Gambaran Sikap Mahasiswa Batak Toba terhadap Dalihan Na Tolu
GAMBARAN SIKAP MAHASISWA BATAK TOBA
TERHADAP
DALIHAN NA TOLU
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh:
JUNIATI SIALLAGAN
111301073
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
(3)
Gambaran Sikap Mahasiswa Batak Toba terhadap Dalihan Na Tolu
Juniati Siallagan dan Meutia Nauly ABSTRAK
Era globalisasi berdampak bagi seluruh aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali pada aspek kebudayaan. Salah satunya adalah Dalihan na tolu. Fenomena mahasiswa Batak Toba yang tidak berbahasa Batak, tidak mengetahui
partuturan dan tarombo menjadi kekhawatiran akan hilangnya budaya daerah Batak Toba yaitu Dalihan na tolu. Dalihan na tolu merupakan nilai inti budaya batak yang merupakan kearifan lokal yang unik pada orang Batak. Perilaku mahasiswa yang tidak menggunakan bahasa Batak, tidak mengetahui partuturan
dan tarombo dipengaruhi oleh sikap mereka terhadap Dalihan na tolu. Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk melihat bagaimana sikap mahasiswa Batak terhadap Dalihan na tolu.
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran sikap mahasiswa Batak Toba Terhadap Dalihan na tolu. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 200 orang mahasiswa Batak Toba. Teknik pengambilan sampel menggunakan accidental sampling. Data dikumpulkan menggunakan skala sikap berbentuk kuesioner dan dianalisis dengan statistik deskriptif. Uji reliabilitas alat ukur dilakukan dengan teknik koefisien Cronbach Alpha dengan nilai sebesar 0.937. Data yang dioleh dalam penelitian ini yaitu skor minimum, skor maksimum, mean, dan standar deviasi. Hasil penenlitian menunjukkan bahwa sebanyak 101 mahasiswa Batak Toba memiliki sikap yang positif terhadap Dalihan na tolu, dan 99 berada dalam kategori yang netral.
(4)
The Description of Batak Toba Student’s Attitudes about Dalihan na tolu
Juniati Siallagan and Meutia Nauly ABSTRACT
The era of globalization has implications for all aspects of human life, not least in the aspect of culture. One is Dalihan na tolu. The phenomenon of students who do not speak in Batak Toba language, not knowing partuturan and
tarombo be concerns about loss of local Batak Toba culture is Dalihan na tolu. Dalihan na tolu is a core value of the hobo culture which is local knowledge that is unique to the Bataknese. Behavior of students who do not use the Batak language, not knowing partuturan and Tarombo influenced by their attitude towards Dalihan na tolu. Therefore, the study aims to see how the attitudes of
Batak Toba student’s towards Dalihan na tolu .
This research is descriptive quantitative study aimed to look at the picture
of Batak Toba student’s attitudes against Dalihan na tolu. The number of samples in this study were 200 students Batak Toba. The sampling technique used is accidental sampling. Data were collected using a questionnaire form and attitude scale were analyzed with descriptive statistics. Reliability testing performed by the technique of measuring instruments Cronbach Alpha coefficients with a value of 0.937. Data were computed in this study is the minimum score, the maximum score, mean, and standard deviation. Results of this research showed that as many as 101 students Batak Toba has a positive attitude towards Dalihan na tolu, and 99 are in the neutral category towards Dalihan na tolu.
(5)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas
berkat dan rakhmat-Nyalah saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan
skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai
gelar Sarjana Psikologi Universitas Sumatera Utara, Medan.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, arahan dan bimbingan dari
berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini
sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU.
2. Ibu Meutia Nauly, M. Si., psikolog selaku dosen pembimbing skripsi saya
yang telah meluangkan waktu untuk membantu saya dalam menyelesaikan
penelitian ini hingga selesai.
3. Kak Debby Anggraini, M.Psi psikolog selaku dosen pembimbing
akademik saya.
4. Kak Ridhoi Meilona, M.Si dan Bang Omar Khalifa Burhan, M.Sc psikolog
selaku dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktunya sebagai
penguji yang memberikan masukan dan pengetahuan, sehingga saya dapat
belajar dari kesalahan dan belajar untuk lebih baik.
(6)
6. Orangtuaku yang selalu memberikan dukungan serta doa untukku dalam
bentuk apapun, sehingga dapat menyelesaikan perkuliahan serta skripsi ini
hingga selesai. .
7. Kakakku Melva Nurida Siallagan, S.Pd; abangku Budianto Siallagan, S.E
serta adikku Sandri Siallagan serta seluruh keluarga besar yang memberi
dukungan supaya aku terus semangat dan fokus dalam perkuliahanku.
8. Teman-teman perkuliahanku (Headset group) Melina Siallagan; Yohana
Chrisela; dan Paskha Yohana yang juga memberikan dukungan dalam
penyelesaian skripsi.
9. Sahabat- sahabat setiaku dari SD, SMP hingga saat ini (Riris Siallagan;
Desi Tobing; Tresia; Yessika Siburian) yang selalu peduli dan selalu
memberikan dukungan serta semua pihak lainnya yang turut membantu
penulis.
Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna dan memiliki
banyak kekurangan. Oleh sebab itu, penulis sangat terbuka terhadap masukan,
kritikan, serta saran dapat digunakan untuk perbaikan proposal skripsi ini di
kemudian hari. Akhir kata, penulis berharap Tuhan berkenan membalas semua
kebaikan kalian semua, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap orang
yang membacanya.
Medan, 10 Juli 2015
(7)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 8
B. Rumusan Masalah... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
1. Manfaat Teoritis ... 9
2. Manfaat Praktis ... 9
E. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11
A. Sikap ... 11
1. Pengertian Sikap ... 11
2. Aspek-Aspek Sikap ... 13
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap ... 15
B. Dalihan na tolu ... 17
1. Pengertian Dalihan na tolu ... 17
2. Unsur-unsur Dalihan na tolu ... 19
3. Masyarakat dan Budaya Batak Toba ... 23
4.Partuturan ... 25
5. Tarombo ... 26
C. Mahasiswa Batak Toba ... 29
1. Definisi Mahasiswa ... 29
2. Mahasiswa Batak Toba ... 29 D. Gambaran Sikap Mahasiswa Batak Toba terhadap Dalihan
(8)
na tolu ... 30
E. Kerangka berpikir ... 31
BAB III METODE PENELITIAN ... 32
A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 32
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 33
C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel... 34
1. Populasi dan Sampel ... 34
2. Teknik Pengambilan Sampel ... 35
D. Instrumen yang digunakan ... 36
1. Validitas dan reliabilitas alat ukur ... 38
2. Hasil uji coba alat ukur ... 40
E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 41
1. Tahap Persiapan ... 41
2. Tahap Pelaksanaan ... 42
3. Tahap Pengolahan Data ... 43
F. Metode Analisa Data ... 43
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 47
A. Analisa Data ... 47
1. Gambaran subjek penelitian ... 47
2. Hasil penelitian utama ... 51
3. Hasil penelitian tambahan ... 53
B. Pembahasan ... 55
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 59
A. Kesimpulan ... 59
B. Saran ... 60
1. Saran metodologis ... 60
2. Saran praktis ... 61
(9)
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Blue Print skala sikap mahasiswa Batak Toba terhadap Dalihan
na tolu ... 37
Tabel 2. Distribusi aitem skala sikap mahasiswa Batak Toba Terhadap Dalihan na tolu setelah uji coba ... 40
Tabel 3. Distribusi aitem skala sikap mahasiswa Batak Toba Terhadap Dalihan na tolu setelah uji coba ... 41
Tabel 4. Rentang kategori subjek ... 44
Tabel 5. Penyebaran Subjek berdasarkan Jenis Kelamin ... 47
Tabel 6. Penyebaran Subjek berdasarkan Usia ... 48
Tabel 7. Penyebaran Subjek berdasarkan Tempat tinggal ... 48
Tabel 8. Penyebaran Subjek berdasarkan Suku orangtua ... 49
Tabel 9. Penyebaran Subjek berdasarkan Bahasa sehari-hari yang digunakan ... 49
Tabel 10. Penyebaran Subjek berdasarkan Upacara adat yang pernah diikuti ... 50
Tabel 11. Penyebaran Subjek berdasarkan Frekuensi mengikuti pesta adat .... 51
Tabel 12. Hasil Uji Normalitas dari Skala Sikap mahasiswa Batak Toba terhadap Dalihan na tolu ... 51
Tabel 13 Kriteria Kategorisasi Sikap Mahasiswa Batak Toba terhadap Dalihan na tolu ... 52
Tabel 14. Kriteria Kategorisasi Sikap mahasiswa Batak Toba terhadap Dalihan na tolu berdasarkan jenis kelamin ... 53
Tabel 15. Kriteria Kategorisasi Sikap mahasiswa Batak Toba terhadap Dalihan na tolu berdasarkan Upacara adat yang pernah diikuti ... 54
(10)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Uji daya beda aitem dan uji reliabilitas
Lampiran 2. Tabulasi skor Skala Sikap Mahasiswa Batak Toba terhadap
Dalihan na tolu.
Lampiran 3. Analisa data hasil data penelitian Lampiran 4. Kategorisasi subjek penelitian Lampiran 5. Skala penelitian
(11)
Gambaran Sikap Mahasiswa Batak Toba terhadap Dalihan Na Tolu
Juniati Siallagan dan Meutia Nauly ABSTRAK
Era globalisasi berdampak bagi seluruh aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali pada aspek kebudayaan. Salah satunya adalah Dalihan na tolu. Fenomena mahasiswa Batak Toba yang tidak berbahasa Batak, tidak mengetahui
partuturan dan tarombo menjadi kekhawatiran akan hilangnya budaya daerah Batak Toba yaitu Dalihan na tolu. Dalihan na tolu merupakan nilai inti budaya batak yang merupakan kearifan lokal yang unik pada orang Batak. Perilaku mahasiswa yang tidak menggunakan bahasa Batak, tidak mengetahui partuturan
dan tarombo dipengaruhi oleh sikap mereka terhadap Dalihan na tolu. Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk melihat bagaimana sikap mahasiswa Batak terhadap Dalihan na tolu.
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran sikap mahasiswa Batak Toba Terhadap Dalihan na tolu. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 200 orang mahasiswa Batak Toba. Teknik pengambilan sampel menggunakan accidental sampling. Data dikumpulkan menggunakan skala sikap berbentuk kuesioner dan dianalisis dengan statistik deskriptif. Uji reliabilitas alat ukur dilakukan dengan teknik koefisien Cronbach Alpha dengan nilai sebesar 0.937. Data yang dioleh dalam penelitian ini yaitu skor minimum, skor maksimum, mean, dan standar deviasi. Hasil penenlitian menunjukkan bahwa sebanyak 101 mahasiswa Batak Toba memiliki sikap yang positif terhadap Dalihan na tolu, dan 99 berada dalam kategori yang netral.
(12)
The Description of Batak Toba Student’s Attitudes about Dalihan na tolu
Juniati Siallagan and Meutia Nauly ABSTRACT
The era of globalization has implications for all aspects of human life, not least in the aspect of culture. One is Dalihan na tolu. The phenomenon of students who do not speak in Batak Toba language, not knowing partuturan and
tarombo be concerns about loss of local Batak Toba culture is Dalihan na tolu. Dalihan na tolu is a core value of the hobo culture which is local knowledge that is unique to the Bataknese. Behavior of students who do not use the Batak language, not knowing partuturan and Tarombo influenced by their attitude towards Dalihan na tolu. Therefore, the study aims to see how the attitudes of
Batak Toba student’s towards Dalihan na tolu .
This research is descriptive quantitative study aimed to look at the picture
of Batak Toba student’s attitudes against Dalihan na tolu. The number of samples in this study were 200 students Batak Toba. The sampling technique used is accidental sampling. Data were collected using a questionnaire form and attitude scale were analyzed with descriptive statistics. Reliability testing performed by the technique of measuring instruments Cronbach Alpha coefficients with a value of 0.937. Data were computed in this study is the minimum score, the maximum score, mean, and standard deviation. Results of this research showed that as many as 101 students Batak Toba has a positive attitude towards Dalihan na tolu, and 99 are in the neutral category towards Dalihan na tolu.
(13)
BAB I PENDAHULUAN
A. LATARBELAKANG
Perubahan yang disebabkan oleh globalisasi membawa dampak pada
kebudayaan. Perubahan pada kebudayaan menyebabkan adanya kecenderungan
yang mengarah pada memudarnya nilai-nilai pelestarian budaya, berkurangnya
keinginan untuk mengembangkan budaya sendiri (Robert dalam Bayu 2007).
Salah satu perubahan pada kebudayaan yang disebabkan oleh globalisasi adalah
penggunaan bahasa daerah. Sebanyak 726 dari 746 bahasa daerah di Indonesia
ternyata terancam punah karena generasi muda enggan memakai bahasa daerah.
Bahkan, dari 746 bahasa daerah kini hanya 13 bahasa daerah yang memiliki
jumlah penutur diatas satu juta orang, dan sebagian besar adalah generasi tua
(Kompas, 2014).
Siahaan (2002) juga mengatakan bahwa penggunaan bahasa daerah hanya
didominasi kebanyakan oleh orangtua sedangkan anak lebih banyak menggunakan
bahasa Indonesia. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Andi Silitonga (2008)
tentang penggunaan bahasa Batak yang menunjukkan bahwa ada kecenderungan
pergeseran bahasa Batak pada masyarakat Batak Toba di Medan, walaupun
bahasa tersebut masih aktif digunakan oleh masyarakat setiap hari. Padahal, Para
ahli berkata bila satu bahasa punah, punah pulalah budaya pemilik bahasa
tersebut. Bila budaya punah, maka adat pemilik bahasa itupun akan ikut punah
(14)
Untuk mempertahankan dan menjaga budaya pada generasi muda dari
pengaruh budaya luar yang bersifat negatif, maka diperlukan nilai-nilai dan sistem
sosial yang yang dipegang teguh dari generasi ke generasi. Batak Toba memiliki
nilai adat dan sistem sosial yang merupakan warisan nenek moyang. Sistem sosial
dan struktur ini mengatur tata hubungan sesama anggota masyarakat, baik yang
merupakan kerabat dekat, kerabat luas, saudara semarga, maupun beda marga
serta masyarakat umum. Struktur sosial yang dimiliki masyarakat Batak Toba
pada hakikatnya berdasarkan garis keturunan bapak (patrilineal) yang memiliki
tiga unsur struktur sosial yang lebih dikenal dengan sebutan Dalihan na tolu.
Struktur sosial inilah yang membedakan suku Batak Toba dengan suku Batak
lainnya (Simanjuntak, 2002)
Dalihan na tolu merupakan sistem kekerabatan yang dijadikan sebagai
konsep dasar kebudayaan Batak yang mengatur hubungan antar individu yang
didasarkan pada pada garis keturunan dan sistem perkawinan (Harahap, 1987).
Secara harafiah, arti kata Dalihan na tolu adalah “tungku nan tiga” yang merupakan lambang yang diasosiasikan dengan sistem sosial Batak yang
mempunyai tiang penopang, yaitu hula-hula, dongan sabutuha, boru (Siahaan,
1982). Dongan tubu merupakan teman semarga, saudara, orang yang
seibu-sebapak, atau berasal dari keturunan yang sama; boru adalah pihak penerima
isteri; hula-hula adalah pihak pemberi isteri (Siahaan, 1982).
Para tetua orang Batak telah menjadikan Dalihan na tolu sebagai acuan
dasar tatanan sosial bagi keturunannya. Hal ini dibuktikan dengan
(15)
ini. Di dalam kehidupan Orang Batak, penerapan Dalihan na tolu dapat dilihat
dengan jelas didalam kehidupan sehari-hari dan khususnya pada setiap acara adat
Batak seperti perkawinan, kematian, dan lain-lain (Simanjuntak, 2002).
Sistem kekerabatan ini menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak
dilahirkan hingga meninggal dalam tiga posisi. Tiga posisi yang terkandung dalam
Dalihan na tolu adalah hula-hula, dongan tubu, boru. Namun, siapa yang
menempati posisi ini akan berganti sesuai dengan situasi dan kondisi. Ada saatnya
seseorang bisa menjadi hula-hula, menjadi dongan tubu, dan boru (Sinaga,
2013). Dari karakter kultural inilah lahir berbagai pola pikir dan pola laku, bahkan
akhirnya membentuk local wisdom di kalangan masyarakat Batak. Karakter
hulahula, dongan tubu dan boru yang dimiliki semua orang Batak adalah juga
merupakan local wisdom.
Dalihan na tolu mencakup marga, silsilah, dan tutur yang merupakan
pendidikan dasar primordial suku yang kuat (Siahaan, 1982). Adapun fungsi
Dalihan na tolu dalam hubungan sosial antar marga ialah mengatur ketertiban dan
jalannya pelaksanaan tutur, mengatur tata komunikasi atau tutur sapa, menentukan
kedudukan, hak dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan
mufakat bagi masyarakat Batak Toba (Sibarani 2005, dalam Sandrak 2007).
Fungsi Dalihan na tolu juga mengatur dan mengendalikan tingkah laku
seseorang dalam kehidupan sosial masyarakat Batak Toba. Pengaturan atau
pengendalian itu didasarkan pada pola perilaku terhadap tiga unsur Dalihan na
(16)
inilah yang mengendalikan pola bertingkah laku masyarakat Batak Toba sehingga
setiap orang Batak bertemu, dia akan mempraktekkan pola bertingkah laku itu.
Somba marhula-hula artinya menghormati hula-hula, elek marboru
artinya merangkul dan menghargai boru, manat mardongan tubu artinya hati-hati
dan bijaksana terhadap teman semarga. Prinsip ini dijadikan hukum adat,
sehingga orang Batak juga dituntut untuk mengetahui silsilah. Silsilah dalam
orang batak dapat diketahui melalui aktivitas martarombo. Martarombo adalah
tradisi suku Batak yang dilakukan untuk mengetahui asal usul atau garis
keturunan marga kita serta hubungan keluarga dengan orang Batak lainnya
(Purba, 2012). Oleh karena itu, ketidaktahuan martarombo menyebabkan
ketidatahuan peran dan posisinya dalam unsur-unsur Dalihan na tolu.
Kegiatan martarombo dimulai dengan menanyakan marga apa; darimana
asal marganya; nomor keturunan keberapa atau disebut dengan (pomparan). Hal
inilah yang ditanyakan pada aktivitas martarombo sehingga orang Batak yang
mengetahui tarombo marganya. Pada kegiatan inilah yang menyatakan seseorang
ada hubungan apa dan memanggil apa terhadap orang yang baru dikenalnya,
misalnya pada akhirnya apakah mar lae, mar tulang, mar inangtua, mar
amangboru, mar bapatua, dan lain-lain.
Dalihan na tolu di lingkungan suku Batak juga dikenal dengan adanya
sistem marga. Marga berfungsi sebagai identitas diri dan pengikat tali
persaudaraan yang dalam. Apabila orang-orang yang berjumpa ini memiliki
marga yang sama maka akan terjalin persaudaraan yang sangat dalam. Jika tidak
(17)
memperkenalkan diri dengan memberitahukan marganya sehingga diketahuilah
posisinya sesuai dengan kekerabatan kultural Dalihan na tolu (Simanjuntak,
2002)
Dengan mengetahui nama marga, maka orang Batak dengan sendirinya
mengikuti proses penelusuran silsilah untuk mengetahui hubungan kekerabatan
yang disebut martutur/martarombo. Partuturan adalah kunci pelaksanaan
Dalihan na tolu. Partuturan sangat penting karena kita dapat mengetahui
hubungan kekerabatan kita dengan orang lain dan menentukan bagaimana kita
menyapa lawan bicara kita serta menetapkan kata panggilan kekerabatan yang
akan dipakai misalnya tulang, nantulang, namboru, dan lain-lain (Sinaga, 2013).
Kekuatan kekerabatan terwujud dalam pemakaian tutur atau sapa. Tutur
itu berisi aturan hubungan antar perorangan atau antar unsur dalam Dalihan na
tolu. Tutur menjadi perekat bagi hubungan kekerabatan. Dengan menyebut tutur
terhadap seseorang diketahuilah jalur hubungan kekerabatan diantara mereka yang
menggunakannya. Tutur kekerabatan itu sekaligus menentukan perilaku apa yang
pantas dan tidak pantas diantara mereka yang bergaul (Daulay, 2006).
Namun, faktanya saat ini banyak kaum muda yang menjadikan budaya
tidak begitu penting atau tidak ada manfaatnya untuk dipelajari . Hal ini dapat
dilihat dari orang Batak yang tidak peduli tentang asal usul marga marganya
sendiri ataupun dengan partuturan (medanbisnis, 2012). Hal ini sejalan dengan
wawancara informal dari mahasiswa suku Batak Toba yang tidak mengetahui asal
(18)
“Aku gak begitu tahu bicara bahasa Batak, apalagilah kalau ditanya
partuturan, palingan hanya dikit pun yang ku tahu, lagian susah belajar asal usul marga ini, yang banyak-an cabang-cabangnya jadi malas
mempelajarinya”.
( Komunikasi personal, 10 November 2014).
Selain silsilah, bahasa juga diperlukan dalam Dalihan na tolu. Bahasa
Batak Toba adalah sarana adat dan budaya masyarakat Dalihan na tolu (Siahaan,
1982). Faktanya dilingkungan sekitar kita, tidak sedikit ditemukan kaum muda
Batak yang tidak mampu berbahasa Batak serta tidak memahami bahasa tersebut.
Hal ini disebabkan pada satu sisi globalisasi ini menuntut kecakapan dan
keterampilan berbahasa asing, sehingga menuntut setiap generasi muda tidak
terkecuali kaum muda Batak mengikuti berbagai kursus bahasa Inggris untuk
bersaing dan berkompetisi. Faktor lain adalah bahasa Batak hanya dikawal sebatas
pada acara adat, dan sangat statis, sehingga makin terpinggirkan. Hal ini terutama
dialami oleh generasi muda atau mahasiswa di perkotaan sehingga menimbulkan
keengganan untuk bertutur dengan bahasa Batak dalam berinteraksi (antaranews,
2013).
Konsekuensi dari ketidakmampuan dalam bersilsilah dan berbahasa Batak
akan menimbulkan kesulitan dalam berinteraksi berdasarkan hubungan
kekerabatan serta letak kekerabatan dalam suatu klan atau marga. Bagi mereka
yang tidak mengetahui silsilahnya juga akan dianggap sebagai orang Batak
kesasar. Orang Batak seharusnya mengetahui silsilahnya minimal nenek
moyangnya yang menurunkan marga dan teman semarga sebagai identitas suku.
Identitas Batak yang dimiliki sangat ditentukan oleh peranannya dalam komunitas
(19)
bahwa sifat sebagai seorang Batak akan diragukan apabila ia tidak mengetahui
dengan pasti siapa dia sesuai dengan garis keturunan marganya dan bagaimana
hubungannya dengan marga lain. Hal ini disebabkan karena marga merupakan
salah satu pilar dalam Dalihan na tolu (Sinaga, 2013).
Berdasarkan fakta di atas semakin menunjukkan kondisi kemunduran pada
kaum muda dan pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya kepunahan pada
bahasa daerah sebagai sarana adat dan budaya masyarakat Batak yaitu Dalihan
na tolu.
Dalihan na tolu yang merupakan salah satu contoh kearifan lokal memiliki
sifat relatif dan bisa berubah. Hal ini yang menyebabkan diperlukannya gambaran
interpretasi/penilaian berdasarkan pengetahuan yang dimiliki mengenai Dalihan
na tolu untuk mengetahui bagaimana pemaknaan seseorang terhadap konsep ini.
Hal ini dilakukan agar setiap orang pada suku Batak tidak mengarahkan
perubahan kearah yang negatif dan tetap dijadikan pegangan dalam mengatur
kehidupan orang Batak (Damanik, 2006).
Konsep Dalihan na tolu merupakan konsep yang penting untuk diketahui
karena generasi muda yang kurang memahami, mengetahui serta menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari. Namun, hal lain yang diperlukan adalah menggali
bagaimana penilaian orang Batak terhadap Dalihan na tolu yang memiliki
peranan yang besar dalam kehidupan orang Batak hingga masih tetap dilakukan
sampai saat ini.
Perilaku mahasiswa yang tidak menggunakan bahasa Batak, martutur,
(20)
bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh sikap. Dari segi psikologis dikatakan
bahwa perilaku seseorang merupakan fungsi dari cara dia memandang (Sobur,
2003). Sehingga dengan mengetahui gambaran sikap dapat diketahui bagaimana
seseorang memandang Dalihan na tolu. Sikap (attitude) adalah suatu bentuk
evaluasi seseorang untuk bereaksi secara positif maupun negatif terhadap objek
tertentu yang dibentuk dari interaksi antara komponen kognitif, afektif, dan
konatif / perilaku. Sikap terdiri dari 3 komponen yaitu komponen kognitif, afektif
dan juga konatif (McGuire dalam Hogg, 2002).
Berdasarkan penjelasan tersebut maka peneliti tertarik untuk mengetahui
bagaimana gambaran sikap mahasiswa Batak Toba terhadap Dalihan na tolu.
B. RUMUSAN PERMASALAHAN
Permasalahan penelitian adalah “Bagaimanakah gambaran sikap mahasiswa Batak Toba terhadap Dalihan na tolu”?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini antara lain bertujuan untuk mengetahui gambaran sikap
mahasiswa Batak Toba terhadap Dalihan na tolu.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang bersifat
(21)
1. Manfaat teoritis
a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu
pengetahuan untuk pengembangan kajian Psikologi Sosial
khususnya dalam Psikologi Budaya, terutama budaya Batak
Toba.
b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi
penelitian mengenai Dalihan na tolu, khususnya pada
mahasiswa Batak Toba.
2. Manfaat praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan memberi informasi bagi
pembaca mengenai gambaran sikap mahasiswa Batak Toba
terhadap Dalihan na tolu.
b. Penelitian ini mampu mengajak para pembaca, khususnya
generasi Batak Toba untuk lebih mengetahui konsep dasar
Dalihan na tolu dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga budaya Dalihan na tolu tetap dijaga dan dilestarikan.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I : Pendahuluan
Berisi uraian singkat mengenai gambaran latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
(22)
BAB II : Landasan Teori
Berisi tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam
pembahasan permasalahan. Memuat dasar teori tentang
Sikap, aspek-aspek sikap, faktor yang mempengaruhi
sikap dan Dalihan na tolu.
BAB III : Metodologi Penelitian
Berisi penjelasan mengenai metode yang digunakan dalam
penelitian yang mencakup variabel penelitian, definisi
operasional variabel penelitian, populasi dan sampel,
metode pengambilan data, validitas dan reliabilitas alat
ukur, prosedur penelitian dan metode analisis data.
BAB IV : Hasil penelitian dan Pembahasan
Pada bab ini diuraikan gambaran subjek penelitian, hasil
penelitian utama dan hasil penelitian tambahan serta
pembahasan.
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan bedasarkan hasil analisis dan
interpretasi hasil data penelitian, serta saran metodologis
(23)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SIKAP
1. Definisi Sikap
Sikap (attitude) adalah evaluasi terhadap objek psikologis terhadap
dimensi atribut seperti baik-buruk, berbahaya-menguntungkan
menyenangkan-tidak menyenangkan, dan disukai atau menyenangkan-tidak disukai (Ajzen & Fishbein 2000,
Eagly & Chaiken tahun 1993, Petty et al 1997). Sikap mengacu pada evaluasi
seseorang terhadap berbagai aspek dunia sosial (Olson& Maio, 2003; Petty,
Wheeler & Tormala, 2003 dalam Baron 2002). Seseorang bisa memiliki reaksi
yang mendukung atau tidak mendukung isu, ide, individu tertentu, kelompok
sosial dan objek tertentu.
Menurut Ajzen (2005), sikap adalah disposisi untuk berespon secara
favorable atau unfavorable terhadap benda, orang, institusi, atau kejadian.
Psikolog Sosial menyetujui bahwa sikap adalah evaluasi berupa pernyataan
setuju, tidak setuju, suka tidak suka (Edwards 1957; Osgood et al 1957; Bern
1970; Fishbein dan Ajzen 1975; Bukit 1981; Oskamp 1991; Eagly dan Chaiken
1993). Ajzen (1988) mendefinisikan sikap sebagai predisposisi yang dipelajari
individu untuk memberikan respon suka atau tidak suka secara konsisten terhadap
objek sikap. Respon suka atau tidak suka itu adalah hasil proses evaluasi terhadap
keyakinan-keyakinan (beliefs) individu terhadap objek sikap (Fishbein & Ajzen,
(24)
Allport (dalam Hogg, 2002) mendefinisikan sikap sebagai sebuah
kecenderungan untuk bertingkah laku dengan cara tertentu dalam situasi sosial.
Hogg (2002) mendefiniskan sikap sebagai suatu respon evaluatif individu
yang sebenarnya terhadap aspek dunia sosial. Individu akan menunjukkan respon
suka atau tidak suka terhadap suatu isu, ide, individu tertentu, kelompok sosial
maupun objek tertentu. Evaluasi yang dilakukan bisa positif dan negatif terhadap
seseorang, objek, ataupun isu tertentu. Sikap seseorang terhadap terhadap subatu
objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan
tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tertentu
(Berkowitz, 1972).
Sementara Second & Backman dalam Azwar (2010) mendefinisikan sikap
sebagai keteraturan dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan
predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek lingkungan sekitar.
Robbins (2008) mendefinisikan sikap sebagai pernyataan evaluatif baik
yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap objek, orang, atau
peristiwa.
Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa sikap
adalah suatu bentuk evaluasi seseorang untuk bereaksi secara positif maupun
negatif seperti baik-buruk, berbahaya-menguntungkan menyenangkan-tidak
menyenangkan, dan disukai atau tidak disukai terhadap objek tertentu yang
(25)
2. Komponen sikap
Sikap dapat disimpulkan dari respon kognitif, afektif, dan konatif terhadap
objek sikap. Hal ini mengasumsikan bahwa setiap kategori respon mencerminkan
komponen teoritis dari sikap (Smith 1947; Katz dan Stotland 1959; McGuire
1985; Eagly dan Chaiken 1998). Dalam pandangan ini, sikap adalah multidimensi
yang terdiri dari kognisi, afeksi, dan konasi.
Respon Kognitif adalah tanggapan yang mencerminkan persepsi, dan
pikiran tentang objek sikap. Respon afektif adalah tanggapan dari yang sikap
dapat disimpulkan memiliki hubungan dengan evaluasi dan perasaan terhadap
objek sikap. Respon konatif adalah tanggapan yang bersifat konatif adalah
kecenderungan perilaku, niat, komitmen, dan tindakan sehubungan dengan objek
sikap atau menunjukkan bagaimana seseorang tidak atau akan bertindak
sehubungan dengan objek.
Hal yang sama mengenai komponen sikap diungkaapkan oleh Mcquire
dalam Hogg (2002) yang didasarkan pada Three-component attitude model.yang
menyatakan bahwa sikap (attitude) terdiri dari komponen kognitif, afektif, dan
komponen perilaku. Hal ini sesuai dengan pendapat Travers (1977); Gagne (1977)
dan Cronbach (1977); Allport dalam Mar’at (2006); Ahmadi, (2009) yang
menyatakan bahwa sikap terdiri dari 3 komponen yang saling berhubungan yaitu:
a. Komponen kognitif yaitu berupa pengetahuan, kepercayaan atau pikiran
yang didasarkan pada informasi yang dimiliki yang berhubungan dengan
objek. Aspek kognitif adalah aspek yang berhubungan dengan gejala
(26)
harapan-harapan individu tentang objek atau kelompok obejk tertentu.
Pemikiran seseorang tentang objek tertentu seperti fakta, pengetahuan, dan
keyakinan (Ahmadi, 2009). Komponen kognitif merupakan komponen
yang berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa
yang benar bagi objek sikap
b. Komponen afektif yaitu perujuk pada dimensi emosional yaitu emosi yang
berhubungan dengan objek yaitu dapat berupa perasaan senang atau tidak
senang. Emosi dan perasaan seseorang terhadap stimulus, khusunya
evaluasi positif dan negatif (Ahmadi, 2009)
c. Komponen perilaku yaitu melibatkan salah satu predisposisi untuk
bertindak terhadap objek. Komponen ini berhubungan dengan
tendensi/kecenderungan untuk berbuat sesuatu terhadap objek atau disebut
dengan action tendency.
Menurut Ahmadi (2009), sikap dapat dibedakan menjadi 2 antara lain:
1. Sikap positif
Sikap positif adalah sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan,
menerima, mengakui, menyetujui serta melaksanakan norma-norma yang berlaku
dimana individu berada. Apabila individu memiliki sikap yang positif maka ia
akan siap membantu, memperhatikan, berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi objek
(27)
2. Sikap negatif
Sikap negatif adalah sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan
penolakan atau tidak menyetujui norma-norma yang berlaku dimana individu
berada. Apabila individu memiliki sikap yang negatif terhadap suatu objek, maka
ia akan mencela, menyerang bahkan menghilangkan objek tersebut.
Psikolog sosial memandang sikap sebagai hal yang penting bukan hanya
karena sikap itu sulit untuk diubah, tetapi karena sikap sangat mempengaruhi
pemikiran sosial individu meskipun sikap tidak selaludirefleksikan dalam tingkah
laku yang tampak dan juga karena sikapseringkali mempengaruhi tingkah laku
individu terutama terjadi saat sikapyang dimiliki kuat dan mantap (Baron, 2002).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan sikap,
antara lain:
1. Pengalaman pribadi.
Sikap seseorang adalah hasil dari pengalaman langsung dengan objek
sikap. Orang yang menemukan sebuah objek sikap dan memiliki pengalaman
positif atau negatif akan membentuk sikap mereka terhadap objek itu. Fishbein
dan Azjen (1975) mengatakan bahwa pengalaman langsung dapat mempengaruhi
sikap terhadap suatu objek dengan menyediakan informasi tentang atribut dari
objek sikap tertentu. Sikap juga akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman
pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.
(28)
Azwar (2012) mengatakan “bahwa tidak adanya pengalaman yang dimiliki oleh
seseorang dengan suatu objek psikologis, cenderung akan membentuk sikap
negatif terhadap objek tersebut.
2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Sikap seseorang dipengaruhi oleh pengaruh orang lain. Individu cenderung
untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang
dianggap penting. Seseorang yang kita anggap penting, seseorang yang kita
harapkan persetujuannya bagi setiap gerak tingkah dan pendapat kita, seseorang
yang tidak ingin kita kecewakan, atau seseorang yang berarti khusus bagi kita
(significant others), akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap kita terhadap
sesuatu.
3. Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
pembentukan pribadi seseorang. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota
masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman
individu-individu masyarakat asuhannya. Kebudayaan lah yang menanamkan garis
pengarah sikap individu terhadap berbagai masalah.
4. Media massa
Berbagai bentuk media massa seperti radio, televisi, surat kabar, majalah,
dan lain-lain mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan opini dan
kepercayaan orang. Media massa memberikan pesan-pesan yang sugestif yang
mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal
(29)
tersebut. Jika cukup kuat, pesan-pesan sugestif akan memberi dasar afektif dalam
menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Lembaga pendidikan dan lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai
pengaruh dalam pembentukan sikap karena keduanya meletakkan dasar
pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan
buruk, antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari
pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.
6. Pengaruh faktor emosional
Suatu bentuk sikap terkadang didasari oleh emosi, yang berfungsi sebagai
semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.
Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu
frustasi telah hilang, akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih persisten
dan bertahan lama.
B. DALIHAN NA TOLU
1. Definisi Dalihan na tolu
Orang Batak Toba salah satu sub suku Batak, memiliki perangkat
struktur dan sistem sosial yang merupakan warisan nenek moyang. Struktur dan
sistem sosial tersebut mengatur hubungan sesama anggota masyarakat, baik yang
merupakan kerabat dekat, kerabat luas, saudara semarga maupun beda marga serta
masyarakat umum. Struktur sosial yang dimiliki pada hakikatnya berdasarkan
(30)
patrilineal dalam kelompok kekerabatan. Kelompok kekerabatan yang besar pada
suku Batak Toba adalah marga. Dengan demikian struktur sosial orang Batak
yang didasarkan pada pada garis keturunan dan sistem perkawinan dikenal dengan
sebutan Dalihan na tolu (Simanjuntak,2002).
Secara harafiah, arti kata Dalihan na tolu “tungku nan tiga” yang merupakan lambang yang diasosiasikan dengan sistem sosial Batak yang
mempunyai tiang penopang, yaitu hula-hula, dongan sabutuha, boru (Siahaan,
1982). Ketiga kata tersebut secara berturut memiliki arti yaitu pihak yang
semarga; pihak yang menerima isteri (wife receiving party); pihak yang memberi
isteri (wife giving party). Tungku itu diibaratkan sebagai orang Batak secara
keseluruhan, sedangkan tiga pilar itu adalah tiga golongan dari masyarakat Batak
yang sejajar dan menyokong berdirinya tungku (Simanjuntak, 2006).
Dalihan na tolu merupakan tiang utama penyangga kehidupan seluruh
tatanan kebudayaan Batak yang terdiri dari hula-hula, dongan sabutuha , dan
boru. Di atas ketiga kaki tungku inilah seluruh tatanan sosio kultural disandarkan
(Harahap, 1987). Dalihan na tolu dapat dianalogikan dengan tiga kaki
tungku-masak di dapur tempat menjajakan periuk yang terdiri dari unsur pihak semarga,
pihak yang menerima isteri dan pihak yang memberi isteri (Siahaan, 1982).
Dari pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Dalihan na
tolu adalah suatu bentuk kebudayaan berupa sistem kekerabatan yang mengatur
hubungan antar orang Batak yang merupakan nilai utama dari inti budaya Batak
(31)
Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara
pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut Dalihan na
tolu. Dalihan na tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga
posisi tersebut ada saatnya menjadi hula-hula, ada saatnya menempati
posisi dongan tubu dan ada saatnya menjadi boru.
Dengan dalihan natolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang
berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. Sistem dalihan na tolu
mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang kaku. Selalu ada hula-hula yang
harus dipelihara dan dihormati. Oleh karena itu, masyarakat Toba memiliki ciri
egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan masyarakat jawa. Sehingga
Dalihan na tolu ini menjadi pedoman hidup orang Batak dalam kehidupan
bermasyarakat (Sinaga, 2013).
2. Unsur-unsur Dalihan Na Tolu
Unsur-unsur dalihan na tolu dapat dijelaskan sebagai berikut (Vergouwen
1986; Sinaga 2013; Siahaan 1982)
a. Dongan tubu atau dongan sabutuha
Secara harafiah teman yang berasal dari kandungan yang sama (sabutuha
atai sekandungan) atau dalam arti luas disebut sebagai teman semarga. Dongan
tubu adalah sebutan pada yang semarga dan masih dekat pertalian darah (Siahaan,
1982). Dongan sabutuha juga merupakan satuan kelompok yang berasal dari jalur
keturunan yang sama yang berasal dari keturunan pihak ayah, hal tersebut
(32)
membentuk kelompok kekerabatan dan perempuan menciptakan hubungan besan
dengan pihak yang lain (Vergouwen, 1986).
Ungkapan budaya yang mengukuhkan hubungan bersaudara semarga
berbunyi manat mardongan tubu. Artinya hati-hati dan bijaksana terhadap saudara
semarga, teliti, hati-hati, bertenggang rasa dan sabar. Sikap dan perilaku ini
mutlak di perlukan dalam pergaulan sehari-hari. Ungkapan ini menekankan pada
garis kebijaksanaan dalam hubungan sosial dengan semarga.
Karakter dongan tubu selalu menunjukkan diri sebagai penanggungjawab
atas terlaksananya suatu kegiatan adat. Dalam pelaksanaan adat dan relasi kultural
sehari-hari ia selalu bersikap akomodatif karena sebagai subjek dalam
hubungannya dengan sesama dongan tubu. Selain itu dongan tubu sebagai
pemberi nasihat, nasihat atau saran dan pendamping dalam pelaksanaan adat.
b. Hula-hula
Secara harafiah adalah pihak pemberi isteri. Hula-hula yaitu kelompok
orang-orang yang posisinya "di atas". Hula-hula merupakan sapaan terhadap
saudara laki-laki istri kita, saudara laki-laki ibu yang melahirkan kita, saudara
laki-laki ibu yang melahirkan ayah kita, saudara laki-laki ibu yang melahirkan
kakek kita. Selain itu saudara laki-laki ibu yang melahirkan istri kita, orangtua
dari istri anak kita juga sebagai hula-hula.
Prinsip yang dipegang teguh masyarakat Batak ialah keluarga pria yang
menerima seorang wanita menjadi anggotanya karena menikah dengan putera dari
(33)
memberikan wanita tersebut. Sang wanita dan klen suaminya harus tetap hormat
menyembah hula-hula seolah-olah sebagai sumber berkat.
Salah satu ungkapan budaya yang melegalisasi sikap sosial kepada
hula-hula berbunyi somba marhula-hula, artinya sembah sujud kepada hula-hula.
Sembah sujud disini berada dalam konteks tingkah laku, sikap pandang,
pemberian pelayanan sosial, dan adat. Somba marhula-hula artinya seorang pria
harus menghormati keluarga pihak istrinya. Hal ini dikarenakan pihak keluarga
istri telah memberikan anak perempuannya dan memberikan restu atas hubungan
kekeluargaan kedua keluarga.
Karakter hula-hula adalah orang yang harus dihormati, yang selalu
ditempatkan dalam posisi yang diutamakan, baik melalui ucapan, sapaan maupun
melalui perbuatan. Oleh karena itu sebutan lain untuk hula-hula adalah raja. Posisi
hula-hula sebagai raja adalah sebagai pengayom, penasehat bahkan pemberi
perintah. Namun harus pula dicatat, bahwa pemahaman raja dalam relasi kultural
Batak tidak sama dengan pemahaman raja yang berkonotasi kepada kekuasaan,
hierarkhi jabatan dan wilayah kedudukan.
Kedudukan sosial hula-hula lebih tinggi dan istimewa oleh karena sistem
sosial yang dianut dikukuhkan oleh budayanya. Wujud lebih tingginya kedudukan
sosial hula-hula dibuktikan bahwa kelompok ini diapandang sebagai sumber restu
yang bernilai kepercayaan. Restu yang diberikan dapat berupa jasmani, rohani dan
materi. Restu akan berdampak pada masa kini maupun masa depan. Hula-hula
(34)
c. Boru
Boru adalah kelompok orang orang yang posisinya "di bawah", yaitu
saudara perempuan kita dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak
ayah. Ungkapan budaya terhadap boru adalah elek marboru, artinya harus dapat
merangkul boru, pandai mengambil hati, agar yang diambil hatinya senantiasa
baik. Hal ini penting karena anak boru adalah tulang punggung bagi segala
kegiatan /prosesi adat.
Hal ini melambangkan kedudukan seorang wanita didalam lingkungan
marganya. Karakter boru adalah pelaksana dan pemberi tenaga agar pelaksanaan
adat dari pihak hula-hula berjalan dengan lancar dan baik. Apabila dongan tubu
adalah pelaksana prinsip, hula-hula sebagai penasehat, maka boru adalah
pelaksana teknis.
Namun hal itu tidak pernah dipahami sebagai perendahan status sosial atau
harkat dan martabat kemanusiaan, tetapi justru suatu kelayakan sesuai dengan
posisinya sebagai boru. Ketiga unsur dalam Dalihan Na Tolu tersebut saling
berhubungan satu dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan. Hal tersebut
karena setiap orang dapat menjadi hula-hula, boru dan dongan sabutuha maupun
bagi individu yang lainnya. Dalam konsep Dalihan na tolu hubungan antar unsur
berlangsung atas dasar keseimbangan dan keserasian terutama menyangkut hak
dan kewajiban.
Dengan sistem demikian, maka setiap orang Batak yang sudah menikah
akan dengan sendirinya memiliki peran sebagai hula-hula, dongan tubu dan boru
(35)
budaya Batak atau di tengah keluarganya. Artinya, apabila yang melaksanakan
adat itu adalah semarganya, maka psosisi dan peranannya adalah sebagai dongan
tubu. Apabila yang melaksanakan adat itu adalah dari pihak marga isterinya, maka
posisi dan peranannya adalah sebagai boru. Apabila yang melaksanakan adat itu
adalah keluarga yang mengambil istri dari marganya maka posisi dan peranannya
adalah sebagai hula-hula.
Dengan demikian peranan setiap orang Batak dapat sebagai hula-hula,
dongan tubu, dan boru, sesuai dengan posisinya dalam keluarga dan adat. Situasi
demikian masih ditemukan terutama didaerah pedesaan tanah Batak hingga kini.
Diperkotaan juga demikian, akan tetapi polanya sudah agak lain dan tidak
seintensif di pedesaan.
Prinsip Dalihan na tolu dijadikan konsep dasar kebudayaan Batak baik di
kampung halaman atau desa maupun tanah perantauan (Harahap, 1987). Selain itu
prinsip tersebut digunakan dalam setiap upacara adat yang mencakup upacara adat
perkawinan, kematian, dan lain-lain. Apabila tidak berdasarkan pada adat Dalihan
Na Tolu maka tidak dapat dikatakan sebagai upacara adat Batak (Siahaan, 1982).
Upacara adat dikatakan berdasarkan adat Dalihan Na Tolu apabila ia mengundang
dongan sabutuha, hula-hula, dan boru serta melakukan berbagai prosesi
berdasarkan ketentuan adat.
3. Masyarakat dan budaya Batak Toba
Suku Batak Toba merupakan sebuah suku yang menempati suatu wilayah
(36)
adalah suku Batak yang terbagi-bagi dalam berbagai subsuku. Subsuku tersebut
antara lain Batak Karo, di bagian utara Danau Toba; Pakpak dibagian Barat
Tapanuli; Simalungun di bagian Timur Danau Toba; Angkola di Angkola,
Sipirok; Mandailing di Mandailing.
a. Nilai budaya Batak
Menurut Harahap dan Siahaan (1987), suku Batak memiliki 9 nilai
budaya antara lain nilai kekerabatan, religi, hagabeon, hasangapon, hamoraon,
hamajuon, hukum, pengayoman dan konflik. Kekerabatan mencakup hubungan
primordial suku, kasih sayang atas dasar hubungan darah, kerukunan unsur-unsur
Dalihan na tolu (hula-hula, dongan tubu, dan boru), serta segala yang ada
kaitannya dengan hubungan kekerabatan karena pernikahan, solidaritas margadan
lain-lain.
Pada suku Batak Toba kedudukan nilai yang paling tinggi adalah nilai
kekerabatan. Nilai lain yaitu religi mencakup kehidupan keagamaan, baik agama
tradisional maupun agama yang datang kemudian yang mengatur hubungannya
dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan manusia dan lingkungan
hidupnya. Hagabeon mencakup banyak keturunan dan panjang umur.
Hasangapon mencakup kemuliaan, kewibawaan, dan kharisma yang merupakan
suatu nilai utama yang memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan. Hamoraon
(kaya raya) merupakan salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong
orang Batak, khususnya orang Toba, untuk mencari harta benda yang banyak.
(37)
Nilai budaya hamajuon ini sangat mendorong orang Batak bermigrasi keseluruh
pelosok tanah air.
Hukum mencakup patik dohot uhum (aturan dan hukum). Nilai patik dohot
uhum merupakan nilai yang kuat disosialisasikan oleh orang Batak. Nilai ini
mungkin lahir dari tingginya frekuensi pelanggaran hak asasi dalam perjalanan
hidup orang Batak sejak jaman purba, sehingga mereka mahir dalam berbicara
dan berjuang memperjuangkan hak-hak asasi.
Pengayoman yaitu kehidupan sosio-kultural orang Batak kurang kuat
dibandingkan dengan nilai-nilai yang disebutkan terdahulu. Hal ini mungkin
disebabkan kemandirian yang berkadar tinggi. Kehadiran pengayom, pelindung,
pemberi kesejahteraan, hanya diperlukan dalam keadaan yang sangat mendesak.
Sumber konflik pada orang Batak Toba tidak hanya kehidupan kekerabatan
melainkan lebih luas lagi karena menyangkut perjuangan meraih hasil nilai
budaya lainnya, antara lain hamoraon yang mau tidak mau merupakan sumber
konflik yang abadi bagi orang Toba.
4. Partuturan
Kata partuturan dalam bahasa Batak tidaklah sama dengan kekerabatan
dalam bahasa Indonesia. Sebab partuturan adalah juga kekerabatan, namun
karena ada kaitannya dengan marga, maka partuturan lebih khas. Partuturan erat
kaitannya dengan marga sekaligus dengan tarombo (silsilah), sebab melalui marga
(38)
Dasar fundamental hubungan sosial orang Batak Toba adalah marga.
Didalam hubungan sosial, marga adalah unsur dasar yang menentukan hubungan
sosial partuturan. Setelah saling memberitahukan marga, masing-masing
mengingat latarbelakang silsilah. Latarbelakang silsilah antara lain tingkatan
kedudukan dalam silsilah. Dengan cara ini dapat ditentukan referensi panggilan.
Dengan mengetahui silsilah dari marga maka mudah untuk menyatakan bentuk
hubungan dan terminologi panggilan satu sama lain. Demikian seterusnya sampai
dapat menempatkan diri pada struktur Dalihan na tolu, sebagai hula-hula, boru,
dongan tubu (Sinaga, 2013).
Partuturan dalam adat Batak dapat dibagi tiga. Pertama adalah mardongan
tubu yaitu hubungan antara sesama marga. Kedua disebut marboru yaitu
hubungan kekerabatan terhadap marga yang mengawini wanita yang semarga
dengan kita atau marga yang lahir dari wanita yang semarga degan kita. Ketiga
adalah marhula-hula yaitu hubungan kekerabatan terhadap marga ibu kita, istri
kita, marga ibu yang melahirkan ayah kita, dan marga ibu yang melahirkan kakek
kita.
5. Martarombo
Martarombo adalah mencari atau menentukan titik pertalian darah yang
terdekat dalam rangka menentukan hubungan kekerabatan. Martarombo adalah
salah satu komunikasi yang efisien dalam menjalin kekerabatan pada orang Batak.
Martarombo dan martutur adalah sebagai dasar penentu posisi pada marga lain
(39)
Dalihan na tolu, karena martarombo adalah saling menanyai marga, Bila orang
Batak berkenalan sesama orang Batak pertama kali, biasanya mereka saling tanya
marga dan martarombo. Dengan Tarombo atau martutur suatu nilai budaya yang
sangat mendasar dalam melestarikan tradisi, adat dan kekarabatan, berbicara
dengan tarombo maka berbicara tentang Marga (Sinaga, 2013).
Dengan mengetahui hubungan kekerabatan, maka dengan sendirinya dapat
ditentukan kata sapaan yang akan digunakan. Sapaan yang digunakan bukan
sapaan sehari-hari, melainkan berdasarkan dalam suasana ke-Batakan. Tarombo
Batak adalah silsilah garis keturunan secara patrilineal dalam suku Batak. Sudah
menjadi kewajiban bagi masyarakat suku bangsa Batak untuk mengetahui
silsilahnya agar mengetahui letak hubungan kekerabatan terkhusus dalam falsafah
Dalihan na tolu.
Kata sapaan atau panggilan kekerabatan berperan dalam menunjukkan
hubungan kekerabatan. Salah atau sembarangan menggunakan sapaan dapat
digolongkan sebagai orang yang tidak beradat dan dapat menimbulkan rasa
antipasti terhadap dirinya. Sapaan sementara sebelum mengetahui hubungan
kekerabatan antara dua orang adalah amang, inang, lae, eda, ito, dan ampara.
1. Sapaan terhadap sesama dongan tubu
a. Amang adalah ayah kita, disapa dengan amang
Inang adalah ibu kita, disapa dengan inang
b. Amangtua adalah abang ayah kita, disapa amangtua
Inangtua adalah istri abang ayah kita, disapa inangtua
(40)
Inanguda adalah istri adik ayah kita, disapa inanguda
d. Ampara adalah seseorang yang semarga dengan kita yang belum jelas
hubungan sebagai abang, adik atau anak, maka disapa dengan sebutan
ampara.
2. Sapaan terhadap kelompok boru
a. Ito adalah saudara kita perempuan, anak perempuan dari namboru kita,
ibu dari amangboru
b. Namboru adalah saudara perempuan ayah kita, disapa namboru
c. Amangboru adalah suami dari saudara perempuan ayah
d. Bere adalah anak laki-laki dari saudara perempuan kita
e. Ibebere adalah anak perempuan dan suami dari saudara kita
perempuan.
3. Sapaan terhadap kelompok hula-hula
a. Tulang adalah saudara laki-laki ibu kita
Nantulang merupakan sebutan untuk istri tulang
b. Eda adalah sapaan sesama perempuan, yaitu sapaan saudara
perempuan kita terhadap isteri, dan sebaliknya.
(41)
C. MAHASISWA
1. Definisi Mahasiswa
Secara harfiah, mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi,
baik di universitas, institut, maupun akademi. Definisi mahasiswa menurut Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia bahwa mahasiswa merupakan individu yang belajar di
perguruan tinggi.
Mahasiswa dalam perkembangannya berada pada kategori remaja akhir
yang berada dalam rentang usia 18-21 tahun (Monks dkk, 2001).
2. Definisi mahasiswa Batak toba
Mahasiswa batak toba adalah individu yang belajar di Perguruan tinggi
baik di Universitas, Institut, maupun Akademi yang berada pada rentang usia
(42)
D. GAMBARAN SIKAP MAHASISWA BATAK TOBA TERHADAP DALIHAN NA TOLU
Perkembangan globalisasi menyebabkan perubahan baik segi
perekonomian, sosial dan juga budaya. Salah satu perubahan tersebut adalah pada
kebudayaan. Ketidakmampuan mempertahankan budaya dasar membuat kaum
muda mengadopsi kebudayaan lain (Novianto, 2008). Hal ini yang mungkin
terjadi pada kaum muda Batak, karena perubahan tersebut bisa menyebabkan
kaum muda tidak mengetahui konsep budaya asalnya. Konsep budaya asal dapat
berupa sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan berfungsi untuk membangun
ikatan antar individu.
Dalam budaya Batak sistem kekerabatan ini dinamakan Dalihan na tolu.
Dalihan na tolu merupakan sistem kekerabatan yang menggambarkan konsep
kebudayaan Batak Toba yang terdiri dari 3 unsur yaitu hula-hula, boru dan dongan
tubu (Siahaan, 1982). Dalihan na tolu yang merupakan salah satu contoh kearifan
lokal yang memiliki sifat relatif dan bisa berubah, maka hal ini menyebabkan
diperlukannya informasi untuk mengetahui penilaian, pemaknaan mengenai
Dalihan na tolu oleh kaum muda Batak Toba agar perubahan tersebut tidak
diarahkan pada perubahan negatif dan tetap dijadikan pegangan dalam mengatur
kehidupan masyarakat Batak (Damanik, 2006).
Perilaku mahasiswa yang tidak menggunakan bahasa Batak, martutur,
martarombo dipengaruhi oleh berbagai hal. Psikolog sosial menyatakan bahwa
perilaku seseorang dipengaruhi oleh sikap. Dari segi psikologis dikatakan bahwa
(43)
dengan mengetahui gambaran sikap dapat diketahui bagaimana seseorang
memandang Dalihan na tolu. Dengan mengetahui bagaimana seseorang
memandang Dalihan na tolu, maka diketahui mengapa dia berperilaku demikian.
Sikap (attitude) adalah suatu bentuk evaluasi seseorang untuk bereaksi
secara positif maupun negatif terhadap objek tertentu yang dibentuk dari interaksi
antara komponen kognitif, afektif, dan konatif / perilaku. sikap terdiri dari 3
komponen yaitu komponen kognitif, afektif dan juga konatif. Komponen kognitif
didasarkan pada pengalaman sebelumnya mengenai Dalihan na tolu, sedangkan
afektif lebih kepada ekspresi emosi/perasaan terhadap Dalihan na tolu kompoen
konatif yaitu kecenderungan untuk bertindak. Ketika individu memiliki evaluasi
negatif yang ditunjukkan dengan penilaian yang negatif yang ditunjukkan dengan
ketidaktahuan dan tidak ada pengalaman terhadap Dalihan na tolu dan sebaliknya,
sedangkan individu dikatakan memiliki persepsi positif ketika adanya evaluasi
yang positif berdasarkan pengetahuan individu, serta adanya pengalaman individu
(44)
Kerangka Berpikir
Globalisasi
Budaya
Dalihan Na Tolu
Local Wisdom
Mahasiswa tidak mengetahui
partuturan
MEMUDAR/BAHKAN HILANG
Mahasiswa tidak mengetahui silsilah/tarombo
Sikap terhadap
Dalihan na tolu
Mahasiswa tidak bisa berbahasa
(45)
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif deskriptif.
Menurut Azwar (2010) penelitian deskriptif merupakan metode yang
menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dengan tidak bermaksud
mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi maupun mempelajari
implikasi.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana gambaran sikap
Mahasiswa Batak Toba terhadap Dalihan na tolu. Penelitian ini akan memperoleh
data berupa skor mean, dan standar error. Data tersebut akan diolah untuk
mendapatkan tiga kategori subjek, yaitu kategori positif, netral dan negatif.
A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN
Variabel merupakan konsep mengenai atribut atau sifat yang terdapat pada
subjek penelitian yang dapat bervariasi secara kuantitatif maupun kualitatif
(Azwar, 2010). Sesuai dengan judul tersebut di atas, maka terdapat satu variabel
dalam penelitian ini. Variabel yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah
sikap mahasiswa Batak Toba terhadap Dalihan na tolu.
B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN
Untuk menghindari salah pengertian mengenai data yang akan
(46)
data, maka batasan operasional dari variabel penelitian perlu dikemukakan
terlebih dahulu.
Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Definisi Sikap terhadap Dalihan Na Tolu
Sikap terhadap Dalihan na tolu adalah suatu bentuk evaluasi
seseorang untuk bereaksi secara positif maupun negatif terhadap objek
tertentu yang terbentuk dari komponen kognitif, afektif, dan
konatif/perilaku. Sikap terhadap Dalihan na tolu dalam penelitian ini dapat
diukur dengan menggunakan kuesioner yang didalamnya terdapat
komponen sikap mencakup aspek kognisi, afeksi dan konasi yang
dikaitkan dengan Dalihan na tolu. Tinggi rendahnya skor yang dihasilkan
akan menggambarkan sikap terhadap Dalihan na tolu pada mahasiswa
Batak Toba. Semakin tinggi skor total skala sikap mahasiswa terhadap
Dalihan na tolu, maka semakin positif sikap mahasiswa terhadap Dalihan
na tolu. Sebaliknya, semakin rendah skor total skala sikap terhadap
Dalihan na tolu, semakin negatif sikap mahasiswa terhadap Dalihan na
tolu.
C. POPULASI, SAMPEL DAN TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL 1. Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh objek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi
(47)
sifat yang sama (Hadi, 2000). Populasi pada penelitian ini adalah mahasiswa
Batak Toba dari beberapa Universitas di Medan.
Menyadari luasnya keseluruhan populasi dan keterbatasan yang dimiliki
penulis, maka subjek penelitian yang dipilih adalah sebagian dari keseluruhan
populasi yang dinamakan sampel. Sampel adalah sebahagian dari populasi yang
merupakan penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi. Sampel harus
mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Adapun karakteristik
sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa bersuku Batak
Toba di Medan.
2. Jumlah Sampel Penelitian
Sugiarto (2003) berpendapat bahwa untuk penelitian yang akan
menggunakan analisis data dengan statistik, besar sampel yang paling kecil adalah
30, walaupun ia juga mengakui bahwa banyak peneliti lain menganggap bahwa
sampel sebesar 100 merupakan jumlah yang minimum. Azwar (2012) menyatakan
tidak ada angka yang dikatakan dengan pasti, karena secara tradisional statistika
menganggap jumlah sampel lebih dari 60 orang sudah cukup banyak. Jumlah
sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 200 orang.
3. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
metode nonprobability sampling, dengan teknik accidental sampling. Teknik
(48)
insidental/kebetulan dijumpai dan sesuai dengan ciri karakteristik subjek
penelitian yang telah ditentukan (Hadi, 2000). Teknik ini juga digunakan
dikarenakan peneliti tidak mengetahui jumlah populasi mahasiswa Batak Toba.
D. INSTRUMEN YANG DIGUNAKAN
Pengumpulan data dalam penelitian ilmiah dimaksudkan untuk
memperoleh informasi yang relevan, akurat dan memadai (Hadi, 2000).
Pengumpulan data penelitian kuantitatif dilakukan dengan mengukur dengan
menggunakan alat ukur atau instrument. Alat ukur yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kuesioner.
Kuesioner adalah suatu cara pengumpulan data dengan memberikan daftar
pertanyaan atau angket yang telah disediakan kepada responden menyangkut fakta
dan pendapat responden. Pertanyaan yang akan diajukan akan berupa pernyataan
dalam Skala Likert. Skala Likert (Sugiyono 2010) digunakan untuk mengukur
sikap, pendapat, dan sikap seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena
sosial. Dengan skala Likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi
indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak
umtuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pernyataan atau
pertanyaan.
Kuesioner ini terdiri dari 40 item pernyataan yang bersifat positif
(favorable) dan negatif (unfavorable). Jawaban setiap item instrumen yang
menggunakan skala Likert mempunyai nilai antara lain, Sangat setuju dengan skor
(49)
setuju dengan skor 1 untuk item favorable dan Sangat setuju dengan skor 1,
Setuju dengan skor 2, Netral 3 Tidak setuju dengan skor 4, dan Sangat tidak setuju
dengan skor 5.
Penjelasan lebih rinci mengenai skala yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
a. Skala sikap mahasiswa terhadap Dalihan na tolu
Skala ini digunakan untuk mengukur sikap mahasiswa terhadap Dalihan
na tolu yang disusun oleh peneliti berdasarkan komponen sikap terhadap Dalihan
na tolu yaitu kognitif, afektif, dan konatif yang dikaitkan dengan Dalihan na tolu.
Skala ini direncanakan terdiri dari 45 item. Blue print skala sikap terhadap
Dalihan na tolu sebagai berikut
Tabel 1 Blue print skala sikap mahasiswa Batak Toba terhadap Dalihan na tolu
Variabel Aspek Indikator No.Item Jum
lah Favorable Unfavor
able
Sikap mahasiswa Batak Toba terhadap
Dalihan Na Tolu
Kognisi Pemikiran mahasiswa
terhadap Dalihan na tolu
(adat, partuturan /silsilah,
tarombo, posisi/peran sebagai hula-hula, boru, dongan tubu, dan bahasa
Batak) berdasarkan
pengetahuan yang dimiliki
1, 14, 21, 22, 25, 26, 30, 35, 36
6, 7, 9, 11, 15, 27, 31, 34, 39, 43, 44
(50)
Afeksi Perasaan mahasiswa terhadap konsep Dalihan na tolu (adat, partuturan
/silsilah, tarombo,
posisi/peran sebagai hula-hula, boru, dongan tubu,
dan bahasa) seperti suka, tidak suka, senang, bangga, malu, kecewa
3, 12, 28, 32, 37, 41, 42
2, 13, 17, 24, 29, 38, 40, 45
15
Konatif Perilaku mahasiswa
terhadap terhadap konsep
Dalihan na tolu (adat,
partuturan /silsilah,
tarombo, posisi/peran sebagai hula-hula, boru, dongan tubu, dan bahasa)
5, 8, 16, 18, 23
4, 10, 19, 33, 42
10
Jumlah 45
1. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
Validitas dan reliabilitas alat ukur yang digunakan dalam sebuah
penelitian sangat menentukan keakuratan dan keobjektifan hasil penelitian yang
dilakukan. Suatu alat ukur yang tidak valid dan tidak reliabel akan memberikan
informasi yang tidak akurat mengenai keadaan subjek atau individu yang dikenai
tes ini (Azwar, 2001).
a. Validitas
Validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat
ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Valid tidaknya suatu alat ukur
tergantung pada mampu tidaknya alat ukur tersebut mencapai tujuan
(51)
Dalam penelitian ini validitas yang digunakan adalah validitas isi.
Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap
isi tes dengan analisis rasional lewat professional judgment (Azwar, 2000).
Pada pengujian validitas isi professional dalam hal ini dosen pembimbing
menilai apakah penampilan instrumen penelitian telah meyakinkan dan
memberikan kesan mampu mengungkapkan variabel yang hendak diukur,
selanjutnya dalam proses professional judment isi instrumen juga diuji
apakah representatif terhadap ciri-ciri atribut yang hendak diukur melalui
seleksi item instrumen yang relevan.
b. Reliabilitas
Reliabilitas menunjuk pada satu pengertian bahwa sesuatu
instrument cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat
pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik (Arikunto, 2006).
Untuk mengetahui reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan
rumus teknik Cronbach Alpha.
Dalam aplikasinya, angka reliabilitas berada dalam rentang 0
sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati angka
1,00 maka semakin tinggi reliabilitas alat ukur. Pada umumnya koefisien
reliabilitas telah dianggap memuaskan bila koefisien alpha mencapai
(52)
2. Hasil Uji coba Alat Ukur
Sebelum dilakukan pengambilan data penelitian, terlebih dahulu dilakukan
uji coba untuk mengukur kualitas dari aitem-aitem yang telah disusun. Uji coba
dilakukan pada tanggal 29 Mei 2015 sampai tanggal 2 Juni 2015 terhadap
mahasiswa Batak Toba.
Hasil uji coba alat ukur melalui 45 aitem didapatkan hasil indeks daya
beda item dibawah 0.3 adalah sebanyak 5 aitem, dan sisanya diatas 0,3 dengan
koefisien reliabilitas alat ukur sebesar 0.934
Distribusi aitem setelah uji coba dapat dilihat pada tabel 2:
Tabel 2. Distribusi aitem skala sikap mahasiswa Batak Toba Terhadap Dalihan na tolu setelah uji coba
Variabel Aspek No.Item Jumlah
Favorable Unfavorable Sikap
mahasiswa Batak Toba terhadap
Dalihan na tolu
Kognisi 1, 14, 21, 22, 25, 26, 30, 35, 36
6, 7, 9, 11, 15, 27, 31, 34, 39, 43, 44
20
Afeksi 3, 12, 28, 32, 37, 41, 42
2, 13, 17, 24, 29, 38, 40, 45
15
Konatif 5, 8, 16, 23, 18 4, 10,19, 33, 42 10
Jumlah 45
Keterangan tabel :
Angka yang dicetak tebal merupakan aitem yang memiliki daya diskriminasi aitem dibawah 0,3 dan merupakan aitem yang digunakan dalam penelitian.
Peneliti melakukan penomoran aitem yang baru. Distribusi aitem pada
(53)
Tabel 3. Distribusi aitem skala sikap mahasiswa Batak Toba Terhadap Dalihan na tolu setelah uji coba
Variabel Aspek No.Item Jumlah
Favorable Unfavorable Sikap
mahasiswa Batak Toba terhadap
Dalihan na tolu
Kognisi 1, 12, 19, 23, 27, 29, 32, 33
7, 9, 11, 14, 18, 24, 28, 31, 38, 39
17
Afeksi 4, 12, 15, 21, 30, 34, 37
2, 6, 16, 22, 26, 35 13
Konatif 5, 8, 13, 20, 25, 3, 10, 19, 36, 40 10
Jumlah 40
E. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN 1. Tahap Persiapan penelitian
Dalam rangka pelaksanaan penelitian ini ada beberapa hal yang perlu
dipersiapkan oleh peneliti, antara lain:
a. Pembuatan alat ukur
Pada tahap persiapan penelitian, peneliti mempersiapkan alat ukur
yang digunakan dalam penelitian berupa skala sikap mahasiswa terhadap
Dalihan na tolu dari beberapa Universitas. Alat ukur dalam penelitian ini
terdiri dari 40 pernyataan yang disusun berdasarkan aspek kognisi,
afeksi, dan konasi yang dikaitkan dengan Dalihan Na Tolu. Skala ini
disusun sendiri oleh peneliti dengan 4 pilihan respon yaitu : Sangat
Setuju (SS), Setuju (S), Netral (N), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak
(54)
b. Uji coba alat ukur
Sebelum menjadi alat ukur yang sebenarnya, skala diuji
validitasnya berdasarkan professional judgement kemudian skala
tersebut diuji cobakan kepada sampel yang memiliki karakteristik yang
sama dengan subjek penelitian. Skala ini telah disusun dan diuji coba
validitas melalui professional judgement. Skala kemudian diujicobakan
kepada 60 orang mahasiswa dari beberapa Universitas.
c. Revisi alat ukur
Setelah skala penelitian lulus dalam uji validitas dan reliabilitas,
maka item dalam skala disusun kembali. Selanjutnya, aitem yang lulus
penyaringan dijadikan alat pengumpulan data pada sampel yang
sesungguhnya. Alat ukur yang sudah memenuhi syarat terdiri dari 40
pernyataan dengan koefisien alpha sebesar 0,937.
2. Tahap pelaksanaan a. Tahap pengambilan data
Setelah disusun kembali, maka peneliti melakukan pengambilan
data dengan menyebarkan skala kepada mahasiswa Batak Toba dari
beberapa universitas di Medan yang dipilih secara accidental. Sampel
(55)
3. Tahap pengolahan data
Setelah diperoleh data dari skala sikap mahasiswa Batak Toba terhadap
Dalihan na tolu maka dilakukan pengolahan data. Untuk mempermudah dalam
menganalisa data, maka data data diolah menggunakan SPSS 16.00 for Windows.
Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa statistik
deskriptif. Dalam penelitian terdapat beberapa tahap pengolahan data yaitu, tahap
pertama, peneliti memberikan skor item pada keseluruhan skala yang terkumpul
dan skala yang dapat diolah; tahap kedua, peneliti melakukan input data ke dalam
program Microsoft excel untuk mempermudah pengolahan data; tahap ketiga
peneliti mulai mengolah data dengan menggunakan program SPSS 17.00 for
Windows.
Data yang diperoleh dalam pengolahan data adalah skor mean dan standar
error. Untuk skala sikap terhadap Dalihan na tolu dilakukan pengkategorian
positif, negatif dan netral. Sikap positif diartikan dengan adanya pemahaman,
pengetahuan dan penerapan Dalihan na tolu, dan sikap yang negatif diartikan
dengan tidak adanya pemahaman, pengetahuan serta penerapan Dalihan na tolu
dalam kehidupan sehari-hari. Sikap yang netral diartikan dengan
ketidakkonsistenan penerapan, pemahaman serta pengetahuan tentang Dalihan na
tolu dalam kehidupan sehari-hari.
F. METODE ANALISIS DATA
Metode analisis data yang digunakan untuk melihat gambaran sikap
(56)
deskriptif. Menurut Sugiyono (2012) statistik deskriptif adalah statistik yang
digunakan untuk menganalisa data dengan cara mendeskripsikan atau
menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud
membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi.
Data statistik yang dihasilkan mean, dan standar error. Kesimpulan yang
diberikan selalu dapat dikembalikan langsung pada data yang diperoleh. Data
yang diperoleh dari alat ukur, seperti, mean dan standar error akan diolah dengan
metode statistik dengan menggunakan SPSS 17.00 for Windows. Pada penelitian
ini, subjek akan dikategorikan menjadi 3 (tiga) bagian kategori berdasarkan skor
skala sikap, yaitu positif, netral dan negatif.
Adapun penskoran sikap mahasiswa dikategorikan menjadi 3 yaitu positif,
netral dan negatif. Untuk mengkategorikannya, terlebih dahulu ditentukan besar
intervalnya dengan ketentuan rumus interval sebagai berikut :
Keterangan: i = Interval NT = Nilai tertinggi NR = Nilai terendah K = Jumlah kategori
Dengan demikian besar interval yaitu :
Tabel 4. Kriteria sikap Mahasiswa Batak Toba terhadap Dalihan na tolu
Interval Kriteria
(1)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dengan hormat,
Dalam rangka memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, saya bermaksud mengadakan penelitian di bidang Psikologi sosial khususnya dalam konteks Psikologi budaya. Untuk itu, saya membutuhkan sejumlah data yang akan dapat saya peroleh dengan adanya kerjasama dari Anda dalam mengisi skala ini
Dalam pengisian skala ini, tidak ada jawaban yang salah. Hal yang saya harap dan butuhkan adalah kejujuran dan jawaban yang paling mendekati keadaan Anda yang sesungguhnya. Oleh karena itu, saya selaku peneliti mengharapkan Anda bersedia memberikan jawaban Anda sendiri sejujurnya tanpa mendiskusikannya dengan orang lain. Semua jawaban akan dijaga kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk keperluan penelitian saja.
Bantuan Anda dalam menjawab penelitian ini merupakan bantuan yang sangat besar dan berarti dalam keberhasilan penelitian ini. Atas kerjasama Anda, saya ucapkan terima kasih.
Medan, 29 Mei 2015 Hormat saya,
(2)
IDENTITAS DIRI
Nama/Inisial :
Usia :
Jenis Kelamin : Laki-laki/ Perempuan Universitas /Jurusan :
Dimanakah anda dilahirkan? : Dimanakah anda tinggal? :
Bahasa yang anda pahami (centang pada kolom pilihan; bisa lebih dari 2 pilihan) ( ) bahasa Indonesia ( ) bahasa Inggris
( ) bahasa Batak Toba ( ) Dll, sebutkan ________
Suku ayah :
Suku ibu :
Menurut saya, saya adalah suku :
Bahasa sehari-hari yang digunakan dirumah :
Upacara adat yang pernah diikuti (centang pada kolom pilihan, bisa lebih dari 2 pilihan) : ( ) Perkawinan ( ) Dll, sebutkan _________
( ) Kematian ( ) Tidak ada Frekuensi mengikuti pesta adat Batak Toba dalm satu tahun terakhir : PETUNJUK PENGISIAN
Anda diharapkan menjawab setiap pernyataan dalam skala ini sesuai dengan keadaan, perasaan dan pikiran Anda yang sebenarnya dengan cara memilih:
SS : Bila Anda merasa sangat setuju dengan pernyataan tersebut S : Bila Anda merasa setuju dengan pernyataan tersebut
TS : Bila Anda merasa tidak setuju dengan pernyataan tersebut
STS : Bila Anda merasa sangat tidak setuju dengan pernyataan tersebut
Berikan tanda silang (X) pada kolom jawaban yang Anda anggap paling sesuai dengan diri Anda.
Contoh pengisian skala:
NO PERNYATAAN SS S N TS STS
1 Saya senang mengikuti acara adat Batak Toba. X
Catatan:
Jika Anda ingin memperbaiki jawaban, Anda cukup membuat tanda sama dengan (=) di jawaban yang salah, kemudian membuat tanda silang baru di jawaban yang benar.
(3)
No. Pernyataan SS SS N T S
STS
1. Bagi saya mengikuti acara adat perkawinan, kematian ataupun kelahiran orang Batak Toba adalah hal yang menarik
2. Saya tidak suka melihat keseluruhan kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada pesta adat Batak Toba
3. Saya merasa tidak tertarik melihat rangkaian perkawinan, kematian, kelahiran yang memakan waktu lama
4. Saya merasa antusias melihat seluruh rangkaian adat pesta Batak Toba
5. Saya akan mengikuti bagaimana jalannya adat perkawinan, kematian ataupun kelahiran orang Batak karena penting untuk diketahui
6. Menurut saya melihat kegiatan mangulosi, marhata,
marhobas pada acara perkawinan, kematian ataupun
kelahiran tidak menarik
7. Bagi saya, mengetahui arti istilah boru, dongan tubu,
hula-hula yang sering diucapkan pada pesta adat Batak
Toba tidak penting
8. Saya akan senang mengikuti kegiatan acara perkawinan, kematian ataupun kelahiran (cth mangulosi, marhata, marhobas)
9. Saya merasa sulit memahami acara adat Batak Toba yang didominasi bahasa dan istilah Batak Toba
10. Saya tidak menggunakan bahasa Batak dalam berkomunikasi dengan orang Batak
11. Bagi saya, tidak penting untuk mengetahui siapa yang termasuk kelompok boru, dongan tubu, hula-hula pada pesta adat Batak Toba
12. Saya merasa memiliki hubungan dekat jika menggunakan sapaan ito, namboru, bere, inang, amang, tulang, eda,
(4)
13. Saya akan menggunakan partuturan karena penting sebagai orang Batak
14. Bagi saya, banyaknya istilah yang digunakan dalam acara adat Batak perlu dikurangi untuk mempermudah pemahaman kaum muda Batak
15. Sebagai orang Batak, saya merasa bangga memperkenalkan marga dengan orang lain
16. Saya merasa malu mengikuti pesta perkawinan, kematian ataupun kelahiran Batak yang didominasi oleh orangtua 17. Saya akan memperkenalkan sekaligus menanyakan marga
karena hal penting dalam menentukan sapaan ito, namboru, bere, inang, amang, tulang, eda, ompung
18. Bagi saya sebagai orang Batak, memperkenalkan marga bukanlah suatu keharusan
19. Menurut saya, mengetahui silsilah keluarga merupakan hal penting untuk menentukan hubungan keluarga
20. Untuk mengetahui hubungan kekerabatan dengan orang Batak, maka saya akan menanyakan marga terlebih dahulu 21. Saya merasa memiliki kedekatan terhadap orang yang
punya marga yang sama dengan saya
22. Saya merasa malu mengucapkan sapaan ito, inang,
amang, tulang, ompung daripada om, tante, nenek, kakek
23. Menurut saya penting untuk mengetahui bagaimana penerapan prinsip hula-hula, boru, dongan tubu pada pesta adat Batak
24. Menurut saya sebagai orang Batak, mengetahui siapa kelompok marga yang sama dengan marga kita tidak penting
25. Saya sebagai orang Batak akan bangga menggunakan sapaan ito, namboru, bere, inang, amang, tulang, eda, ompung
26. Saya merasa tidak memiliki ikatan/hubungan dengan orang yang punya marga yang sama dengan saya
(5)
27. Bagi saya, penting untuk mengetahui bahwa ada pegangan hidup orang Batak yaitu somba marhula-hula (saling menghormati), elek marboru (saling menghargai), manat mardongan tubu (saling membantu sesama marga) 28. Menurut saya, penggunaan bahasa Batak Toba perlu
dikurangi dalam pesta adat
29. Saya merasa bangga dengan adanya pembagian peran dan posisi dalam keluarga Batak Toba terutama dalam adat Batak
30. Menurut saya, memiliki kedekatan dengan sesama orang Batak yang semarga merupakan hal yang menyenangkan 31. Saya tidak mengetahui bahwa ada peran, tanggungjawab
serta prinsip hula-hula, boru, dongan tubu pada orang Batak karena tidak penting bagi saya
32. Bagi saya, adanya pembagian posisi pada orang Batak sebagai hula-hula, boru dan dongan tubu adalah hal yang menarik untuk diketahui karena hanya ada pada suku Batak
33. Bagi saya mengetahui kelompok marga apa saja yang sama dengan saya adalah hal yang penting
34. Sebagai orang Batak merupakan hal yang membanggakan jika mengetahui silsilah keluarga saya
35. Saya sebagai orang Batak tidak malu tidak tahu
partuturan; peran, bahasa serta adat Batak Toba
36. Saya akan merasa senang bertemu dengan orang yang memiliki marga yang sama dengan saya karena saya merasa memiliki keterikatan
37. Saya merasa memiliki kedekatan dan keterikatan terhadap orang dengan marga sama karena masih menganggap mereka satu darah
38. Prinsip saling membantu terhadap sesama marga bukan merupakan suatu keharusan bagi saya
(6)
keluarga bukan merupakan keharusan
40. Saya akan malu menggunakan sapaan ito, namboru, bere,
inang, amang, tulang, eda, ompung daripada tante, om,
kakek, mama, papa, nenek
MOHON PERIKSA KEMBALI JAWABAN ANDA PASTIKAN TIDAK ADA JAWABAN YANG KOSONG