Subordinasi Perempuan Dalam Adat Batak Toba (Studi Kasus terhadap Perempuan sebagai Orangtua Tunggal dalam Filosofi Dalihan Na Tolu pada Masyarakat Batak Toba)

(1)

SUBORDINASI PEREMPUAN DALAM ADAT BATAK TOBA

(Studi Kasus terhadap Perempuan sebagai Orangtua Tunggal

dalam Filosofi Dalihan Na Tolu pada Masyarakat Batak Toba)

SKRIPSI

NORA EVANGELINE PASARIBU

100904102

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

MEDAN

2014


(2)

SUBORDINASI PEREMPUAN DALAM ADAT BATAK TOBA

(Studi Kasus terhadap Perempuan sebagai Orangtua Tunggal

dalam Filosofi Dalihan Na Tolu pada Masyarakat Batak Toba)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar

sarjana program strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu

Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara

Nora Evangeline Pasaribu

100904102

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

MEDAN

2014


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

Lembaran Persetujuan Sripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh : Nama : Nora Evangeline Pasaribu

NIM : 100904102

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul :SUBORDINASI PEREMPUAN DALAM ADAT

BATAK TOBA (Studi Kasus Terhadap Perempuan sebagai Orangtua Tunggal Dalam Filosofi Dalihan Na Tolu Pada Masyarakat Batak Toba)

Dosen pembimbing Ketua Departemen Ilmu Komunikasi

Yovita Sabarina Sitepu, S.Sos, M.Si Dra. Fatma Wardy Lubis, M. A /// NIP. 19801107200642002 NIP. 1962082819870122001

Dekan FISIP USU

NIP. 196805251992031002 Prof. Dr. Badaruddin, M.Si


(4)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh : Nora Evangeline Pasaribu

NIM : 100904102

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi :SUBORDINASI PEREMPUAN DALAM ADAT

BATAK TOBA (Studi Kasus Terhadap POT Dalam Filosofi Dalihan Na Tolu Pada Masyarakat Batak Toba)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

Ketua Penguji :

Penguji :

Penguji Utama :

Ditetapkan di : Medan Tanggal :


(5)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip Maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika dikemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka

saya

Bersedia di proses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : Nora Evangeline Pasaribu

NIM : 100904102

Tanda tangan : _________________


(6)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Subordinasi Perempuan dalam Adat Batak Toba (Studi Kasus Terhadap Perempuan sebagai Orangtua Tunggal dalam Filosofi Dalihan Na Tolu Pada Masyarakat Batak Toba). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa-apa saja subordinasi yang terjadi pada perempuan sebagai orangtua tunggal serta ketidakseimbangan perlakuan terhadap perempuan yang bertolak belakang dengan “Dalihan Na Tolu”. Penelitian ini menggunakan paradigm kritis sebagai sudut pandang peneliti, sedangkan metode yang digunakan adalah metode kualitatif dalam bentuk studi kasus, dimana peneliti akan memberikan pemaparan atau gambaran umum mengenai subordinasi perempuan sebagai orangtua tunggal di dalam adat Batak. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam (in-dept interview) yaitu wawancara terhadap lima informan yang telah memenuhi kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Wawancara dilakukan secara intensif dan terus menerus sampai data yang didapatkan telah sesuai dengan tujuan penelitian dan penelitian kepustakaan (Library Research). Hasil penelitian menunjukkan bahwa informan (RS,YS, SM, MP dan LM) sebagai orangtua tunggal tersubordinasi baik melalui komunikasi verbal maupun nonverbal dan subordinasi tersebut berbeda dengan filosofi masyarakat Batak. Budaya dari pola pikir masyarakat jauh lebih kuat mempengaruhi kebiasaan sehingga adanya subordinasi yang bertolak belakang dengan filosofi “Dalihan Na Tolu”.

Kata Kunci : Subordinasi perempuan sebagai orangtua tunggal, Cultural studies, ketidakadilan gender


(7)

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah ... 1

1.2 Fokus Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teoritis ... 8

2.1.1 Kajian Budaya ... 16

2.1.2 Teori Gender ... 20

2.2 Kerangka Pemikiran ... 27

2.3 Model Teoritis ... 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 34

3.2 Objek Penelitian ... 37

3.3 Subjek Penelitian ... 39

3.4 Unit Analisis ... 42

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 44

3.6 Teknik Analisis Data ... 45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 46

4.2 Pembahasan ... 83

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 92

5.2 Saran... 94 DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Subordinasi Perempuan dalam Adat Batak Toba (Studi Kasus Terhadap Perempuan sebagai Orangtua Tunggal dalam Filosofi Dalihan Na Tolu Pada Masyarakat Batak Toba). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa-apa saja subordinasi yang terjadi pada perempuan sebagai orangtua tunggal serta ketidakseimbangan perlakuan terhadap perempuan yang bertolak belakang dengan “Dalihan Na Tolu”. Penelitian ini menggunakan paradigm kritis sebagai sudut pandang peneliti, sedangkan metode yang digunakan adalah metode kualitatif dalam bentuk studi kasus, dimana peneliti akan memberikan pemaparan atau gambaran umum mengenai subordinasi perempuan sebagai orangtua tunggal di dalam adat Batak. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam (in-dept interview) yaitu wawancara terhadap lima informan yang telah memenuhi kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Wawancara dilakukan secara intensif dan terus menerus sampai data yang didapatkan telah sesuai dengan tujuan penelitian dan penelitian kepustakaan (Library Research). Hasil penelitian menunjukkan bahwa informan (RS,YS, SM, MP dan LM) sebagai orangtua tunggal tersubordinasi baik melalui komunikasi verbal maupun nonverbal dan subordinasi tersebut berbeda dengan filosofi masyarakat Batak. Budaya dari pola pikir masyarakat jauh lebih kuat mempengaruhi kebiasaan sehingga adanya subordinasi yang bertolak belakang dengan filosofi “Dalihan Na Tolu”.

Kata Kunci : Subordinasi perempuan sebagai orangtua tunggal, Cultural studies, ketidakadilan gender


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

Perempuan merupakan kaum yang sering di nomor duakan di kehidupan sehari-hari. Perempuan seringkali mendapat perlakuan yang kurang adil di dalam kehidupan masyarakat Batak. Dengan sistem patrilineal yang dianut oleh masyarakat Batak, jelas menunjukkan bahwa anak laki-laki sebagai generasi penerus, sedangkan anak perempuan kelak akan ikut marga suaminya. Masyarakat patrilineal khususnya dalam masyarakat “Batak Toba” menganggap bahwa anak laki-laki lebih berharga atau lebih tinggi kedudukannya dari pada anak perempuan. Anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun penerus marga dari orangtuanya. Sebaliknya, anak perempuan nanti akan ikut dengan suami dan keturunan yang dilahirkannya akan mengikuti marga suaminya.

Perempuan sebagai orangtua tunggal pada masyarakat Batak sangat termarginalkan, seperti salah satu informan pada saat pra-penelitian. Ibu YS merupakan orangtua tunggal karena kematian, pada saat suaminya masih hidup ibu YS mendapat perlakuan yang baik. Ibu YS termasuk orang yang harus memberikan pendapat saat berada ditengah-tengah keluarga, bahkan pendapat ibu YS sangat dihargai. Ketika suami ibu YS meninggal dunia, YS bukanlah orang terpenting, bahkan untuk ikut didalam acara adat keluarga suamipun tidak mengijinkan. Anak laki-laki dari YS yang seharusnya mewakili atau menggantikan suara ayah pun tidak diberikan hak untuk pendapat bahkan hanya sekedar ikut memeriahkan acar keluarga. Kenyataan yang sulit untuk menjadi perempuan sebagai orangtua tunggal, menjadi orangtua tunggal bukan lagi sekedar menjadi ibu tetapi harus dapat merangkum menjadi ayah. Orangtua tunggal harus mampu mandiri dan menghadapi keluarga yang kebanyakan tidak mendukung istri yang ditinggalkan.


(10)

Kedudukan perempuan sebagai orangtua tunggal menurut adat bertolak belakang pada kenyataan bahwa perempuan sebagai orang asing. Sehingga tidak berhak untuk mendapat apapun.Namun di dalam adat jika isteri tidak menikah lagi, maka isteri dapat memiliki harta yang diperoleh selama ada ikatan perkawinan (harta bersama). Oleh sebab itu, perempuan sebagai orangtua tunggal pada adat Batak Toba memiliki suatu ketentuan, yaitu apabila “janda” diintegrasikan ke dalam keluarga suaminya, ia dapat menetap di sana dan mendapat nafkah. Akan tetapi, apabila perempuan tersebut memisahkan diri dari keluarga suaminya, perempuan sebagai orangtua tunggal tidak akan berhak memiliki benda milik suaminya.

Anak perempuan dalam suku batak yang tidak memiliki saudara laki-laki, tidak berhak mendapat warisan dari orangtua karena dianggap tidak dapat melanjutkan silsilah keluarganya dan keluarga tersebut hanya berhenti di anak perempuan. Anak perempuan yang demikian disebut “siteanon”, artinya semua harta warisan ayahnya tidak dapatdimiliknya dan harus diwarisi anak laki-laki dari saudara laki-laki ayahnya. Tetapi pada masa sekarang, jika ayahnya memberikan surat wasiat yang tertuju pada anaknya, maka anak perempuan dapat memilikinya. Bukan hanya dalam hak warisan, pendapat perempuan dikalangan Batak juga tidak didengarkan, perempuan dianggap kurang memiliki hak suara dikeluarga suami maupun dikeluarga sendiri. Pendapat isteri biasanya disamakan dengan pendapat suami. Akan tetapi di dalam adat Batak, suara perempuan masih dapat diperhitungkan pada saat-saat tertentu. Seperti saat keluarga sendiri yang langsung bertanya dan meminta pendapat perempuan sebagai isteri maupun sebagai anak perempuan.

Kenyataan yang konkret dalam masyarakat Batak, yaitujika perempuan tidak memiliki suami karena kematian maupun cerai hidup, perempuan sebagai orangtua tunggal tidak berhak mendapatkan apa-apa dari milik suami yang berasal dari keluarga dan pendapat yang diberikan oleh perempuan tersebut juga tidak diperhitungkan. Pendapat yang diberikan perempuan sebagai orangtua tunggal dianggap tidak sah karena pendapat hanya sebelah, sementara pendapat haruslah satu dengan suami.


(11)

Perempuan hanya sebagai pengguna untuk sumber kehidupan tanpa memiliki sementara pendapatnya bukan hal yang penting untuk dipertimbangkan, itupun jika memiliki anak laki-laki. Sementara perempuan sebagai orangtua tunggal yang tidak memiliki anak tanpa pernikahan atau hamil tanpa adanya pernikahan, cenderung dikucilkan bahkan dianggap sangat rendah. Sebagai orangtua tunggal yang belum pernah menikah lebih dianggap mempermalukan keluarga sehingga terasing dikeluarga, dan anak tersebut tidak dianggap karena tidak memiliki marga.

Pernikahan pada suku Batak bukan masalah perseorangan, tetapi masalah keluarga. Bila seseorang menikah dengan orang lain, bukan saja dia yang mengikat tali kekerabatan dengan keluarga istri atau suaminya, tetapi terbentuklah jaringan-jaringan kekerabatan atau jaringan kekeluargaan yang baru. Kalau ikatan kekerabatan sudah ada atau sudah erat sebelumnya, maka pernikahan itu berarti memperbaharui dan memperkuat ikatan yang sudah ada. Tetapi jika diantara mempelai itu tidak terdapat hubungan kekeluargaan atau kekerabatan sebelumnya, maka pernikahan mereka akan membentuk suatu jaringan kekerabatan atau jaringan kekeluargaan yang baru (Tambun, 2004: 56).

Pernikahan akan menjadi tidak utuh ketika salah satu dari keluarga meninggal atau cerai hidup. Jika salah satu dari pasangan tersebut tidak ada, keluarga inti tidak akan sekokoh sebelumnya. Seorang perempuan berperan sebagai orang tua tunggal dalam membesarkan anak-anaknya, sebagai orangtua tunggal ia harus berperan sebagai ibu sekaligus sebagai ayah bagi anak-anaknya.Perempuan sebagai orangtua tunggal bukan hal yang mudah untuk merawat dan menjaga keharmonisan keluarga suami dan keluarga sendiri. Bahkan, menjadi seorang perempuan yang tidak memiliki suami bukan hal yang mudah untuk bersosialisasi dengan lingkungan. Banyak pandangan negatif tertuju pada perempuan sebagai orangtua tunggal, tidak hanya dari lingkungan bahkan keluarga sendiri. Bukan hanya pandangan negatif yang diterima oleh orangtua tunggal,


(12)

peminggiran dan penomerduaan pun dirasakan perempuan sebagai orangtua tunggal.

Masyarakat Batak Toba memiliki filosofi yang menyangkut masyarakat da Tolu” merupakan simbol dari sistem sosial masyarakat batak yang sampai di abad modern ini peranannya sangat kuat dalam membina kehidupan khususnya masyarakat batak baik yang menyangkut pergaulan hidup, kepemimpinan, hukum dan lain sebagainya. Filosofi “Dalihan Na Tolu” ini menunjukkan solidaritas persatuan dan sikap saling hormat menghormati diantara sesama manusia. Hal ini disebabkan karena sistem etika yang mengayomi para pihak di dalam “Dalihan Na Tolu” sangat relevan di setiap perkembangan jaman. Dalam adat Batak, “Dalihan Na Tolu” ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama. Ketiga hal tersebut yaitu,

Pertama, “Somba Marhulahula/samba” Hormat kepada keluarga pihak

Ketiga, “Manat Mardongan Tubu”bersikap hati-hati atau saling

menghormati kepada teman semarga (Rajamarpodang : 1992).

Penerapan “Dalihan Na Tolu” bisa kita lihat dalam suatu perkawinan yang sah.“Dalihan Na Tolu” telah menggariskan dan menetapkan aturan dan ketentuan rinci mengenai berbagai hubungan sosial baik antara suami dengan isteri, antara orang tua dengan saudara-saudara kandung dari masing-masing pihak, maupun dengan “boru” serta “hula-hula” dari masing-masing pihak. Di dalam adat Batak, jika perkawinan hanya disahkan dengan upacara agama dan catatan sipil, maka perkawinan itu tidak sah di dalam “Dalihan Na Tolu”. sehingga apabila timbul keretakan di dalam rumah tangga, maka sudah pasti keluarga dan kerabat semarga dari masing-masing pihak tidak memiliki hak dan kewajiban untuk mencampurinya karena belum “diadati”.

Perempuan yang sudah menjadi “janda” di dalam adat Batak seharusnya masih tetap dilindungi, dinafkahi oleh keluarga suami. Karena, dia masih memakai nama belakang dengan marga suami seperti nyonya


(13)

(marga suami). Jika timbul permasalahan, bukan hanya keluarga suami yang mengambil keputusan tetapi harus bermusyawarah dengan ketiga bagian “Dalihan Na Tolu”. “hula-hula”, “mardongan tubu”, “boru”, seluruhnya harus ikut dalam menyelesaikan masalah. Agar suku Batak Toba tetap bersama-sama dan tetap satu dalam naungan “Dalihan Na Tolu”.

Adapun penyelesaian permasalahan-permasalahan yang sering timbul dalam perkawinan pada kehidupan masyarakat Batak Toba misalnya tentang perceraian, dan pembagian harta warisan juga tidak akan dapat berjalan apabila “Dalihan Na Tolu” tidak ada, disebabkan karena unsur “Dalihan Na Tolu” dari pihak yang bersengketa tersebut yang memiliki inisiatif dalam hal mencari tahu sengketa yang sedang terjadi, apa, mengapa dan bagaimana sumber sengketa terjadi, lalu mengajak berkumpul, dan bermusyawarah untuk menyelesaikan sengketa yang sedang mereka alami tersebut. “Dalihan Na Tolu” bukanlah kasta karena setiap orang Batak Toba memiliki ketiga posisi tersebut, ada saatnya menjadi “Hula hula/Tondong”, ada saatnya menempati posisi “Dongan Tubu/Sanina” dan ada saatnya menjadi “Boru”.

Kenyataan ironis ini membuat perempuan termarginalkan, perempuan lebih menderita ketika dia menjadi seorang “janda”. Pada saat suami masih adapun, perempuan sudah termarginalkan dimana pendapat perempuan bukanlah hal yang utama, dan harus melalui suami. Ketika suami mengatakan iya, maka pendapat istri adalah pendapat yang benar dan patut diperhitungkan. Subordinasi perempuan dan marginalisasi perempuan dapat dilihat dari ibu YS tersebut.

Keluarga suami seharusnya menjadi pengganti suami di dalam “Dalihan Na Tolu”, keluarga suami seharusnya mendukung ibu YS dengan alasan ibu YS masih tetap setia dan masih ada di keluarga suaminya dan tidak ingin menikah lagi dengan orang lain. Ibu YS juga memiliki anak laki-laki, dimana anak laki-laki YS di adat merupakan pengganti suara ayah. Tetapi kenyataannya sangat berbeda, ibu YS bukanlah siapa-siapa lagi dan tanpa ada acara adat mengembalikan tetap saja keluarga suami


(14)

tidak peduli. Perlakuan ini sangat bertolak belakang dengan “Dalihan Na Tolu”, tidak ada peran dari ketiga “Dalihan” tersebut.

Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dari berbagai bidang kehidupan, antara lain bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, dan hukum (baik hukum tertulis maupun tidak tertulis yakni hukum-hukum adat). Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam bidang kehidupan tersebut pada umumnya menunjukan hubungan yang sub-ordinasi yang artinya bahwa perempuan termarginalkan di bandingkan dengan kedudukan laki-laki.

Kaum perempuan diberi kebebasan untuk memperoleh pendidikan dan kesempatan untuk bekerja tetapi mereka tetap saja diikat dengan norma-norma patriarki yang relatifmenghambat dan memberikan kondisi yang dilematis terhadap posisi mereka. Kaum perempuan dibolehkan bekerja dengan catatan hanya sebagai penambah pencari nafkah keluarga sehingga mereka bekerja dianggap hanya sebagai “working or lipstick” belum lagi kewajiban utama mengasuh anak dibebankan sepenuhnya kepada perempuan (Daulay, 2007 : 3).

Penelitian ini berangkat dari adanya ketidakseimbangan antara kenyataan yang terjadi dan bertolak belakang dari filosofi “Dalihan Na Tolu” pedoman dasar suku Batak terhadap perempuan yang sudah tidak memiliki suami ataupun yang sama sekali tidak memiliki suami tetapi memiliki anak didalam budaya Batak Toba. Dari ketidakseimbangan inilah terdapat subordinasi perempuan sebagai orangtua tunggal. Perempuan seringkali disubordinasikan oleh lingkungan. Penelitian ini ingin mengetahui apa sajakah bentuk-bentuk subordinasi yang terdapat pada prempuan sebagai orangtua tunggal.

Penelitian ini penting untuk dilakukan karena akan membahas tentang subordinasi perempuan sebagai orangtua tunggal yang telah menjadi fenomena sosial yang rentan dialami oleh masyarakat suku Batak Toba. Penelitian ini juga akan membahas bagaimana peran perempuan di dalam adat Batak serta bagaimana ketidakseimbangan “Dalihan Na Tolu” yang salah diartikan oleh masyarakat Batak Toba.


(15)

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan konteks masalah yang diuraikan sebelumnya, maka fokus masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana bentuk-bentuk subordinasi perempuan sebagai orangtua tunggal dalam filosofi Dalihan Na Tolu?”. Penelitian ini akan ditujukan kepada informan yaitu, perempuan sebagai orangtua tunggal yang tidak memiliki suami karena kematian, orangtua tunggal cerai hidup serta orangtua tunggal yang sama sekali belum menikah atau hamil tanpa pernikahan.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk subordinasi perempuan sebagai orangtua tunggal dalam adat Batak Toba.

2. Untuk mengetahui bagaimana peran perempuan sebagai orangtua tunggal di dalam adat Batak Toba.

3. Untuk mengetahui bagaimana ketidakseimbangan perlakuan perempuan yang bertolak belakang dengan “Dalihan Na Tolu”.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan penjelasan dan pembuktian terhadap beberapa teori yang membahas tentang subordinasi perempuan sebagai orangtua tunggal.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai budaya adat Batak Toba, dan penulis berharap agar penelitian ini bermanfaat bagi kalangan mahasiswa, khususnya bagi mahasiswa suku Batak. Penelitian ini juga diharapkan dapat disumbangkan untuk memperluas wawasan serta berguna bagi mahasiswa.

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan masyarakat Batak Toba serta merubah pandangan masyarakat dalam memperlakukan perempuan sebagai orangtua tunggal.


(16)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian

Paradigma merupakan suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari (Arifin, 2006 : 37). Paradigma Kualitatif merupakan paradigma penelitian yang menekankan pada pemahaman mengenai masalah-masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitas atau natural setting yang holistis, kompleks dan rinci (Hartono, 2004:16). Sedangkan Wimmer & Dominick (Kriyantono, 2006: 48) menyebut pendekatan dengan paradigma, yaitu seperangkat teori, prosedur, dan asumsi yang diyakini tentang bagaimana peneliti melihat dunia. Perspektif tercipta berdasarkan komunikasi antaranggota suatu kelompok selama seseorang menjadi bagian kelompok tersebut.

Mulyana mengatakan jenis perspektif atau pendekatan yang disampaikan oleh teoritis bergantung pada bagaimana teoritis itu memandang manusia yang menjadi objek kajian mereka. Adapun metodologi yang digunakan peneliti dalam pembahasannya adalah metode deskriptif kualitatif dengan paradigma kritis. Paradigm kritis menurut Guba dan Lincoln, critical paradigm menilai ilmu sosial sebagai proses yang kritis berusaha mengungkap the real structures(dalam Kriyantono, 2006: 48).

Paradigma kritis (critical paradigm) adalah semua teori sosial yang mempunyai maksud dan implikassi praktis dan berpengaruh terhadap perubahan sosial. Paradigma ini tidak sekedar melakukan kritik terhadap ketidakadilan sistem yang dominan yaitu sistem sosial kapitalisme, melainkan suatu paradigma untuk mengubah sistem dan struktur tersebut menjadi lebih adil (Magnis, 1995:160).

Tiga asumsi dasar pendekatan kritis yaitu, pertama, semuanya menggunakan prinsip-prinsip dasar ilmu sosial interpretatif, dimana ilmuan kritis menganggap perlu untuk memahami pengalaman orang dalam konteks. Secara khusus pendekatan kritis bertujuan untuk


(17)

menginterpretasikan dan karenanya memahami bagaimana berbagai kelompok sosial dikekang dan ditindas. Kedua, pendekatan ini mengkaji kondisi-kondisi sosial dalam usahanya untuk mengungkap struktur-struktur yang seringkali tersembunyi. Kebanyakan teori kritis mengajarkan bahwa pengetahuan adalah kekuatan untuk memahami tindakan untuk mengubah kekuatan penindas. Ketiga, pendekatan kritis secara sadar berupaya untuk menggabungkan teori dan tindakan. Teori-teori tersebut jelas normatif dan bertindak untuk mencapai perubahan dalam berbagai kondisi yang mempengaruhi hidup kita (Senjaya dkk, 2007: 33).

Pendekatan kritis menganggap bahwa pengalaman manusia bahwa pengalaman manusia tidak terpisahkan dari percakapan dan teks yang tertanam didalamnya. Pengalaman itu sendiri adalah bahasa. Bahasa dari budaya menentukan pengalaman dan menciptakan suatu bias atau cara untuk memahami. Teks memang berbicara, tetapi orang selalu membaca teks dari sudut pandang lingkungan historis dimana ia hidup dan berfikir. Seringkali lingkungan itu terdiri dari kekuatan-kekuatan yang menghancurkan dan menindas manusia. Bentuk-bentuk bahasa yang dominan dan media komunikasi dapat mencegah kelompok tertentu dari partisipasi dalam struktur-struktur kendali masyarakat. Dalam masa sekarang, beberapa orang beranggapan penindasan dapat dilihat dalam struktur ekonomi, media komunikasi, dan hubungan gender (Senjaya dkk, 2007 : 40).

Pada bidang komunikasi, penganut tradisi kritis secara khusus menunjukkan ketertarikannya pada bagaimana pesan dapat mendukung penindasan di masyarakat. Walaupun para pendukung teori kritis tertarik pada tindakan sosial, namun mereka juga fokus pada wacana teks yang mendukung atau mempromosikan ideologi tertentu, mendukung kekuasaan tertentu, mendukung untuk mengurangi atau meniadakan kepentingan kelompok atau kelas masyarakat tertentu. Paradigma dibutuhkan sebagai landasan atau kepercayaan dasar


(18)

mengenai suatu fenomena yang digunakan untuk menganalisis dan mempertimbangkan suatu isu yang berkembang dalam masyarakat.

2.2. Kajian Pustaka 2.2.1. Komunikasi

2.2.1.1. Pengertian Komunikasi

Komunikasi sulit untuk didefenisikan, kata ‘komunikasi’ bersifat abstrak, seperti kebanyakan istilah, memiliki banyak arti(Morisson& Cory,2009). Menurut Louis Forsdale (dalam Muhammad,2007:2) komunikasi adalah suatu proses memberikan signal menurut aturan tertentu, sehingga dengan cara ini suatu sistem dapat didirikan, dipelihara, dan diubah. Pada defenisi ini komunikasi dianggap sebagai suatu proses. Kata signal maksudnya adalah signal yang berupa verbal dan nonverbal yang mempunyai aturan tertentu. Dengan adanya aturan ini menjadikan orang yang menerima signal yang telah mengetahui aturannya akan dapat memahami maksud dari signal yang diterimanya. Tubbs dan Moss mendefenisikan komunikasi sebagai proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih. Menurut Harold D. Laswell komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu (dalam Effendy,2007:10).

Carl I Hovland mengatakan, komunikasi adalah suatu sistem yang berusaha menyusun prinsip-prinsip dalam bentuk yang tepat mengenai hal memindahkan penerangan dan membentuk pendapat serta sikap-sikap. Lebih lanjut Hovland mengemukakan bahwa komunikasi adalah peroses dimana seorang individu mengoperkan perangsang untuk mengubah tingkah laku indiviu-individu yang lain. Perangsang tersebut ialah budaya (dalam Purba dkk, 2010:34).

Menurut Koentjaraningrat, komunikasi tidak hanya sekedar pertukaran pesan, namun juga mengenai bagaimana cara mereka dalam proses pertukaran pesan tersebut, serta kebiasaan-kebiasaan manusia dalam berkomunikasi. Selain itu, disiplin ilmu sosiologi juga berpengaruh besar bagi ilmu komunikasi, karena kajian sosiologi menitik beratkan pada


(19)

fenomena manusia sebagai makhluk sosial yang berhubungan dengan orang lain. Peran komunikasi dalam hubungan sosial ini adalah sebagai salah satu upaya manusia menjalin hubungan dengan orang lain(dalam Purba dkk, 2010:32).

Komunikasi lahir karena adanya manusia berfikir dan menyatakan eksistensinya. Eksistensi diri lahir karena adanya pengakuan dari manusia lain. Pengakuan tersebut lahir karena adanya bahasa, dengan bahasa manusia bertukar gagasan dan lahirlah komunikasi. Dengan adanya komunikasi antar manusia lahirlah masyarakat. Masyarakat yang berinteraksi antara satu dengan yang lain akhirnya melahirkan sebuah kebudayaan. Jadi, dalam kehidupan berbudaya, yang pertama adalah unsur manusia, unsur komunikasi, unsur masyarakat, unsur kebudayaan, dan bahasa sebagai alat komunikasi.

Harold D. Laswell menyebut tiga fungsi dasar yang menjadi penyebab mengapa manusia perlu berkomunikasi, yaitu (dalam Cangara, 2006:2) ;

Pertama, adalah hasrat manusia untuk mengontrol lingkungan.

Melalui komunikasi manusia dapat mengetahui peluang-peluang yang ada untuk dimanfaatkan, dipelihara dan menghindar pada hal-hal yang mengancam alam sekitarnya. Melalui komunikasi dapat mengetahui suatu kejadian atau peristiwa. Bahkan melalui komunikasi manusia dapat mengembangkan pengetahuannya, yakni belajar dari pengalamannya, maupun melalui informasi yang mereka terima dari lingkungan sekitarnya.

Kedua, adalah upaya manusia untuk dapat beradaptasi dengan

lingkungannya. Proses kelanjutan suatu masyarakat sesungguhnya tergantung bagaimana masyarakat itu bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Penyesuaian di sini bukan saja terletak pada kemampuan manusia memberi tanggapan terhadap gejala alam yang mempengaruhi perilaku manusia, tetapi juga lingkungan masyarakat tempat manusia hidup dalam tantangan. Dalam lingkungan seperti ini diperlukan penyesuaian, agar manusia dapat hidup dalam suasan yang harmonis.


(20)

Ketiga, adalah upaya untuk melakukan transformasi warisan

sosialisasi. Suatu masyarakat yang ingin mempertahankan keberadaannya, maka anggota masyarakatnya dituntut untuk melakukan pertukaran nilai, perilaku, dan peranan. Misalnya bagaimana perempuan sebagai orangtua tunggal mengajarkan adat dan budaya serta tatakrama bermasyarakat yang baik kepada anak-anaknya.

Ketiga fungsi ini menjadi patokan dasar bagi setiap individu dalam berhubungan dengan sesama anggota masyarakat. Komunikasi tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Sebab, berkomunikasi dangan baik akan member langsung pada struktur keseimbangan seseorang dalam bermasyarakat.

Setiap praktik komunikasi pada dasarnya adalah representasi budaya, atau tepatnya suatu peta asata suatu realitas (budaya) yang sangat rumit. Komunikasi dan budaya adalah dua etnis tak terpisahkan, sebagaimana dikatakan Edward T.Hall, “Budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya”. Begitu kita berbicara tentang komunikasi, tak terhindarkan, kitapun berbicara tentang budaya (dalam Mulyana, 2004:14). Budaya dan komunikasi berinteraksi secara erat dan dinamis. Inti budaya adalah komunikasi. Karena budaya muncul melalui komunikasi. Akan tetapi pada gilirannya budaya yang terciptapun mempengruhi cara berkomunikasi anggota budaya yang bersangkutan. Hubungan antara budaya dan komunikasi adalah timbal balik. Menurut Alfred G. Smith, budaya adalah kode yang kita pelajari bersama dan untuk itu dibutuhkan komunikasi. Budaya tak akan dapat dipahami tanpa mempelajari komunikasi dan komunikasi hanya dapat dipahami dengn memahami budaya yang mendukungnya (dalam Mulyana, 2004:14).

2.2.1.2. Fungsi dan Tujuan Komunikasi

Fungsi utama komunikasi adalah mengendalikan lingkungan guna memperoleh imbalan-imbalan tertentu berupa fisik, ekonomi, dan sosial. Komunikasi insan atau human communication baik yang non-antarpribadi


(21)

maupun yang antarpribadi semuanya mengenai pengendalian lingkungan guna mendapatkan imbalan seperti dalam bentuk fisik, ekonomi, dan sosial (Miller&Steinberg,1975). Pengendalian lingkungan dibedakan ke dalam dua tingkatan. Pertama, hasil yang diperoleh sesuai dengan apa yang diinginkan. Kedua, hasil yang diperoleh mencerminkan adanya kompromi dari keinginan semula pihak-pihak yang terlibat (Budyatna&Ganiem,2011:27).

Komunikasi sebagai ilmu dan seni, sudah tentu memiliki fungsi yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam terjadinya komunikasi tidak terlepas dari bentuk dan fungsi komunikasi, dimana komunikasi yang baik, tidak jauh dari fungsi yang mendukung keefektifan komunikasi.

Adapun fungsi-fungsi dari komunikasi (Effendy, 2007:55) adalah sebagai berikut:

a. Menyampaikan informasi (to inform)

Komunikasi berfungsi dalam menyampaikan informasi, tidak hanya informasi tetapi juga pesan, ide, gagasan, opini maupun komentar. Sehingga masyarakat bisa mengetahui keadaan yang terjadi dimanapun.

b. Mendidik (to educate)

Komunikasi sebagai sarana informasi yang mendidik, menyebarluaskan kreativitas, tidak hanya sekedar memberi hiburan, tetapi juga memberikan pendidikan untuk membuka wawasan dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan secara luas, baik untuk pendidikan formal disekolah maupun untuk di luar sekolah, serta memberikan berbagai informasi tidak lain agar masyarakat menjadi lebih baik, lebih maju, dan lebih berkembang. c. Menghibur (to entertain)

Komunikasi juga memberikan warna dalam kehidupan, tidak hanya informasi tetapi juga hiburan. Semua golongan menikmatinya sebagai alat hiburan dalam bersosialisasi. Menyampaikan informasi dalam lagu, lirik dan bunyi maupun gambar dan bahasa.


(22)

d. Mempengaruhi (to influence)

Komunikasi sebagai sarana untuk mempengaruhi khalayak untuk memberi motivasi, mendorong untuk mengikuti kemajuan orang lain melalui apa yang dilihat, dibaca, dan didengar. Serta memperkenalkan nilai-nilai baru untuk mengubah sikap dan perilaku kea rah yang baik dan moderniasasi.

2.2.1.3. Komunikasi Verbal dan Komunikasi Nonverbal 2.2.1.3.1. Komunikasi Verbal

Komunikasi menurut Hovland, Janis, Kelly berarti sebuah proses dimana seorang individu sebagai komunikator menyampaikan stimulus yang biasanya verbal untuk mengubah perilaku orang lainnya.Verbal adalah pernyataan lisan antar manusia lewat kata-kata dan simbol umum yang sudah disepakati antar individu, kelompok, bangsa dan Negara. Jadi defenisi komunikasi verbal dapat disimpulkan bahwa komunikasi yang menggunakan kata-kata secara lisan dengan secara sadar dilakukan oleh manusia untuk berhubungan dengan manusia satu dengan yang lain. Dasar komunikasi verbal adalah interaksi antara manusia, dan menjadi salah satu cara bagi manusia berkomunikasi secara lisan atau beratatapan dengan manusia lain sebagai sarana utama menyatukan pikiran, perasaan, dan maksud (dalam Fajar, 2009:109).

Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata, baik lisan maupun tertulis. Komunikasi ini paling banyak dipakai dalam hubungan antar manusia. Melalui kata-kata mereka menggunakan perasaan, emosi, pemikiran, gagasan atau maksud mereka menyampaikan fakta, data, dan informasi serta menjelaskannya, saling bertukar perasaan dan pemikiran, saling berdebat dan bertengkar. Dalam Komunikasi verbal, bahasa sangat memegang peranan penting(dalam Hadjana, 2003:32).

2.2.1.3.2. Komunikasi Nonverbal

Larry A. Samovar dan Richard E. Porter(dalam Mulayana, 2007 : 343), mengemukakan Komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan


(23)

(kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima. Jadi defenisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa secara keseluruhan, kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain.

Komunikasi nonverbal meliputi semua stimulus nonverbal dalam sebuah sitiuasi komunikasi yang dihasilkan, baik oleh sumbernya, penggunanya, lingkungan dan yang memiliki nilai pesan yang potensial untuk menjadi sumber atau penerima (Samovar, 2010:294).

Karakteristik Komunikasi Nonverbal :

Terdapat jumlah bentuk komunikasi nonverbal dan bentuk-bentuk tersebut meliputi wajah terutamayang menyangkut mata, tubuh, sentuhan, suara, waktu, pakaian, dan lingkungan. Sebagian besar dari bentuk-bentuk ini menampilkan beberapa karakteristik dan enam diantaranya akan dibahas sebagai berikut (Budayatna & Leila, 2011 : 111-144) :

a. Komunikasi Nonverbal Kaya dalam Makna

Betapa kayanya komunikasi nonverbal itu, alis mata yang terangkat, senyum yang tidak kentara, sentuhan tangan dapat berkata banyak di dalam situasi yang tepat. Isyarat-isyarat nonverbal semacam itu berguna apabila untuk alasan tertentu komunikasi lisan atau tidak tertulis tidaklah tepat. Sebagai contoh, perempuan yang sudah berstatus sebagai orangtua tunggal sedang berbicara dengan mertua sehubungan tentang suami yang telah meninggal, ketika dia bercerita sambil mengeluarkan air mata, ibu mertua pun langsung menyentuh punggung dan mengelus-elus, yang artinya agar tetap tabah dan tegar menjalani semuanya.

b. Komunikasi Nonverbal dapat Membingungkan

Meskipun komunikasi nonverbal kaya dengan makna, tetapi dapat juga membingungkan. Isyarat-isyarat tertentu dapat berarti sesuatu yang secara keseluruhan berbeda dari apa yang


(24)

kita bayangkan. Ada orang yang selalu menyilangkan kakinya yang kanan ke kiri, apapun alasannya. Itu adalah kebiasaan mereka, terasa nyaman dan tidak mempunyai makna tertentu sejauh komunikasi nonverbal berlangsung kecuali mungkin untuk menunjukkan bahwa mereka merasa senang dengan situasi seperti itu. Kita harus berhati-hati dalam menafsirkan isyarat nonverbal. Kita tidak selalu mendapatkan informasi yang cukup untuk membuat penilaian, dan dugaan-dugaan kita bisa saja jauh dari akurat atau tepat. Sebagai contoh, istri yang baru saja kehilangan suami dalam satu tahun terakhir sering memakai kemeja hitam, masyarakat mungkin menduga kesedihan perempuan tersebut masih tampak dari pakaiannya, sementara perempuan itu sendiri memakai pakaian hitam tanpa sadar. Perempuan tersebut sering memakai pakaian hitam karena dia mungkin terlihat kurus dengan pakaian hitamnya. c. Komunikasi Nonverbal Menyampaikan Emosi

Apabila anda merenungkan mengenai ini, bahwa objek-objek dan tindakan-tindakan dapat membangkitkan lebih banyak emosi daripada kata-kata karena objek dan tindakan kurang abstrak dibandingkan kata-kata. Kata-kata biasanya lebih banyak digunakan pada penampilan intelektual. Apabila kita ingin menunjukkan kesungguhan atau ketulusan hati, maka wajah dan isyarat tubuh kita agaknya akan lebih efektif daripada ucapan-ucapan kita, meskipunkata atau ucapan yang diperkuat oleh isyarat-isyarat nonverbal akan menunjukkan pesan yang paling benar atau dapat dipercaya. Memahami ekspresi verbal memerlukan kemampuan yang lebih. Ekspresi nonverbal, dipelajari lebih dini dan seringkali kita terkait secara dekat kepada emosi manusia secara universal, adakalanya lebih mudah untuk memberikan makna meskipun makna itu bisa kurang sempurna keakuratannya. Sebagai contoh, seorang anak tidak dapat melawan orangtua sekalipun bertentangan dengan


(25)

hati mereka. Menjadi seorang anak berkewajiban menuruti perkataan orangtua dan menyadari kesalahannya. Ketika orangtua sedang marah, orangtua mungkin hanya sekedar menajamkan tatapan mata, anak tersebutpun tiba-tiba menunduk dan menunjukkan penyesalan dengan air mata terus menerus membasahi pipinya.

d. Komunikasi Nonverbal Dikendalikan Oleh Norma-Norma dan Peraturan Mengenai Kepatutan

Norma dan peraturan umumnya amat berbeda dari suatu budaya ke budaya yang lain. Kebanyakan norma dan peraturan kita pelajari sejak kecil dari bimbingan orangtua atau keluarga. Beberapa dari norma atau peraturankita pelajari dari hasil pengamatan orang lain. Ada juga yangkita pelajari dari kesalahan dan kegagalan dan hukuman. Misalnya kita belajar untuk tidak mengiterupsi ketika seseorang sedang bicara, untuk tidak mengkritik orang lain dimuka umum, atau tidak menggunakan bahasa vulgar dihadapan para anggota yang berbeda gender. Masalahnya disini bukan untuk memberikan daftar mengenai norma dan peraturan dan ini kebanyakan tidak aka nada batasnya. Melainkan untuk menunjukkan bahwa kebanyakan perilaku nonverbal diatur atau dikendalikan oleh norma-norma dan peraturan-peraturan. Tanpa menyadari atau mengabaikan norma dan peraturan seseorang dapat terlihat kasar, tidak sopan, atau acuh tak acuh. Sebagai contoh, saat “hula-hula” sedang berbicara meskipun tidak sesuai dengan pendapat “boru”, “boru” hanya dapat diam dan menunduk, dan mimic wajah pun tidak dapat menunjukkan kekesalan sekalipun tidak setuju dengan pendapat “hula-hula”. Karena “hula-hula” haruslah mendapat penghormatan atau dihormati. e. Komunikasi Nonverbal Terikat pada Budaya

Budaya pada hakikatnya merupakan gejala nonverbal. Yakni, kebanyakan aspek dari budaya kita dipelajari mulai


(26)

pengamatan dan mencontoh dan bukan melalui pengajaran verbal secara eksplisit. Perilaku nonverbal mengkomunikasikan keyakinan, sikap, dan nilai-nilai budaya kepada pihak lainnya. Itulah kebanyakan orang tidak menyadari akan perilaku nonverbalnya sendiri. Hal tersebut diperankan tanpa piker, spontan dan tanpa sadar. Tetapi ini adalah tepat sekali karena hal ini seringkali sulit untuk mengidentifikasi dan menguasai komunikasi nonverbal dari budaya lain. Hal ini juga merupakan alasan mengapa banyak orang merasa tidak nyaman dengan budaya lain. Setiap orang yang tidak sesuai dengan norma fisik dari suatu budaya akan mengalami kesulitan berkomunikasi didalam budaya tersebut. Kesimpulan mengenai pengaruh-pengaruh budaya pada setiap bentuk nonverbal adalah sama. Gerak isyarat dan gerakan tubuh mempunyai makna yang berbeda diantara budaya. Kesimpulan yang gamblang ialah, “ Budaya adalah satu yang paling abadi, paling kuat, pembentuk yang tidak terlihat dari perilaku kita,” kata Weaver II (1993). Sebagai contoh, ketika “hula-hula” datang, kita harus menyiapkan tempat yang istimewa. Misalnya saat acara adat, “hula-hula” duduk didepan dengan 2 lapis tikar, lapis kedua adalah tikar berwarna putih. Karena tikar putih memiliki arti penting bagi suku batak, dimana putih itu bersih, suci, sehingga jika duduk diatas hendaklah demikian dan karena itu adalah cara untuk menghargai “hula-hula”.

2.2.2. Teori Cultural Studies (Kajian Budaya)

Kajian budaya (West, 2008:63) adalah perspektif teoritis yang berfokus bagaimana budaya dipengaruhi oleh budaya yang kuat dan dominan. Tidak seperti beberapa tradisi teoritis lainnya, kajian budaya tidak merujuk pada doktrin tunggal mengenai perilaku manusia.

Stuart Hall berpendapat dengan persuasif bahwa, “Kajian Budaya memiliki banyak wacana; juga memiliki beberapa sejarah. Ia adalah sebuah bentuk formasi yang utuh;


(27)

memiliki peristiwa momen dimasa lalu”. Kajian budaya berkaitan dengan sikap, pendekatan, dan kritik mengenai sebuah budaya. Budaya merupakan fitur utama dalam teori ini, dan budaya telah menyediakan suatu kerangka intelektual yang telah mendorong para peneliti untuk mendiskusikan, tidak sepakat, menantang, dan merefleksikan (West, 2008 : 63).

West mengutip kalimat Stuart Hall, menyatakan bahwa media merupakan sarana yang kuat bagi kaum elite. Media berfungsi untuk mengkomunikasikan cara-cara berfikir yang dominan, tanpa mempedulikan efektifitas pemikiran tersebut. Media merepresentasikan ideologi dari kelas yang dominan didalam masyarakat. Karena media dikontrol oleh korporasi (kaum elite), informasi yang ditampilkan kepada publik juga pada akhirnya dipengaruhi dan ditargetkan dengan tujuan untuk mencapai keuntungan. Pengaruh media dan peranan kekuasaan harus dipetimbangkan ketika menginterpretasikan suatu budaya.

Cultural studies merupakan bagian didalam komunikasi

multikultural yang artinya mengkaji persoalan komunikasi manusia dari pengaruh faktor-faktor praktik kebudayaan dan dalam hubungannya dengan kekuasaan. Cultural studies adalah kajian secara kritis hubungan komunikasi dengan kekuasaan, dengan upaya mengungkapkan bagaimana kebudayaan mempengaruhi tindak komunikasi dan kekuasaan. Cultural

studies merupakan studi budaya yang bertujuan untuk memahami dan

mengubah struktur dominasi dimana-mana (Purwasito, 2004: 103).

Cultural Studies dikenal sebagaikajian budayaInggrisyang menjadi

salah satu pemaindominandalam teoribudayakontemporer. British Cultural

Studiesbegitu kuat sehinggaketika beberapa orangberbicara tentang"Studi

budaya" mereka seringsecara implisitmengacu padalingkungan danturunannya.

Cultural Studies memiliki empat orientasi, diantaranya(Smith,


(28)

1. Sangat interdisiplinerdalam halkepentingan penelitiandan pengaruhteoritis

2. Ada kepentinganutamadalam

mengeksplorasibudayasebagaisebuah situs di manakekuatandan ketahanandimainkan.

3. Memvalidasistudi budayapopuler jugasebagai "budaya tinggi" 4. Komitmenpolitikterhadap

masalahtopikpenelitianpengaruhkirisering dan, beberapa kritikusakan mengatakan, kesimpulan.

Beberapa asumsi tentang kajian budaya (West, 2008) :

1. Budaya tersebar didalam dan menginasi semua sisi perilaku manusia. Berbagai norma, ide dan nilai dan bentuk-bentuk pemahaman di dalam sebuah masyarakat yang membantu orang untuk menginterpretasikan realitas mereka adalah bagian dari ideologi sebuah budaya. Hall (1981), ideologi merujuk pada “gambaran konsep, dan premis yang menyediakan kerangka pemikiran dimana kita merepresentasikan, menginterpretasikan, memahami dan memaknai” beberapa aspek eksistensi sosial. Hall yakin bahwa ideologi mencakup bahasa, konsep, kategori yang dikumpulkan oleh kelompok-kelompok sosial yang berbeda untuk memaknai lingkungan mereka. Graham Murdock (1989) menekankan ketersebaran budaya dengan menyatakan bahwa “semua kelompok secara konstan terlibat dalam menciptakan dan menciptakan ulang system makna dan memberikan bentuk kepada makna ini dalam bentuk-bentuk ekspresif, praktik-praktik sosial, dan institusi-institusi”. Secara menarik dan dapat diduga, Murdock melihat bahwa menjadi bagian dari komunitas budaya yang beragam sering mengakibatkan pergulatan makna, interpretasi, identitas dan control. Pergulatan-pergulatan ini atau perang budaya menunjukkan bahwa seringkali terdapat pemisahan-pemisahan yang dalam persepsi mengenai pentingnya suatu isu atau peristiwa budaya. Makna dalam


(29)

budaya dibentuk oleh media. Michael Real (1996) berpendapat “media menginvasi runga kehidupan kita, membentuk selera dari mereka yang berada disekitar kita, memberikan informasi dan mempersuasi kita mengenai produk dan kebijakan, mencampuri mimpi pribadi dan ketakutan publik kita, dan sebagai gantinya, mengundang kita untuk hidup didalam mereka”.

2. Orang merupakan bagian dari struktur kekuasaan yang bersifat hierarkis. Kekuasaan bekerja didalam semua leel kemanusiaan (Grossberg, 1989), dan secara berkesinambungan membatasi keunikan identitas (Weedon, 2004). Makna dan kekuasaan berkaitan erat, “makna tidak dapat dikonseptualisasikan diluar bidang permainan dari hubungan kekuasaan” (Hall, 1989). Dalam kaitannya dengan tradisi Marxis, kekuasaan adalah sesuatu yang diinginkan oleh kelompok subordinat tetapi tidak dapat dicapai. Seringkali terjadi pergulatan untuk kekuasaan, dan pemenangnya biasanya adalah orang yang berada dipuncak hierarki sosial. Mungkin sumber kekuatan yang paling mendasar didalam masyarakat adalah media. Dalam budaya yang beragam, tidak ada institusi yang harus memiliki kekuasaan untuk menentukan apa yang di dengar oleh publik. Gery Woodward (1997) juga menarik kesimpulan serupa ketika ia menyatakan bahwa terdapat sebuah tradisi dimana jurnalis bertindak sebagai pelindung dari kegiatan budaya bangsa: jika media menganggap sesuatu untuk memiliki nilai yang penting, maka sesuatu tersebut penting: suatu peristiwa yang sebenarnya tidak penting menjadi penting.

2.2.3. Gender

Gender didefenisikan sebagai perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial. Gender merupakan hasil konstruksi yang berkembang selama masa anak-anak sebagaimana mereka disosialisasikan dalam lingkungan mereka dalam membentuk identitas. Identitas Gender merujuk pada cara budaya tertentu dalam membedakan peranan masukluin dan feminim. Budaya berpengaruh pada


(30)

apa yang membentuk keindahan gender dan bagaimana hal itu ditampilkan diantara budaya(Kisni, 2003:253).

Maskulin identik dengan keperkasaan, bergelut di sektor publik, jantan dan agresif. Sedangkan feminim identik dengan lemah lembut, berkutat di sektor domestik (rumah), pesolek, pasif, dan lain-lain. Disebabkan oleh pembedaan yang tegas terhadap peran laki-laki dan perempuanyang selama ini terjadi didukung oleh budaya patriarki yang sangat mendominasi menyebabkan ketimpangan gender itu terjadi. Didalam kehidupan sosial muncul stereotip tertentu terhadap laki-laki dan perempuan. Padahal gender ini sifatnya netral dan tidak memihak. Peran laki-laki dan perempuan sangat ditentukan dari suku, tempat, umur, pendidikan serta perkembangan zaman. Selama ini yang terjadi adalah bias gender yang berpihak kepada laki-laki (Kisni, 2003).

Membahas tentang gender berarti membahas tentang permasalahan perempuan dan laki – laki dalam kehidupan bermasyarakat terkhususnya dalam berbudaya. Banyak masalah yang terjadi akibat ketidaksetaraan gender. Adanya perbedaan reproduksi dan biologis mengarahkan pada pembagian kerja yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Perbedaan-perbedaan ini pada gilirannya mengakibatkan perbedaan cirri-ciri sifat, karakteristik psikologis yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Beberapa asumsi tentang gender(Murniati, 2004) :

1. Gender menyangkut kedudukan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat;hubungan laki-laki dan perempuan berbentuk secara sosiokultural, dan bukan dasar biologis.

2. Secara sosikultural, hubungan ini mengambil bentuk dominasi laki-laki, dan subordinasi perempuan.

3. Pembagian dan pembedaan yang bersifat sosial seringkali di naturalisasikan dianggap “kodrat” melalui ideologi mitos dan agama.

4. Gender menyangkut steorotip antara feminim dengan maskulin.


(31)

Konstruksi sosial perbedaan peran gender telah memberikan pengertian mendasar (ideologi) bagi laki-laki dan perempuan. Ternyata dalam proses kehidupan masyarakat, terjadi ketimpangan dan ketidakadilan gender (Muniarti,2004:97).

1.Ketidakadilan gender dalam hubungan kerja, perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki peran dalam produksi benda atau jasa, di sektor publik dari tingkat lingkungan sampai tingkat pemerintahan. Tetapi tugas-tugas yang berhubungan dengan fungsi reproduksi masyarakat, pekerjaan-pekerjaan domestik, hampir selalu menjadi tangggung jawab perempuan. Akibatnya, jam kerja perempuan jauh lebih panjang dibanding laki-laki. Pekerjaan reproduksi dianggap rendah dan tidak dianggap ekonomis, padahal pekerjaan domestik ini merupakan pekerjaan mempersiapkan tenaga kerja dalam masyarakat.

2.Ketidakadilan gender dalam kaitannya dengan hak asasi, hak asasi perempuan tidak diakui dunia. Dalam pembicaraan hak asasi, tidak otomatis hak asasi perempuan dimasukkan didalamnya. Kenyataan ini membuktikan bahwa perempuan tidak mempunyai hak pribadi, meskipun untuk menentukan fungsi reproduksinya sendiri. Perempuan tidak memiliki hak untuk menentukan hidupnya sendiri, sebagai contoh perempuan dijodohkan atau dipaksa menikah dengan “pariban”nya. Perempuan tidak dapat menetukan jenis pekerjaan, karena mereka sudah ditentukan dengan pekerjaan domestiknya.

3.Ketidakadilan gender dalam kaitannya dengan kebudayaan dan agama, perempuan mengalami diskriminasi disegala lingkungan. Pelaksanaan dan praktik beragama maupun kebudayaan merupakan sumber ketidakadilan gender dan diskriminasi hak perempuan. Agama mengajarkan untuk persamaan hak untuk semua umat manusia, tetapi dalam praktiknya tidak. Perempuan diberikan kedudukan subordinat dan tidak memiliki kuasa untuk menentukan ajaran agama. Kitab suci agama ditafsirkan sesuai dengan perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Kebudayaan juga memberikan banyak aturan kepada perempuan, seperti


(32)

tidak bisa berbicara dengan mertua secara tatap muka, dan memberi keistemewaan makan pada laki-laki sendiri.

Ketidakadilan gender terbagi atas atas lima (Muniarti,2004). Bentuk-bentuk ketidakadilan ini akan dipaparkan sebagai berikut :

1. Beban Ganda yaitu pembagian kerja berdasarkan gender membagi pekerjaan laki-laki di ruang publik, sementara perempuan di ruang domestik. Namun seiring pkembangan zaman dan kebutuhan ekonomi, perempuan masuk ke ruang publik menjadi pencari nafkah. Meski demikian perempuan tetap dituntut untuk bertanggungjawab thd urusan rumah tangga (domestik). Inilah yg dinamakan “beban ganda”.

2. Marginalisasi merupakan suatu proses penyisihan yang mengakibatkan kemiskinan bagi perempuan atau laki-laki. Terjadi dalam kultur, birokrasi dan program-program pembangunan. Sehingga secarasistematis perempuan tersingkir dan dimiskinkan secara sosial dan ekonomi. Contohnya, Perempuan tidak perlu pendidikan tinggi karena akhirnya nanti juga ke dapur atau perempuan hanya dianggap hanya untuk mengurus anak dan mengurus rumah.

3. Stereotype atau pelabelan negatif yaitu suatu sikap negatif

masyarakat terhadap perempuan yang membuat posisi perempuan selalu pada pihak yang dirugikan. Perempuan seringkali mendapatkan pelabelan negatif seperti manusia yang lemah, maka ia harus dilindungi. Dalam budaya patriarki kata melindungi seringkali diartikan mengontrol dan membatasi mobilitas perempuan demi keselamatannya. Akibatnya perempuan dilarang keluar rumahdi malam hari karena perempuan tidak dapat melindungi dirinya, berbahaya baginya karena dia seorang perempuan.Contohnya, Perempuan bersolek dianggap memancing perhatian lawan jenis, sehingga jika terjadi pelecehan seksual maka perempuan yang disalahkan


(33)

4. Subordinasi atau penomorduaan adalahsikap atau tindakan masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibanding laki-laki. Dibangun atas dasar keyakinan satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding yang lain.Kenyataan di masyarakat, perempuan seringkali mendapat kedudukan sebagai bawahan laki-laki. Perempuan ditempatkan pada jajaran kedua setelah laki-laki karena keberadaan perempuan dianggap tidak penting atau sebagai pelengkap semata. Dalam budaya patriarki laki-laki dianggap sebagai figur utama dan perempuan sebagai figur kedua. Contohnya, Perempuan lebih dikalahkan dari laki-laki dalam pendidikan oleh keluarganya, perempuan dianggap tidak cocok untuk berbagai pekerjaan, mengurus rumahtangga dianggap sebagai kodrat perempuan.

5. Kekerasan atau kekerasan berbasis gender adalah serangan fisik, psikis dan seksual terhadap perempuan. Serangan ini terjadi karena ia seorangperempuan. Salah satu contohnya adalah pemaksaan hubungan seksual. Hal ini seringkali terjadi di ranah domestik maupun publik. Pemaksaan hubungan seksual di ranah domestik bisa terjadi terhadap hubungan suami istri “marital rape”, atau ayah dengan anak perempuan.

2.2.3.1 Komunikasi Antar Gender

Gender merupakan pandangan mengenai ketidakseimbangan hubungan antara laki-laki dan perempuan antara orang tua dan orang muda disebabkan oleh adanya pandangan yang berbeda. Dalam persepektif gender tampak bahwa peran laki-laki lebih dominan disbanding peran yang dimainkan oleh perempuan.

Purwasito (2004) mengatakan bahwa komunikasi antar gender bukan membicarakan perbedaan kodrat tersebut yang menyebabkan komunikasi antar lawan jenis menjadi suatu hambatan tetapi hambatan


(34)

komunikasi antar kaum laki-laki dan kaum perempuan oleh sebab pendefenisian sosial-budaya.

Subordinasi perempuan terhadap laki-laki menyebakan terjadinya marginalisasi perempuan. Sebagai contohnya didalam budaya batak perempuan tidak diwajibkan dalam pengambilan keputusan, tetapi laki-laki sangat penting dikarenakan menganut budaya patriarki. Dari subordinasi inilah terlihat bahwa perempuan sebenarnya termarginalkan. Semua itu merupkan warisan budaya yang telah menjadi pembelaan negatif

2.2.4. Subordinasi

Subordinasi menurut KBBI edisi ketiga adalah kedudukan bawahan,pengertian subordinasi yaitu suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain. Nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, telah memisahkan dan memilah-milah peran gender, laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan publik atau produksi. 2.2.4.1Subordinasi terhadap Perempuan

Subordinasi terhadap perempuan merupakan pandangan yang memposisikan perempuan dan karya-karyanya lebih rendah dari laki-laki. Perempuan dianggap kurang mampu, sehingga diberikan tugas yang mudah dan ringan.

Pandangan ini membuat perempuan sebagai pembantu, sosok bayangan dan tidak berani memperlihatkan kemampuannya sebagai pribadi. Bagi laki-laki, pandangan ini menyebabkan mereka sah untuk tidak memberi kesempatan perempuan muncul sebagai pribadi utuh. Laki-laki berfikir perempuan tidak mampu berfikir seperti ukuran mereka (Muniarti, 2004:23).


(35)

2.2.5. Perempuan Sebagai Orangtua Tunggal 2.2.5.1.Perempuan

Perempuan menurut KKBI edisi ketigaartinya orang (manusia) yg mempunyai alat reproduksi, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui. Sementara pengertianWanita adalah singkatan dari bahasa jawa (wani dan ditoto) sebutan yang digunakan unt kelamin dan mempunyai alat reproduksi.Pengertian wanita berdasarkan asal bahasanya tidak mengacu pada wanita yang ditata atau diatur oleh laki-laki atau suami pada umumnya terjadi pada kaum patriarki.

Perempuan tidak dapat dijadikan sebagai kepala keluarga. Perempuan tidak boleh memimpin laki-laki sekalipun laki-laki tidak dapat memimpin. Walaupun ibu yang menyediakan makanan, tetapi ayah dan anak laki-laki didahulukan (Muniarti, 2004).

Perempuan dalam konteks gender didefenisikan sebagai sifat yang melekat pada seseorang untuk menjadi feminim. Sedangkan perempuan dalam pengertian sex merupakan salah satu jenis kelamin yang ditandai oleh alat reproduksi berupa rahim, sel telur, dan payudara sehingga perempuan dapat hamil, melahirkan dan menyusui (Fakih, 2000:2).

2.2.5.2 Orangtua Tunggal

Keluarga merupakan kelompok sosial yang terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang terbentuk atas dasar perkawinan, ikatan darah dan adopsi yang saling berinteraksi dan berkomunikasi serta menimbulkan peran-peran bagi ayah, ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan sertamemelihara kebudayaan bersama. Hubungan dalam keluarga memiliki sistem jaringan yang lebih bersifat interpersonal sehingga masing–masing anggota dimungkinkan memiliki intensitas hubungan satu sama lain dan fungsinya akan sulit dirubah dan digantikan orang lain. Salah satu realita sosial yang ada disekitar kehidupan masyarakat adalah fenomena keadaan keluarga dengan salah satu orang tua saja atau biasa disebut dengan orang tua tunggal. Orang tua di mana


(36)

hanya ayah atau ibu saja mengasuh dan membesarkan anak-anak mereka sendiri tanpa hadirnya pasangan.Tidaklah mudah bagi orang tua tunggal dalam menjalani kehidupannya setelah kehilangan salah satu angogota keluarga yaitu suami, karena segala sesuatu yang harusditanggung sendiri. Orangtua tunggal dapat disebabkan beberapa hal antara lainadalah : (1) Perceraian, (2) Kematian, (3) Kehamilan diluar nikah, (4) Bagi seorang wanita atau laki-laki yang tidak mau menikah, kemudian mengadopsi anak orang lain.

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam keluarga yang mengakibatkan seseorang menjadi orang tua tunggal yang berarti akan membawa seseorang untuk beradapatasi dengan kondisi yang baru yakni penambahan peran dan serangkaian tugas-tugas ganda yang harus dilakukan.Orang tua tunggal yang disebabkan karena adanya hubungan di luar nikah atau bagi seorang wanita atau laki-Laki yang tidak mau menikah kemudian mengadopsi anak pada kasus ini dibutuhkan motivasi dan dukungan yang lebih dari keluarganya karena perlu kesiapan yang matang baik secara mental maupun financial untuk menjadi orang tua tunggal. Sedang orang tua tunggal yang karena adanya kematian dan sakit dirasa kondisi tersebut seseorang dianggap memiliki tingkat kematangan yang tinggi sehingga diharapkan mampu mengatasi segala perubahan yang terjadi.

Seiring dengan perjalanan waktu orang tua yang dulunya lengkap dapat menjadi tidak lengkap yang disebabkan karena adanya perpisahan, yakni kematian, perceraian, sakit, perang atau bencana alam, sehingga orang tua harus menjalankan peran sebagai orang tua tunggal, di mana hanya terdapat satu orangtua saja dalam menjalankan peran sebagai kepala keluarga dan orang tua tunggal, untuk itu ia harus dapat menjalankan peran dan tanggung jawab secara total baik sebagai ibu sekaligus sebagai ayah. Dalam fenomena ibu yang menjadi orang tua tunggal secara otomatis ia akan menggantikan peran ayah dan peran ibu sendiri dan secara otomatis pula ia menjadi seorang kepala keluarga.Aspek manusia di


(37)

setiap perubahan yang terjadi dalam masyarakat guna terwujudnya keseimbangan dan keutuhan masyarakat, maka setiap individu dituntut menjalankan peran-perannya, perubahan terjadi dalam unit waktu tertentu, dan tempat tertentu di mana berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Setiap orang tua memiliki peran yang besar dalam perkembangan anak mulai sebelum lahir hingga menuju kedewasaan.

Peran sebagai ayah dan ibu tidak akan dapat terlaksana dengan baik apabila terjadi perpisahan dalam keluarga baik perceraian, kematian akibat sakit, bencana alam, dan perang. Bagi keluarga sosok ayah merupakan kepala keluarga yang dihormati anak serta isterinya sehingga menjadi panutan keluarga. Istri yang ditinggalkan oleh suami, harus berperan sebagai ibu dan sekaligus sebagai ayah bagi anak -anaknya.Hal ini berarti tanggung jawab ibu akan bertambah, ia harus mencari nafkah sendiri, mengambil keputusan-keputusan penting sendiri, dan sekian banyak tugas-tugas yang harus dilaksanakan sebagai orang tua tunggal.

Perubahan besar yang harus dijalankan ibu menjalankan peran ibu sekaligus sebagai ayah, yang senantiasa berjuang menjadi tulang punggung keluarga dan panutan anak–anaknya, walau ayah tidak ada namun tetap ibu sebagai orang tua tunggal tetapmenjalankan peranan dengan baik dengan didukung anak-anak untuk dapat bersama-sama mencapai hidup harmonis dan selaras dengan perubahan peran danstatus pdf).

2.2.6. Budaya

Budaya sudah ada sejak manusia berfikir, berkreasi dan berkarya sekaligus menunjukkan bagaimana pola berfikir dan tingkah laku manusia terhadap lingkungannya.

Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa sansekerta budhayah yaitu bentuk kata jamak dari buddhi yang berarti budi dan akal. Dalam Bahasa Inggris budaya berasal dari kata culture, dalam bahasa Belanda diistilahkan dengan kata cultuur, dalam


(38)

bahasa Latin berasal dari kata colera. Colera berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, mengembangkan tanah (bertani) (Setiadi, 2010:27).

Budaya menurut E.B.Taylor adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hokum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sementara menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia dengan belajar. Dengan demikian, kebudayaan atau budaya menyangkut keseluruhan aspek kehidupan manusia baik material maupun nonmaterial.

2.2.6.1 Kompenen Kebudayaan

T.La Pier menyatakanbahwa kebudayaan manusia dibagi dalam tiga sistem yang saling tergantung (interdependent system), yaitu (Setiadi, 2004:85 :

a. Sistem Ideologi, yaitu bagian dari kebudayaan yang berisi ide-ide, kepercayaan, nilai-nilai, cara berpikir/penalaran, dimana manusia belajar menerima dalam membatasi apa yang diinginkan. La Pier menyebut sistem ideologi ini “komponen mental” dari sistem sosial, yang dapat dipergunakan sebagai landasan aktivitas berfikir manusia. Ide-ide kita makhluk gaib (supernatural creature), demokrasi, keadilan, kebebasan, kesetiaan, kejujuran, keindahan dan nilai-nilai pendidikan atau ilmu pengetahuan berasal dari sistem ideology dari kebudayaan sebagaimana yang telah kita pelajari.

b. Sistem Teknologi, bagian kebudayaan yang berkaitan dengan keahlian

(skill), kerajinan (craft), dan seni yang memungkinkan manusia dapat

menghasilkan barang-barang material yang berasal dari lingkungan alam (natural environment). Kemampuan kita memasak makanan, mengendarai mobil, membentuk teknologi yang pada gilirannya melahirkan kebudayaan.

c. Sistem Organisasi, bagian kebudayaan yang berisikan semua yang telah dipelajari yang memungkinkan bagi manusia mengkoordinasikan


(39)

perilakunya secara efektif dengan tindakan-tindakan orang lain. Kemampuan untuk memainkan peranan khusus untuk bertindak sebagai anak atau orangtua, sebagai pemimpin diskusi, dan sebagainya, membentuk bagian dari komponen organisasi dari kebudayaan yang telah kita pelajari. Jika sejumlah orang ada dalam proses interaksi satu sama lain, mereka membentuk kelompok sosial yang terorganisir.

2.2.7. Adat Batak Toba

Banyak pendapat mengenai darimana asal-usul suku Batak dan apa arti perkataan Batak itu. Ada teorimengatakan bahwa suku Batak adalah “sibatak hoda” yang artinya suku pemacu kuda dan pengertian Batak pada kamus yang ada adalah perampok, penyamun, gelandangan. Asal-usul suku Batak berdasarkan teori tersebut adalah pendatang dari Hindia Belakang sekitar Asia Tenggara sekarang memasuki pulau Sumatera pada masa perpindahan bangsa-bangsa di Asia (Rajamarpodang, 1992: 32).

Suku Batak adalah suku murni sejati atau suku asli, sesuai dengan yang terdapat pada “Mithologi Siboru Deakparujar” yaitu “Batakna” yang artinya “Mulana” atau “Mulanya”. Apabila diteliti akan kemurnian atau keaslian suku Batak dari segi silsilah dan rasnya maka dapat dipastikan suku Batak itu adalah benar-benar murni atau asli. Silsilah suku Batak menggambarkan kemurnian dan kesejatian. Ciri khas sistem kekerabatan suku Batak adalah marga. Penyebutan marga bagi seorang suku Batak menggambarkan identitas pribadi etnis kekerabatan masyrakat Batak dan digunakan sebagai titik tolak berkomunikasi sesama masyarakat Batak sesuai dengan filosofi “Dalihan Na Tolu”(Rajamarpodang, 1992 : 36).

Sistem kekerabatan masyarakat suku Batak memegang peranan penting dalam jalinan hubungan baik antara individu dengan individu ataupun individu dengan masyarakat lingkungannya. Terdapat beberapa sistem didalam kekerabatan suku Batak menurut buku “Dalihan Na


(40)

ToluNilai budaya suku Batak” yaitu; kelompok kekerabatan, sistem keturunan (prinsip keturunan Batak).

- Kelompok Kekerabatan Suku Batak, pada umumnya perkawinan suku Batak adalah monogami. Tetapi faktor turunan terutama karena faktor turunan anak laki-laki terjadi pula poligami. Perkawinan sangat erat kaitannya dengan keluarga, sedangkan perceraian sangat jarang terjadi dan sejauh mungkin diusahakan jangan sampai terjadi. Hal ini terjadi karena budaya, seorang istri yang diceraikan suaminya tidak akan mempunyai hubungan lagi dengan keluarga laki-laki baik anak sendiri maupun keluarga lain.Pandangan Suku Batak bahwa anak adalah sesuatu yang paling berharga.

- Prinsip Keturunan Suku Batak, prinsip keturunan suku Batak adalah patrilineal, bahwa garis turunan etnis adalah dari anak laki-laki. Anak laki-laki memiliki peranan penting dalam kelanjutan generasi, artinya apabila seseorang tidak memiliki anak laki-laki hal itu dapat dianggap “Napunu” karena tidak dapat melanjutkan silsilah ayahnya dan tidak pernah lagi diingat atau diperhitungkan dalam silsilah. “Napunu” artinya adalah bahwa generasi seseorang sudah punah tidak berkelanjutan lagi pada silsilah suku Batak. Sebagai pertanda dari prinsip keturunan suku Batak adalah Marga. Marga ini adalah asal mula nama nenek moyang yang terus dipakai dibelakang nama diri dari satu-satu garis keturunan. Rentetan vertikal turunan marga itu sejak nama nenek moyang sampai saat sekarang menumbuhkan silsilah suku Batak.

2.2.8. Dalihan Na Tolu

“Dalihan Na Tolu” berasal dari kata “Dalihan” yang artinya tungku yang dibuat dari batu, “Na” artinya yang dan “Tolu” artinya tiga. Jadi “Dalihan Na Tolu” berarti Tiga Tiang Tungku. Tungku merupakan tempat untuk memasak dengan menggunakan batu dan tungku tersebut terdiri dari tiga batu. “Dalihan” dibuat dari batu yang ditata sedemikian rupa sehingga


(41)

bentuknya menjadi bulat panjan, ujungnya yang satu tumpul dan ujung yang lain agak bersegi empat sebagai kaki dalihan, kakinya kurang lebih 10cm, panjangnya kurang lebih 30cm, dan diameter lebih kurang dari 12cm yang ditanamkan dekat dapur dan tempat yang telah disediakan terbuat dari papan empat persegi panjang berisi tanah liat yang dikeraskan. Ketiga “Dalihan” yang ditanam berdekatan tadi berfungsi sebagai tungku tempat alat masak dijerangkan. Besar “Dalihan” harus sama besar dan ditanam sedemikian rupa sehingga jaraknya simetris satu sama lain dan terlihat harmonis (Rajamarpodang, 1992 : 52).

Periuk atau belanga tidak selamanya dapat menjadi alat masak yang cocok dijerangkan diatas tungku, mungkin alat masak terlalu kecil. Untuk itu supaya alat masak tidak lolos atau luncas kebawah harus dibantu dengan batu-batu kecil yang dipipih cocok untuk dalihan sehingga alat masak dapat dijerangkan, batu pembantu demikian disebut “sihal-sihal”. Jelasnya semua tungku yang tidak dibuat dari batu, seperti tungku-tungku alat modern atau keluaran pabrik tidak boleh dinamai “Dalihan”. Karena “Dalihan Na Tolu” bukan sekedar tiga tungku untuk prasarana memasak, tetapi menyangkut seluruh kehidupan yang bersumber dari dapur. Demikianlah keadaan kekerabatan suku Batak Toba dan pandangan hidupnya, bahwa “dongan”, “hula-hula”, dan “boru” masing-masing mempunyai pribadi dan harga diri tahu akan hak dan kewajiban sebagai pelaksana tanggung jawab terhadap kedudukannya pada suatu saat.

Pada saat melihat tiang tungku atau “Dalihan Na Tolu” sebagai tungku pemasak, kita melihat bahwa apa saja yang dimasak diatas tungku yang baik dan masakan itu dimakan untuk perseorangan atau bersama. Masakan akan baik ketika “Dalihan” tersebut tersusun dengan baik. Segala masakan dapat diolah diatasnya untuk dimakan keluarga atau bersama. Melihat penjelesan sederhana tersebut, nenek moyang suku Batak melihat kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai keluarga sama seperti “Dalihan Na Tolu”. Bahwa segala sesuatu yang perlu demi kepentingan manusia dan keluarga yang menjadi sumber sikap perilaku seseorang dalam kehidupan sosial budaya haruslah bersumber dari tiga


(42)

unsur kekerabatan ibarat tiga tiang tungku yang berdiri sendiri tetapi saling berkaitan dalam bentuk kerjasama. Ketiga unsur yang berdiri sendiri tidak akan ada arti, tetapi harus bekerja sama satu dengan yang lain barulah bermanfaat. Unsur pertama suhut atau dongan tubu, unsur kedua adalah saudara suhut yang perempuan dengan suaminya disebut boru, dan unsur ketiga laki-laki dari istri suhut disebut hula-hula.

Ketiga unsur tersebut diuraikan sebagai berikut (Rajamarpodang,1992) : 1. Somba Marhula-hula

“Hula-hula” merupakan sapaan terhadap saudara laki-laki dari isteri, saudara laki-laki ibu yang melahirkan kita, saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan ayah kita, saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan kakek kita.“Somba marhula-hula” artinya bahwa “hula-hula” adalah sumber berkat kepada “boru”. “Hulahula” sebagai sumber “hagabeon” atau keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari “hula-hula”, tanpa “hula-hula” tidak ada istri dan tanpa istri tidak ada keturunan.

2. Elek Marboru

“Elek Marboru” artinya “boru” harus diperlakukan dengan penuh kasih sayang serta membujuk secara persuasif. Rasa sayang terhadap “boru”tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih. “Boru” adalah anak perempuan kita, atau kelompok anak kita(anak perempuan kita). Sikap lemah lembut terhadap “boru” perlu, karena“boru” akan mengerahkan seluruh kekuatan yang ada padanya untuk mendukung hula-hulanya. “Boru” juga disebut “Pangalapan gogo do boru” artinya boru adalah sumber kekuatan.

3. Manat Mardongan Tubu

“Manat Mardongan Tubu” yaitu suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara “hau na jonok do na boi marsiogoson” yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat bergesekan. Ini menggambarkan bahwa begitu


(43)

dekat dan seringnya hubungan terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan, dan lain-lain.

“Dalihan Na Tolu” merupakan pandangan hidup yang diyakini kebenarannya. Sehingga mendorong suku Batak Toba dalam segala kegiatan untuk mewujudkannya, karena dengan berbuat demikian mereka akan mendapat kebahagiaan material maupun spiritual.

2.2.8.1 Perempuan Sebagai OrangtuaTunggal dalam “Dalihan Na Tolu” Seorang perempuan Batak akan menikah dengan laki-laki di luar kelompok kekerabatannya,artinya laki-laki dari marga lain akan memperisterikan dan perempuan itu akan menjadi bagian dari marga suaminya.Perempuan itulah yang akan menjadi penghubung tali persaudaraan antara dua keluarga,yaitu pertama keluarga asal perempuan itu dan keluarga dari pihak suaminya. Ketika telah menikah,perempuan akan menjadi hak dari keluarga suaminya karena keluaraga suaminya telah membayar mas kawin dalam bahasa batak disebut “sinamot” kepada keluarga perempuan sebagai simbol untuk “menghargai” perempuan yanga akan dijadikan isteri.Posisi perempuan itu dalam “Dalihan Na Tolu” juga telah berkembang setelah ia menikah,kalau dulu sewaktu belum menikah ia hanya menjadi “Boru” dalam “Dalihan Na Tolu” tetapi sekarang ia bisa menjadi “Hula-hula” lebih dipandang karena adanya peran suaminya sebagai laki-laki.

Apabila perempuan tersebut telah ditinggal oleh suaminya dan menjadi perempuan sebagai orangtua tunggal, posisinya dalam “Dalihan Na Tolu” sebenarnya masih tetap seperti ketika suaminya masih hidup.Apabila dalam suatu kelompok,suaminya dulu menjadi ”Hula-hula” dalam “Dalihan Na Tolu” maka ketika suaminya meninggal perempuan itu akan tetap sebagai “Hula-hula” bagi kelompok tertentu mengikuti posisi suaminya dulu dalam “Dalihan Na Tolu”, kecuali perempuan itu menikah lagi dengan laki-laki di luar marga suami pertamanya maka hubungannya di ”Dalihan Na Tolu” suami pertamanya sudah tidak ada karena ia akan mengikuti posisi suami barunya di dalam “Dalihan Na Tolu” keluarga


(44)

suaminya itu. Adapaun hal yang menjadi penghubung antara perempuan sebagai orangtua tunggal yang telah menikah lagi dan dengan ”Dalihan Na Tolu” suami pertamanya adalah apabila perempuan tersebut memiliki anak laki-laki dari suami yang pertama karena bagaimanapun anak laki-laki itu akan mewarisi marga ayahnya dan melanjutkan keturunan. Pada kenyataanya apabila seorang perempuan telah “bercerai”, sering kali dirinya tidak begitu terlihat lagi posisinya di dalam “Dalihan Na Tolu” keluarga suaminya. Karena posisi tersebut ia dapatkan dengan mengikuti posisi suaminya. Apabila perempuan sebagai orangtua tunggal tidak mempunyai anak atau tidak mempunyai anak laki- laki, biasanya perempuan tersebut lebih cenderung dekat atau kembali ke keluarga asalnya walaupun juga tidak sedikit perempuan yang tetap berada di keluarga suaminya.

Perlakuan yang diterima seorang perempuan yang menjadi perempuan sebagai orangtua tunggal juga langsung berubah dibandingkan ketika suaminya masih hidup. Walaupun sebenarnya para kerabat suami masih mempunyai kewajiban untuk membatu para perempuan ini,tetapi pada kenyataannya di lapangan para perempuan sebagai orangtua tunggal jarang sekali mendapat bantuan dari keluarga suaminya bahkan ada yang sama sekali dilupakan walaupun ia memiliki anak laki-laki. Posisi perempuan sebagai orangtua tunggal dalam “Dalihan Na Tolu” menunjukkan betapa besarnya peran laki-laki dalam adat di masyarakat Batak Toba.Perbedaan peran dalam adat antara laki-laki dan perempuan,mengkondisikan seorang laki-laki sebagai pihak yang selalu ada dalam adat. Megawangi(1999:103),mengatakan dengan berbagai cara perbedaan peran gender dikondisikan oleh tatanan masyarakat Indonesia yang patriarki,seperti terdapat dalam budaya patriarki di suku Batak Toba.


(45)

2.3. Model Teoritik

Berdasarkan teori yang telah dijabarkan diatas, model teoritik yang terbentuk adalah :

- Teori Kajian Budaya

(Cultural Studies)

- Gender Budaya Adat

Batak Toba

Perempuan Sebagai Orangtua Tunggal karena

Kematian

Perempuan Sebagai Orangtua Tunggal karena

Cerai Hidup

Perempuan Sebagai Orangtua Tunggal yang

Tidak Memiliki Suami (Hamil tanpa

pernikahan)

Bentuk-Bentuk subordinasi Perempuan


(46)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode merupakan proses, prinsip dan prosedur yang digunakan peneliti untuk mendekati suatu masalah dan mencari jawabannya. Dengan kata lain, metodologi adalah sebuah pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian. Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Mulyana, 2001 : 145-146).

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dalam bentuk studi kasus. Studi kasus merupakan upaya mengumpulkan dan kemudian mengorganisasikan serta menganalisis data tentang kasus-kasus tertentu berkenaan dengan permasalahan-permasalahan yang menjadi perhatian peneliti untuk kemudian data tersebut dibandingkan atau dihubungkan satu dengan lainnya (dalam hal lebih dari satu kasus), dengan tetap berpegang pada prinsip holistik dan kontekstual (Pawito,2007:141). Selain itu menurut Pawito, “studi kasus bertujuan untuk memberikan penekanan pada spesifikasi dari unit-unit atau kasus yang diteliti. Metode studi kasus berorientasi pada sifat-sifat unik (kasual), dari unit-unit yang sedang diteliti berkenaan dengan permasalahan-permasalahan yang menjadi fokus penelitian” (Pawito,2007:141).

Penelitian studi kasus merupakan metode riset yang menggunakan berbagai sumber data yang dapat digunakan untuk meneliti, menguraikan dan menjelaskan secara komprehensif berbagai aspek individu, kelompok,


(1)

mereka tau, didunia ini nggak ada yang bisa gantikan papanya. Saya lebih tegaskan sosok papanya, kan masih kecil dulu ditinggal dek. Itulah bedanya dek...

• Peneliti : iya ibu, kalau sama keluarga ibu bagaimana ?

• L.M : wah, keluarga ibu sama aja lah dek. Tetap sayang lah namanya anak dek, kakak-kakakkku juga masih sama kok. Mereka dekat juga kok samaku, mereka juga sayang kali sama bapak dulu. Bapak ini orangnya nggak banyak tingkah, makanya ibu nggak bisa lupakan bapak dek, bapak kalau marah selalu waktu kami berdua, itu yang dilihat keluargaku, makanya sayang kali mereka. Tapi si eva nya yang lebih dekat sama keluarga ibu, soalnya seumuran dek sama sepupunya. Kalau yang dua itu sama keluarga bapak karena masih kecil-kecil semua. Makanya senang ibu, nggak ada yang beda. Kalau orang ini tiga sayang kali sama opungnya, mau nanti tidur sama opung borunya, minta suap pun. Makanya yah gak ada beda dek, tapi dimataku, kusamakan keluarga ku dan keluarga bapak, jadi nggak ada yang berbeda dek. Semenjak menikah, mereka sama di hati dan di mataku, kalau salah ya salah, lagian keluarga kami nggak ada yang jahat dek, lurus aja hidupnya.mereka semua selalu dukung aku dek, selalu itu. (tertawa)

• Peneliti : bagaimana perasaan ibu dengan keadaan sekarang ? • L.M : Apa yang mau dibilang, campur aduk dek, sedih dan senang. Yah

dijalani aja loh, namanya juga udah jalan Tuhan. • Wawancara Kedua

• Peneliti : Bu, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya tanyakan. Langsung aja bu ?

• LM :Iya nak, langsung aja di tanya. Kalau ibu bisa jawab, ibu jawab tetapi kalau tidak ya maklum ya nak. (menjawab dengan tenang dan wajah ramah tampak dari ibu LM)

• Peneliti : Begini bu, saya tanya seputar keluarga ibu. Bapak anak keberapa ya ibu ?

• LM : Oh, keberapa ya. Anak ke empat sepertinya, abang bapak ada satu anak kedua, perempuan anak pertama dan ketiga, adeknya cewek anak kelima dan paling kecil laki-laki. Itu seingat ibu nak, soalnya udah tua jadi suka terbalik-balik ibu bilangnya. (tertawa dengan kepala digoyang-goyangkan)


(2)

• Peneliti : Wah, karena sudah semakin tua ya biasa itu ibu..

• LM : Iya nak, pikun ibu ini karena sudah berumur itu ya. Panggil tante aja atau bou ajalah nak biar lebih dekat. Akukan manik sama itu dengan pasaribu nak, makanya aku bou mu. Pasaribu apa kamu nak ? (tersenyum semangat)

• Peneliti : Hahaha, iya bou. Saya pasaribu habeahan bou. Oh Ini kedua kali kita bertemu ya bou, banyak ini yang masih mau di tanya bou. • LM : Oh, iyalah nak, ayok kita lanjutkan wawancara kita tadi

nak. Tapi tidak apa-apa kalau cuma sebentar ya nak, ini nggak tahu bou ada arisan dari kantor, ntah sore ini atau sore besok. Jauh lagi, di Marindal sana. Padahal bou tadi mau santai aja ini, maklum kalau sudah tua ya begini lah nak.

• Peneliti : Hahaha, tidak masalah bou. Oiya jadi orang bapak asalnya dari mana ya bou ?

• LM : Asal bapak ya dari tarutung, tapi ke dalamnya lagi nak. Garoga, tahu garoga ? tapi setelah bapak dewasa tinggal di Medan nak, keluarganya di Medan sekarang nak. Karena agak susah kalau di Garoga itu nak, tapi abangnya bapak di tarutung kalau adek bapak yang laki-laki di Medan juga cuma sering ke Tarutung karena ibu bapak, “inang” itu lebih sering di Tarutung. Rumah “inang” itu ada di Simalingkar juga nang, tapi jauh kan di Simalingkar, kami di sini, adek yang laki-laki itu di Aksara ini terus yang cewek di Jakarta, kakaknya bapak yang pertama, yang ketiga juga di Jakarta cuma sering juga ke Medan, tapi kalau yang paling kecil cewek itu di Medannya nak. Sudah berkeluarga semua, yang cowok adek bapak baru aja berkeluarga itu nak, baru 2 tahunan kalau tidak salah. • Peneliti : Itu semua masih dekat dengan bou sekarang ?

• LM :Iya nak, masih dekat. Ya masih seperti dulu nak, masih dekat kok nak, sering juga bou kesana, tapi lebih sering ke Tarutung nak. Kalau di Tarutung, kami semua mau kumpul disana, tapi ya pasti tidak terlalu samalah nak dengan kemarin-kemarin. Bou tidak mau susahi mereka, kalau dulu pasti adalah bapak atau bou cerita ke mertua kan nak, sekarang agak jarang lah nak. Soalnya bagaimana ya nak, bou nggak mau susahi mertua bou juga kan. Tapi kalau kami semua ya nggak ada masalah lah nak, kami sama aja semuanya nak. Mertua bou baik kali, nggak bawel mertua bou dan mertua bou juga sayang sekali sama kami semua nak. • Peneliti : Kalau dari keluarga bou bagaimana ?

• LM : Sama saja nak, bou bilang kan tidak ada yang berubah nak. Masih sama aja sama mereka nak, tapi bou merasa dua keluarga bou sudah seperti jadi satu nak. Setelah bapak meninggal, mereka memberi “spirit” ke bou. Bou bersyukur nak tidak ada yang berubah tetapi mereka semakin dekat dengan bou.


(3)

• Peneliti : iya ya bou. Walaupun demikian, bou ngerasa ada nggak peminggiran setelah sendiri dan menjadi orangtua tunggal ?

• LM : yah pastilah ada nak, bou dekat sama keluarga bou nak tapi yah istri adek bapak yang kecil itu kurang suka sepertinya dengan bou. Tapi keluarga bou semua senang kok, hanya saja ada beberapa hal yang bou rasa kurang cocok dengan eda itu nak.

• Peneliti : loh, kenapa bou ? kenapa bisa begitu ?

• LM : tidak tahu nak, hanya saja bou merasa ada yang berbeda nak. bou juga bingung, mungkin karena itu tadi. Seharusnya bou tidak begitu dekat kan nak setelah tidak memiliki suami, tapi bou tetap jadi kakak untuk mereka. Bou jadi teman buat kakak ipar, abang ipar sayang dengan bou. • Peneliti : oh, begitu ya bou. Jadi menurut bou, peminggiran apa saja

yang bisa kita lihat di kenyataan yang terkadang bertolak belakang dengan filosofi “Dalihan Na Tolu”?

• LM : sebenarnya tidak begitu ya nak, begini bou bilang ya. “Dalihan Na Tolu” itu kan sebagai tuntunan kita, pegangan kita sebagai orang batak nak. “Dalihan Na Tolu” juga mengajarkan untuk menyayangi perempuan, menyayangi boru, menghormati keluarga istri, jadi itu yang terkadang tidak begitu di tanggapi masyarakat ketika sudah menjadi janda. Janda dikalangan masyarakat batak ini kan pandangannya negatif nak, karena wanita yang dulunya memiliki pasangan dan sekarang sendiri. Orang pasti merasa bahwa si wanita ini akan membutuhkan sosok pria disampingnya. Jadi itu hal yang membuat seorang wanita ketika menjadi janda terlihat negatif, apalagi kalau wanita itu akrab dengan laki-laki. Pasti orang ngerasa itu anaknya mau di buat kemana ? loh, kok genit ya jadi cewek udah janda aja pun. Itu pasti di ungkapkan orang nak. jadi bou sih rasa perbedaannya ya sebenarnya wanita itu dihargai layaknya seorang wanita walaupun harta, yang punya kekuasaan laki-laki, itu makanya “Dalihan Na Tolu” itu sebagai dasar orang batak nak. “Dalihan Na Tolu” ini kan baik adanya, adat pasti lah membuat yang baik dan untuk kebaikan, dan untuk membuat orang batak hidup dengan rukun. jadi ketika masyarakat terbiasa dengan pola pikir yang mengatakan bahwa perempuan bukan layak untuk di utamakan karena sistem patrilineal, yah maka perempuan tersebut itu awalnya termarginalkan. Itu semua pola pikir masyarakat yang mempengaruhi nak. Bou rasa itu aja sih nak, soalnya nggak ada juga yang bisa bou bagikan. (menjelaskan dengan serius sembari tangan naik dan bergerak-gerak seakan menekankan pembicaraannya)

• Peneliti : Kalau pandangan bou terhadap sinamot ?

• LM : Wah, sinamot itu artinya mahar ya kan nak ? Tanda jadi, tanda terimakasih kepada keluarga perempuan. Ada apa dengan sinamot nak? • Peneliti : Bagaimana pandangan bou tentang sinamot?


(4)

• LM :oh, sinamot itu butuh ya di adat nak. Sinamot itu untuk melamar si wanita, terkadang bisa juga uang sinamot sekalian pesta adatnya, maksudnya dibuat untuk biaya pesta adat juga. Uang sinamot biasanya untuk kebaya si wanita dan sebagainya lah nak. Sinamot itu emang perlu di dalam adat pokoknya nak. Kalau pandangan ibu tentang sinamot, ya sinamot itu dibutuhkan nak. Sinamot itu perlu dan kalau kasarnya artinya kita sebagai wanita di beli. Kita sudah menjadi keluarga suami, maksud bou keluarga suami sudah menjadi keluarga kita juga. Begitu lah nak… • Peneliti : oh, begitu ya bou. Jadi menurut bou bagaimana

pandangan bou terhadap orang yang tidak bersinamot ?

• LM : Oh, sinamot itu artinya harga juga nak. lupa bou, itu harga kita dan bagaimana menghargai orangtua kita, itu lah nak. Oh, kalau yang tidak bersinamot jarang ibu dengar. Tapi biasanya kalau dia sudah hamil duluan dan di pasu-pasu, jarang membicarakan sinamot. Ada saudara ibu, masih baru tamat SMA si cowok ini terus pacaran sama cewek di Batam sana eh kebobol, akhirnya dinikahi dong tapi akhirnya jadi nikah cepat dan tidak ada membicarakan sinamot karena sudah kebablasan. Lagian untuk apa juga membahas sinamot ? toh mau tidak mau harus dinikahi kan ? Tapi ada juga keluarga kadang tidak setuju dengan besarnya sinamot, itu lah yang membuat pernikahan terkadang di tunda.

• Peneliti :oh iya bou, aku mau tanya. Keadaan bou setelah menjadi orangtua tunggal kan tetap sama dengan sebelumnya, jadi bagaimana tanggapan bou dengan janda yang sama sekali tidakada hubungan dengan keluarga suami ?

• LM : pandangan bou ada dua, yang mana di antara mereka yang salah ? Pasti ada salah satunya yang salah, mertua kah ? atau menantu kah ? atau terkadang saudara suami sendiri yang iri atau yang tidak suka sehingga hubungan antara mertua dan menantu retak. Pokoknya intinya di dua itu, menantu apa mertua ? yang mana yang mengulah di antara kedua itu, tapi itu semua didasari hubungan yang awalnya tidak beres loh. Misalnya ada menyimpan sesuatu makanya tertanam akhirnya jadi dendam. Kenapa bou bilang seperti itu, karena bou merasakan. Bou mengalah dan menghormati mertua bou sekalipun terkadang bou tidak suka, karena itu kan sama dengan orangtua kandung kita. Jadi bou rasa tidak ada yang harus ditutupi nak, kalau bou salah bou langsung minta maaf. Begitu juga anak-anak, makanya mereka menghormati opungnya. Jadi itu penting nak, dari kecil sudah harus kita tanamkan nak. Si rio kan bou tanamkan kali, harus hormat dengan orangtua, demikian dengan si Eva, dia boru panggoaran kan. Kalau panggoaran, suaranya harus ada di keluarga jadi kalau dia tidak hormat, bagaimana dia bersikap ? apalagi kalau sama anak, jangan ajarkan dendam soalnya bisa aja kalau sudah menikah anak ini nanti dia bakalan jahat juga loh. Awalnya bou adanya ngerasa susah, bagaimana ya nanti


(5)

hidupku setelah bapak udah nggakada. Bagaimana keluarga bapak ? apa sama nya, karena kebanyakan memang tidak beres kan hubungan keluarga menantu dan mertua. Setelah bou jalani, disitu baru bou temukan nak. semua tergantung di diri kita nak, semua tergantung sifat kita. Pokoknya semua tergantung kita sih nak… (menjelaskan dengan tenang dan senyum ceria menghiasi wajah lembut)


(6)

BIODATA PENELITI

Nama : Nora Evangeline Pasaribu / 100904102 Tempat/tanggal lahir : Medan, 19 Desember 1992

Departemen : Ilmu Komunikasi FISIP USU

Alamat : Jl. Dahlia 4 No.226 KOMPLEK PEMDA TK.I Tj.Sari

Email

Orangtua

Ayah : Pdt. Dr . Sampitmo Habeahan M.th, M.Pdk, D.THh Ibu : Pdt. Dra. Delilitnaria Tarigan M.th

Anak : 1 dari 4 bersudara

Saudara kandung : 1. Blessy gratiela Habeahan 2. Glory Rosanna Pasaribu 3. Paul Charismo Habeahan Agama : Kristen Protestan

Pendidikan : 1997 – 2004 TK Kristen KAISAREA Medan 1998 – 2004 SD Kristen KAISAREA Medan 2004 – 2007 SMP Khatolik Budi Murni Medan 2007 – 2010 SMA HARAPAN MANDIRI Medan 2010 – 2014 Ilmu Komunikasi FISIP USU