29 benefaktif, dan instrumental yang secara kolektif disebut relasi oblik. Blake,
1991; Artawa, 2000: 490.
5. Transitivitas
Transitivitas dibedakan atas ketransitifan struktural dan tradisional. Transitivitas struktural mengacu kepada struktur yang berhubungan dengan
sebuah predikat dan dua argumen, yaitu S dan OL, sedangkan transitivitas merujuk kepada proses membawa atau memindahkan tindakan dari agen ke pasien
Hopper dan Thompson ed, 1982 dalam Budiarta, 2013. 6. Argumen
Argumen merupakan unsur sintaksis dan semantis yang diperlukan oleh sebuah verba yang umumnya berkorelasi dengan partisipasi pada suatu kejadian
atau keadaan yang dinyatakan oleh verba atau predikatnya. Jumlah argumen dalam sebuah klausa atau kalimat sangat ditentukan oleh verba sebagai inti head
dari klausa atau kalimat tersebut Culicover, 1997: 16-17. 7. Struktur Argumen
Struktur argumen merupakan keterikatan argumen predikat dengan predikat itu sendiri yang membentuk sebuah struktur Alsina, 1996: 4-7. Di sisi
lain, Manning 1996: 35-36 menyatakan bahwa struktur gramatikal dan struktur argumen adalah hasil langsung dari gramatikalisasi dua rangkaian hubungan yang
berbeda. Artinya, persoalan struktur argumen ditempatkan sebagai perwujudan sintaksis.
Universitas Sumatera Utara
30
Catatan:
1
Peranan penting konstruksi kausatif dapat dilihat berdasarkan disiplin ilmu lain, misalnya filsafat dan antropolinguistik. Filsafat akan memasuki wilayah kajian
sifat penyebab dari peristiwa kausatif, sedangkan antropolinguistik akan mengkaji persepsi manusia dan juga kategorisasi sebab-akibat yang dihasilkan
peristiwa kausatif tersebut Comrie, 1983: 158.
2
Goddard cenderung mengarahkan definisi kausatif ke kajian semantik, yakni ungkapan yang di dalamnya sebuah peristiwa peristiwa yang disebabkan
digambarkan sebagai peristiwa yang terjadi karena disebabkan seseorang melakukan sesuatu atau karena sesuatu terjadi Goddard, 1998: 266.
3
Kajian konstruksi kausatif melibatkan interaksi antara sintaksis formal dan analisis semantik, dan itulah yang menghubungkan parameter formal dan
parameter semantis lihat Comrie, 1983:159.
4
Pembagian konstruksi kausatif yang dikemukakan oleh Arka 1993:8 didasarkan atas jumlah klausa yang terdapat dalam sebuah konstruksi kausatif. Perbedaan
pembagian kausatif menurut Arka 1993:8 dan Comrie 1981: 158--160; 1989:165--171 pada prinsipnya tidak bertentangan satu sama lain.
5
Kausatif leksikal merupakan perpaduan maksimum antara dua predikat meskipun tidak mungkin menganalisis verba kausatif leksikal dalam dua morfem. Kausatif
sintaksis merupakan perpaduan minimum antara predikat penyebab dan akibat, dengan dua predikat terpisah. Selanjutnya, kausatif morfologi menempati titik
tengah pada kontinum fusi formal yang rentan terhadap analisis dari satu morfem ke morfem yang lain Song, 2001: 278.
6
Salah satu contoh kekhasan bahasa Batak Toba tampak pada banyaknya kata yang tidak memiliki padanan makna atau sulit diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, seperti kata panongosan pa + tongos + -an, tidak mempunyai padanan dalam bahasa Indonesia sehingga harus diterjemahkan dengan
seseorang, yang dengan perantaraannya sesuatu dikirimkan. Oleh karena itu, adakalanya penggunaan bBT lebih sederhana daripada bahasa Indonesia, tetapi
terkadang bisa lebih rumit atau kompleks lihat Sinaga, 2002:1
7
bBT memiliki partikel na yang dapat digunakan untuk memperkuat unsur yang mengikutinya. Partikel itu hampir sama dengan pronomina penghubung yang
dalam bahasa Indonesia, tetapi penggunaannya lebih luas dalam BBT. Dalam beberapa hal, partikel na itu dapat diterjemahkan dengan yang, tetapi dalam
beberapa hal tidak. Apabila partikel itu tidak dapat diterjemahkan dengan yang dalam bahasa Indonesia digunakan pemarkah Pe sebagai singkatan pemerkuat.
Partikel tersebut berfungsi sebagai pemerkuat kalimat tanya, pemerkuat kalimat berita, pemerkuat kalimat terbelah, pemerkuat kalimat negatif, pembentuk kata
majemuk, pemerkuat keterangan waktu lampau, pronomina relatif dalam klausa relatif dan atribut relatif, serta pembentuk nominalisasi Sibarani, 1997: 220.
Universitas Sumatera Utara
31
8
Partikel do berfungsi sebagai pemarkah topik yang tempatnya tetap setelah topik meskipun fungsi-fungsi sintaksis dalam kalimat itu dipertukarkan. Partikel do
1 mengandung makna eksklusif yang menegaskan bahwa “topiklah yang
terjadi, bukan yang lain”; 2 cenderung menyiratkan waktu yang lampau yang menyatakan bahwa kejadian itu telah terjadi pada waktu lampau, dan 3
perintah itu merupakan desakan saran penyapa untuk melakukan tindakan tertentu Sibarani, 1997: 216.
Universitas Sumatera Utara
32
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
2.1 Teori-Teori yang Relevan
Penelitian ini didasarkan pada teori tipologi bahasa, khususnya tipologi gramatikal. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik, penelitian ini
memperhatikan kajian pustaka sebelumnya, baik berdasarkan teori-teori yang relevan maupun berdasarkan penelitian mengenai konstruksi kausatif yang
dilakukan sebelumnya.
2.1.1 Tipe-Tipe Kausatif
Secara umum, konstruksi kausatif merupakan konstruksi yang mengungkapkan suatu situasi makro kompleks yang mengandung dua situasi
mikro atau peristiwa yang terdiri atas 1 peristiwa penyebab causer yang menyebabkan suatu peristiwa terjadi causing event dan 2 peristiwa yang terjadi
atau akibat yang timbul caused yang disebabkan oleh tindakan pesebab causee Shibatani [ed.] 1976: 239; Comrie, 1985: 330; dan Song, 2001: 253.
Di sisi lain, Ackerman dan Webelhuth 1998: 269 mengungkapkan: “... like other predicates causatives traverse the syntax-
morphology boundary. Their contentive aspects can be expressed synthetically in one construction but analytically in
another. In fact, in causatives the situation is quite involved, since a few things are going on simultaneously in their
grammatical behaviour. One issue that arises with these predicates is that causatives semantically express two states of
affairs.
...” Kutipan di atas menjelaskan bahwa seperti predikat lain, kausatif juga
melintasi batas antara sintaksis dan morfologi. Aspek kontentifnya dapat
Universitas Sumatera Utara
33 dinyatakan secara sintesis digabungkan dalam satu konstruksi, tetapi dianalisis
dalam konstruksi yang berbeda. Bahkan, dalam kausatif, situasi turut berpengaruh karena beberapa hal yang terjadi secara bersamaan dalam perilaku gramatikal
konstruksi tersebut. Ditambahkan juga bahwa melalui predikat yang memunculkan konstruksi kausatif, muncul dua situasi peristiwa Ackerman dan
Webelhuth, 1998: 269, yakni dua situasi mikro yang mencerminkan komponen sebab dan akibat Comrie, 1983: 158; Song, 2001: 257; Payne, 2002: 175
1
. Sejalan dengan dua situasi peristiwa yang disebutkan di atas, Ackerman
dan Webelhuth 1998: 269 menjelaskan bahwa struktur biproposional itulah yang menyebabkan beberapa kausatif berperilaku dalam struktur biklausal. Namun,
struktur tersebut tidak selalu demikian sebab dalam banyak bahasa, kausatif secara konsisten berperilaku dalam struktur monoklausal.
Tabel 1. Jenis Kausatif Analitik Analitik Sintaktik
Monoklausal Bahasa Jerman I
Bahasa Malayalam Biklausal
Bahasa Jerman II Bahasa Chi-Mwi:ni
Campur Bahasa Italia
Bahasa Turki Sumber: Ackerman dan Webelhuth 1998: 269
2
Ackerman dan Webelhuth 1998: 271 mengemukakan tes untuk kausatif monoklausa, yakni 1 tidak ada fungsi gramatikal yang dirangkap, 2 penyebab
dapat mengikat pasien dari verba transitif sematan, dan 3 pasien dapat menjadi subjek lahir bila verba kausatif dipasifkan. Tes untuk kausatif biklausa ialah 1
fungsi gramatikalnya dirangkap, 2 pesebab dapat mengikat pasien dari verba transitif sematan, dan 3 pasien tidak dapat menjadi subjek dari kausatif yang
dipasifkan.
Universitas Sumatera Utara
34 Setiap bahasa mempunyai konstruksi gramatikal yang berbeda dalam
mengungkapkan kekausatifan. Namun, secara lintas bahasa ditemukan bahwa kesetaraan konstruksi kausatif dapat diungkapkan secara sintaksis dan secara
analitis lihat Comrie, 1983: 159. Hal itulah yang menyebabkan pembagian tipe kausatif berdasarkan parameter formal dan parameter semantis.
2.1.1.1 Parameter Formal
Berdasarkan parameter formal, Comrie 1983: 159 mengatakan bahwa ada tiga tipe kausatif, yaitu kausatif leksikal, kausatif morfologis, dan kausatif
analitik, yang dalam Whaley 1997: 195 dan Payne 2002: 182 disebut juga kausatif perifrastis. Kausatif analitik adalah kausatif dengan verba kausatif. Dalam
hal ini, terdapat predikat terpisah pada kata yang menunjukkan peristiwa sebab penyebab dan peristiwa akibat pesebab Comrie, 1983: 159. Berkenaan
dengan itu, Payne 2002: 176 mengungkapkan bahwa hampir semua kausatif dalam bahasa Inggris menggunakan verba kausatif yang terpisah, misalnya make,
made, cause, force, dan compel. 9 I caused Jhon to go.
Saya-1TG-TOP V-KAUS Jhon Prep AKT-pergi. ‘Saya menyebabkan Jhon pergi’
Komponen sebab pada contoh 9 ditandai oleh verba caused yang secara eksplisit menerangkan bahwa I melakukan sesuatu pada John dan komponen
akibat secara eksplisit ditandai oleh predikat go pada John to go. Jadi pada konstruksi kausatif analitik, penyebab I melakukan sesuatu terhadap pesebab John
sehingga memunculkan akibat John to go hadir secara eksplisit dalam struktur. Dengan demikian, secara morfosintaksis, kausatif analitik tidak dapat dikatakan
Universitas Sumatera Utara
35 sebagai
operasi penambahan
valensi, tetapi
secara semantis
dapat diinterpretasikan demikian Payne, 2002: 177.
Tipe selanjutnya
merupakan kausatif
morfologis. Kausatif
ini merefleksikan hubungan antara predikat nonkausatif dan predikat kausatif yang
dimarkahi oleh perangkat morfologis, misalnya oleh afiksasi Comrie, 1983: 159. Perhatikan contoh berikut ini.
10 a. Palka slomala- s’
The stick-TOP AKT-broke. ‘Tongkat patah’.
b. Tanja slomala palku. Tanja-TOP AKT-broke-KAUS the stick.
‘Tanja mematahkan tongkat’. Pada konstruksi kausatif morfologis, komponen yang seolah-olah hadir
hanyalah komponen sebab Tanja slomala palku, sedangkan komponen akibat tidak muncul secara eksplisit Palka slomala-
s’. Makna bahwa Tanja melakukan sesuatu sehingga tongkat patah terkandung dalam verba kausatif slomala.
Berbeda dengan tipe lainnya, kausatif morfologis melibatkan perubahan bentuk verba
3
. Di samping dengan verba derivatif, kausatif morfologis dapat dibentuk dengan menggunakan afiks. Seperti dalam bahasa Turki Altaic yang
memiliki dua bentuk kausatif morfologis sangat produktif dengan menggunakan sufiks -dIr dan alomorfnya dan -t Payne, 2002: 176.
Tipe terakhir adalah kausatif leksikal. Kausatif ini merupakan kausatif yang dinyatakan oleh sebuah leksikon tanpa melalui proses produktif apa pun.
Leksikon tersebut secara mandiri dapat menyatakan hubungan sebab-akibat sekaligus. Comrie 1983: 159 memberi contoh sebagai berikut.
11 Jhon killed Bill. Jhon PAS-bunuh-KAUS Bill-TOP.
Universitas Sumatera Utara
36 ‘Jhon membunuh Bill’.
Pada contoh 11 situasi-situasi mikro dalam konstruksi kausatif leksikal dituangkan dalam satu kejadian. Komponen sebab dan komponen akibat dapat
ditafsirkan dari verba kausatif itu sendiri, yaitu kill. Dua kejadian dalam kalimat 11 adalah
‘Jhon membunuh Bill’ sebagai komponen penyebab yang ditampilkan secara eksplisit dan
‘Bill meninggal’ dapat dipahami sebagai komponen akibat walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit. Jadi, makna bahwa penyebab John
melakukan sesuatu sehingga mengakibatkan pesebab Bill meninggal tercakup dalam verba kausatif kill.
4
Menurut Payne 2002: 179, hampir semua bahasa memiliki kausatif leksikal. Ada tiga subtipe kausatif leksikal, yaitu:
a No change in verb
Nonkausatif : The vase broke. Kausatif: Macbeth broke the vase =Macbeth caused the vase to break
b Some idiosyncratic change in verb
Nonkausatif : The tree fell Verb = to fall Kausatif : Bunyan felled the tree Verb = to fell
c Different verb
Nonkausatif : Stephanie ate the beans. Kausatif : Gilligan fed Stephanie beans.
Nonkausatif : Lucretia died. Kausatif : Gloucester killed Lucretia.
Universitas Sumatera Utara
37 Pembagian semua tipe yang dijelaskan di atas diilustrasikan secara ringkas
dalam gambar Goddard 1998: 260 berikut.
Pembagian Bentuk Kausatif
Kausatif Analitik Kausatif Morfologi
Kausatif Leksikal
Kausatif Perifrastik Kausatif Langsung
- I made him work
- membunuh -
I got him to do it - memecah
- I had him to do it
Sufiksasi
Kausatif produktif Kausatif tak produktif
Gambar 1. Pembagian Kausatif
Song 2001: 278 membuat pemetaan yang berbeda dalam meringkas tiga tipe kausatif. Hal ini tampak dalam bagan berikut.
Gambar 2. Tingkatan Kedekatan Penyebab dan Pesebab Song, 2001: 278
Gambar tersebut menjelaskan bahwa ketiga tipe kausatif yang berbeda tersebut membentuk sebuah kontinum fusi formal antara kedekatan predikat
komponen penyebab dengan predikat komponen akibat. Kausatif leksikal merupakan perpaduan maksimum antara dua predikat meskipun tidak mungkin
menganalisis verba kausatif leksikal dalam dua morfem. Kausatif sintaksis
Leksikal Morfologis
Analitik
Universitas Sumatera Utara
38 merupakan perpaduan minimum antara predikat komponen penyebab dengan
komponen akibat berdasarkan dua predikat terpisah. Selanjutnya, kausatif morfologis menempati titik tengah pada kontinum fusi formal yang rentan
terhadap analisis dari satu morfem ke morfem yang lain. Dari semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa para ahli sepakat
mengklasifikasikan tipe kausatif berdasarkan parameter formal meskipun dari sudut pandang yang berbeda. Tipe-tipe itu digunakan dalam mendeskripsikan
konstruksi kausatif bBT. 2.1.1.2 Parameter Semantis
Comrie 1983: 164 membedakan tipe-tipe kausatif berdasarkan parameter semantis. Parameter semantis ini membedakan kausatif berdasarkan tingkat
kendali yang diterima pesebab dan kedekatan antara penyebab dengan pesebab dalam situasi makro atau kausatif itu sendiri.
Berdasarkan tingkat kendali yang diterima pesebab, Comrie 1983: 165 membedakan kausatif sejati true causative dan kausatif permisif permissive
causative. Pada kedua konstruksi tersebut, penyebab – dalam hal ini agen –
memiliki kendali atas terjadi atau tidaknya akibat pada pesebab. Dalam kausatif sejati, penyebab hanya memiliki kemampuan untuk menimbulkan akibat terhadap
pesebab, sedangkan dalam kausatif permisif, penyebab memiliki kemampuan untuk mencegah terjadinya akibat pada pesebab.
Selanjutnya, berdasarkan kedekatan hubungan terjadinya komponen sebab dan komponen akibat, Comrie 1983: 160 membedakan kausatif langsung dan
kausatif tak langsung. Kausatif langsung adalah kausatif yang menggambarkan kedekatan penyebab dengan pesebab misalnya, Anton broke the stick, sedangkan
Universitas Sumatera Utara
39 dalam kausatif tak langsung hubungannya lebih jauh misalnya, Anton brought it
about that the stick broke. Walaupun penyebab selalu diikuti oleh pesebab, dalam kausatif tak langsung, pesebab terjadi beberapa saat setelah penyebab terjadi.
Sejalan dengan uraian di atas, Whaley 1997: 195 menyebutkan bahwa kausativisasi langsung mengacu pada situasi ketika tindakan penyebab
mempunyai efek langsung pada pesebab, sedangkan kausativisasi tak langsung mengacu pada situasi kausativisasi yang derajat kelangsungannya sangat jauh.
Misalnya, kausatif leksikal kill dan konstruksi kausatif cause to die dalam bahasa Inggris lihat juga Payne, 2002: 175; Song 2001: 276.
Menurut Payne 2002: 175, kausativisasi langsung dan kausativisasi tidak langsung berhubungan dengan integrasi struktural dan integrasi konseptual antara
cause dan effect. Hubungan tersebut ditunjukkan oleh tiga hal berikut ini. a
Structural distance, yaitu jumlah silabe, segmen, dalam operasi kausatif secara khusus berhubungan dengan kuantitas jarak konseptual antara cause
dan effect. b
Bentuk verba finit dan nonfinit: jika cause dan effect berhubungan dengan kala aspek modalitas evidensialitas dan atau lokasi, salah satu verba
adalah nonfinit. c
Kasus morfologi pesebab: jika pesebab menguasai tingkat kendali atas kejadian yang menjadi dasar penyebabnya caused event, maka akan
muncul kasus agen, yaitu kasus ergatif nominatif; jika pesebab hanya sedikit menguasai atau tidak memiliki kendali, maka akan muncul kasus
pasien, yaitu dalam kasus akusatif absolutif.
Universitas Sumatera Utara
40 Prinsip pertama di atas digambarkan seperti dalam Piramida Haiman
dalam Payne, 2002: 182 tentang langsung tidak langsungnya efek yang ditimbulkan oleh pesebab.
Kausatif leksikal Kausativisasi lebih langsung
Kausatif morfologi Kausatif analitik
Kausativisasi tidak langsung
Gambar 3. Piramida Haiman
Dalam Piramida Haiman Whaley, 1997: 195, ketiga tipe kausatif berdasarkan parameter formal mengungkapkan makna kausatif yang berbeda dan
ini berkaitan dengan efeknya yang langsung atau tidak langsung. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Song 2001: 259:
“There is, for instance, a strong correlation between the formal types of causative construction i.e. lexical, morphological, and
syntactic, and the semantic types of causation to the extent that the formal distance between the predicate of cause and that of
effect is claimed to be motivated iconically by the conceptual distance between the cause and the effect, and between the
causer and the causee. It is also suggested that the case marking of the causee is determined by the type of causation, which is in
turn related to other semantic and or pragmatic factors such as agency, control, affectedness and topicality.
” Song, 2001: 259 Kutipan di atas menjelaskan hubungan yang kuat antara tipe kausatif
berdasarkan parameter formal leksikal, morfologis, dan analitik dan tipe kausatif berdasarkan parameter semantis, yakni bahwa jarak formal antara predikat
komponen penyebab dan komponen akibat diklaim oleh jarak konseptual antara
X Y = Z
Y Z
Universitas Sumatera Utara
41 penyebab dan pesebab. Hal ini juga menyarankan bahwa kasus yang menandai
pesebab ditentukan oleh jenis peristiwa sebab-akibat, yang pada gilirannya berhubungan dengan semantik lain dan atau faktor pragmatis seperti agen,
kontrol, keterikatan, dan pentopikalan. Sehubungan dengan itu, kausatif leksikal mempunyai efek yang paling
langsung dibandingkan dengan kausatif morfologis dan kausatif analitik Whaley, 1997: 195.
Tabel 2. Kausatif Berdasarkan Parameter Semantis Tipe Kausatif Bentuk Kausativisasi
Kausatif Leksikal X- “lebih dekat” Langsung
Kausatif Morfologi Y – Z
Kausatif Analitik Y Z – “lebih jauh” Tidak langsung
Sumber: Whaley 1997: 195 Perbedaan semantis yang kedua antara tipe-tipe kausatif adalah derajat
kontrol tingkat kendali kuasa atas pesebab. Contoh berikut menjelaskan perbedaan semantis tersebut.
12 Rocco made her leave. Rocco-TOP AKT-buat-KAUS dia-3TG cuti.
‘Rocco membuat dirinya cuti.’ 13 Al let her leave.
Al-TOP AKT-izin-KAUS dia-3TG cuti. ‘Al mengizinkan dirinya cuti.’
Dapat dipastikan bahwa penyebab Rocco tetap memegang kontrol kendali
atas situasi dalam kalimat 12. Berbeda dengan itu, pesebab dalam kalimat 13 masih mempunyai pilihan untuk pergi atau tidak, sekalipun penyebab memiliki
derajat kuasa yang lebih besar. Pertimbangan semantis selanjutnya atas bentuk kausatif adalah apakah
bentuk kausatif tersebut mengindikasikan makna permisif, permintaan, atau
Universitas Sumatera Utara
42 kausativisasi sejati. Dalam beberapa bahasa, tidak ada perbedaan morfosintaktis
antara kausativisasi dan permisif, tetapi dalam beberapa bahasa yang lain ada. Misalnya, dalam bahasa Inggris, ada pilihan verba yang mengindikasikan permisif
misal, allow, let, permit, permintaan ask, dan kausativisasi made, cause, dan force. Namun, ada properti struktural properti sintaksis yang berhubungan
dengan perbedaan leksikal ini.
Tabel 3. Jenis Kasus dan Pesebab Whaley, 1997 Kasus Tingkat Kendali terhadap Pesebab
Nominatif Tinggi Oblik Kurang
Akusatif Tidak ada sama sekali
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada contoh berikut ini. 14 I asked that he NOM leave.
15 I asked him ACC to leave. 16 I made him ACC leave.
Pada kalimat 14, pesebab mempunyai kasus nominatif sehingga memiliki tingkat kendali yang kuat pesebab he bisa pergi atau tidak, sedangkan
pada kalimat 15 dan 16 pesebab berkasus akusatif sehingga tingkat kendali yang dimiliki pesebab tidak sekuat pada kasus nominatif; bahkan pesebab tidak
memiliki kuasa sama sekali pesebab him tidak mempunyai pilihan lain tidak bisa menolak.
Comrie 1983: 170 mengatakan bahwa pembentukan kausatif meliputi penambahan agen terhadap valensi. Dengan demikian, jika klausa dasar adalah
klausa intransitif, subjek akan diungkapkan sebagai OL. Subjek pada klausa dengan verba ekatransitif akan diungkapkan sebagai OTL dan OL tetap sebagai
OL. Jika klausa dasar adalah klausa dengan verba dwitransitif, subjek akan
Universitas Sumatera Utara
43 ditandai sebagai oblik, OL dan OTL akan tetap sebagai relasi gramatikal yang
sama. Perhatikan tabel berikut.
Tabel 4. Perubahan Valensi antara Verba Dasar dan Verba turunan Kausatif
No. Tipe Klausa Verba Nonkausatif Verba Kausatif
1. Intransitif
SUBJ SUBJ OL
SUBJ SUBJ
2. 3.
Ekatransitif Dwitransitif
OL OL OL OTL
SUBJ SUBJ OL OL
OTL OTL OBL
Sumber: Comrie 1983:170 Berdasarkan tabel di atas, Comrie mengusulkan hierarki relasi gramatikal
sebagai berikut: subjek objek langsung objek tak langsung objek oblik. Menurutnya, penyimpulan gramatikal dari pesebab bergerak sebagai berikut:
pesebab menempati posisi tertinggi paling kiri pada hierarki yang belum terisi. Hal itu tidak berbeda dengan konsepsi Song 2001: 264 yang juga
menawarkan hierarki kasus yang sama dengan Comrie 1983: 170. Namun, penjelasan tambahan diungkapkan seperti ini:
“The tendency for causative affixes to apply more frequently to intransitive verbs than to transitive verb, and more frequently to
transitive verbs than to ditransitive verbs has been interpreted to reflect the way languages manage to comply with the MCNP in
morphological causativization as much as in simple non- causative clauses. The restrictions on application of causative
affixes may be seen to cheat transitive and or ditransitive verbs of the opportunity to undergo morphological causativization, as
it were.
” Song, 2001: 264 Kutipan itu menjelaskan bahwa kecenderungan pelekatan kausatif berada
pada verba intransitif daripada verba transitif dan lebih sering pada verba transitif
Universitas Sumatera Utara
44 daripada ditransitif. Hal tersebut ditafsirkan dalam rangka mencerminkan cara
bahasa-bahasa untuk mematuhi MCNP Maximum Number of Core NPs
5
pada kausatif morfologis sebanyak klausa nonkausatif sederhana. Penjelasan mengenai
hal ini sangat diperlukan untuk mengamati perubahan valensi dan relasi gramatikal nonkausatif yang terdapat dalam konstruksi kausatif bBT.
2.1.2 Teori Penguasaan dan Pengikatan
Struktur kausatif dapat dijelaskan dengan menggunakan teori Penguasaan dan Pengikatan. Teori ini dipelopori oleh Chomsky 1980, 1986, 1990 dan
merupakan pengembangan teori tata bahasa Transformasi Gramatika Generatif TGG yang bertujuan untuk memberikan pemerian sistematik tentang kalimat.
Hal itu dilakukan dengan mengajukan satu tata bahasa yang universal dengan harapan agar tata bahasa dapat menerangkan setiap fenomena bahasa secara
menyeluruh. Berhubungan dengan itu, Sag 1999: 149-150 menyebutkan bahwa
prinsip Binding Theory menghubungkan pronomina dengan anteseden bandk. Haegeman, 1992: 244
6
. Istilah anafora digunakan untuk mengekspresikan pronomina yang penafsirannya memerlukan asosiasi dengan unsur lain dalam
sebuah wacana. 17 a John
i
frightens himself
i
. b Susan
i
frightens her
i
. c Susan
i
frightens herself
j
. Berdasarkan kalimat di atas, Sag 1999: 150 menjelaskan bahwa himself
17a mengacu pada orang yang sama, yakni Jhon dan her, namun 17b
Universitas Sumatera Utara
45 menggambarkan bahwa her bukanlah Susan. Pronomina himself dan herself diikat
oleh anteseden dengan notasi yang ditunjukkan di atas. Penggunaan Teori Penguasaan dan Pengikatan dalam kajian ini
berhubungan dengan dua subsistem teori tersebut yang relevan dengan kajian konstruksi kausatif, yakni teori X-bar dan teori Perpindahan.
2.1.2.1 Teori X-Bar
Teori X-bar menjelaskan struktur umum frasa yang direpresentasikan pada skema X-bar. Melalui skema ini, kaidah struktur frasa sebuah bahasa dapat
dideskripsikan atau disederhanakan Haegeman, 1992: 95. Relasi antara kategori leksikal dan kategori frasa digambarkan dalam dua
tataran proyeksi. Kedua proyeksi itu direpresentasikan pada level sintaksis. Jika sebuah kategori leksikal seperti N, V, A, atau P, yang di dalam teori ini
disimbolkan dengan X, dibentuk oleh sebuah komplemen, keterangan, dan spesifier, komplemen yang berkombinasi dengan X akan membentuk proyeksi X-
bar, keterangan yang berkombinasi dengan X-bar akan membentuk proyeksi X- bar yang lebih tinggi, dan pada level berikutnya spesifier yang berkombinasi
dengan X-bar akan membentuk proyeksi maksimal X. Kategori bar, dengan demikian, adalah sebuah proyeksi X dan frasa dengan bar tertinggi ialah proyeksi
maksimal dari kategori X. X”
Spes X’
X’ Ket
X Komp
Gambar 4. Struktur Frasa berdasarkan Teori X-Bar Haegeman, 1992: 95
Universitas Sumatera Utara
46 Gambar di atas dapat dijelaskan dengan struktur skema di bawah ini.
18 X” = Spes; X’
X’ = X’; Ket X
’ = X; Komp
Teori ini dapat diaplikasikan pada konstituen frasa dan konstituen klausa Haegeman, 1992: 74-97.
19 Poirot will abandon the investigation. 20 They will wonder [whether Poirot will abandon the investigation].
Kehadiran FN Poirot dan the investigation 19 merupakan struktur
argumen dari predikat abandon. Munculnya kalimat matriks They will wonder 20 mengubah posisi kalimat sematan Poirot will abandon the investigation. Hal
ini mengasumsikan bahwa rangkaian kalimat Poirot will abandon the investigation dapat menjelaskan maksud dari pelengkap whether. Dalam tata
bahasa generatif, kalimat sederhana tersebut diberi label S dan S tersebut bersama dengan pelengkapnya adalah S’ Haegeman, 1992: 74; 97. Perhatikan diagram
pohon untuk kalimat 19 dan 20 berikut. S
NP AUX
VP
V NP
N Det
N Poirot
will abandon
the investigation
Gambar 5. Diagram Pohon Kalimat Sematan
7
Haegeman, 1992: 74
Universitas Sumatera Utara
47 C’
C FI
whether NP
I’ Poirot
I VP
will
abandon the investigation
Gambar 6. Diagram X-Bar Kalimat Sematan Haegeman, 1992: 97
Diagram pohon di atas menjelaskan bahwa teori X-Bar tidak hanya dapat digunakan dalam menerangkan struktur frasa, tetapi juga dapat menerangkan
struktur kalimat. Hal itu sejalan dengan pendapat Daly dan Rhodes 1981: 40 yang mengatakan bahwa sarana termudah untuk memperlihatkan struktur
konstituen suatu kalimat adalah dengan diagram pohon tree diagram atas penanda satuan sintaksis P-Maker
. Unsur diagram pohon terdiri atas “node” atau simpai, yaitu titik pada diagram pohon, tempat munculnya satu cabang atau lebih.
Kemudian termina simpai unsur leksikal dan rangkaian string, yakni rangkaian unsur dalam yang berurutan pada pohon, baik nama kategori maupun unsur
leksikal. Dengan demikian, teori X-bar digunakan dalam tulisan ini untuk menerangkan semua kategori struktur frasa dan relasi struktur antarkalimat bBT.
2.1.2.2 Teori Perpindahan
Teori perpindahan dapat menjelaskan proses perpindahan suatu konstituen yang menduduki posisi tertentu dalam struktur asal untuk berpindah ke posisi lain
dalam struktur derivasi Haegeman, 1992: 272. Perhatikan kalimat berikut.
Universitas Sumatera Utara
48 21 a This story is believed by the villagers.
b The villagers believe this story
Verba 21a merupakan bentuk pasif believe 21b. Perbandingan antara kalimat 21a dan 21b merupakan bentuk aktif-pasif dari kalimat yang sama.
Artinya, dapat ditentukan bahwa FN subjek dari kalimat pasif 21a this story merupakan FN objek dari predikat pada kalimat aktif 21b. Dengan demikian,
dapat diusulkan bahwa FN this story ditetapkan oleh peran tematis pada kalimat 21a dan 21b. Peran tematis merupakan definisi yang ditetapkan secara
langsung oleh penguasa dari inti. Oleh sebab itu, FN this story 21a seharusnya ditetapkan oleh peran tematis di bawah penguasa yakni oleh verba believe,
tepatnya sebagaimana yang terdapat pada kalimat 21b. Verba believe tidak menguasai FN this story pada kalimat 21a. Dengan demikian, teori ini
digunakan untuk mengamati adanya perpindahan konstituen unsur-unsur ketika membentuk konstruksi kausatif bBT.
Perlu diketahui bahwa dalam teori Penguasaan dan Pengikatan struktur dasar sebuah konstruksi kausatif terdiri atas kalimat matriks dan kalimat sematan.
Kalimat sematan adalah konstituen yang didominasi oleh frasa infleksional FI, terdiri atas FN subjek pesebab plus satu FN objek berupa pasien sesuai dengan
valensi verba sematan. Kalimat matriks adalah konstituen yang berada di atas posisi [SPES, FP] atau di atas K’, terdiri atas FN subjek penyebab dan verba
kausatif. Posisi P adalah untuk pemerlengkap seperti that atau for dalam bahasa Inggris, posisi [SPES, FP untuk frase wh- dalam bahasa Inggris. Diasumsikan
bahwa predikat kausatif menginkorporasi verba yang lebih rendah, V, untuk menghasilkan sebuah predikat kompleks. Struktur dasar sebuah konstruksi
kausatif dapat digambarkan pada diagram berikut.
Universitas Sumatera Utara
49 K
FN FV
penyebab V
FP MENYEBABKAN
Spes FP P’
P FI
FN
1
I’ pesebab
I FV
FV FN
2
pasien
Gambar 7. Struktur Dasar Kausatif Mulyadi, 2004: 133
Konstituen FV yang didominasi oleh I’ dapat berpindah ke posisi [SPES, FP] dan meninggalkan jejak pada posisinya yang lama. Hal ini menaikkan seluruh
FV sehingga tidak lagi berada di bawah FI. Dari posisi ini, inti verba dari FV yang lebih rendah kemudian berinkorporasi ke dalam predikat MENYEBABKAN
8
. Sementara itu, FN pesebab subjek yang lebih rendah diperlakukan sebagai
keterangan atau oblik yang dimarkahi sebagai objek kedua. Teori ini digunakan untuk mendeskripsikan struktur yang membangun konstruksi kausatif bBT.
2.2
Penelitian yang Relevan
Arka 1993 dalam artikel “Morpholexical Aspects of the –kan Causative
in Indonesian ” menjelaskan kausatif derivasi {-kan} dalam bahasa Indonesia
dengan menggunakan Teori Penguasaaan dan Pengikatan dan Teori Tata Bahasa Fungsional Leksikal. Teori Penguasaan dan Pengikatan digunakan untuk
menjelaskan fenomena kausatif secara sintaksis, sementara Teori Tata Bahasa
Universitas Sumatera Utara
50 Fungsional Leksikal digunakan untuk menerangkan properti kausatif {-kan}.
Hasil penelitian ini memberikan gambaran yang jelas mengenai perbedaan antara nilai semantis dan properti gramatikal kausatif morfologis secara umum dalam
bahasa Indonesia. Dihipotesiskan juga bahwa dalam bahasa Indonesia, pengausatifan melalui proses afiksasi berlangsung pada tataran leksikon dan
bukan pada tataran sintaksis. Penelitian ini juga mengungkapkan struktur paralel kausatif
–kan yang menjadi ciri teori LFG, yaitu struktur konstituen, struktur argumen, struktur fungsional, dan struktur semantis. Temuan dalam penelitian ini
menjadi masukan yang penting dalam menunjukkan konstruksi kausatif bBT. Mulyadi 2004 dalam artikel
“Konstruksi Kausatif dalam Bahasa Indonesia
” membahas 1 perilaku verba dalam membentuk konstruksi kausatif bI, 2 tipe-tipe konstruksi kausatif bI, dan 3 struktur konstruksi kausatif bI. Data
dikaji dengan metode distribusional dengan alat penentu berupa struktur argumen verba. Penelitian ini menggunakan pendekatan tipologis dan sintaksis. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pembentukan konstruksi kausatif, verba intransitif berubah menjadi transitif, sedangkan verba transitif dan ditransitif tidak
mengalami perubahan. Selanjutnya, tipe konstruksi kausatif bI terdiri atas monoklausa, yang
terbentuk dari verba intransitif dan transitif yang berobjek refleksif dan bermakna tindakan dan biklausa, yang terbentuk dari verba transitif dan ditransitif. Dalam
struktur kausatif monoklausa verba sematan berpindah ke [Spes FP] dan kemudian berinkorporasi ke dalam verba kausatif kalimat matriks. Dalam struktur
biklausa verba sematan berpindah ke [Spes FP] dan berinkorporasi ke dalam verba kausatif kalimat matriks serta meninggalkan argumen internalnya di bawah
Universitas Sumatera Utara
51 [Spes FP]. Hasil penelitian ini menjadi referensi utama mengingat penggunaan
teori Penguasaan dan Pengikatan yang juga digunakan dalam kajian ini. Mayani 2005 dalam artikel
“Konstruksi Kausatif Bahasa Madura” membahas konstruksi kausatif berdasarkan parameter morfosintaksis dan semantis
bM. Sistem kerja yang digunakan merujuk pada penggunaan konjungsi yang terdapat dalam kalimat kompleks. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua
tipe pembagian kausatif terdapat pada BM. Verba Ngabay [N+gabay ] ‘membuat’
dan nyoro [N+soro ] ‘menyuruh’ adalah verba kausatif yang digunakan dalam
kausatif analitik BM. Afiks yang digunakan sebagai pemarkah kausatif morfologis BM adalah {ma-}, {-aghi}, {ma--aghi}, {ma+N--aghi}, dan {pa-}. Selanjutnya,
konstruksi kausatif leksikal BM sama dengan struktur logis konstruksi kausatif morfologis, yaitu [do X] CAUSE [BECOME predicate Y].
Selain itu, berdasarkan parameter semantis ditemukan bahwa rentang durasi antara komponen sebab dan akibat pada konstruksi kausatif morfologis
lebih pendek dibandingkan dengan kausatif analitik. Artinya, kausatif morfologis BM bersifat langsung daripada kausatif analitik. Setakat ini, sistem kerja
penelitian ini tidak dapat dijadikan referensi dalam kajian ini. Peneliti cenderung sejalan dengan konsepsi Song 2001: 258 yang mengatakan bahwa kausatif tidak
dapat dibentuk dari konjungsi karena penyebab dalam kalimat kompleks bukan subjek pada klausa utama atau juga bukan predikat pada verba utama. Hal yang
sama tidak berlaku dalam penelitian bM ini. Hadi 2007 dalam artikel
“Konstruksi Kausatif Bahasa Serawai” mengenai konstruksi kausatif bS berdasarkan parameter morfosintaksis dan
parameter semantis. Sistem kerja yang digunakan juga merujuk pada penggunaan
Universitas Sumatera Utara
52 konjungsi sejalan dengan Mayani, 2005. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
konstruksi kausatif bS dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu 1 menggunakan kalimat kompleks
– dua klausa digabungkan dengan menggunakan konjungsi kernau sebap, 2 menggunakan kausatif analitik
– dengan penanda verbanya nganuka
‘membuat’, njadika ‘membuat jadi’, dan ngajung ‘menyuruh’, 3 menggunakan kausatif morfologis
– dengan menambahkan afiks ng-ka dengan alomorf-alomorfnya, ng-i dengan alomorf-alomorfnya
–ka dan –i, dan 4 memilih verba kausatif leksikal tertentu yang sudah bermakna kausatif. Dalam
parameter semantis dijelaskan kesinoniman verba kausatif dalam bS. Analisis itu diawali dengan mendistribusikan verba kausatif ke dalam kalimat, lalu
mensubstitusikannya ke dalam konstruksi yang lebih luas, kemudian menunjukkan batas-batas kemampuannya dalam bersubstitusi. Penelitian ini
dijadikan referensi dalam memperkaya konsepsi peneliti dalam memerikan kausatif bahasa nusantara.
Winarti 2009 dalam tesis “Konstruksi Kausatif Morfologis dan
Perifrastis dalam Bahasa Indonesia ” membahas 1 konstruksi tipologi kausatif
bI, 2 mekanisme pembentukan konstruksi kausatif morfologis dan perifrastis bI, 3 mekanisme perubahan valensi dan relasi gramatikal konstruksi kausatif
morfologis dan perifrastis bI, 4 faktor-faktor yang menjadi kendala pengungkapan sebuah peristiwa dengan konstruksi kausatif morfologis dan
perifrastis bI.
Konstruksi kausatif
dilakukan dengan
mengungkapkan kausativisasi, valensi, dan relasi gramatikal yang terdapat dalam konstruksi
kausatif. Hasill penelitian menunjukkan bahwa konstruksi kausatif morfologis dapat dibentuk dari konstruksi nonkausatif yang diberi pemarkah kausatif berupa
Universitas Sumatera Utara
53 afiks. Pemarkah afiks dalam bahasa Indonesia yang dapat membentuk konstruksi
kausatif morfologis adalah {-kan}, {per-}, {-i}, serta kombinasi afiks {per--kan} dan {per--i}. Konstruksi kausatif analitik dapat dibentuk dari konstruksi
nonkausatif yang diberi pemarkah kausatif berupa verba kausatif, yakni membuat. Dalam kausatif analitik, konstruksi dibentuk oleh predikat yang mengandung
verba intransitif dan transitif, adjektiva, dan nomina. Penelitian ini menjadi masukan yang sangat penting dalam memberi kontribusi terhadap penelitian bBT,
khususnya dalam mengenal konstruksi kausatif secara mendasar. Maulia 2011 dalam artikel
“Pengkausatifan dalam Bahasa Jepang” membahas masalah 1 struktur dan makna yang dihasilkan dalam pengausatifan
morfologis bJ, 2 struktur dan makna yang dihasilkan oleh pengausatifan sintaksis bJ, 3 struktur dan makna yang dihasilkan oleh pengausatifan leksikon
bJ, 4 struktur logis pengausatifan bJ. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengausatifan morfologis bJ hadir dalam bentuk afiksasi verba dengan sufiks
– saseru. Tipe ini menandai penyebab dengan pentopikalan wa atau nominatif ga.
Makna yang dihasilkan oleh pengausatifan morfologis adalah makna ‘menjadikan
membuat’, ‘memaksa’,
‘memerintahkan menyuruh’,
‘membiarkan mengizinkan’, yang berbeda dipandang dari segi paksaan dan keinginan dari
penyebab dan penerima sebab. Sementara itu, struktur pengausatifan sintaktis ditandai dengan kehadiran
verba morau, yang melekat bersama verba dalam struktur kausatif kemudian verba tersebut akan mengalami perubahan silabel dalam bentuk
–te. Ciri strukturnya juga ditandai dengan pentopikalan wa atau nominatif ga pada unsur
penyebab, dan partikel kasus ni pada penerima sebab. Makna yang dihasilkan
Universitas Sumatera Utara
54 pengausatifan sintaktis menunjukkan makna
‘menyuruh’, tetapi karena struktur ini menunjukkan tingkat ‘kesopanan’ pada penerima sebab, kata ‘meminta’ dapat
mewakili terjemahan struktur –te morau ini. Pengkausatifan leksikal memiliki ciri
hadir dalam bentuk verba transitif yang dalam sistem bJ, verba tersebut merupakan verba berpasangan yang dikenal dengan istilah jidoushu dan tadoushi.
Makna yang dihasilkan oleh pengausatifan leksikal menunjukkan makna ‘menjadikan’, yang penyebab bertindak langsung melakukan tindakan tersebab
kepada penerima sebab. Kadar kelangsungan akibat yang diperoleh penerima sebab terhadap perbuatan yang dilakukan penyebab dari tiga tataran pengausatifan
tersebut menunjukkan bahwa pengausatifan leksikal memiliki kadar kelangsungan tertinggi, kemudian diikuti oleh pengkausatifan morfologis dan pengausatifan
sintaktis. Hal ini akan sangat berguna sebagai referensi penelitian ini, khususnya berkaitan dengan parameter semantis.
Subiyanto 2013 dalam artikel “Analytic Causatives in Javanese: A
Lexical-Functional Approach ” membahas 1 mekanisme pembagian konstruksi
argumen yang terdapat di antara verba dalam kausatif analitik bJa, 2 bentuk konstruksi struktur mono- atau biklausal bJa, dan 3 struktur sintaksis kausatif
analitik bJa dalam kerangka tata bahasa LFG. Dengan menggunakan alat uji pemarkah negasi dan penggunaaan modalitas ditemukan bahwa kausatif analitik
dalam bJa membentuk struktur biklausa, artinya PRED1 dan PRED2 bisa mendapatkan polaritas dan modalitas yang berbeda. Selain itu, konstruksi
tersebut memiliki struktur X-KOMP, yakni SUBJ dari verba kedua dilesapkan dan dikendalikan oleh OBJ dari verba kausatif nggawe. Dalam struktur konstituen,
kausatif analitik memiliki dua macam bentuk, yakni V-kausatif OBJ X-COMP
Universitas Sumatera Utara
55 and V-kausatif X-COMP OBJ. Temuan penelitian ini menjadi masukan yang
penting dalam penelitian bBT, khususnya dalam penggunaan teori tata bahasa Leksikal Fungsional sebagai bandingan terhadap tata bahasa TG.
2.3 Kerangka Kerja Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini menggunakan pendekatan tipologi gramatikal, sedangkan analisis dalam kajian ini menjelaskan beberapa aspek
sintaksis bBT khususnya kalimat yang memiliki verba kausatif. Selanjutnya, struktur kalimat tersebut dianalisis dengan menggunakan kajian yang mendukung
proses penemuan tipe bBT.
Gambar 8. Kerangka Kerja Teoretis
Parameter Formal
Teori Perpindahan Teori X-Bar
Parameter Semantis
TIPOLOGI
SINTAKSIS Kausatif bBT
Tipe
Struktur KALIMAT
ANALISIS DATA TEMUAN
Universitas Sumatera Utara
56
Catatan:
1
Payne 2002: 175 mendefinisikan kausatif, “A causative is a linguistic
expression that contains in semantic logical structure a predicate of causee, one argumen of which is a predicate expressing an effect
”. Oleh karena itu, konstruksi kausatif disimbolkan dengan: CAUSE x, P = x causes P.
2
Bahasa Jerman I adalah konstruksi kausatif yang menunjukkan monoklausal dan yang predikat dinyatakan secara analitis, yaitu dengan lebih dari satu kata
morfologi. Bahasa Malayalam juga memiliki konstruksi kausatif dengan perilaku konsisten monoklausal, tetapi tidak seperti bahasa Jerman yang mengungkapkan
predikat penyebab dalam satu kata morfologi tunggal. Bahasa yang tercantum di sisa dua baris tabel tersebut memiliki konstruksi kausatif yang telah dilaporkan
secara konsisten menunjukkan biklausal dan efek campuran masing-masing lihat Ackerman dan Webelhuth, 1998: 269.
3
Verba fell dalam bahasa Inggris tidak memenuhi syarat sebagai bentuk verba kausatif morfologis bukan karena verba derivatif seperti halnya felled. Contoh
lain misalnya, verba lay yang merupakan kausatif dari verba lie Payne, 2002.
4
Istilah ‘komponen’ dirujuk pada konsep Metabahasa Semantik Alami MSA yang memiliki perangkat makna ‘ciri’ atau ‘fitur’. Dalam kajian ini, istilah
‘komponen penyebab’ digunakan pada ‘peristiwa sebab’ yakni memiliki ciri atau fitur penyebab, sedangkan
‘komponen akibat’ digunakan pada ‘peristiwa akibat’. Berkenaan dengan itu, istilah ‘penyebab’ atau causer merujuk pada entitas yang
menyebabkan peristiwa sebab, sedangkan ‘pesebab’ atau causee merujuk pada entitas yang dikenai peristiwa akibat.
5
MNCP adalah jumlah maksimum frasa nomina yang terdapat pada setiap klausa lihat Song, 2001: 264.
6
Anteseden merupakan kata atau bagian kalimat yang mendahului pronomina. Adapun Teori Penguasaan dan Pengikatan menghubungkan pronomina dengan
anteseden bandk. Haegeman, 1992: 244.
7
Kalimat sematan adalah konstituen yang didominasi oleh frasa infleksional FI, terdiri atas FN subjek causee plus satu FN objek berupa pasien sesuai dengan
valensi verba sematan. Berbeda dengan itu, kalimat matriks adalah konstituen yang berada di atas posisi [SPES, FP] atau di atas K’, terdiri atas FN subjek
causer dan verba kausatif Mulyadi, 2004: 136.
8
Penggunaan huruf kapital secara keseluruhan pada istilah MENYEBABKAN merujuk pada banyaknya jenis verba kausatif yang diperikan pada istilah
tersebut dalam bahasa-bahasa lain di dunia.
Universitas Sumatera Utara
57
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Pelaksanaan penelitian difokuskan di Kabupaten Toba Samosir. Kabupaten tersebut adalah wilayah kajian yang cukup representatif mengingat
penutur bahasa Batak Toba tersebar di beberapa titik di tempat tersebut.
Gambar 9. Peta Penutur Bahasa Batak Toba di Kabupaten Toba Samosir
Sumber: Data BPS Kabupaten Toba Samosir tahun 2009
Total luas wilayah daratan Kabupaten Toba Samosir adalah 2.021,8 km², yang terdiri atas 16 kecamatan, 13 kelurahan, dan 231 desa. Jumlah penduduk
Toba Samosir adalah 175.325 jiwa, dengan jumlah rumah tangga RT 39.339
Universitas Sumatera Utara
58 rumah tangga. Tingkat kepadatan penduduk adalah 86.7 orgkm². Di bawah ini
disajikan tabel jumlah penduduk yang menempati sejumlah wilayah di kabupaten
Toba Samosir. Tabel 5. Luas Wilayah Berdasarkan Persebaran Kecamatan
No. Kecamatan Jumlah Jumlah Wilayah Jumlah Desa Kelurahan Penduduk
1. Balige
29 6
91,05 43.737
2. Tampahan
6 -
24,45 5.476
3. Laguboti
22 1
73,90 17.349
4. Habinsaran
21 1
408,70 14.248
5. Borbor
15 -
176,65 7.671
6. Nassau
10 -
335,50 6.214
7. Silaen
23 -
172,58 10.832
8. Sigumpar
9 1
25,20 6.743
9. Porsea
14 3
31,45 10.896
10. PP Meranti
7 -
277,27 8.078
11. S. Narumonda
14 -
22,20 5.764
12. Lumban Julu
12 -
90,90 7.233
13. Uluan
17 -
91,50 7.399
14. Ajibata
9 1
72,80 6.887
15. Parmaksian
11 -
45,98 8.043
16. Bonatua Lunasi
12 -
81,67 6.176
Jumlah 231 13 2.021,80 172.746
Sumber: Data BPS Kabupaten Toba Samosir tahun 2009
Berdasarkan data di atas, lokasi penelitian ini hanya difokuskan di kecamatan Balige. Hal tersebut didasarkan pada jumlah penduduk di lokasi
tersebut cukup padat sehingga mempermudah pemerolehan data lisan.
3.2 Pendekatan dan Metode Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan tersebut merupakan pendekatan yang paling
tepat digunakan apabila berhadapan dengan kenyataan ganda karena mampu menyajikan hakikat hubungan antara peneliti dengan informan secara langsung
Moleong, 2002. Selain itu, pendekatan tersebut juga merupakan pendekatan
Universitas Sumatera Utara
59 yang berangkat dari kasus tertentu yang terdapat pada suatu situasi sosial yang
ditransfer ke tempat lain pada situasi sosial yang memiliki kesamaan dengan situasi sosial pada kasus yang dipelajari Sugiyono, 2008: 216
1
. Bahasa sebagai ranah kajian ini merupakan bagian dari situasi sosial. Konsepsi masyarakat
penutur bBT mengenai peristiwa sebab-akibat dalam situasi sosial tercermin melalui penggunaan kausatif. Oleh karena itu, berdasarkan konsep pendekatan ini,
peneliti memasuki situasi sosial untuk melakukan observasi dan wawancara kepada informan.
3.3 Data dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa ragam kalimat dalam bBT. Mallison dan Blake 1981: 12-18 menyatakan terdapat tiga jenis sumber
data yang dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan data dalam penelitian linguistik, yakni sebagai berikut.
1. Data primer berupa data lisan, yakni: data lisan wawancara DLW; data
lisan percakapan sehari-hari DLP, dalam hal ini diambil di gereja dan pajak Balige; data lisan acara adat DLA. Oleh karena itu, untuk
memperoleh data primer yang sahih, peneliti memanfaatkan sumber data lisan sejumlah informan yang memenuhi kriteria sebagai berikut.
a bersedia menjadi informan;
b penutur asli bBT dewasa berusia antara 20 sampai 70 tahun;
c penutur berada di lokasi yang telah dipilih untuk penelitian ini;
d memahami penggunaan bBT dan mempunyai alat ujar yang baik;
Universitas Sumatera Utara
60 e
memiliki karakter baik dan jujur dalam pemberian data, baik dalam kesediaan waktu maupun ragam ujaran lihat juga Nida, 1970: 109.
Selain itu, dalam penelitian ini digunakan data lisan yang dikumpulkan dalam bentuk daftar pertanyaan sintaksis dan DCT Discourse
Compeletion Test yang dirancang peneliti.
2
2. Data sekunder berupa data tulis, yakni dengan menggunakan beberapa