Perilaku Baik dan Buruk dalam Kehidupan

PERILAKU BAIK DAN BURUK
DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
Disusun Oleh:
Isnaini Nur Khasanah (201423085 – B3)
Indonesia adalah negara multikultur. Dimana masyarakatnya memiliki banyak
keberagaman. Baik ras, suku/etnis, dan agama. Keberagaman inilah yang mengharuskan kita
untuk memiliki nilai pluralisme, yaitu nilai yang mengakui perbedaan, menghargai
perbedaan, dan mampu hidup di tengah perbadaan. Nilai pluralisme ini dapat diwujudkan
dengan sikap toleransi, solidaritas inklusif (solidaritas lintas kelompok), dan mutual trust atau
sikap saling percaya. Namun pada kenyataannya tidak semua masyarakat memiliki sikapsikap tersebut. Berikut adalah contoh perilaku baik (Good Practice) dan perilaku buruk (Bad
Practice) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
1. Good Practice
a. Misa di Gereja Ditunda untuk Hormati Sholat Idul Adha.
“Jemaat Gereja Immanuel yang berlokasi di Jalan Merdeka Barat,
kawasan Alun-alun Kota Malang, Jawa Timur, menunda pelaksanaan misa
demi menghormati dan terlaksananya Salat Iduladha yang diselenggarakan
pada Minggu, 5 Oktober 2014.
Takmir Masjid Agung Jami' Kota Malang, Zainuddin, mengatakan
pihaknya sudah berkoordinasi dan mengomunikasikan akan adanya
pelaksanaan salat Iduladha dengan pengurus gereja Immanuel, sehingga misa
yang seharusnya digelar pada pagi hari ditunda sekitar pukul 09.30 WIB.”

Cuplikan berita diatas dapat kita masukkan dalam kategori Good
Practice dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena masyarakat
(Jemaat Gereja Immanuel Malang) bersedia menunda pelaksanaan Misa untuk
menghormati dan terlaksananya sholat Idul Adha.
b. Rasa Tolesansi di Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral
”Masjid Istiqlal Jakarta diprakarsai oleh Presiden Soekarno. Dan
arsiteknya adalah Fredrerich Silaban, seorang penganut Protestan yang terpilih
melalui sayembera perancangan bangunan Masjid Istiqlal. Atas kehendak
Soekarno pula, lokasi masjid ini dipilih berdampingan dengan Gereja Katedral
Jakarta untuk melambangkan semangat persaudaraan, persatuan dan toleransi
beragama sesuai Pancasila.
Gereja dan masjid yang hanya dipisahkan oleh Jalan Wijaya Kusuma
ini hidup serasi berdampingan. Contoh kecil toleransi keduanya yaitu saat
umat muslim merayakan hari raya Idul Fitri, halaman parkir di Gereja
Katedral sering kali dijadikan tempat parkir umat muslim yang ingin
melakukan salat hari raya di Masjid Istiqlal. Begitu pula sebaliknya, halaman
parkir Masjid Istiqlal digunakan oleh kaum nasrani yang ingin melakukan
ibadah di Gereja Katedral.”
1


Cupilikan artikel di atas juga merupakan contoh Good Practice dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena perbedaan agama tidak
menyebabkan permusuhan diantara Jamaah Masjid dan Jemaat Gereja.
Mereka saling berbagi jika salah satunya membutuhkan tempat parkir.
Toleransi yang seperti ini yang sudah seharusnya kita contoh. Semoga
keharmonisan antarumat beragama tidak hanya berlangsung antara Masjid
Istiqlal dan Gereja Katedral, tetapi juga di seluruh Indonesia dan semakin
terjaga ke depannya tanpa ada gangguan yang dapat merugikan keutuhan
bangsa.
2. Bad Practice
a. Konflik Sampit
“Konflik Sampit adalah pecahnya kerusuhan antar etnis di Indonesia,
berawal pada Februari 2001 dan berlangsung sepanjang tahun itu. Konflik ini
dimulai di kota Sampit, Kalimantan Tengah dan meluas ke seluruh provinsi,
termasuk ibu kota Palangka Raya. Konflik ini terjadi antara suku Dayak asli
dan warga migran Madura dari pulau Madura. Konflik tersebut pecah pada 18
Februari 2001 ketika dua warga Madura diserang oleh sejumlah warga Dayak.
Konflik Sampit mengakibatkan lebih dari 500 kematian, dengan lebih dari
100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal. Banyak warga Madura
yang juga ditemukan dipenggal kepalanya oleh suku Dayak.

Latar belakang terjadinya konflik ini dimulai dari tahun 2000, yaitu
pada saat transmigran membentuk 21% populasi Kalimantan Tengah. Suku
Dayak merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari warga
Madura yang semakin agresif. Hukum-hukum baru telah memungkinkan
warga Madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial di
provinsi ini seperti perkayuan, penambangan dan perkebunan.
Banyak sebab yang membuat mereka seakan melupakan asazi
manusia, baik sebab langsung maupun tidak langsung. Masyarakat Dayak di
Sampit seperti selalu "terdesak" dan selalu mengalah dan memang mereka
lebih suka memilih mengalah.
Dari kasus pelarangan menambang intan di atas "tanah adat" mereka
sendiri karena dituduh tidak memiliki izin penambangan, sampai kampung
mereka harus berkali-kali berpindah karena harus mengalah dari para
penebang kayu yang terus mendesak mereka makin ke dalam hutan.
Kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidakadilan hukum yang seakan
tidak mampu menjerat pelanggar hukum yang menempatkan masyarakat
Dayak menjadi korban kasus tersebut. Tidak sedikit kasus pembunuhan orang
dayak (sebagian besar disebabkan oleh aksi premanisme Dayak-Madura) yang
merugikan masyarakat Dayak karena tersangka (kebetulan orang Madura)
tidak bisa ditangkap oleh aparat yang "katanya" penegak hukum.Warga

Sampit dan Palangkaraya juga kesulitan mencari sembilan kebutuhan pokok
(sembako). Pasalnya, tak ada lagi pedagang eceran, karena semuanya
mengungsi.Akumulasi permasalahan itu menjadikan warga Dayak sakit hati.
Namun puncaknya yaitu semenjak terjadi peristiwa pembunuhan
terhadap beberapa warga Madura di komplek perumahan yang terletak di
sebelah utara pinggiran kota Sampit yang dilakukan oleh sekelompok orang
yang dibayar oleh dua provokator masing-masing pegawai PEMDA dan Dinas
Kehutanan Sampit. Peristiwa itu terjadi tengah malam minggu (Sabtu malam
17/2/2001) sekitar pukul 23.00 WIB disaat korban sedang tidur lelap.
2

Warga Madura yang berada di sekitar kejadian terkejut dan emosi
mereka terpancing karena merasa dalam keadaan bahaya dan sedang diaserang
oleh sekelompok suku Dayak, dan merekapun melakukan pembalasan hingga
trerjadilah bentrokan yang menelan belasan korban jiwa yang terjadi esok
harinya. Dengan peristiwa ini warga dayak tidak tinggal diam mereka
langsung menghadakan pembunuhan dan pembakaran terhadap rumah-rumah
warga Madura.”
Artikel di atas merupakan contoh Bad Practice dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Karena hilangnya sikap toleransi antar

masyarakatnya yang disebabkan oleh kecemburuan sosial masyarakat Dayak
atas kesuksesan masyarakat Madura sebagai pendatang yang lebih sukses dari
pada masyarakat asli Sampit.
b. Konflik Berdarah Lampung Selatan.
“Sebanyak 14 orang tewas dalam bentrok yang terjadi dalam kurun
waktu tiga hari antara warga Desa Agom, Kecamatan Kalianda dengan warga
Desa Balinuraga, Kecamatan Way Panji.
Perang antar warga itu pertama kali terjadi Sabtu, 27 Oktober 2012,
pukul 23.00 WIB. Berbagai senjata tajam, termasuk senjata api rakitan
digunakan untuk menyerang satu sama lain.
Bentrokan itu bermula ketika dua orang gadis asal Desa Agom yang
tengah mengendarai sepeda motor diganggu oleh pemuda asal Desa
Balinuraga hingga jatuh dan luka-luka.
Kepala Desa Agom dan Balinuraga sebetulnya telah mengadakan
perjanjian damai atas kejadian tersebut. Namun, keluarga kedua gadis tidak
terima. Mereka lantas mendatangi Desa Balinuraga untuk menemui pemuda
yang mengganggu itu.
Namun, saat tiba di Desa Balinuraga, keluarga dan beberapa warga
Desa Agom langsung diserang dengan senjata api. Akibatnya, satu orang
tewas tertembus timah panas.

Bentrokan kembali terjadi, Minggu 28 Oktober 2012 pukul 10.00 WIB.
Pada bentrok kali ini, jumlah korban lebih banyak. Enam orang tewas
mengenaskan akibat dihajar senjata tajam. Tak hanya menelan korban jiwa
yang lebih banyak, bentrok kali ini menghanguskan 6 rumah.”
Cuplikan artikel di atas merupakan contoh Bad Practice dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasalnya dua belah pihak bisa disebut
masih dalam satu wilayah, yaitu wilayah Lampung. Bahkan sudah ada upaya
untuk berdamai yang dicetuskan oleh Kepa masing-masing desa. Namun
sayang sikap toleransi masyarakatnya masih kurang, dan mudah terprovokasi
oleh pihak lain.

3