Pluralisme Hukum Perkuat Hukum Adat di I

Kamis, 22 Juli 2010

Pluralisme Hukum Perkuat
Hukum Adat di Indonesia
Penerimaan konsep pluralisme hukum contohnya terjadi di Aceh.
CR­9
Dibaca: 4716 Tanggapan: 0

Pemerintah perlu mengakomodir lebih jauh sistem hukum adat yang
hidup dan berkembang di masyarakat. Disadari atau tidak, Indonesia
memiliki sistem hukum yang beragam selain hukum negara. Masingmasing sistem hukum itu memiliki kekuatan mengikat pada tiap
kelompok masyarakat.
Melalui pemahaman pluralisme hukum, penegak hukum sebenarnya
akan terbantu menyelesaikan permasalahan hukum di masyarakat
secara lebih adil. Dengan demikian, penguatan hukum adat pun
akan berjalan lebih baik.
Pendapat ini dikemukakan Pengajar Antropologi Hukum Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Lidwina Inge Nurtjahyo. Berbicara
dalam sebuah diskusi di Jakarta (22/7), Inge mengatakan bahwa
pluralisme hukum akan menjadi “sumber data” bagi penegak hukum
untuk menjalankan tugasnya.

“Artinya, penegak hukum memiliki referensi jelas mengenai
masyarakat adat dan mekanisme penyelesaian sengketa yang
mereka miliki. Sistem hukum ini terkadang lebih dapat diterima dan
dirasakan adil oleh masyarakat,” jelasnya.
Menurut Inge, kondisi sistem hukum negara yang mendominasi dan
cenderung mengabaikan keberadaan sistem hukum adat menjadi
dasar pentingnya pemahaman pluralisme hukum. “Keadilan tidak
hanya dicapai melalui sistem hukum negara yang sifatnya
sentralistis,” tegasnya.
Diskusi ini juga mengungkap pengalaman para pelaku pendamping
masyarakat adat. Kasimirus Bara Bheri dari Ende, Flores,
menyampaikan pengalamannya menjadi mediator sengketa
masyarakat dalam kasus penghinaan.
Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Masyarakat (Pusam) di Flores ini
menceritakan bahwa kasus yang dimediasikan olehnya merupakan
kasus penghinaan. Pihak yang merasa terhina melapor ke polisi.

Namun, dalam prosesnya terjadi perdamaian antar kedua pihak.
“Mekanisme adat sudah berjalan dengan baik. Kedua pihak saling
menerima dan merasa adil,” ujarnya.

Karena itu, Kasimirus mengharapkan kasus semacam ini bisa
menjadi bagian dari pertimbangan penegak hukum untuk tidak
meneruskan proses pidana. “Sebab masyarakat adat merasa sistem
hukum adat lebih adil dan dapat diterima,” tukasnya.
Qanun Pidie

Namun, bukan berarti sistem hukum adat benar-benar terpinggirkan
di Indonesia. Penerimaan konsep pluralisme hukum justru terjadi di
Aceh. Taqwaddin Husein, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas
Syiah Kuala, Banda Aceh, menyampaikan contoh di Kabupaten Pidie,
Aceh yang memiliki Qanun No.8 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggaraan Kehidupan Adat di Kabupaten Pidie.
Dalam qanun itu diatur bahwa aparat penegak hukum harus
memberi kesempatan terlebih dahulu kepada Geuchik dan Imum
Mukminuntuk
menyelesaikan
sengketa-sengketa/perselisihan
diGampong/Mukim (kampung). “Jadi mekanisme adat diberikan
kesempatan terlebih dahulu untuk menyelesaikan sengketa,” jelas
Taqwaddin.


Geuchik adalah pemimpin masyarakat di satu kampung. Jabatan ini
dipilih
oleh
masyarakat
dan
ditetapkan
pemerintah.
Sementara Imum Mukmin adalah kepala adat di satu kampung.
Dalam Qanun No.8/2007 itu, Geuchik berwenang menyelesaikan
sengketa keluarga, antar keluarga, dan sosial dalam waktu
maksimal dua bulan. Jika dalam jangka waktu tersebut masalah
tidak selesai, atau pihak yang bersengketa tidak puas, maka
sengketa dibawa keImum Mukmin. Kepala adat ini diberi
kesempatan menyelesaikan masalah dalam waktu satu bulan. Jika
tidak, baru sengketa itu dapat dilanjutkan ke penegak hukum
negara.
Pelaksanaan qanun ini, menurut Taqwaddin, didukung oleh
kepolisian. “Ada kesepakatan antara Polda dengan Majelis Adat Aceh
untuk menjalankan mekanisme sebagaimana diatur qanun itu

terlebih dahulu,” pungkasnya.