C. The Da Vinci Code
Sebuah Buku, Pesaing Harry Potter
Novel Da Vinci Code telah mengundang kontroversi sejak pertama kali diterbitkan pada 2003. Kisah Yesus Kristus yang
memiliki keturunan melalui Maria Magdalena, misalnya, mengundang protes dari umat Kristiani. Bahkan, salah seorang
kardinal dari Vatikan secara resmi mengeluarkan larangan kepada pengikutnya membaca novel karya Dan Brown ini.
Namun, larangan petinggi Vatikan itu tidak mampu mengerem laju popularitas Da Vinci Code.
Novel yang rencananya akan difilmkan ini telah terjual jutaan kopi dan diterjemahkan ke dalam 44 bahasa. I ndonesia adalah
salah satunya. Edisi I ndonesia diterbitkan oleh PT Serambi Ilmu Semesta pada Juli 2004. Cetakan pertama sebanyak 3.000 kopi
terjual habis dalam waktu dua minggu. Sekarang sudah cetakan ke-12 dan terjual sekitar 50 ribu. Untuk cetakan ke-13 sudah
disiapkan dengan 15 ribu kopi, kata Husni Syawie, salah satu anggota redaksi penerbit Serambi yang bertanggung jawab
untuk karya-karya fiksi.
Dengan perhitungan tersebut, tidak salah jika Serambi menempatkan Da Vinci Code pada urutan pertama daftar buku
terlaris mereka saat ini. Untuk ukuran I ndonesia, buku ini telah mengukir prestasi yang tidak biasa. Mungkin hanya Harry Potter
dan Jakarta Undercover yang bisa menyaingi angka penjualan seperti itu. Saya memperkirakan buku ini akan bertahan lama
dan menjadi long best-seller, kata Husni.
Setelah sukses dengan versi soft cover, baru-baru ini Serambi meluncurkan Da Vinci Code versi hard cover. Selain itu, Serambi
juga sedang mempersiapkan Da Vinci Code versi illustrated. Versi yang dipersiapkan ini akan dilengkapi dengan deskripsi berupa
gambar-gambar berwarna. Bukan komik, tetapi sekadar ilustrasi gambar di beberapa halaman, kata Husni.
Selama ini Serambi dikenal sebagai penerbit yang rajin menerbitkan buku-buku bernapaskan I slam. Husni mengakui hal
itu. Namun, akhir 2003, pihak manajemen sepakat merambah ke berbagai tema umum. Pada tahun yang sama, di Barat,
khususnya Amerika, penjualan Da Vinci Code membubung. Kontroversi yang melekat di novel itu justru menyedot perhatian
Serambi.
Tanpa menimbang lebih lama, Serambi memutuskan untuk menerbitkan Da Vinci Code dalam bahasa I ndonesia. Mereka
meminta lisensi kepada Tuttle Mori Agency, agen Da Vinci Code yang berkedudukan di Bangkok, Thailand. Ternyata saat itu
sudah ada beberapa penerbit I ndonesia yang memiliki tujuan sama. Namun, tidak sampai sebulan, Tuttle memberikan lisensi
kepada Serambi.
Husni hanya bisa meraba alasannya. Mungkin dari segi harga, katanya. Berapa harga yang ditawarkan Serambi? Husni tidak
bersedia menyebutkan dengan alasan tidak etis karena akan menyinggung penerbit lain yang sudah mengajukan penawaran
terlebih dahulu. Dia hanya menyebutkan royalty yang diberikan Serambi untuk penulis aslinya sebesar 7 persen.
Tidak takut mendapat protes umat Kristiani di I ndonesia? Husni menyadari kemungkinan itu, namun dia berharap hal ini tidak
terjadi. Menurut dia, apa yang dituliskan Dan Brown bukanlah isu baru. Pada tahun 1970-an, berbagai isu tentang teks-teks suci
yang tidak masuk ke dalam I njil sudah diungkapkan oleh banyak peneliti. Namun, karena hasil penelitian disampaikan secara
teknis akademis, hasil kerja peneliti itu kurang populer. Sedangkan Dan Brown memilih jalur fiksi untuk menyampaikan-
nya. Jadi, sebenarnya kami menyajikan buku dari suatu hasil pergumulan yang cukup panjang, kata Husni.
Sebagai penyeimbang, Serambi berencana menerbitkan buku lain yang masih berkaitan dengan Da Vinci Code. Buku ini merupakan
tanggapan atas karya Dan Brown yang kontroversial itu. Seiring dengan popularitas Da Vinci Code, ada sejumlah penulis yang
memberikan respons. Sekitar 40 judul sudah diterbitkan. Sebagian besar menyanggah isi Da Vinci Code.
Serambi sendiri tengah mempertimbangkan dua judul buku yang akan diterjemahkan, yaitu Secret of the Code karya Dan Burstein
dan Da Vinci Code Decoded karya Martin Lunn.
Suseno
Sum ber: Tem po edisi 4-10 April 2005
D. Namaku Merah Kirmizi