pluralisme hukum adat

BAB I
LATAR BELAKANG
A. PENDAHULUAN
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum
Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana,
berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa
lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda
(Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia
menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang
perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum
Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan
penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di
wilayah Nusantara.
Tapi yang akan lebih jauh dikaji ialah hukum adat, yang merupakan hukum yang
sudah hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hukum yang sudah
ada sebelum datangnya penjajah di tanah air. Hukum adat adalah bagian dari hukum yang ada
Indonesia, tapi sering kali terlupakan dalam system ketatanegaraan. Pada kenyataanya,
hukum adat muncul dari nilai-nilai luhur yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Hukum adat ialah hukum yang dinamis, berubah sesuai zaman. Walaupun tidak
tertulis di sebuah buku aturan yang jelas, tapi setiap orang yang mengetahui dan
memahaminya akan selalu patuh dibawahnya, karena hukum adat adalah sesuatu yang sakral

dan harus diikuti selama tidak menyimpang dari rasa keadilan. Dalam sistem ketatanegaraan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, Hukum adat sudah tercermin di banyak aturan
perundang-undangan. Sebagai contoh ialah pasal 5 dalam UU Nomor 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang menyatakan :
"Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa dengan sosialisme Indonesia serta aturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama".[1]
Dari pasal diatas membuktikan bahwa hukum adat juga memiliki peran yang
sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Oleh karena itu kami mengambil tema Pluralisme Hukum Adat dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, karena hukum adat adalah bagian tak terlepas dari Indonesia yang
patut dipelajari dan diamalkan demi kejayaan bersama.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah hukum adat ?
2. Bagaiamana penerapan hukum adat di Indonesia saat ini?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk lebih mengetahui tentang hukum adat yang hidup di Indonesia
2. Agar lebih memahami tentang peran hukum adat dalam system ketatnegaraan yang ada di

Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Secara bahasa hukum adat terbagi dari dua kata yakni hukum dan adat. Hukum adalah
kumpulan aturan atau norma yang apabila dilanggar akan dikenai sanksi, dan yang membuat
hukum adalah orang yang memiliki kewenangan atasnya. Sedangkan kata adat, menurut Prof.
Amura, istilah ini berasal dari bahasa Sansekerta karena menurutnya istilah ini telah
dipergunakan oleh orang Minangkabau kurang lebih 2000 tahun yang lalu.
Menurutnya adat berasal dari dua kata, a dan dato. A berarti tidak dan dato berarti sesuatu
yang bersifat kebendaan.
Pada tahun 1660 pengertian Hukum Adat sudah pernah ditulis oleh Jalaluddin Tunsam
(orang Arab yang tinggal di Aceh). "Adat" berasal dari bahasa Arab artinya"kebiasaankebiasaan dari masyarakat". Kebiasaan-kebiasaan yang dimaksud ada yang "baik" dan ada
pula yang "jelek" , kebiasaan-kebiasaan itu antara lain: gotong royong, tolong-menolong,
musyawarah. Kebiasaan yang merupakan pribadi bangsa Indonesia, diawali dari
"Kebudayaan Melayu Indonesia", umumnya sama seperti di Malaysia, Philipina. Kemudian
Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh :
1. Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya Misalnya; Pulau Jawa dan Bali
dipengaruhi agama Hindu; Aceh dipengaruhi Agama Islam; Ambon, Maluku dipengaruhi

agama Kristen.
2. Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
3. Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.
Jadi Hukum Adat adalah hukum bangsa Indonesia, baik tertulis maupun tidak.[2]
Dalam kepustakaan selain istilah-istilah tadi seringkali digunakan istilah lain misalnya
:
1. Volksrecht (hukum rakyat), berasal dari Mr. Beseler
2. Maleischt Polynesisrecht, pernah digunakan oleh Prof. C. Van Vollenhoven.
Istilah ini oleh van Vollenhoven dimaksudkan untuk menamakan, Hukum Indonesia
yang paling asli.[3]
Secara definitif atau istilah, menurut Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, hukum adat
adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai sanksi (hukum)
dan dipihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat). Tingkah laku positif memiliki
makna hukum yang dinyatakan berlaku disini dan sekarang. Sedangkan sanksi yang
dimaksud adalah reaksi (konsekuensi) dari pihak lain atas suatu pelanggaran terhadap norma
(hukum).

Dan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat adalah aturan (perbuatan dsb) yg
lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; cara (kelakuan dsb) yg sudah menjadi
kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan yg terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan

aturan yg satu dng lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Karena istilah Adat yang telah
diserap kedalam Bahasa Indonesia menjadi kebiasaan maka istilah hukum adat dapat
disamakan dengan hukum kebiasaan.
Hukum adat bersumber pada nilai-nilai keadilan dan nilai-nilai luhur dalam kehidupan
masyarakat hukum adat itu sendiri dan seorang pemuka adat yang merupakan pemimpin
yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat, ada untuk
menjaga keutuhan masyarakat dan mencapai hidup yang sejahtera, aman dan tentram.
B. LINGKUNGAN HUKUM ADAT
Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven membagi Indonesia menjadi 19 lingkungan hukum adat
(rechtsringen). Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan sifat hukum adatnya seragam disebutnya
sebagai rechtskring. Setiap lingkungan hukum adat tersebut dibagi lagi dalam beberapa bagian yang
disebut Kukuban Hukum (Rechtsgouw). Lingkungan hukum adat tersebut adalah sebagai berikut :

1.
2.
1.
2.
3.

Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu)

Tanah Gayo, Alas dan Batak
Tanah Gayo (Gayo lueus)
Tanah Alas
Tanah Batak (Tapanuli)
1. Tapanuli Utara; Batak Pakpak (Barus), Batak karo, Batak Simelungun,

Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumbun Julu)
2. Tapanuli Selatan; Padang Lawas (Tano Sepanjang), Angkola,

Mandailing (Sayurmatinggi)
3. Nias (Nias Selatan)

3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.

6.
7.
8.

Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, tanah Kampar, Kerinci)
Mentawai (Orang Pagai)
Sumatera Selatan
Bengkulu (Renjang)
Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedingtataan, Tulang Bawang)
Palembang (Anak lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo)
Jambi (Batin dan Penghulu)
Enggano
Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatera Timur, Orang Banjar)
Bangka dan Belitung
kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak
Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long
Glatt, Dayat Maanyan, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak
Penyambung Punan)

9. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo)

10. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja
Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai)
11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar,
Muna)
12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula)
13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep.
Aru, Kisar)
14. Irian
15. Kep. Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba
Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima)
16. Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang Asem, Buleleng, Jembrana,
Lombok, Sumbawa)
17. Jawa Pusat, Jawa Timur serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa
Timur, Surabaya, Madura)
18. Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta)
19. Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten)
Didalam daerah-daerah tersebut terdapat perkumpulan masyarakt hukum adat yang
menjaga agar hukum adat tersebut tetap lesatari yang menurut Ter Haar, masyarakat hukum
adalah : "Kelompok-kelompok masyarakat yang tetap dan teratur dengan mempunyai
kekuasaan sendiri dan kekayaan sendiri baik berwujud atau tidak berwujud".[4]

C. PENGAKUAN HUKUM ADAT di INDONESIA
Setelah amandemen UUDNRI 1945, kedudukan hukum adat semakin diakui
keberadaannya, terbukti dalam Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan :
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang”.[5]
Berkaitan dengan pasal tersebut, Jimly Ashiddiqie menyatakan, perlu diperhatikan bahwa
pengakuan ini diberikan oleh Negara :

1).
2).

3).
4).
5).

6).

Kepada eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang
dimilikinya;

Eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Artinya
pengakuan diberikan kepada satu persatu dari kesatuan-kesatuan tersebut dan karenanya
masyarakat hukum adat itu haruslah bersifat tertentu;
Masyarakat hukum adat itu memang hidup (Masih hidup);
Dalam lingkungannya (lebensraum) yang tertentu pula;
Pengakuan dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran-ukuran kelayakan bagi
kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan keberadaan bangsa. Misalnya tradisitradisi tertentu yang memang tidak layak lagi dipertahankan tidak boleh dibiarkan tidak
mengikuti arus kemajuan peradaban hanya karena alasan sentimentil;
Pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna Indonesia sebagai suatu
negara yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam praktek ketatanegaraan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman tepatnya Pasal 28 juga menyatakan bahwa, seorang hakim harus
mempelajari serta memahami kebiasaan ataupun adat istiadat dimana hakim itu menjalankan
tuigasnya, jangan sampai pasal didalam undang-undang tertentu membuat rasa keadilan
menjadi ternoda karena bertentangan dengan suatu adat istiadat di sebuah daerah tertentu.
Selain itu dalam pengaturan pertanahan nasional juga menggunakan hukum adat
sebagai dasarnya, hal itu tercantum dipasal 5 dalam UU Nomor 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
D. PENERAPAN HUKUM ADAT dalam NKRI

Dari penjelasan di atas, sudah jelas bahwa hukum adat merupakan bagian tak
terpisahkan dari Indonesia. Sekarang dengan berbagai macam hukum adat di Indonesia, kita
tidak bisa mengkodifikasikan kesemuanya dalam sebuah kitab undang-undang karena
sifatnya yang fleksibel dan dinamis serta menyesuaikan dengan kejadian yang terjadi di
sekitarnya. Hal ini sangat berbeda dengan hukum barat yang sekarang ini masih terlihat
dalam peratura perundangan di Indonesia.
Menurut Soerojo, setidaknya terdapat tiga hal pokok yang menunjukkan perbedaan
antara sistem hukum barat dengan sistem hukum adat :
1. Pertama, sistem hukum barat mengenal pembedaan zakelijk rechten dan persoonlijk rechten,
sedangkan sistem hukum adat tidak mengenal pembedaan hak sebagaimana demikian. Hak
menurut sistem hukum adat ditentukan menurut konteks keadaannya.
2. Kedua, dalam system hukum adat tidak mengenal klasifikasi atau pembidangan hukum
seperti halnya dikotomi menurut Ulpianus yang dianut dalam sistem hukum barat yakni yang
membagi ruang hukum menjadi dua yaitu hukum publik dan hukum privat.
3. Ketiga, jika dalam sistem hukum barat dikenal pembedaan pelanggaran hukum menjadi
pelanggaran hukum pidana dan pelanggaran hukum perdata, maka dalam sistem hukum adat
tidak mengenal pembedaan pelanggaran hukum sebagai demikian. Pelanggaran hukum dalam
sistem hukum adat hanya satu, yakni yang disebut dengan delik adat.[6]
Dalam urusan pidana sudah dijelaskan dalam UU kehakiman pasal 28 bahwa hakim harus
mempelajari tentang hukum adat daerah setempat. Hal ini ditujukan agar ketika hakim memutuskan suatu

perkara, diharapkan keputusannya bisa menyentuh rasa keadilan yang ada dalam Komunitas Masyarakat
hukum Adat tersebut. Jadi, hakim tidak hanya terpaku pada aturan normatif saja, tapi juga menggunakan
aturan yang hidup dalam sosiologis masyarakat.
Dalam urusan administrasi Negara sebagai contoh adalah urusan tanah. UUPA (Undang-Undang
Pokok Agraria) memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hakhak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA.
Kebijaksanaan tersebut meliputi :

1. Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)
2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat
hukum adat (Pasal 2 dan 5).
3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Hak ulayat (Beschikkingrecht) sendiri adalah kewenangan, yang menurut hukum adat,
dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan
warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat

dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya.
Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah
turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah
yang bersangkutan. Yang artinya, bahwa NKRI mengakui keanekaragaman hukum adat. Dan
menghormati serta menghargai hukum-hukum tersebut selama dijaga kelestariannya.

BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
 Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai
sanksi (hukum) dan dipihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat). Hukum adat ini
sudah diakui keberadaannya, khususnya dalam Pasal 18 B (2) UUDNRI 1945.
 Hukum adat bersumber pada nilai-nilai keadilan dan nilai-nilai luhur.
 Pemuka adat adalah penegak hukum adat
 Terdapat 19 lingkungan hukum adat (rechtsringen)
 Hukum adat yang beraneka ragam dapat diterima didalam peraturan perundang-undangan,
salah satu bentuk penerimaan tersebut tercantum dalam Pasal 3 UUPA.
 Masyarakat hukum adalah Kelompok-kelompok masyarakat yang tetap dan teratur dengan
mempunyai kekuasaan sendiri dan kekayaan sendiri baik berwujud atau tidak berwujud.
B. SARAN
Pemerintah dan seluruh masyarakat hukum adat seyogyanya saling bahu-membahu
untuk mempertahankan dan melestarikan hukum adat. Karena hukum adat merupakan aturan
yang hidup dari nilai-nilai yang baik dan luhur, sehingga keberadaannya di Indonesia patut
diperjuangkan. Selain itu, hukum adat merupakan hukum yang sudah ada, dan merupakan
aturan asli yang berasal dari komunitas masyarakat hukum adat Indonesia, jadi hukum adat
adalah hukum asli Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
 Djaren Saragih, 1984, Pengantar Hukum Adat Indonesia Edisi II, TARSITO, Bandung.
 Rehngena Purba, 1999, Laporan Hasil Penelitian Sejarah Asal-Usul Desa Serta Masyarakat
Hukum Adat (Studi Kasus di Kabupaten Karo Rumah Kabanjahe Kec. Kabanjahe).
 Soerjo W, 1984, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, P.T. Gunung Agung. Jakarta.
 Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang : Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
 Wignjodipuro, Surojo, “Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,” Alumni, Bandung, 1979.
WEBSITE
 http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Adat_di_Indonesia
 http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia

 http://www.gunungmaskab.go.id/informasi/ucapan-dirgahayu-ke-8-kab-gunung-mas-daripemprov-kalteng.html

[1] Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang : Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
[2] Rehngena Purba, 1999, Laporan Hasil Penelitian Sejarah Asal-Usul Desa Serta
Masyarakat Hukum Adat (Studi Kasus di Kabupaten Karo Rumah Kabanjahe Kec.
Kabanjahe).

[3] Djaren Saragih, 1984, Pengantar Hukum Adat Indonesia Edisi II, TARSITO, Bandung,
hal 5-6
[4] Soerjo.W, 1984, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, PT Gunung Agung, hal 77
[5] Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 18 B ayat (2)

[6] Wignjodipuro, Surojo, “Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,” Alumni, Bandung,
1979. h. 75.