Estimasi Bowen Ratio Estimasi Crop Water Stress Index

Gambar 9. Sebaran nilai fluks bahang tanah MJ m -2 hari – 1 di Propinsi Jawa Timur, tanggal 25 Juni 2004.

4.2.4. Estimasi Fluks Bahang Penguapan

Input yang diperlukan untuk menghitung fluks bahang penguapan adalah radiasi nettto, fluks bahang terasa dan fluks bahang tanah. Formula yang digunakan adalah persamaan 6. Nilai fluks bahang penguapan pada penelitian ini relatif besar karena nilai fluks bahang terasanya relatif kecil. Pada tanggal 19 Juni 2004, rata-rata nilai fluks bahang terasa yang negatif mengakibatkan nilai fluks bahang penguapan cukup tinggi. Nilai fluks bahang penguapan pada daerah pemukiman lebih rendah daripada daerah bervegetasi Gambar 10. 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00 22.00 24.00 26.00 28.00 10 15 20 25 30 tanggal Juni 2004 LE MJ m -2 hari -1 LE pemukiman LE vegetasi Gambar 10. Rata-rata nilai fluks bahang penguapan MJ m -2 hari –1 di daerah vegetasi dan pemukiman. Pada daerah pemukiman, radiasi netto lebih banyak digunakan untuk memanaskan tanah dan memanaskan udara daripada untuk menguapkan uap air. Hal ini menunjukan bahwa daerah pemukiman memiliki kelengasan tanah yang rendah dan uap air yang relatif lebih sedikit daripada daerah bervegetasi Gambar 11. Kisaran nilai fluks bahang penguapan pada penelitian ini adalah 5 sampai 35 MJ m -2 hari -1 Lampiran 8. Gambar 11. Sebaran nilai fluks bahang penguapan MJ m - 2 hari –1 di Propinsi Jawa Timur, tanggal 25 Juni 2004. 4.3. Estimasi Indikator Kekeringan 4.3.1. Estimasi Evaporative Fraction Evaporative Fraction merupakan fraksi atau bagian energi yang digunakan untuk menguapkan air. Formula yang digunakan untuk menghitung EF adalah persamaan 19 dengan inputnya adalah radiasi netto, fluks bahang tanah dan fluks bahang penguapan. Nilai EF berbanding lurus dengan nilai fluks bahang penguapan sehingga jika nilai EF semakin tinggi maka sebagian besar radiasi netto akan digunakan untuk menguapkan air daripada memanaskan udara dan tanah. Nilai fluks bahang penguapan di daerah bervegetasi lebih tinggi daripada di daerah pemukiman. Akibatnya, nilai EF di daerah bervegetasi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai EF di daerah pemukiman Gambar 13. Daerah dengan nilai EF yang rendah, seperti daerah pemukiman, mengindikasikan daerah tersebut berpotensi terjadi kekeringan Gambar 12. Begitupun sebaliknya, daerah dengan nilai EF yang tinggi daerah bervegetasi mengindikasikan daerah tersebut tidak berpotensi terjadi kekeringan. Sebaran nilai Evaporative Fraction dilampirkan pada Lampiran 9. Gambar 12. Sebaran nilai Evaporative Fraction di Propinsi Jawa Timur, tanggal 25 Juni 2004. 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 10 15 20 25 30 tanggal Juni 2004 EF EF pemukiman EF vegetasi Gambar 13. Rata-rata nilai Evaporative Fraction di daerah vegetasi dan pemukiman.

4.3.2. Estimasi Bowen Ratio

Dalam penghitungan nilai Bowen Ratio, input yang diperlukan adalah nilai fluks bahang terasa dan fluks bahang penguapan dengan persamaan 20 sebagai formulanya. Nilai Bowen Ratio berbanding terbalik dengan nilai fluks bahang penguapan. Jika nilai fluks bahang penguapan semakin tinggi maka nilai Bowen Ratio akan semakin rendah. Sebaliknya, jika nilai fluks bahang penguapan semakin rendah maka nilai Bowen Ratio akan semakin tinggi. Nilai Bowen Ratio sebanding dengan nilai fluks bahang terasa. Daerah yang memiliki nilai fluks bahang terasa negatif menyebabkan nilai Bowen Ratio di daerah tersebut juga negatif sebagian besar daerah bervegetasi. Sebaran nilai Bowen Ratio berkisar antara – 0,2 sampai 1,3 Lampiran 10. Nilai Bowen Ratio di daerah pemukiman lebih tinggi daripada di daerah bervegetasi Gambar 15. Daerah yang memiliki nilai Bowen Ratio yang tinggi daerah pemukiman mengindikasikan daerah tersebut berpotensi terjadi kekeringan Gambar 14. Gambar 14. Sebaran nilai Bowen Ratio di Propinsi Jawa Timur, tanggal 25 Juni 2004. -0.20 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 10 15 20 25 30 tanggal Juni 2004 B B pemukiman B vegetasi Gambar 15. Rata-Rata nilai Bowen Ratio di daerah vegetasi dan pemukiman.

4.3.3. Estimasi Crop Water Stress Index

Nilai Crop Water Stress Index merupakan kebalikan dari nilai Evaporative Fraction persamaan 21. Jadi, jika semakin besar nilai Crop Water Stress Index maka potensi terjadinya kekeringan akan semakin besar juga. Sebaliknya, semakin kecil nilai Crop Water Stress Index maka potensi terjadinya kekeringan akan semakin kecil Gambar 16. Lampiran 11 mendeskripsikan sebaran nilai Crop Water Stress Index. Gambar 16. Sebaran nilai Crop Water Stress Index di Propinsi Jawa Timur, tanggal 25 Juni 2004. Pada penelitian ini, nilai Crop Water Stress Index pada daerah pemukiman lebih besar daripada daerah bervegetasi Gambar 17. Jadi, daerah pemukiman lebih berpotensi terjadi kekeringan daripada daerah bervegetasi. -0.20 -0.10 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 10 15 20 25 30 tanggal Juni 2004 CWSI CWSI pemukiman CWSI vegetasi Gambar 17. Rata-rata nilai Crop Water Stress Index di daerah vegetasi dan pemukiman.

V. KESIMPULAN

Konsep neraca energi merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi potensi tidak terjadinya atau terjadinya kekeringan. Indikator-indikator kekeringan seperti Evaporative Fraction, Bowen Ratio dan Crop Water Stress Index adalah indikator berbasis proses fisik yang merupakan turunan dari neraca energi. Faktor-faktor yang menentukan tinggi rendahnya komponen-komponen neraca energi adalah albedo permukaan, suhu udara, suhu permukaan dan indeks vegetasi NDVI. Daerah pemukiman memiliki albedo permukaan yang lebih tinggi daripada daerah bervegetasi. Hal ini menyebabkan radiasi netto pada daerah pemukiman lebih rendah daripada daerah bervegetasi. Pada daerah pemukiman, perbedaan yang besar antara suhu permukaan dan suhu udara menyebabkan tingginya nilai fluks bahang terasa dan fluks bahang tanah sehingga nilai