐0.067 0.128 0.09 .268 ‐0.042 .379 0.07 .291 .216 .407 Kesesuaian dengan budaya ‐0.194 .211 ‐0.18 0.165 ‐0.119 0.052 ‐0.124 0.027 0.087 .316 0.04 ‐0.035 .296 0.045 0.122 .291 Kemampuan bekerjasama mengelola informasi mengelola hasil panen Peubah menentukan komoditas Kemampuan mengatur input Kemampuan me- masarkan hasil menentukan harga mengakses teknologi Keterangan: signifikan pada P0,01 dan signifikan pada P 0,05 Persepsi petani terhadap kemudahan cyber extension untuk dilihat hasilnya memiliki hubungan positif yang nyata terhadap kemampuan petani dalam mengakses teknologi. Kesesuaian cyber extension dengan budaya cenderung mempengaruhi kemampuan petani dalam bekerjasama dan mengakses teknologi. Semakin tinggi persepsi petani terhadap kesesuaian cyber extension dengan budaya dan kebiasaan akan mendorong pula pada semakin tingginya petani menggunakan cyber extension utamanya untuk mengakses teknologi dan bekerjasama melalui proses komunikasi secara interaktif yang dapat dilakukan setiap saat tanpa kendala jarak dan waktu. Fenomena yang disajikan pada Tabel 35 menunjukkan bahwa kesesuaian cyber extension dengan kebutuhan memiliki hubungan positif yang nyata terhadap tingkat keberdayaan petani di Jatim dan Jabar dalam mengelola hasil usahatani, mengakses teknologi dan bekerjasama serta terhadap tingkat keberdayaan petani di Jatim dalam memasarkan dan menentukan harga jual. Sedangkan Persepsi petani terhadap keuntungan relatif cyber extension memiliki hubungan yang nyata dengan kemampuan petani di Jabar dan Jatim dalam mengakses teknologi dan bekerjasama. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan diketahui pula bahwa perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi baik pengetahuan, sikap, maupun keterampilan untuk akses teknologi informasi secara nyata berhubungan dengan aspek keberdayaan petani dalam hal bekerjasama, mengelola informasi, mengolah hasil pertanian, dan mengakses teknologi pertanian sesuai dengan kebutuhan. Nilai hubungan antara perilaku petani dalam memanfaatkan sarana teknologi informasi dengan tingkat keberdayaan petani disajikan pada Tabel 39. Tabel 39 Nilai Hubungan antara Perilaku Petani dalam Pemanfaatan Teknologi Informasi dengan Tingkat Keberdayaan Petani Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Tingkat pengetahuan terhadap TI ‐0.012 0.065 ‐0.082 0.087 ‐0.092 0.126 ‐0.17 0.107 0.178 .287 ‐0.082 .417 0.154 0.177 .231 .487 Sikap terhadap pemanfaatan TI ‐0.109 0.178 ‐0.179 0.178 ‐0.111 0.131 ‐0.161 0.161 .364 0.185 0.066 .285 0.153 0.175 0.146 .271 Keterampilan menggunakan TI ‐0.01 0.03 ‐0.162 0.098 ‐0.091 0.166 ‐0.013 0.123 0.156 .298 0.094 .420 0.136 .239 .297 .532 Kemampuan bekerjasama Kemampuan mengelola informasi Kemampuan mengelola hasil panen Peubah Kemampuan menentukan komoditas Kemampuan mengatur input Kemampuan me- masarkan hasil Kemampuan menentukan harga Kemampuan mengakses teknologi Keterangan: signifikan pada P0,01 dan signifikan pada P 0,05 Berdasarkan hasil analisis korelasi, diketahui bahwa seluruh peubah perilaku dalam memanfaatkan teknologi informasi memiliki hubungan yang nyata pada P0,01 dengan tingkat keberdayaan petani di Jatim khususnya pada aspek kemampuannya dalam mengakses teknologi dan mengelola informasi. Sedangkan bagi petani di Jabar, sikap dalam pemanfaatan teknologi informasi memiliki hubungan yang nyata dengan kemampuannya dalam bekerjasama dan bersinergi. Semakin positif sikapnya dalam memanfaatkan teknologi informasi akan semakin mendorong pada aktifnya mengembangkan jaringan karena kemudahan untuk berbagi secara interaktif sehingga memunculkan peluang yang lebih tinggi untuk bekerjasama. Sejalan dengan peubah perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi, hasil analisis korelasi yang disajikan pada Tabel 40 menunjukkan bahwa seluruh peubah tingkat pemanfaatan cyber extension juga memiliki hubungan positif yang nyata dengan kemampuan petani di Jatim dalam mengakses teknologi dan mengelola informasi. Di samping itu, kecuali pada peubah jangkauan sumber informasi, peubah tingkat pemanfaatan cyber extension lainnya juga memiliki hubungan nyata dengan aspek kemampuan petani Jatim dalam bekerjasama. Hal ini berbeda dengan kondisi di Jabar dimana peubah yang dominan berhubungan nyata dengan aspek tingkat keberdayaan petani untuk kemampuannya dalam menentukan komoditas, mengatur input, bekerjasama, mengelola informasi, mengolah hasil panen, dan mengakses teknologi. Tabel 40 Nilai Hubungan antara Tingkat Pemanfaatan Cyber Extension dengan Tingkat Keberdayaan Petani. Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Jabar Jatim Intensitas pemanfaatan ‐0.136 0.124 ‐0.143 .205 ‐0.088 .233 ‐0.047 .208 .217 .241 0.19 .373.274 .214 0.155 .518 Tingkat akses ‐0.163 0.158 .352 .219 .263 0.191 .258 0.147 .256 .317 ‐0.024 .470 0.1 0.142 .254 .541 Tingkat manfaat yang dirasakan ‐0.009 ‐0.123 0.08 ‐0.123 0.106 ‐0.054 0.067 .218 .294 0.044 .453.394 0.086 0.167 .494 Tingkat pengelolaan iinformasi 0.149 0.177 0.171 .199 0.105 0.185 0.019 0.094 ‐0.016 .339 ‐0.036 .384 ‐0.04 0.138 0.176 .459 Jangkauan sumber informasi 0.104 0.128 0.144 0.194 0.06 .200 0.091 0.157 0.144 0.19 ‐0.079 .467 0.068 .285 .277 .525 Kualitas berbagi informasi .288 0.043 .421 0.111 ‐0.172 0.009 ‐0.028 0.009 .319 .289 0.168 .245.352 0.113 .228 .295 Kemampuan menentukan harga Kemampuan bekerjasama Kemampuan mengelola informasi Kemampuan mengelola hasil panen Kemampuan mengakses teknologi Peubah Kemampuan menentukan komoditas Kemampuan mengatur input Kemampuan me- masarkan hasil Keterangan: signifikan pada P 0.01 dan signifikan pada P 0,05. Intensitas pemanfaatan, tingkat akses, tingkat manfaat yang dirasakan merupakan tiga peubah tingkat pemanfaatan cyber extension yang berhubungan nyata positif dengan tingkat keberdayaan petani baik di Jabar maupun di Jatim khususnya untuk aspek kemampuannya dalam bekerjasama. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi intensitas pemanfaatan dan tingkat akses terhadap cyber extension serta semakin tinggi tingkat manfaat yang dirasakan petani akan semakin tinggi tingkat keberdayaannya dalam bekerjasama. Kerjasama yang biasa dilakukan di antaranya adalah dalam pembelian input produksi benihbibit dan pupuk karena didukung oleh mudahnya aktivitas komunikasi dan berbagi informasi secara interaktif di antara sesama petani melalui sarana teknologi informasi dalam implementasi cyber extension. Intensitas pemanfaatan cyber extension, tingkat pemanfaatan, dan kualitas berbagi secara interaktif merupakan tiga peubah dari tingkat pemanfaatan cyber extension yang memiliki hubungan nyata positif dengan tingkat keberdayaan petani di Jabar utamanya pada aspek kemampuan dalam mengolah hasil pertanian. Semakin tinggi intensitas pemanfaatan cyber extension, manfaat yang dirasakan, dan semakin tinggi kualitasnya dalam berbagi informasi secara interaktif, maka semakin tinggi pula tingkat keberdayaan petani khususnya terkait dengan kemampuan petani dalam mengolah hasil pertanian. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya aktivitas pengolahan hasil usahatani sayuran oleh wanita tani yang biasanya tegabung dalam kelompok wanita tani KWT menjadi produk olahan yang dapat meningkatkan nilai tambah produk yang dihasilkan petani di Pacet. Informasi pengolahan hasil sayuran diperoleh dari internet atau CD yang selanjutnya dibagikan bersama kepada anggota kelompok untuk dipraktekkan dengan proses pendampingan oleh penyuluh secara berkelompok. Berdasarkan hasil penelitian diketahui pula bahwa dengan semakin luas jangkauan sumber informasi yang dapat diakses oleh petani baik di Jabar maupun di Jatim memberikan peluang semakin tinggi pula tingkat keberdayaannya dalam mengakses teknologi petanian. Oleh karena itu, salah satu cara untuk meningkatkan keberdayaan petani dalam akses terhadap teknologi adalah dengan mendekatkan sumber informasi pertanian yang relevan dan meningkatkan kapasitasnya dalam mengakses sumber informasi sesuai dengan kebutuhannya. Teknologi informasi merupakan salah satu media komunikasi yang memungkinkan untuk meningkatkan peluang jangkauan sumber informasi secara lebih luas. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Mauren 2009 menyatakan bahwa pengembangan sumber informasi dengan sinergi aplikasi teknologi informasi dan komunikasi seperti telecenter, radio komunitas, dan handphone melalui pengiriman SMS dapat dioptimalkan untuk meningkatkan akses petani ke sumber informasi. Permasalahan yang terjadi di lapangan adalah terbatasnya sumber informasi teknologi pertanian yang akurat dan sesuai dengan kebutuhan petani yang dapat diakses petani di tingkat lokal. Sebagian besar petani dengan tingkat keberdayaan yang rendah dalam mengakses teknologi adalah petani yang memiliki jangkauan sumber informasi yang hanya sebatas tingkat desa sesama petani. Sumber informasi yang sulit diakses di tingkat lokal terutama adalah terkait dengan input produksi yaitu informasi tentang bibit atau benih unggul dan pupuk bersubsidi serta informasi pemasaran. Pengembangan access point berbasis teknologi informasi yang berada di tingkat desa minimal di tingkat kecamatan atau sentra produksi yang dilengkapi dengan node atau subaccess point di tingkat desa atau dusun berbasis teknologi informasi sederhana radio komunitas dan optimalisasi telepon genggam untuk informasi pertanian yang berada di tingkat desa sangat diperlukan untuk mendekatkan sumber informasi pertanian bagi petani yang tidak memiliki sumber daya untuk akses informasi berbasis teknologi informasi. Hasil analisis hubungan antar peubah tingkat keberdayaan petani yang disajikan pada Tabel 6 dalam Lampiran 1 diketahui adanya hubungan positif yang nyata antara kemampuan menentukan jenis komoditas yang diusahakan dengan kemampuan mengatur input usahatani, memasarkan hasil usahatani, menentukan harga jual usahatani, dan mengakses teknologi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tnggi tingkat keberdayaan petani dalam hal menentukan komoditas, akan cenderung meningkatkan pula kemampuan petani dalam mengatur input, memasarkan hasil, menentukan harga, dan mengakses teknologi yang dibutuhkan. Sedangkan aspek keberdayaan yang berhubungan positif secara nyata dengan kemampuan bekerjasama adalah kemampuan mengelola informasi, mengolah hasil usahatani, dan mengakses teknologi. Semakin tinggi tingkat kemampuan petani dalam bekerjasama akan cenderung meningkatkan pula kemampuannya dalam mengelola informasi, mengolah hasil usahatani, dan mengakses teknologi pertanian yang dibutuhkan. Hal ini memberikan fakta bahwa dengan aktivitas kerjasama yang dilakukan dapat mendorong pada tingginya aktivitas untuk saling berbagi termasuk dalam memperoleh teknologi pertanian yang dibutuhkan dan mengelola informasi yang diperolehnya sehingga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuannya dalam mengolah hasil usahataninya. Satu aspek yang menarik terkait dengan hubungan antar peubah pada tingkat keberdayaan adalah bahwa kemampuan mengakses teknologi pertanian yang dibutuhkan merupakan satu-satunya aspek tingkat keberdayaan yang memiliki hubungan positif secara nyata dengan seluruh indikator tingkat keberdayaan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa petani responden yang memiliki kemampuan mengakses teknologi pertanian dengan baik akan cenderung mampu menentukan jenis komoditas yang diusahakannya dengan baik, mampu mengatur input produksi, mampu memasarkan hasil usahataninya, mampu menentukan sendiri harga jual hasil usahataninya, lebih mampu bekerjasma dengan pihak lain, mampu pula mengelola informasi yang diperolehnya dengan baik, serta mampu mengolah hasil usahataninya dengan lebih baik. ANALISIS FAKTOR DOMINAN YANG MEMPENGARUHI PERILAKU PETANI DALAM MEMANFAATKAN TEKNOLOGI INFORMASI, TINGKAT PEMANFAATAN CYBER EXTENSION, DAN TINGKAT KEBERDAYAAN PETANI Analisis terhadap faktor dominan yang mempengaruhi perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi, tingkat pemanfaatan cyber extension, dan tingkat keberdayaan petani dilakukan dengan metode SEM menggunakan software LISREL 8.70. Tahap awal dalam pengujian SEM dilakukan dengan menduga atau menguji parameter dari kerangka berpikir atau model hipotetik dan tahap selanjutnya adalah uji struktural hybrid model Wijanto 2008. Berdasarkan hasil uji CFA, diketahui bahwa peubah laten eksogen yang cukup memenuhi persyaratan valid dan dominan merefleksikan karakteristik individu petani adalah tingkat kekosmopolitan. Sedangkan keenam peubah karakteristik individu lainnya yaitu umur, tingkat pendidikan, kepemilikan sarana teknologi informasi, lama menggunakan sarana teknologi informasi, luas penguasaan lahan, dan keterlibatan dalam kelompok dikeluarkan dari model. Tingkat kekosmopolitan merupakan aktivitas petani berinteraksi dengan pihak luar sistem sosial termasuk mobilitasnya untuk keluar desa dan keaktifannya dalam mencari informasi melalui berbagai sumber informasi untuk mendukung kegiatan usahataninya. Terkait dengan faktor lingkungan, peubah yang dominan merefleksikan faktor tersebut adalah ketersediaan sarana berbasis teknologi informasi. Ketersediaan sarana akses informasi berbasis teknologi informasi adalah ketersediaan sarana yang memungkinkan petani mengakses informasi melalui aplikasi teknologi informasi. Sarana untuk akses informasi berbasis teknologi informasi tersebut meliputi telepon rumah, telepon genggam, komputer, komputer berinternet baik milik sendiri maupun milik orang lain ataupun yang disediakan oleh telecenter dan warung internet. Sedangkan persepsi petani terhadap kemudahan cyber extension untuk dilihat hasilnya dan keuntungan relatif cyber extension merupakan peubah yang dominan merefleksikan persepsi petani terhadap karakteristik cyber extension. Hal ini sejalan dengan sifat petani yang cenderung kurang mampu berpikir abstrak sehingga hanya akan mengadopsi 216 suatu inovasi apabila dengan mudah dan nyata dapat melihat hasilnya serta secara ekonomi menguntungkan. Petani mudah memanfaatkan teknologi informasi utamanya telepon genggam untuk berkomunikasi dan berbagi informasi. Di samping itu, dengan pemanfaatan teknologi informasi melalui implementasi cyber extension mampu memberikan keuntungan secara ekonomi dibandingkan apabila tidak menggunakannya, misalnya dengan fasilitas teknologi informasi, petani dapat memperoleh informasi harga secara lebih cepat sehingga meningkatkan harga jual usahatani karena memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dan juga dapat menghemat biaya transportasi dan waktu. Transaksi jual beli dapat dilakukan melalui fasilitas sarana teknologi informasi dan selanjutnya proses pembayaran dapat dilakukan melalui proses transfer melalui bank yang telah disepakati kedua belah pihak. Melalui uji CFA diketahui pula bahwa peubah yang dominan merefleksikan perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi adalah sikap dan keterampilan petani dalam menggunakan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahatani bukan aspek tingkat pengetahuannya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun aspek pengetahuan petani terhadap pemanfaatan teknologi informasi tinggi, namun apabila tidak didukung dengan sikap positif dan keterampilannya dalam memanfaatkan teknologi informasi tidak akan mempengaruhi tingkat pemanfaatan cyber extension dan tingkat keberdayaannya. Dilihat dari faktor tingkat pemanfaatan cyber extension, peubah yang dominan merefleksikan faktor tersebut adalah tingkat manfaat yang dirasakan, tingkat pengelolaan informasi berbasis teknologi informasi, dan kualitas berbagi informasi secara interaktif. Tingkat manfaat yang dirasakan oleh petani merupakan derajad manfaat cyber extension yang dapat dirasakan oleh petani baik untuk komunikasi, promosi usahatani, dan akses informasi yang dibutuhkan. Tingkat pengelolaan informasi berbasis teknologi informasi adalah bagaimana teknologi informasi dapat mendukung kegiatan pengelolaan informasi baik untuk menyimpan data, mengolah data, mengirim pesangambar, mendokumentasikan kegiatan atau produk, serta memudahkan pekerjaan sehari-hari. Sedangkan tingkat berbagi informasi secara interaktif adalah aktivitas petani dalam membagikan informasi yang diaksesnya melalui cyber extension atau teknologi informasi kepada orang lain melalui beragam media komunikasi yang tersedia di lingkungannya. Melalui penelitian ini diketahui pula bahwa peubah yang dominan merefleksikan tingkat keberdayaan petani sayuran adalah kemampuan dalam mengatur input, kemampuan mengolah hasil pertanian, dan kemampuan dalam mengakses teknologi. Kemampuan mengatur input produksi merupakan aspek penting dalam keberdayaan petani karena terkait dengan kegiatan merencanakan kebutuhan bibit, pupuk, obat-obatan yang akan dibeli dan kapan digunakan untuk kegiatan usahataninya. Komoditas sayuran merupakan jenis tanaman yang memerlukan input produksi yang relatif tinggi dan rentang waktu kebutuhan yang lebih pendek dibandingkan dengan komoditas pertanian lainnya. Hal ini mengingat komoditas sayuran sangat beragam dengan masa tanam hingga panen yang relatif pendek yaitu antara 2 – 4 bulan. Kendala yang sering terjadi di lapangan adalah ketersediaan input produksi di tingkat lokal terbatas terutama untuk bibit yang berkualitas serta ketersediaan pupuk dan obat pemberantasan hamapenyakit. Kemampuan mengolah hasil panen juga merupakan aspek penting dalam menentukan tingkat keberdayaan petani karena sifat komoditas sayuran yang tidak tahan lama sehingga membutuhkan penanganan pascapanen sorting, grading, packing , pengeringan maupun pengolahan hasil panen menjadi produk olahan. Kemampuan dalam mengolah hasil usahatani merupakan indikator keberdayaan yang penting untuk meningkatkan nilai tambah hasil usahatani petani. Demikian halnya dengan kemampuan mengakses teknologi produksi dan pemasaran terkait erat dengan sifat dari budidaya tanaman sayuran yang relatif membutuhkan teknologi tinggi karena kurang tahan rentan terhadap faktor cuaca sehingga seringkali terjadi fluktuasi harga yang sangat tajam. Model hubungan antar faktor dominan yang mempengaruhi perilaku petani dalam pemanfaatan teknologi informasi, tingkat pemanfaatan cyber extension, dan tingkat keberdayaan petani sayuran yang telah memenuhi kriteria Goodness of Fit Statistics disajikan pada Gambar 21. 218 Gambar 21 Estimasi Parameter Hybrid Model Standardized Faktor Dominan yang Mempengaruhi Perilaku Pemanfaatan Teknologi Informasi, Tingkat Pemanfaatan Cyber Extension, dan Tingkat Keberdayaan Petani Secara umum dapat dinyatakan bahwa berdasarkan kriteria GFT melalui uji overall model fit diperoleh hasil uji dari masing-masing kriteria termasuk dalam kategori fit. Berdasarkan Kusnendi 2008 dinyatakan bahwa model tersebut sudah layak untuk dianalisis lebih lanjut sebagai dasar penyusunan strategi pemanfaatan cyber extension sebagai media komunikasi dalam pemberdayaan petani sayuran. Dengan kata lain, model telah diuji mampu mengestimasi matrik kovarian populasi atau hasil estimasi parameter model yang dapat diberlakukan pada populasi penelitian. Uji kecocokan model konstruk Chi ‐Square=38,36; df=27, P_values=0,073; RMSEA=0,046; CFI=0,986; GFI=0,975; AGFI=0,927 0,1 0,07 Kemampuan mengatur input Y 2.2 Kemampuan mengolah hasil usahatani Y 2.7 Kemampuan mengakses teknologi Y 2.8 Keberda- yaan petani Y 2 0,88 0,51 0,50 Ketersediaan sarana untuk akses informasi berbasi TI X 2.2 Lingkung- an X 3 1,0 Perilaku pemanfaatan TI X 4 Keterampilan X 4.3 Sikap X 4.2 1,0 0,6 0,24 0,79 Tingkat kekosmo- politan X 1.1 Karakteris- tik individu X 1 1,0 Keuntungan relatif CE X 3.3 Kemudahan CE untuk dilihat hasilnya X 3.4 Karakteristik cyber exten- sion X 3 1,00 0,67 Pemanfaatan CE Y 1 Tingkat pengelolaan informasi berbasis TI Y 1.4 Tingkat manfaat Y 12 Kualitas berbagi informasi secara interaktif Y 1.6 0,68 0,77 0,56 0,20 0,19 0,14 0,03 0,34 0,15 0,46 Berhubungan nyata langsung Berhubungan nyata tidak langsung Tidak berhubungan nyata terhadap faktor dominan yang mempengaruhi perilaku pemanfaatan teknologi informasi, pemanfaatan cyber extension, dan tingkat keberdayaan petani disajikan dalam Tabel 41. Tabel 41 Ringkasan Hasil Analisis Kelayakan Model Struktural. Model P-values RMSEA CFI NNFI GFI AGFI Model 0,072 0,046 0,985 0,963 0,975 0,927 Layak untuk ukuran goodness of fit test 0,05 0,08 0,09 0,90 0,90 0,8 – 0,9 Evaluasi model Layak Layak Layak Layak Layak Layak Berdasarkan hasil pengujian terhadap kesesuaian model tersebut diketahui bahwa oleh tiga ukuran goodness of fit statistics utama, yaitu nilai P_hitung sebesar 0,07 0,05, RMSEA sebesar 0,046 0,08, dan CFI sebesar 0,985 0,90. Penggunaan khi-kuadrat P-value sangat sensitif terhadap ukuran contoh. Untuk ukuran contoh yang besar, statistik ini cenderung menilai matriks koragam contoh tidak sama dengan matriks koragam CFA. Oleh karena itu, sebagai pendamping khi-kuadrat dalam analisis kelayakan juga digunakan GFI dan AGFI yang masing-masing analog dengan statistik R 2 dan adjusted R 2 dalam analisis regresi. Dalam model menunjukkan bahwa nilai GFI dan AGFI masing- masing juga di atas 0,9 sehingga secara keseluruhan model structural faktor dominan yang mempengaruhi pemanfaatan cyber extension dan tingkat keberdayaan petani sayuran yang dianalisis sudah fit. Berdasarkan gambar estimasi parameter model struktural dapat dijelaskan pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung antar peubah penelitian. Selanjutnya Tabel 42 menyajikan secara ringkas rangkuman hubungan kausal baik pengaruh langsung maupun tidak langsung antarpeubah-peubah laten penelitian dan nilai t sebagai uji statistik. 220 Tabel 42 Dekomposisi Pengaruh Antarpeubah dalam Standardized Hubungan antar Peubah Nilai koefisien pengaruh langsung Nilai koefisien pengaruh tidak langsung melalui Total Nilai t pada α = 0,05 R 2 Perilaku peman- faatan TI Tingkat manfaat CE Karakteristik individu Perilaku peman- faatan TI 0,24 - - 0,24 2,05 0,07 Karakteristik cyber extension 0,03 - - 0,03 0,34 Karakteristik individu Peman- faatan cyber extension 0,79 0,03 - 0,82 8,79 Faktor lingkungan 0,07 - - 0,07 1,37 Karakteristik cyber extension 0,15 0,005 - 0,15 2,34 0,89 Perilaku pemanfaatan TI 0,15 - - 0,15 2,01 Karakteristik individu Tingkat keberda- yaan petani 0,20 - - 0,20 4,26 Faktor lingkungan 0,19 - 0,02 0,21 2,22 Karakteristik cyber extension 0,14 0,03 0,05 0,20 2,19 0,43 Perilaku pemanfaatan TI 0,46 - 0,05 0,51 7,52 Pemanfaatan cyber extension 0,34 - - 0,34 2,26 Kesimpulan hasil analisis SEM dari bentuk hubungan antarpeubah penelitian baik langsung maupun tidak langsung sebagaimana disajikan pada Tabel 47 dapat dideskripsikan sebagai berikut. 1. Peubah karakteristik individu utamanya tingkat kekosmopolitan dengan perilaku pemanfaatan teknologi informasi memiliki pengaruh yang nyata dengan nilai t = 2,05. Peubah eksogen persepsi petani terhadap karakteristik cyber extension ternyata tidak berpengaruh secara nyata terhadap peubah endogen perilaku pemanfaatan teknologi informasi. Diagram jalur faktor yang mempengaruhi perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi disajikan pada Gambar 22. Gambar 22 Diagram Jalur Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Petani dalam Memanfaatkan Teknologi Informasi Perilaku dalam memanfaatkan teknologi informasi berpengaruh nyata tidak berpengaruh nyata Keterangan: t=2,05 t=0,34 Karakteristik individu Persepsi terhadap karakteristik cyber extension 2. Peubah eksogen karakteristik individu, persepsi terhadap karakteristik cyber extension , dan perilaku pemanfaatan teknologi informasi berpengaruh secara nyata terhadap peubah endogen tingkat pemanfaatan cyber extension pada nilai t berturut-turut adalah sebesar 8,79; 2,34; dan 2,01 Gambar 23. Berdasarkan nilai koefisien dari jalur pengaruh yang dianalisis dapat dinyatakan bahwa peubah laten endogen tingkat pemanfaatan cyber extension dijelaskan sebesar 67 persen 0,82 2 oleh peubah laten eksogen karakteristik individu serta masing-masing hanya sebesar 2,2 persen oleh peubah laten eksogen persepsi terhadap karakteristik cyber extension dan perilaku dalam memanfaatkan teknologi informasi. Diagram jalur faktor yang mempengaruhi tingkat pemanfaatan cyber extension disajikan pada Gambar 23. Gambar 23 Diagram Jalur Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Cyber Extension 3. Kelima peubah yaitu perilaku dalam memanfaatkan teknologi informasi, karakteristik individu, tingkat pemanfaatan cyber extension, persepsi petani terhadap karakteristik cyber extension, dan faktor lingkungan berpengaruh secara nyata terhadap peubah endogen tingkat keberdayaan petani pada nilai t berturut-turut adalah sebesar 7,52; 4,26; 2,26; 2,22; dan 2,19. Berdasarkan nilai koefisien dari masing-masing jalur pengaruh Gambar 24 maka hasil tersebut memiliki makna bahwa peubah laten endogen tingkat keberdayaan t=8,79 Tingkat pemanfaatan cyber extension Perilaku dalam memanfaatkan teknologi informasi Karakteristik individu Lingkungan Persepsi terhadap karakteristik cyber extension berpengaruh nyata tidak berpengaruh nyata Keterangan: t=2,34 t=2,01 t=1,37 222 petani sayuran dijelaskan terbesar oleh peubah laten eksogen perilaku pemanfaatan teknologi informasi yaitu sebesar 26 persen 0,51 2 , peubah pemanfaatan cyber extension sebesar 12 persen 0,34 2 selanjutnya oleh peubah laten eksogen karakteristik individu sebesar 4,1 persen 0,21 2 , dan oleh peubah laten eksogen faktor lingkungan sebesar 4 persen 0,20 2 . Diagram jalur faktor yang mempengaruhi tingkat keberdayaan petani sayuran disajikan pada Gambar 24. Gambar 24 Diagram Jalur Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Keberdayaan Petani Kesimpulan yang diperoleh dari uji model struktural diketahui bahwa faktor dominan yang secara nyata memberikan pengaruh terhadap perilaku dalam memanfaatan teknologi informasi adalah karakteristik individu tingkat kekosmopolitan petani. Sedangkan faktor dominan yang secara nyata mempengaruhi tingkat pemanfaatan cyber extension selain karakteristik individu tingkat kekosmopolitan adalah perilaku sikap dan keterampilan petani dalam memanfaatkan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahatani. Selanjutnya, tingkat keberdayaan petani dipengaruhi secara dominan oleh kelima peubah terkait yang meliputi perilaku dalam memanfaatkan teknologi berpengaruh nyata Keterangan : t=2,26 Tingkat Pemanfaatan cyber extension t=2,22 t= 4,26 t=7,52 t=2,19 Tingkat keberdayaan petani Perilaku dalam memanfaatkan teknologi informasi Karakteristik individu Lingkungan Persepsi terhadap karakteristik cyber extension informasi, tingkat pemanfaatan cyber extension, persepsi terhadap karakteristik cyber extension, karakteristik individu, dan lingkungan. Faktor lingkungan yang dominan mempengaruhi tingkat keberdayaan petani adalah ketersediaan sarana untuk mendukung akses informasi pertanian dan komunikasi dalam kegiatan usahatani. Upaya untuk meningkatkan ketersediaan sarana teknologi informasi perlu dilakukan untuk dapat meningkatkan pemanfaatan cyber extension sehingga secara nyata selanjutnya dapat meningkatkan keberdayaan petani sayuran dalam berusahatani. Penyumbang terbesar untuk aspek keberdayaan petani adalah kemampuan petani dalam mengatur input 77 persen. 224 KONVERGENSI KOMUNIKASI MELALUI PEMANFAATAN CYBER EXTENSION DALAM PEMBERDAYAAN PETANI SAYURAN Konvergensi komunikasi melalui pemanfaatan cyber extension dalam pemberdayaan petani dilakukan dengan mengoptimalkan unsur-unsur yang dominan mempengaruhi tingkat keberdayaan petani dan mempertimbangkan permasalahan yang dihadapi dalam pemanfaatan cyber extension serta memperhatikan prasyarat konvergensi komunikasi dalam peningkatan kapasitas pelaku komunikasi inovasi. Identifikasi Permasalahan dalam Pemanfaatan Cyber Extension Meskipun disadari teknologi informasi dan komunikasi memiliki peranan yang sangat penting dalam mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan, namun sampai saat ini kondisi dan situasi petani di dunia, khususnya di Indonesia masih belum menjadi bahan pertimbangan dalam bisnis teknologi informasi dan komunikasi dan lingkungan kebijakan. Padahal, fakta yang terjadi dewasa ini adalah bahwa aplikasi teknologi informasi dan komunikasi memiliki kontribusi yang tinggi secara ekonomi bagi masing-masing GDPs. Dalam waktu yang sama, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembangunan pertanian berkelanjutan membutuhkan proses pendidikan dan peningkatan kapasitas karena masih terdapat kesenjangan secara teknis maupun keterampilan dalam bisnis secara elektronis e-business. Membangun sebuah masa depan elektronis berwawasan teknologi informasi dan komunikasi yang berkelanjutan sustainable e-future memerlukan strategi dan program untuk menyiapkan petani dengan kompetensi teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini bermanfaat untuk mendukung perdagangan dan kewirausahaan, sehingga pemerintah dapat meningkatkan kapasitas petani untuk berperan serta dan bermanfaat bagi tiap pertumbuhan ekonomi. Dengan mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembangunan pertanian berkelanjutan melalui peningkatan kapasitas petani, maka petani akan berfikir dengan cara yang berbeda, berkomunikasi secara berbeda, dan mengerjakan bisnisnya secara berbeda. 226 Data yang berkaitan dengan permasalahan dan hambatan untuk pengembangan sistem informasi pertanian berbasis teknologi informasi di Indonesia saat ini masih perlu diidentifikasi secara seksama. Berdasarkan hasil penelitian di BPP Pacet, Kabupaten Cianjur dan BPP Bumiaji, Kota Batu yang dapat diduga berlaku pula untuk daerah lain di Indonesia diperoleh beberapa permasalahan dan hambatan yang dihadapi oleh stakeholders dalam pemanfaatan cyber extension. Permasalahan tersebut dapat dikategorikan ke dalam lima kelompok utama, yaitu manajemen, infrastruktur dan sarana-prasarana lainnya, sumber daya manusia, budaya, dan content. Manajemen 1. Belum adanya komitmen dari manajemen di level pemangku kepentingan yang ditunjukkan dengan sering adanya kebijakan yang belum konsisten. Salah satu contohnya adalah kebijakan untuk mengembangkan sistem informasi pasar yang akurat melalui mekanisme pengiriman data informasi harga melalui SMS dari petugas di daerah secara periodik yang tidak disertai dengan penyediaan fasilitas yang memadai untuk operasional di lapangan. Hal ini mengakibatkan informasi harga yang diupload dalam situs dan diakses pengguna secara online belum dapat disajikan secara mutakhir dan tepat waktu. 2. Kemampuan tingkat manajerial pimpinan di level stakeholders khususnya di lingkup Pemda dan Dinas Kabupaten sebagian besar masih belum memiliki kapasitas di bidang teknologi informasi, sehingga banyak proses pengolahan input yang seharusnya dapat difasilitasi dengan aplikasi teknologi informasi tidak diperhatikan dan bahkan cenderung dihindari penerapannya. Dengan adanya fakta terbatasnya kapasitas dalam aplikasi teknologi informasi di level manajerial stakeholders akan mempengaruhi proses pemberian arahan bagi anggota organisasi di level yang lebih rendah untuk mengoptimalkan aplikasi teknologi informasi dalam pengelolaan input sehingga menghasilkan output yang lebih efisien dan dapat diakses oleh stakeholders lain secara cepat, akurat, dan memadai. 3. Dalam kasus di beberapa institusi pemerintahan, kalaupun institusinya ditekan untuk memanfaatkan teknologi informasi, sebagian besar level manajerial belum mengetahui secara persis konsep pengembangan sistem informasi berbasis teknologi informasi, sehingga belum mengetahui secara persis apa yang harus dilakukan. Dengan demikian, sebagai jalan keluarnya biasanya pejabat yang berwenang akhirnya mencari konsultan yang berbasis vendor tertentu sehingga seluruh proyeknya dikuasai oleh pelaksana yang berorientasi pada keuntungan semata, bukan menomorsatukan nilai kemanfaatannya. Di samping itu, karena mengandalkan konsultan tanpa disertai dengan peningkatan kapasitas sumber daya internal, maka kegiatan cenderung bersifat by project dan tidak berlanjut. Kalaupun berlanjut sering terjadi kekosongan dalam proses operasionalnya pada saat terjadi pergantian tahun anggaran apabila pengambil kebijakan tidak mampu menyiasatinya. Infrastruktur dan sarana-prasarana lainnya 1. Infrastruktur penunjang belum dengan baik mendukung operasi pengelolaan dan penyebaran informasi pertanian yang berbasis teknologi informasi, seperti misalnya pasokan listrik yang masih kurang memadai naik turunnya daya dan sering terjadi pemadaman lampu bahkan di beberapa daerah belum terjangkau aliran listrik, perlengkapan hardware tidak tersedia secara mencukupi baik kualitas maupun kuantitasnya, gedung atau ruangan yang tidak memadai, serta jaringan koneksi internet yang masih sangat terbatas khususnya untuk wilayah remote area. 2. Terlalu luasnya wilayah jangkauan pengembangan sistem informasi berbasis teknologi informasi, sehingga penerapannya tidak dapat merata, baik karena terbatasnya anggaran maupun lambatnya proses penyebarannya karena perluasannya tidak dapat berjalan secara bersamaan. 3. Biaya untuk operasional pengembangan sistem informasi pertanian berbasis teknologi informasi yang disediakan oleh pemerintah daerah khususnya sangat tidak memadai terutama untuk biaya langganan Internet Service Provider ISP dan untuk pengelolaan informasi yang berbasis internet. 4. Infrastruktur telekomunikasi belum memadai dan mahal. Infrastruktur telekomunikasi di Indonesia masih belum terdistribusi secara merata. Kalaupun semua fasilitas telah tersedia, namun harganya masih relatif mahal. 228 Pemerintah juga belum menyiapkan pendanaan budget yang mencukupi untuk keperluan ini. 5. Tempat akses sistem informasi berbasis teknologi informasi access point yang disiapkan oleh pemerintah masih sangat terbatas bahkan seringkali tidak dapat diakses karena kendala teknis maupun nonteknis. Di beberapa tempat di luar negeri India, Peru, dan Thailand, pemerintah dan masyarakat bergotong royong untuk menciptakan access point yang terjangkau, misalnya di perpustakaan umum public library maupun di pasar sentra produksi. Pengembangan access point di Indonesia seharusnya dapat dilakukan di kantor pos, kantor pemerintahan, dan tempat-tempat umum lainnya misalnya pasar dan pusat-pusat kegiatan pertanian. Namun demikian, pemerintah daerah sepertinya belum sepenuhnya mendukung penyediaan tempat akses informasi untuk memperluas jangkauan sistem informasi pertanian berbasis teknologi informasi. Sumber Daya Manusia SDM 1. Sebagian pegawai di lembaga subsistem jaringan informasi inovasi pertanian bekerja dengan tidak menggunakan teknologi informasi, sehingga pekerjaan dilaksanakan tanpa mempertimbangkan efisiensi atau pemanfaatan teknologi informasi yang konsisten. 2. Dunia teknologi informasi cepat berubah dan berkembang, sementara sebagian besar sumber daya manusia yang ada di lembaga subsistem jaringan informasi inovasi pertanian cenderung kurang memiliki motivasi untuk terus belajar mengejar kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Akibatnya, seringkali kapasitas SDM yang ada tidak dapat mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan cenderung menjadi lambat dalam menyelesaikan tugas. 3. Kemampuan SDM dalam aplikasi teknologi informasi dan komunikasi cenderung terbatas, khususnya di level penyuluh pertanian sebagai motor pelaksana diseminasi inovasi pertanian. Pemerintah umumnya jarang yang memiliki SDM yang handal di bidang teknologi informasi. SDM yang handal ini biasanya ada di lingkungan bisnisindustri. Kekurangan SDM ini menjadi salah satu penghambat implementasi dari sistem informasi pertanian berbasis teknologi informasi. Pemerintah daerah sendiri belum mampu menyediakan sarana untuk pelatihan atau training berkaitan dengan aplikasi teknologi informasi dalam akses dan pengelolaan informasi yang mencukupi. 4. Kemampuan dan pengetahuan petani atau pengguna akhir cenderung terbatas dalam pemanfaatan teknologi informasi untuk mengakses informasi inovasi pertanian dan mempromosikan produknya ke pasar yang lebih luas Budaya 1. Kultur berbagi masih belum membudaya. Kultur berbagi sharring informasi dan pengetahuan untuk mempermudah akses dan melakukan pengelolaan informasi belum banyak diterapkan oleh anggota lembaga stakeholders. Banyak di antara anggota lembaga subsistem informasi inovasi pertanian merasa akan terancam posisi dan kedudukannya apabila membagikan ilmu atau informasi yang dimilikinya kepada orang lain khususnya terkait dengan pengetahuan dan keterampilan dalam aplikasi teknologi informasi. 2. Kultur untuk memanfaatkan teknologi informasi dalam akses informasi, pengemasan kembali informasi atau pengelolaan informasi bagi para penyuluh pertanian belum biasa dilakukan. Sebagian besar masih mengandalkan materi tercetak atau konvensional. 3. Kultur mendokumentasi informasidata belum membudaya, khususnya untuk kelembagaan yang berada di daerah. Salah satu kesulitan besar yang dihadapi adalah kurangnya kebiasaan mendokumentasikan segala sesuatu yang terkait dengan kegiatan sementara kemampuan mendokumentasikan informasi menjadi bagian dari ISO 9000 dan menjadi bagian dari standar software engineering . Content 1. Informasi yang disediakan oleh sumber informasi, khususnya pemerintah Kementan dinilai oleh sebagian besar petani masih kurang relevan dan tidak tepat waktu. Informasi yang dapat diakses, khususnya informasi harga seringkali kurang mutakhir, kurang sesuai dengan kebutuhan pengguna, dan masih bersifat parsial. 2. Kerjasama Kementan melalui aplikasi program lifetool content informasi pertanian belum memberikan layanan yang optimal. Petani sudah 230 mengeluarkan biaya untuk langganan, namun informasi yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diharapkan. Informasi datang sering kurang tepat waktu, berulang, dan kurang mutakhir. Strategi Pemanfaatan Cyber Extension sebagai Media Komunikasi dalam Pemberdayaan Petani Sayuran Studi empiris banyak menunjukkan kegagalan pembangunan atau pembangunan tidak memenuhi sasaran karena kurangnya partisipasi politik masyarakat, bahkan banyak kasus menunjukkan rakyat menentang upaya pembangunan. Keadaan ini dapat terjadi karena beberapa hal yaitu: 1 Pembangunan hanya menguntungkan segolongan kecil orang dan tidak menguntungkan rakyat banyak bahkan pada sisi ekstrem dirasakan justru merugikan, 2 Pembangunan meskipun dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat banyak, tetapi rakyat kurang memahami maksud tersebut, 3 Pembangunan dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat dan rakyat memahaminya, tetapi cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan pemahaman tersebut, dan 4 Pembangunan dipahami akan menguntungkan rakyat tetapi rakyat tidak diikutsertakan Kartasasmita 1997. Model konvergensi komunikasi convergence model of communications telah dirumuskan oleh Everet M. Rogers dan D. Lawrence Kincaid 1981 layak ditempatkan sebagai paradigma dominan dalam komunikasi pembangunan untuk menjembatani terputusnya pola komunikasi pembangunan yang terjadi saat ini. Konvergensi komunikasi tersebut diduga dapat dipercepat proses dan konvergensinya dalam skala yang lebih luas apabila didukung oleh aplikasi sistem jaringan teknologi informasi yang handal sesuai dengan kebutuhan Sumardjo et al. 2009. Hal ini dapat dianalogkan bahwa dengan model konvergensi komunikasi inovasi pertanian, diharapkan terjadi keterpaduan antara kebutuhan petani dengan kebutuhan pihak-pihak terkait khususnya pemerintah dan kelompok kepentingan lainnya. Dengan terpenuhi kebutuhannya, akan memacu masing- masing pihak berinteraksi dan bersinergi sehingga dapat meningkatkan kedinamisan kelompok. Kesinambungan dalam pemenuhan kebutuhan dan proses integrasi kepentingan antarpihak tersebut memacu masing-masing pihak untuk berinteraksi dan berkomunikasi secara proaktif dan antisipatif melalui berbagi pengetahuan knowledge sharing yang saling mendukung dan saling memperkuat upaya pemenuhan kebutuhan masing-masing pihak. Dengan demikian terjadi akselerasi dalam penyediaan dan penggunaan sumber daya secara efektif dan efisien. Efektif karena yang dibutuhkan dapat dipenuhi dan efisien karena tidak memerlukan energi yang berlebihan untuk mencari dan memperoleh hasil yang bermanfaat bagi masing-masing pihak terkait. Model komunikasi konvergen atau interaktif dinilai layak untuk dikembangkan dalam proses pengembangan komunikasi pembangunan karena menghasilkan keseimbangan dalam perspektif teori pertukaran melalui jalur kelembagaan yang telah mapan, didukung dengan bentuk komunikasi yang konvergen interaktif, baik vertikal maupun horizontal dengan sistem sosial pertanian. Bentuk komunikasi interaktif ini, sejalan dan memperhatikan prinsip- prinsip yang berlaku dalam bentuk komunikasi konvergen mencakup 1 informasi, 2 adanya ketidakpastian, 3 konvergensi kepentingan, 4 saling pengertian, 5 persamaan tujuan; 6 tindakan bersama; dan 7 jaringan hubungan atau relasi sosial. Salah satu strategi untuk menciptakan mekanisme komunikasi inovasi pertanian yang berbasis konvergensi komunikasi adalah melalui proses dialogis dengan menempatkan pendamping yang hidup bersama masyarakat sehingga dapat melaksanakan tahapan pembangunan dari perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, monitoring, dan evaluasi secara bersama-sama dengan masyarakat. Knowledge sharing model berbagi pengetahuan merupakan salah satu metode atau salah satu langkah dalam manajemen pengetahuan yang digunakan untuk memberikan kesempatan kepada anggota suatu kelompok, organisasi, instansi atau perusahaan untuk berbagi ilmu pengetahuan, teknik, pengalaman dan ide yang dimiliki kepada anggota lainnya. Berbagi pengetahuan hanya dapat dilakukan apabila setiap anggota memiliki kesempatan yang luas dalam menyampaikan pendapat, ide, kritik, dan komentarnya kepada anggota lainnya Huysman Wit 2003 dan Subagyo 2009. 232 Pengelolaan pengetahuan merupakan suatu proses siklus, dimana output dari satu mata rantai proses menjadi input untuk mata proses berikutnya yang secara keseluruhan saling berkaitan. Misalnya proses knowledge sharing yang dilakukan dengan kegiatan diskusi formal di suatu pertemuan, merupakan output dari suatu proses kajian kebutuhan atau adanya rekomendasi dari proses sebelumnya agar diadakan diskusi tersebut. Sedangkan diskusi formal tersebut menghasilkan beberapa poin-poin kesimpulan. Setiap poin kesimpulan dapat berupa informasi. Selanjutnya setiap informasi akan memerlukan proses internalisasi di tingkat masing-masing peserta. Setelah proses internalisasi, akan muncul beberapa ide baru atau pemahaman baru. Setiap ide baru memerlukan obyektifikasi yang memerlukan proses diskusi dan pemahaman bersama kembali. Semakin banyak ide baru yang muncul, memungkinkan inovasi yang juga semakin banyak, sehingga akan semakin meningkatkan daya saing. Konvergensi komunikasi dalam pemanfaatan cyber extension memberikan kesempatan baru bagi petani untuk memperluas pilihan akses media sesuai dengan selera dan kebutuhannya. Sifat alamiah perkembangan teknologi selalu memiliki dua sisi yaitu positif dan negatif. Strategi konvergensi komunikasi dalam pemanfaatan cyber extension sebagai media komunikasi dalam pemberdayaan petani sayuran yang ramah lingkungan disusun selain mengoptimalisasi sisi positif juga mengantisipasi sisi negatif yang mungkin dapat terjadi. Media komunikasi lokal dapat dioptimalkan penggunaannya untuk mempercepat manfaat sistem informasi berbasis teknologi informasi melalui cyber extension sehingga dapat mengeliminasi kesenjangan antara petani yang memiliki sumber daya yang memadai untuk akses ke sistem informasi berbasis teknologi informasi dengan yang tidak. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa karakteristik individu tingkat kekosmopolitan petani, lingkungan keterjangkauan sarana teknologi informasi, perilaku pemanfaatan teknologi informasi pengetahuan dan keterampilan dalam pemanfaatan teknologi informasi, dan tingkat pemanfaatan cyber extension merupakan faktor dominan yang mempengaruhi tingkat keberdayaan petani sayuran. Oleh karena itu, strategi konvergensi komunikasi melalui pemanfaatan cyber extension dalam pemberdayaan petani sayuran disusun dengan mengembangkan komunikasi partisipatif berbasis knowledge sharing dengan memanfaatkan petani dengan tingkat kosmopolitan tinggi sebagai subyek perantara bagi petani lainnya untuk mempercepat proses berbagi informasi Gambar 25. Gambar 25 Skema Strategi Konvergensi Komunikasi melalui Pemanfaatan Cyber Extension sebagai Media Komunikasi dalam Pemberdayaan Petani Sayuran Optimalisasi pemanfaatan cyber extension dapat dilakukan dengan memanfaatkan petani yang mampu akses teknologi informasi, memiliki tingkat kosmopolitan yang tinggi, serta memiliki persepsi terhadap karakteristik cyber Informasi pengeta ‐ huan yang dibagikan Inklusi D U K U N G A N S A R A N A T I OUTCOME HASIL: Keberdayaan petani sayuran meningkat OUTPUT: Pemanfaatan cyber extension meningkat yang dicirikan oleh meningkatnya akses informasi berbasis teknologi informasi, manfaat yang dirasakan, dan pengelolaan informasi berbasis teknologi informasi secara interaktif Proses internalisasi Knowledge retrieval Proses eksternalisasi Berbagi pengetahuan Informasipengetahuan yang diakses melalui pemanfaatan cyber extension menggunakan sarana berbasis teknologi informasi IMPACT DAMPAK: Kesejahteraan petani sayuran meningkat INPUT: Petani dengan tingkat kekosmopolitan tinggi PROSESSTRATEGI: 1. Meningkatkan interaksi dengan pihak luar sistem sosial yang mengakses cyber extension 2. Mengembangkan access point 3. Meningkatkan persepsi petani terhadap keuntungan relatif cyber extension 4. Meningkatkan kapasitas petani dalam memanfaatkan teknologi informasi dan cyber extension Pengetahuan organisasi kelembagaan komunikasi lokal Penyuluhpendam ‐ping sebagai fasilitator, dinamisator, dan motivator Proses obyektifikasi penerimaan kolektif 234 extension yang cukup positif. Di samping itu petani tersebut juga harus memiliki kemauan untuk membagikan pengetahuaninformasi kepada pihak lain, sehingga mekanisme knowledge sharing berjalan dengan baik. Penyuluh dari Dinas Pertanian perlu ditingkatkan kapasitasnya dalam pemanfaatan teknologi informasi untuk akses dan pengelolaan informasi untuk selanjutnya dapat memfasilitasi petani akses cyber extension. Media komunikasi konvensional dan optimalisasi kelembagaan lokal merupakan media untuk berbagi informasi sebagai tahap penciptaan pemahaman bersama. Strategi ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Jinqiu et al 2006 dalam penelitian eksperimennya bahwa dua langkah model aliran komunikasi juga terbukti menjadi cara yang lebih efektif untuk mempromosikan komunikasi secara online di daerah pedesaan. Penggunaan media cetak tradisional terbukti juga merupakan cara yang ekonomis untuk menyebarkan sistem informasi berbasis teknologi informasi agar menjangkau petani. Pengembangan sarana untuk berbagi informasi baik melalui pemanfaatan media komunikasi berbasis teknologi informasi maupun melalui kelembagaan lokal dapat meningkatkan pemanfaatan cyber extension untuk menciptakan masyarakat berbudaya informasi yang dapat mendukung proses pemberdayaan petani. Strategi ini sejalan dengan Cornish dan Alison 2009 bahwa penciptaan dan berbagi pengetahuan dengan saluran komunikasi yang dipilih oleh masyarakat sendiri akan mendorong pada penemuan pengetahuan sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini juga mempertegas hasil penelitian Godwin 2008 bahwa komunitas informatika Community Informatics dapat mendorong adanya implikasi yang lebih luas dari penggunaan teknologi internet untuk regenerasi daerah dan memberdayakan warga negara. Komunitas informatika bersifat dinamis dan dapat menjadi titik temu antara ruang online dan offline. Ketersediaan kelembagaan komunikasi lokal dan media konvensional tercetak sederhana dan papan pengumuman dapat meningkatkan kualitas petani dalam berbagi informasi. Peran radio komunitas “Edelweis” yang berada di wilayah BPP Pacet juga memiliki peran yang cukup tinggi untuk meneruskan informasi yang diperoleh dengan memanfaatkan cyber extension ke petani di komunitasnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Yon 2009 bahwa dalam era kemunculan paradigma baru komunikasi pembangunan partisipatif-horizontal perlu dimunculkan kembali konsep komunikasi antarpribadi, media rakyat, dan komunikasi kelompok, dan model komunikasi dua tahap. Cyber extension yang mengintegrasikan teknologi informasi dalam komunikasi inovasi pertanian memungkinkan terjadinya komunikasi secara interaktif meskipun menggunakan media yang bersifat massa. Cyber extension merupakan mekanisme komunikasi inovasi yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat hybrid media dan bersifat konvergen karena mampu mengintegrasikan berbagai multi media baik bersifat massa, kelompok, maupun interpersonal. Dengan sifatnya yang interpersonal dan multimedia, memiliki sifat dapat menyampaikan umpan balik secara langsung tanpa terkendala hambatan ruang dan waktu. Namun demikian, karena pemanfaatan cyber extension masih terbatas terutama karena terbatasnya sarana yang dapat diakses oleh petani dan belum mampunya lembaga yang berkompeten mendukung content yang relevan, maka peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk meningkatkan manfaat cyber extension. Pemerintah diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang memungkinkan petani dapat mudah mengakses sistem informasi pertanian berbasis teknologi informasi di antaranya dengan mengembangkan access point dan sub access point untuk meningkatkan ketersediaan sarana teknologi informasi di lingkungan petani. Peran kebijakan pemerintah regulasi diharapkan juga dapat menjaga konsekuensi logis dari permainan simbol budaya yang ditampilkan oleh media konvergen agar tidak terjadi konflik kepentingan terutama bagi petani sebagai pengguna akhir dari cyber extension. Strategi di tingkat pengambil kebijakan, utamanya adalah pengembangan content yang tepat waktu oleh lembaga terkait serta pengembangan koneksi dengan teknologi jaringan Rao 2004 yang disesuaikan dengan kondisi infrastruktur yang ada sebagaimana disajikan pada Tabel 43. Salah satu strategi yang dapat diimplementasikan oleh pemerintah dalam melaksanakan komunikasi pembangunan pertanian secara partisipatif untuk mendukung konvergensi komunikasi melalui pemanfaatan cyber extension adalah proses pendampingan baik oleh penyuluh atau agen pembaharu lain karena diyakini mampu mendorong terjadinya pemberdayaan masyarakat. 236 Tabel 43 Tahapan, Konektivitas, Teknologi, dan Kelembagaan yang Terkait dalam Proses Pengelolaan Sistem Informasi Pertanian melalui Implementasi Cyber Extension Tahap Konektivitas Teknologi Kelembagaan 1. Kementerian yang terkait Kementerian pKehutanan, Perikanan dan Kelautan, serta Komunikasi dan Informatika Manual atau WAN-Wide Area Network LAN- Local Area Network intranet di masing- masing kementerian. Jaringan kementerian baik di pusat, provinsi, maupun kabupaten 2. Pusat layanan kelembagaan untuk pengiriman server web server LAN dengan maupun tanpa intranet di masing- masing lembaga pengiriman server Pusat layanan informasi pertanian di Kementan dan Kementerian lainnya 3. Web server ke Internet Service Provider ISP Leased line atau melalui koneksi satelit atau Verry Small Aperture Terminal VSAT Lembaga layanan untuk penyebaran 4. Pusat lembaga layanan ISP untuk perdesaan Leased line atau melalui koneksi satelit VSAT atau Telkom Internet Service Provider ISP di tingkat lokal 5. ISP perdesaan ke pusat informasi di perdesaan telecenter Dial up linewireless dan telepon genggam Lembaga layanan penyebaran informasi di tingkat lokal penyuluh, pengusaha lokal, swasta, dan petani maju Strategi untuk menciptakan konvergensi dalam komunikasi inovasi pertanian adalah menyiapkan tenaga pendamping dalam pemanfaatan cyber extension untuk mendukung usahatani sebagaimana dinyatakan oleh Mangkuprawira 2010. Pendamping ini dapat memfasilitasi dan mempercepat proses konvergensi komunikasi antara sumber inovasi pertanian dengan petani yang memiliki peran dasar sebagai: 1. Analis Masalah. Pendamping harus memiliki kemampuan dalam mengumpulkan data, menganalisis dan mengidentifikasi masalah, serta merumuskan kegiatan baik dilakukan secara sendiri maupun bersama masyarakat yang didampingi. 2. Pembimbing Kelompok. Pendamping melakukan bimbingan dan memberi masukan yang dibutuhkan kelompok, memberikan berbagai masukan dan pertimbangan yang diperlukan oleh kelompok dalam menghadapi masalah. Setiap keputusan diserahkan kepada kelompok sendiri. 3. Pelatih. Sebagai pendamping, harus menularkan ilmu, pengetahuan dan pengalamannya kepada khalayak atau kelompok. Oleh karena itu, diperlukan pelatihan manajerial, kepemimpinan dan teknis sambil bekerja, seta kalau perlu studi banding ke daerah lain. 4. Inovator. Idealnya pendamping berperan juga sebagai inovator yang menemukan temuan-temuan sederhana untuk dijadikan sebagai input pengembangan masyarakat. Bentuknya antara lain inovasi model pembinaan kelompok, metode penyuluhan, dan manajemen administrasi berbasis kearifan lokal. 5. Penghubung. Permasalahan yang dihadapi masyarakat berskala multidimensi, sehingga pendamping perlu menjadi penghubung. Peran pendamping dalam hal ini adalah membuka akses kepada para pihak terkait instansi lokal dan daerah serta para tokoh masyarakat. Tujuannya agar hambatan pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang terjadi dapat diatasi dengan baik Salah satu pendamping dalam proses pembangunan adalah unsur pekerja sosial di lapangan. Sumodiningrat 2009 menjelaskan bahwa bagi para pekerja sosial di lapangan, kegiatan pemberdayaan dapat dilakukan melalui pendampingan sosial. Terdapat lima kegiatan penting yang dapat dilakukan dalam melakukan pendampingan sosial terkait optimalisasi pemanfaatan cyber extension untuk meningkatkan keberdayaan petani, yaitu 1 motivasi, 2 peningkatan kesadaran dan pelatihan kemampuan, 3 manajemen diri, 4 mobilisasi sumber, serta 5 pembangunan dan pengembangan jaringan. Motivasi. Masyarakat khususnya keluarga petani yang miskin perlu didorong untuk membentuk kelompok agar dapat mempermudah dalam hal pengorganisasian dan melaksanakan kegiatan pengembangan masyarakat. Selanjutnya pendamping memotivasi masyarakat agar dapat terlibat dalam kegiatan pemberdayaan yang nantinya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dengan menggunakan kemampuan dan sumber daya yang dimiliki masyarakat sendiri. Meningkatan kesadaran dan pelatihan kemampuan . Peningkatan kesadaran masyarakat dapat dicapai melalui pendidikan dasar dan pemasyarakatan inovasi. Sedangkan untuk masalah keterampilan dapat dikembangkan melalui cara-cara yang lebih partisipatif dengan melibatkan secara langsung masyarakat. Sementara itu, pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat perdesaan melalui 238 pengalaman mereka dapat dikombinasikan dengan pengetahuan yang berasal dari luar. Hal-hal seperti ini dapat membantu masyarakat miskin di perdesaan terutama petani untuk menciptakan sumber penghidupannya sendiri dan membantu meningkatkan keterampilan dan keahliannya sendiri. Manajemen diri. Setiap kelompok harus mampu memilih atau memiliki pemimpin yang nantinya dapat mengatur kegiatannya sendiri seperti melaksanakan pertemuan-pertemuan atau melakukan pencatatan dan pelaporan. Pada tahap awal, pendamping membantu masyarakat perdesaan untuk mengembangkan sebuah sistem. Selanjutnya memberikan wewenang kepada mereka untuk melaksanakan dan mengatur sistem tersebut. Mobilisasi sumber. Monilisasi sumber merupakan sebuah metode untuk menghimpun setiap sumber daya yang dimiliki oleh individu-individu yang ada dalam masyarakat melalui tabungan dan sumbangan sukarela dengan tujuan untuk menciptakan modal sosial. Hal ini didasari oleh pandangan bahwa setiap orang memiliki sumber daya yang dapat diberikan dan jika sumber daya ini dihimpun, selanjutnya akan dapat meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat secara substansial. Pengembangan sistem penghimpunan, pengalokasian, dan penggunaan sumber daya masyarakat perlu dilakukan secara cermat sehingga semua anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan dapat menjamin kepemilikan dan pengelolaan secara berkelanjutan. Pembangunan dan pengembangan jaringan. Pengorganisasian kelompok-kelompok swadaya masyarakat di perdesaan perlu disertai dengan peningkatan kemampuan para anggotanya dalam membangun dan mempertahankan jaringan dengan berbagai sistem sosial di sekitarnya. Jaringan ini sangat penting dalam menyediakan dan mengembangkan berbagai akses terhadap sumber dan kesempatan bagi peningkatan keberdayaan masyarakat miskin di perdesaan. Dalam pengembangan komunikasi inovasi pertanian melalui pemanfaatan cyber extension dengan proses pendampingan, upaya yang dilakukan adalah dengan meningkatkan kemampuan atau kapasitas petani dan kelembagaannya. Meningkatkan kemampuan dan kapasitas petani disebut juga dengan penguatan kapasitas capacity building. Penguatan kapasitas ini merupakan suatu proses dalam pemberdayaan modal manusia dan sosial pertanian dengan meningkatkan atau mengubah pola perilaku individu, organisasi, dan sistem yang ada di masyarakat untuk mencapai tujuan yang diharapkan secara efektif dan efisien. Melalui penguatan kapasitas modal manusia dan sosial ini, maka dapat tercipta pola komunikasi partisipatif yang mendorong terjadinya konvergensi komunikasi di tingkat petani sehingga dapat memahami dan mengoptimalkan potensi yang dimiliki untuk mencapai tujuan pembangunan nasional, yaitu kesejahteraan petani dan keluarganya. Revitalisasi kelompok baik kelompok sosial kelompok pengajian, tahlil, dan kelompok remaja masjid maupun produktif kelompok tani, koperasi yang telah ada menjadi kelompok produktif sekaligus kelompok sosial yang mampu memenuhi kebutuhan petani merupakan salah satu alternatif bagi peningkatan kesejahteraan petani. Pemanfaatan petani maju yang memiliki tingkat kekosmopolitan tinggi dan mampu mengakses cyber extension melalui aplikasi teknologi informasi serta mau membagikan informasi yang diperolehnya pada pihak lain pada setiap kelompok atau kelembagaan yang ada diharapkan dapat memenuhi kebutuhan petani terhadap informasi teknologi dan pemasaran hasil pertanian yang sangat diperlukan. Dengan terpenuhinya salah satu kebutuhan petani melalui kegiatan berkelompok diharapkan dinamika kelompok semakin tinggi dan mampu menjadi katalisator dalam pembangunan pertanian. Rancang Bangun Sistem Jaringan Komunikasi Inovasi Pertanian Berbasis Teknologi Informasi dalam Pemanfaatan Cyber Extension Rancangan pengembangan sistem jaringan komunikasi inovasi pertanian berbasis teknologi informasi melalui pemanfaatan cyber extension disusun berdasarkan atas subsistem atau stakeholders terkait yang dibagi ke dalam empat kategori, yaitu: subsistem sumber informasi lembaga penelitian, pengembangan, dan pengkajian, subsistem diseminasi saluran inovasi pertanian lembaga pendidikan, subsistem enduser lembaga agribisnis, dan subsistem pendukung agribisnis lembaga pengaturan dan keuangan. Dari empat subsistem ini selanjutnya dipetakan atas dasar level tingkatan nasional, regional, dan lokal. Untuk menciptakan konvergensi komunikasi, dalam rangkaian sistem kerja pengembangan sistem jaringan komunikasi inovasi pertanian berbasis teknologi 240 informasi perlu dirancang semacam pusat informasi pertanian sebagai simpul bertemunya pelaku dari berbagai subsistem jaringan komunikasi inovasi pertanian. Rancang bangun sistem jaringan komunikasi inovasi pertanian berbasis teknologi informasi diawali dengan menganalisis partnership yang perlu disiapkan bagi subsistem pelaku pengembangan sistem informasi berbasis teknologi informasi yang dapat dikategorikan menjadi subsistem sumber informasi, subsistem saluran informasi, subsistem pengaturan, dan subsistem lembaga agribisnis. Analisis partnership berdasarkan subsistem disajikan sebagai berikut.

1. Subsistem Sumber Informasi