Uji Toksisitas Akut Ekstrak Aktif Buah Sirsak Ratu (Annona muricata) dan Sirsak Hutan (Annona glabra) sebagai Potensi Antikanker

UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK AKTIF BUAH SIRSAK
RATU (Annona muricata) DAN SIRSAK HUTAN (Annona
glabra) SEBAGAI POTENSI ANTIKANKER

ASTARI WENDARNINGTYAS

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

ABSTRAK
ASTARI WENDARNINGTYAS. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Aktif Buah Sirsak
Ratu (Annona muricata) dan Sirsak Hutan (Annona glabra) sebagai Potensi
Antikanker. Dibimbing oleh GUSTINI SYAHBIRIN dan NOVRIYANDI
HANIF.
Penelitian khasiat antikanker dari berbagai bagian tumbuhan sirsak telah
marak dilakukan, namun penelitian khasiat antikanker dari bagian buah masih
jarang dilakukan. Buah sirsak yang cukup banyak terdapat di Indonesia adalah
buah sirsak ratu (Annona. muricata) dan buah sirsak hutan (A. glabra). Penelitian

toksisitas dari buah sirsak ratu dan buah sirsak hutan dilakukan dengan dua
metode, yaitu metode uji letalitas larva udang (BSLT) dan metode lebih terkini
dengan menggunakan embrio ikan zebra (Danio rerio). Nilai LC50 terbaik dari
ekstrak buah sirsak ratu dan sirsak hutan diberikan oleh ekstrak etil asetat baik
dengan menggunakan metode BSLT maupun dengan embrio ikan zebra. Hasil
pengamatan embrio ikan zebra melaporkan bahwa ekstrak etil asetat sirsak ratu
merupakan ekstrak dengan daya sitotoksik tertinggi. Uji fitokimia dari ekstrak etil
asetat masing-masing buah menghasilkan uji positif pada golongan senyawa
alkaloid, tanin, dan flavonoid. Ekstrak etil asetat sirsak ratu menghasilkan 6 noda
dari hasil pemisahan dengan kromatografi lapis tipis dan ekstrak etil asetat sirsak
hutan menghasilkan 8 noda dengan cara yang sama.

ABSTRACT
ASTARI WENDARNINGTYAS. Acute Toxicity Test of Active Fruit Extract
from Soursop (Annona muricata) and Pond Apple (Annona glabra) as an
Anticancer Potential. Supervised by GUSTINI SYAHBIRIN and NOVRIYANDI
HANIF.
The anticancer potential studies of soursop plants have been studied well,
but the anticancer potential of soursoup fruits is still rarely studied. Soursop fruits
are common in Indonesia and widely distribute as soursop (Annona muricata) and

pond apple (A. glabra). Investigation toxicity of these fruits is carried out in two
methods, brine shrimp lethality test (BSLT) and more advanced zebra fish (Danio
rerio) test. The best LC50 from soursop and pond apple extract were given by the
ethyl acetate extract either by using BSLT or zebra fish toxicity assay. The
observation of zebra fish embryos showed that the ethyl acetate extract of soursop
is the most toxic extract. Phytochemical test of the ethyl acetate extracts gave a
positive result for alkaloid, tannin, and flavonoid type of compound. The ethyl
acetate extract of soursop resulted 6 spots and the ethyl acetate extract of pond
apple resulted 8 spots by employing silica gel thin layer chromatography (TLC)
and methanol-etyl acetate (3:7) as mobile phase.

Judul

Nama
NIM

: Uji Toksisitas Akut Ekstrak Aktif Buah Sirsak Ratu (Annona
muricata) dan Sirsak Hutan (Annona glabra) sebagai Potensi
Antikanker
: Astari Wendarningtyas

: G44070099

Disetujui

Pembimbing I

Pembimbing II

Dr Gustini Syahbirin, MS
NIP 19600819 198903 2 001

Novriyandi Hanif, DSc

Diketahui

Ketua Departemen Kimia

Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, MS
NIP 19501227 197603 2 002


Tanggal Lulus :

UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK AKTIF BUAH SIRSAK
RATU (Annona muricata) DAN SIRSAK HUTAN (Annona
glabra) SEBAGAI POTENSI ANTIKANKER

ASTARI WENDARNINGTYAS

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkat limpahan
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul
Uji Toksisitas Akut Ekstrak Aktif Buah Sirsak Ratu (Annona muricata) dan
Sirsak Hutan (Annona glabra) sebagai Potensi Antikanker. Shalawat serta salam
semoga selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah
membimbing umatnya hingga akhir zaman. Penelitian ini bertujuan menganalisis
potensi ekstrak kasar buah sirsak sebagai potensi antikanker. Penelitian
dilaksanakan sejak Maret sampai September 2011 di Laboratorium Kimia
Organik, Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
dan Laboratorium Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi,
Fakultas Kedokteran Hewan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Gustini Syahbirin,
MS dan Bapak Novriyandi Hanif, DSc selaku pembimbing yang senantiasa
memberikan arahan, dorongan semangat, dan doa kepada penulis selama
melaksanakan penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh
staf Laboratorium Kimia Organik, Bapak Budi Arifin, Kak Luthfan Irfana, Bapak
drh. Kusdiantoro Muhamad, MSi, dan Kak Steven Gunawan atas bantuan serta
masukan selama penelitian berlangsung. Terima kasih tak terhingga penulis
ucapkan kepada seluruh keluarga, Zulmy, Indah, Lilik, Ratna, Randi, Ria, dan
keluarga besar Kimia 44 atas doa, kasih sayang, motivasi, serta segala dukungan

yang telah kalian berikan.
Atas segala khilaf dan kekurangan, semoga dapat dibukakan pintu maaf
yang sebesar-besarnya. Penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak juga perkembangan ilmu pengetahuan.

September 2011

Astari Wendarningtyas

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 10 Maret 1989 dari pasangan
Alm. M. Daryono dan Alm. Naniek Anjarweniati. Penulis merupakan anak
keempat dari empat bersaudara. Pada tahun 2007 penulis berhasil menyelesaikan
studi di SMA Negeri 10 Tangerang dan pada tahun yang sama penulis lulus
seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima di Departemen Kimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif menjadi asisten praktikum
Kimia Dasar pada tahun ajaran 2009/2010 dan 2010/2011, asisten praktikum
Kimia Lingkungan pada tahun ajaran 2010/2011, dan asisten praktikum Kimia

Organik pada tahun ajaran 2010/2011. Penulis juga pernah aktif sebagai staf
Departemen Pengembangan Kimia dan Seni (PKS) Imasika IPB periode
2008/2009. Bulan Juli–Agustus 2010 penulis melaksanakan praktik lapangan di
Balai Besar Pascapanen dengan judul Validasi Metode PEU-Test dan Analisis
Derajat Pasteurisasi pada Jus Buah Rambutan.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vii
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan ............................................................................................ 2
Lingkup Kerja ............................................................................................. 2
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air dan Abu ...................................................................................... 4
Ekstraksi ...................................................................................................... 4
Uji Toksisitas Terhadap Larva Udang ........................................................ 5
Uji Toksisitas Terhadap Embrio Ikan Zebra ............................................... 6

Pengamatan Embrio Ikan Zebra .................................................................. 6
Uji Fitokimia ............................................................................................. 10
Penentuan Fraksi Ekstrak Teraktif ............................................................ 10
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan.................................................................................................... 11
Saran .......................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 11
LAMPIRAN .......................................................................................................... 14

vi

DAFTAR TABEL
1 Kadar air dan abu buah sirsak ............................................................................. 4
2 Rendemen buah sirsak......................................................................................... 5
3 Uji fitokimia ekstrak etil asetat buah sirsak ..................................................... 10
4 Nilai Rf ekstrak etil asetat buah sirsak .............................................................. 11

DAFTAR GAMBAR
1 Sirsak ratu (A. muricata). ................................................................................... 1
2 Sirsak hutan (A. glabra). .................................................................................... 1

3 Ikan zebra (Danio rerio)..................................................................................... 2
4 Nilai LC50 uji toksisitas terhadap A. salina. ....................................................... 5
5 Nilai LC50 uji toksisitas terhadap embrio ikan zebra. ........................................ 6
6 Embrio ikan zebra dengan penambahan ekstrak etil asetat sirsak ratu. ............. 7
7 Embrio ikan zebra dengan penambahan ekstrak etil asetat sirsak hutan. ........... 7
8 Profil kromatogram ekstrak etil asetat sirsak ratu dan sirsak hutan dengan
eluen metanol:etil asetat (3:7). ......................................................................... 11

DAFTAR LAMPIRAN
1 Diagram alir penelitian ...................................................................................... 15
2 Kadar air, kadar abu, dan rendemen buah sirsak .............................................. 16
3 Hasil uji toksisitas BSLT ekstrak etanol ........................................................... 17
4 Hasil uji toksisitas BSLT ekstrak etil asetat ...................................................... 18
5 Hasil uji toksisitas BSLT ekstrak air ................................................................. 19
6 Hasil uji toksisitas embrio ikan zebra ekstrak etanol ........................................ 20
7 Hasil uji toksisitas embrio ikan zebra ekstrak etil asetat................................... 21
8 Hasil uji toksisitas embrio ikan zebra ekstrak air.............................................. 22
9 Hasil pengamatan embrio ikan zebra dengan perlakuan ekstrak sirsak ratu ..... 23
10 Hasil pengamatan embrio ikan zebra dengan perlakuan ekstrak sirsak hutan 24
11 Nilai Fhitung pengamatan embrio ikan zebra .................................................... 25

12 Hasil uji Dunnet pengamatan embrio ikan zebra ............................................ 25

vii

PENDAHULUAN
Manfaat dan khasiat tanaman sirsak
sebagai antikanker yang sangat efektif telah
banyak
diteliti.
McLaughlin
(2008)
melaporkan
bahwa
tanaman
famili
Annonaceae
dapat
berfungsi
sebagai
antikanker, terutama karena kandungan

asetogenin. Kelebihan senyawa asetogenin
jika dibandingkan dengan obat kanker yang
telah beredar adalah senyawa asetogenin
secara spesifik menyerang sel kanker dan
tidak menyerang sel normal pada tubuh.
Golongan senyawa lain yang juga memiliki
potensi
antikanker
adalah
flavonoid
(Mustariani 2011).
Jenis tanaman famili Annonaceae yang
mengandung asetogenin antara lain Asimina
triloba
(paw
paw),
Goniothaelamuzs
giganteus, Annona squamosa Linn (serikaya),
A. muricata Linn (sirsak), A. bullata Rich.,
Asimina pariflora (Michx.) Dunal, A.
longifolia Kral., A. reticulata Linn, A. glabra
Linn, A. jahnii Saff., A. cherimolia Mill.
(cherimolia), Xylopia aromatica (Mart.) Lam.,
Rollinia mucosa (Jacq.) Baill. (biriba), dan R.
emarginata
Schlecht.
Jenis
tanaman
Annonaceae tersebut memiliki beberapa
khasiat bagi para penderita tumor dan kanker,
yaitu menurunkan kadar darah dari antigen
tumor,
memperkecil
ukuran
tumor,
menghambat
pembelahan
sel
kanker,
menambah bobot badan, meningkatkan
pergerakan tubuh, menambah energi, dan
meningkatkan lama waktu hidup (McLaughlin
2008).
Jenis sirsak yang banyak dikonsumsi oleh
masyarakat pada umumnya adalah A.
muricata atau yang biasa disebut dengan
sirsak ratu atau sirsak manis (Gambar 1). Pada
umumnya bagian tanaman yang telah diteliti
adalah daun, biji, dan akar. Wu et al. (1995a
dan 1995b), Zeng et al. (1996), dan Kim et al.
(1998) meneliti bagian daun, sementara Rieser
et al. (1996), Li et al. (2000), dan Chang &
Wu (2001) meneliti bagian biji. Gleye et al.
(1998 dan 2000) meneliti bagian akar. Bagian
buah belum diteliti lebih lanjut, sehingga perlu
dilakukan penelitian untuk menguji potensi
buah sirsak ratu sebagai antikanker.

Gambar 1 Sirsak ratu (A. muricata).
Sirsak
ratu
merupakan
tanaman
pekarangan yang produksi buahnya hanya 400
batang per desa (Trubus 2011), sehingga sulit
didapatkan dalam jumlah banyak. Salah satu
solusinya adalah dengan mendapatkan jenis
sirsak lainnya yang juga berkhasiat
antikanker. Cochrane et al. (2008) telah
menguji khasiat antikanker bagian-bagian
tanaman A. glabra pada sel leukemia. Biji,
daun, dan buah dilaporkan memiliki efek
antikanker, dan bagian biji paling tinggi
khasiatnya. A. glabra biasa dikenal dengan
nama sirsak gundul atau sirsak hutan (Gambar
2), dan banyak terdapat di daerah pulau Jawa
(Trubus 2011). Menurut masyarakat setempat,
sirsak hutan memiliki rasa yang masam dan
sering
menyebabkan
pusing
ketika
dikonsumsi.

Gambar 2 Sirsak hutan (A. glabra).
Daya sitotoksik dari buah sirsak sirsak ratu
dan sirsak hutan sebagai potensi antikanker
belum pernah dibandingkan sebelumnya. Oleh
karena itu, penelitian ini bertujuan
menganalisis dan membandingkan potensi
ekstrak kedua buah sirsak tersebut sebagai
antikanker. Uji potensi antikanker dilakukan
dengan menguji toksisitas buah tersebut.
Uji toksisitas suatu senyawa dapat
dilakukan dengan berbagai macam metode.
Penelitian ini menerapkan metode uji letalitas
larva udang (BSLT) dengan menggunakan
larva udang Artemia salina Leach sebagai
hewan uji serta metode uji toksisitas dengan
menggunakan embrio ikan zebra (Danio
rerio). Kedua metode dapat digunakan untuk
pencarian senyawa antikanker baru yang
berasal dari tanaman atau hewan laut. Hasil
uji toksisitas dengan kedua metode tersebut
telah terbukti memiliki korelasi dengan daya

sitotoksik senyawa antikanker. Selain itu,
metode ini juga mudah dikerjakan, murah,
cepat, dan cukup akurat (Colegate &
Molyneux 2008).
Ikan zebra (Gambar 3) merupakan hewan
uji yang mutagennya telah banyak digunakan
untuk mengidentifikasi perkembangan gen
vertebrata (Jagadeeswaran & Sheehan 1999).
Keuntungan penggunaan ikan zebra sebagai
hewan uji antara lain tingkat kesamaan yang
tinggi
dengan
mamalia
dalam
hal
pengembangan
mekanisme
fisiologi
molekular dan selular, pembuahan terjadi di
luar sehingga memungkinkan pengamatan
langsung dan manipulasi embrio, siklus
perkembangan cukup cepat, memiliki korelasi
sistem organ yang baik dengan vertebrata lain,
dan biaya pemeliharaan yang murah. Selain
itu, embrio ikan dan larva transparan sehingga
dapat dilakukan pengamatan organ dalam
secara langsung (tanpa operasi) dengan
menggunakan mikroskop cahaya, dan embrio
ikan bersifat permeabel terhadap molekulmolekul kecil dan obat-obatan sehingga
memungkinkan pengamatan distribusi obat
(Kari et al. 2007).

analitik, oven, penguap putar, pengering beku,
multiwell, shaker, dan mikroskop stereo.
Bahan-bahan yang digunakan selama
penelitian ini adalah buah sirsak hutan yang
berasal dari Laboratorium Agronomi IPB
Leuwikopo, buah sirsak ratu yang berasal dari
daerah Sukabumi, etanol 80%, etil asetat,
metanol, kloroform, diklorometana, aseton,
kloroform, n-heksana, dimetil sulfoksida
(DMSO), dietil eter, FeCl3 1%, NH4OH,
H2SO4, HCl pekat, amil alkohol, reagen
Wagner, Mayer, Dragendorf, LiebermannBuchard, serbuk Mg, natrium sulfat anhidrat,
pelat aluminium jenis silika gel G60F254 dari
Merck, larva A. salina Leach, dan embrio ikan
zebra.
Lingkup Kerja
Metode penelitian dilakukan mengikuti
diagram alir pada Lampiran 1. Tahapannya
meliputi penyiapan sampel buah sirsak,
penentuan kadar air dan abu, ekstraksi buah
sirsak, partisi ekstrak etanol buah sirsak,
pengujian toksisitas, dan pencirian senyawa
bioaktif.
Ekstraksi Buah Sirsak (Harborne 1987)

Gambar 3 Ikan zebra (Danio rerio).
Menurut Berghmans et al. (2005), ikan
zebra telah dikembangkan sebagai hewan uji
dalam penelitian terhadap penyakit manusia.
Akhir-akhir ini telah dikembangkan pengujian
toksisitas pada embrio ikan zebra terhadap
penemuan obat-obatan terbaru dari suatu
senyawa bahan alam, termasuk toksisitas akut
(LC50). Hasil uji toksisitas pada embrio ikan
zebra telah terbukti memiliki korelasi positif
dengan hasil uji toksisitas pada mamalia (Ma
et al. 2007). Pengujian senyawa antikanker
secara in vivo pada embrio dan ikan zebra
juga telah dilakukan oleh Berghmans et al.
(2005), Moore et al. (2006), Hsu et al. (2007),
dan Nicoli & Presta (2007).

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Alat-alat
yang
digunakan
selama
penelitian ini adalah alat kaca, corong pisah,
pipet mikro, bejana kromatografi, neraca

Buah sirsak dicuci kemudian dihilangkan
kulit dan bijinya. Sebanyak ±100 g sampel
buah dimaserasi dengan etanol 80% dengan
nisbah 1:3 selama 24 jam. Penggantian pelarut
dilakukan sampai hasil ekstraksi tidak
berwarna lagi. Ekstrak lalu dipekatkan dengan
penguap putar dan pengering beku. Ekstrak
pekat yang diperoleh ditimbang dan dihitung
rendemennya dengan persamaan sebagai
berikut:

Keterangan:
a = bobot ekstrak (g)
b = bobot contoh awal (g)
Penentuan Kadar Air (AOAC 1984)
Cawan porselen dikeringkan di dalam
oven bersuhu 105 °C selama 60 menit.
Selanjutnya cawan didinginkan dalam
eksikator selama 30 menit dan ditimbang
bobot kosongnya. Sebanyak 3 g sampel
dimasukkan ke dalam cawan dan dikeringkan
di dalam oven selama 24 jam pada suhu 105
°C. Setelah itu, cawan didinginkan dalam
eksikator sekitar 30 menit dan ditimbang
kembali. Pemanasan dilakukan sampai
diperoleh bobot konstan. Penentuan kadar air
dilakukan sebanyak 3 kali ulangan (triplo).

3

Kadar air (%) =

A B
 100%
A

Keterangan:
A = bobot bahan sebelum dikeringkan (g)
B = bobot bahan setelah dikeringkan (g)
Penentuan Kadar Abu (AOAC 1984)
Cawan porselen dikeringkan di dalam
oven bersuhu 105 °C selama 60 menit.
Selanjutnya cawan didinginkan dalam
eksikator selama 30 menit dan ditimbang
bobot kosongnya. Sebanyak 3 g sampel
dimasukkan ke dalam cawan dan dipijarkan
hingga sampel kering. Sampel lalu diabukan
di dalam tanur selama 60 menit pada suhu 700
°C. Setelah itu, cawan didinginkan dalam
eksikator sekitar 30 menit dan ditimbang
kembali. Penentuan kadar abu dilakukan
sebanyak 3 kali ulangan (triplo).

Keterangan:
A = bobot bahan sebelum diabukan (g)
B = bobot bahan setelah diabukan (g)
Partisi Ekstrak Etanol Buah Sirsak
Ekstrak etanol buah sirsak dilarutkan
dengan air sebanyak 200 mL dan dimasukkan
ke dalam corong pisah. Kemudian diekstraksi
menggunakan etil asetat dengan nisbah 1:2.
Penambahan etil asetat dilakukan secara
bertahap sampai fase organik tidak berwarna.
Fase organik dipisahkan dari fase air, lalu
dipekatkan dengan penguap putar dan
dikeringbekukan.
Uji Toksisitas Ekstrak Terhadap A. Salina
(Krishnaraju et al. 2005)
Penetasan Telur A. salina. Telur A.
salina yang sudah siap ditetaskan ditimbang
sebanyak 0.5 g kemudian dimasukkan ke
dalam wadah yang berisi air laut yang sudah
disaring dan diaerasi. Telur dibiarkan selama
48 jam di bawah pencahayaan lampu agar
menetas sempurna. Telur yang telah menetas
menjadi larva digunakan untuk uji toksisitas.
Uji Toksisitas terhadap A. salina.
Larutan stok ekstrak etanol, ekstrak etil asetat,
dan ekstrak air dibuat dalam konsentrasi 5000
ppm kemudian diencerkan hingga diperoleh
konsentrasi 100, 500, 1000, 1500, dan 2000
ppm. Apabila ekstrak tidak larut ditambahkan
DMSO. Ke dalam multiwell dimasukkan 400
μL air laut, 10 ekor larva udang dalam 600 μL
air laut, dan 1 mL ekstrak. Ulangan dilakukan

sebanyak 4 kali. Multiwell ditutup dengan
aluminium foil dan diinkubasi selama 24 jam.
Nilai konsentrasi letal 50% (LC50) ditentukan
dengan menggunakan kurva hubungan antara
konsentrasi ekstrak (sumbu x) dengan rerata
persen kematian larva udang (sumbu y).
Uji Toksisitas Ekstrak terhadap Embrio
Ikan Zebra (Heiden et al. 2007, Wei et al.
2010, dan Coelho et al. 2011)
Uji Toksisitas. Larutan stok ekstrak
etanol, ekstrak etil asetat, dan ekstrak air
dibuat dalam konsentrasi 5000 ppm kemudian
diencerkan hingga diperoleh konsentrasi 100,
500, 1000, 1500, dan 2000 ppm. DMSO
ditambahkan apabila ekstrak tidak larut.
Sebanyak 10 telur ikan zebra dalam 1 mL air
tawar dan 1 mL ekstrak dimasukkan ke dalam
multiwell. Ulangan dilakukan sebanyak 4 kali.
Multiwell ditutup dengan aluminium foil dan
diinkubasi selama 24 jam. LC50 ditentukan
dengan menggunakan kurva hubungan antara
konsentrasi ekstrak (sumbu x) dengan rerata
persen kematian embrio ikan zebra (sumbu y).
Pengamatan Embrio Ikan Zebra.
Embrio ikan zebra yang telah terpapar oleh
ekstrak aktif selama 24 jam diamati
morfologinya
dengan
menggunakan
mikroskop stereo.
Uji Fitokimia (Harborne 1987)
Alkaloid. Sebanyak 0.1 g ekstrak aktif
buah sirsak dilarutkan dalam 10 mL
kloroform lalu ditambahkan 4 tetes NH4OH
dan disaring. Filtrat yang diperoleh
ditambahkan 10 tetes H2SO4 2 M, kemudian
dikocok hingga terbentuk 2 lapisan. Lapisan
asam diteteskan pada lempeng tetes dan
ditambahkan pereaksi Dragendorf, Mayer, dan
Wagner. Uji positif jika berturut-turut
didapatkan endapan berwarna jingga, putih,
dan cokelat.
Saponin. Sebanyak 0.1 g ekstrak aktif
buah sirsak dilarutkan dalam 10 mL akuades
panas dan dididihkan selama 5 menit.
Campuran disaring dan dikocok kuat selama
10 menit hingga timbul busa. Apabila busa
stabil selama 10 menit, maka filtrat positif
mengandung saponin.
Steroid dan Triterpenoid. Sebanyak 0.1
g ekstrak aktif buah sirsak dilarutkan dalam
25 mL etanol panas (50 ⁰C), kemudian
disaring ke kaca arloji dan diuapkan sampai
kering. Residu dilarutkan dalam eter dan

ditambahkan 3 tetes pereaksi LiebermanBurchard. Uji positif triterpenoid ditandai
dengan terbentuknya warna merah atau ungu,
sedangkan uji positif steroid ditandai dengan
terbantuknya warna hijau atau biru.
Tanin. Sebanyak 0.1 g ekstrak aktif buah
sirsak dilarutkan dalam 10 mL akuades panas,
kemudian disaring. Filtrat ditambahkan FeCl3
1%. Warna hijau, biru, atau hitam
menunjukkan filtrat positif mengandung tanin.
Flavonoid. Sebanyak 0.1 g ekstrak aktif
buah sirsak dilarutkan dalam 10 mL akuades
panas, kemudian disaring. Sebanyak 5 mL
filtrat ditambahkan 0.05 g serbuk Mg, 1 mL
HCl pekat, dan 1 mL amil alkohol, kemudian
dikocok kuat. Adanya flavonoid ditunjukkan
dengan terbentuknya warna merah, jingga,
atau kuning pada lapisan amil alkohol.
Penentuan Fraksi Ekstrak
(Hounghton dan Raman 1998)

Teraktif

Digunakan pelat kromatografi lapis tipis
(KLT) aluminium jenis gel silika G60F254 dari
Merck. Ekstrak teraktif buah sirsak ditotolkan
pada pelat KLT. Setelah kering, langsung
dielusi dalam bejana kromatografi yang telah
dijenuhkan oleh uap eluen pengembang. Elusi
tahap
pertama
dilakukan
dengan
menggunakan eluen tunggal metanol, etanol,
etil asetat, aseton, diklorometana, kloroform,
dan n-heksana. Noda yang dihasilkan dari
proses elusi masing-masing eluen diamati di
bawah lampu UV pada panjang gelombang
254 nm. Eluen terbaik ialah yang
menghasilkan noda terbanyak dan terpisah
dengan baik. Jika lebih dari 1 eluen
menghasilkan noda terbanyak dan terpisah
baik, maka eluen-eluen tersebut dicampurkan
dengan nisbah tertentu hingga diperoleh
campuran eluen terbaik dengan pemisahan
noda yang terbaik.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air dan Kadar Abu
Penentuan kadar air dapat berguna untuk
mengetahui cara penyimpanan contoh agar
terhindar dari pengaruh aktivitas mikrob.
Menurut Winarno (1995), contoh dapat
disimpan dalam jangka waktu lama apabila
kadar airnya kurang dari 10%. Selain itu,
penentuan kadar air juga digunakan sebagai
faktor koreksi dalam perhitungan rendemen
ekstrak yang dihasilkan (Harborne 1987). Air
yang terkandung dalam buah sirsak

dihilangkan dengan pemanasan pada suhu 105
⁰C. Air yang terikat secara fisik dapat
dihilangkan dengan pemanasan pada suhu
100–105 ⁰C (Harjadi 1986). Kadar air yang
diperoleh dari buah sirsak ratu sebesar 80.49%
dan sirsak hutan 89.28% (Tabel 1). Kadar air
buah sirsak lebih dari 10% (Lampiran 2) dan
cukup tinggi sehingga waktu simpan sampel
cukup singkat dan harus dengan penanganan
tertentu, seperti suhu penyimpanan rendah dan
tempat
penyimpanan
yang
tidak
terkontaminasi oleh mikrob.
Tabel 1 Kadar air dan abu buah sirsak
Sirsak ratu

Kadar air
(%)
80.49

Kadar abu
(%)
0.67

Sirsak hutan

89.28

0.94

Bahan

Abu merupakan zat anorganik sisa
pembakaran suatu bahan organik, kadarnya
bergantung pada bahan yang diabukan dan
cara pengabuannya (Sudarmadji et al. 1996).
Penentuan kadar abu dapat dilakukan dengan
metode gravimetri. Prinsip metode ini adalah
pemijaran sampel pada suhu 600 ⁰C selama ±
60 menit dalam tanur (Harjadi 1986). Hasil
pemijaran adalah bobot mineral yang
terkandung dalam suatu bahan. Dalimartha
(2005) melaporkan batas maksimum kadar
abu tanaman herbal yang dapat dipakai
sebagai obat adalah 5%. Kadar abu buah
sirsak ratu sebesar 0.67% dan buah sirsak
hutan 0.94% (Tabel 1). Kadar abu kedua buah
sirsak tersebut berada di bawah nilai 5%,
sehingga aman untuk digunakan sebagai obat
(Lampiran 2).
Ekstraksi
Metode maserasi digunakan untuk
mengekstraksi sampel buah sirsak, karena
kandungan senyawa yang terdapat pada
sampel belum diketahui daya tahannya
terhadap panas. Pelarut yang digunakan
adalah etanol 80%. Harborne (1987)
menyatakan bahwa alkohol merupakan pelarut
serba guna yang sangat baik untuk ekstraksi
pendahuluan, karena dapat mengekstraksi
senyawa polar dan nonpolar dengan baik.
Etanol juga tidak memiliki sifat toksik,
sehingga aman untuk mengekstraksi bahan
alam yang akan digunakan sebagai obat. Wu
et al. (1995), Zeng et al. (1996), dan Kim et
al. (1998) juga menggunakan pelarut etanol
dalam penelitiannya terhadap sampel sirsak
ratu. Maserasi dilakukan hingga pelarut tidak
berwarna, dengan asumsi semua senyawa

5

Tabel 2 Rendemen buah sirsak
Bahan
Sirsak ratu
Sirsak hutan

Rendemen (% (b/b))
Ekstrak
Ekstrak
Ekstrak
etanol
etil asetat
air
7.60
0.09
1.45
5.06
0.19
0.38

Ekstrak etanol kemudian dipartisi cair-cair
dengan pelarut air-etil asetat. Partisi ini
bertujuan memisahkan komponen-komponen
semipolar dan nonpolar dengan komponen
polar. Colegate dan Molyneux (2008)
menyatakan ekstrak metanol atau etanol dari
sampel segar dapat dipartisi kembali dengan
etil asetat untuk memisahkan komponen
nonpolar dari fraksi air. Diharapkan
komponen aktif ekstrak buah sirsak terdapat
pada fase organik (etil asetat). Rendemen
fraksi etil asetat berdasarkan bobot basah
didapatkan sebesar 0.09% untuk ekstrak sirsak
ratu dan 0.19% untuk ekstrak sirsak hutan
(Tabel 2). Rendemen fraksi air berdasarkan
bobot basah didapatkan sebesar 1.45% untuk
ekstrak sirsak ratu dan 0.38% untuk ekstrak
sirsak hutan (Tabel 2). Fraksi etil asetat
berbentuk pasta berwarna cokelat tua dan
fraksi air berbentuk padatan berwarna cokelat
tua. Rendemen etil asetat ekstrak sirsak ratu
lebih kecil (Lampiran 2), maka kandungan
senyawa
semipolar
dan
nonpolarnya
diperkirakan lebih sedikit daripada ekstrak
sirsak hutan.
Uji Toksisitas Terhadap Larva Udang
Uji toksisitas dengan metode BSLT
digunakan untuk memantau senyawa bioaktif
yang baru dari bahan alam (Mukhtar et al.
2007). Hewan uji yang digunakan adalah A.
salina L. Metode ini merupakan uji
pendahuluan suatu komponen aktif dari
tanaman yang kemudian dapat didukung oleh
uji lanjutan terhadap senyawa aktif yang telah
diisolasi.
BSLT
dapat
meramalkan
sitotoksisitas dan aktivitas pestisida. Hasil uji
BSLT mempunyai korelasi yang positif
dengan toksisitas dan sitotoksisitas pada sel

leukemia dan sel tumor (Colegate dan
Molyneux 2008). Hasil uji yang didapatkan
adalah nilai LC50 yang apabila nilainya berada
di bawah 1000 ppm, maka ekstrak yang
diujikan memiliki sifat sitotoksik dan potensi
sebagai antikanker.
Gambar 4 menyajikan data nilai LC50
dengan metode BSLT. Hasil pengujian untuk
ekstrak etanol sirsak ratu memiliki nilai R2
sebesar 0.9931 dan LC50 sebesar 274.0497
ppm. Ekstrak etanol sirsak hutan memiliki
nilai R2 sebesar 0.9933 dan LC50 sebesar
309.2616 ppm (Lampiran 3). Ekstrak etil
asetat sirsak ratu memiliki nilai R2 sebesar
0.9921 dan LC50 sebesar 30.4470 ppm.
Ekstrak etil asetat sirsak hutan memiliki nilai
R2 sebesar 0.9931 dan LC50 sebesar 42.3488
ppm (Lampiran 4). Ekstrak air sirsak ratu
memiliki nilai R2 sebesar 0.9966 dan LC50
sebesar 143.0910 ppm. sedangkan ekstrak air
sirsak hutan memiliki nilai R2 sebesar 0.9983
dan LC50 sebesar 167.0250 ppm (Lampiran 5).

(ppm)

yang terdapat dalam sampel telah terekstraksi
dengan sempurna.
Hasil maserasi menghasilkan rendemen
berdasarkan bobot basah sebesar 7.60% untuk
ekstrak sirsak ratu dan 5.06% untuk ekstrak
sirsak hutan (Tabel 2). Didapatkan padatan
berwarna cokelat tua. Rendemen ekstrak
sirsak ratu lebih besar dibandingkan dengan
ekstrak sirsak hutan (Lampiran 2). Karena itu,
kandungan senyawa fitokimia pada ekstrak
sirsak ratu diperkirakan lebih besar jika
dibandingkan dengan ekstrak sirsak hutan.

350
300
250
200
150
100
50
0
ekstrak
etanol

ekstrak etil ekstrak air
asetat

sirsak ratu
Gambar 4

sirsak hutan

Nilai LC50 uji toksisitas terhadap
A. salina.

Berdasarkan AOAC (2002), nilai koefisien
korelasi (R2) yang baik adalah lebih besar atau
sama dengan 0.9900. Semua nilai LC50
ekstrak buah sirsak memiliki nilai R2 di atas
0.9900, yang menunjukkan hubungan linear
antara persen kematian dan konsentrasi
sampel. Meskipun uji toksisitas ini tidak
spesifik untuk antikanker, hasil uji senyawa
antikanker menunjukkan korelasi yang
signifikan terhadap kematian larva udang
(Mukhtar et al. 2007). Ekstrak buah sirsak
ratu dan sirsak hutan memiliki potensi
aktivitas yang tinggi (kurang dari 1000 ppm)
untuk diteliti dan dikembangkan dengan
menggunakan metode yang lebih spesifik
terhadap efek antikanker.
Dalam penelitian sebelumnya, Zeng et al.
(1996) melakukan uji toksisitas terhadap
ekstrak etanol daun sirsak ratu. Nilai LC50
yang didapatkan sebesar 30.5 ppm, lebih kecil
dibandingkan dengan nilai LC50 ekstrak etanol

6

Uji Toksisitas Terhadap Embrio Ikan
Zebra
Pengembangan embrio dan ikan zebra
sebagai hewan uji dalam pengujian penyakit
dan obat manusia dilatarbelakangi oleh
terbatasnya mamalia yang dapat digunakan
sebagai hewan uji. Embrio ikan zebra telah
berhasil dikembangkan sebagai model untuk
pengujian toksisitas akut suatu obat (Kari et
al. 2007). Pengujian toksisitas akut terhadap
embrio ikan zebra telah dilakukan oleh Wei et
al. (2010), dan Coelho et al. (2011). Heiden et
al. (2007) melakukan uji toksisitas pada
senyawa yang digunakan untuk medium obat
dalam tubuh manusia. Uji toksisitas tersebut
menghasilkan nilai LC50 yang dapat
mengindikasikan efek dari obat yang diujikan
terhadap mamalia (Kari et al. 2007).
Uji toksisitas dengan menggunakan
embrio ikan zebra merupakan uji lanjutan
terhadap ekstrak buah sirsak untuk melihat
potensinya sebagai antikanker. Embrio
diberikan perlakuan dengan penambahan
ekstrak pada rentang konsentrasi tertentu.
Setelah 24 jam, embrio ikan zebra akan
menetas dan berkembang menjadi larva (Ma
et al. 2007). Jika ekstrak yang diberikan
terhadap embrio bersifat toksik, maka
perkembangan
embrio
tersebut
akan
terhambat dan dapat menyebabkan kematian.
Gambar 5 menyajikan data nilai LC50
dengan menggunakan metode uji embrio ikan
zebra. Ekstrak etanol sirsak ratu menghasilkan
nilai R2 sebesar 0.9971 dan LC50 sebesar
295.1257 ppm. Ekstrak etanol sirsak hutan
menghasilkan nilai R2 sebesar 0.9932 dan
LC50 sebesar 325.1409 ppm (Lampiran 6).
Ekstrak etil asetat sirsak ratu memiliki nilai R2
sebesar 0.9959 dan LC50 sebesar 36.2806
ppm. Ekstrak etil asetat sirsak hutan memiliki
nilai R2 sebesar 0.9978 dan LC50 sebesar
43.8747 ppm (Lampiran 7). Ekstrak air sirsak
ratu memiliki nilai R2 sebesar 0.9981 dan LC50
sebesar 153.8617 ppm, sedangkan ekstrak air
sirsak hutan memiliki nilai R2 sebesar 0.9936
dan LC50 sebesar 177.3610 ppm (Lampiran 8).
Nilai koefisien korelasi yang dihasilkan dari

setiap ekstrak buah sirsak berada di atas nilai
0.9900, sehingga dapat dikatakan terdapat
hubungan yang linear antara persen kematian
dan konsentrasi sampel pada uji toksisitas
dengan embrio ikan zebra ini (AOAC 2002).

(ppm)

buah (274.0497 ppm). Karena itu, ekstrak
etanol daun sirsak memiliki daya sitotoksik
yang diprediksi lebih tinggi daripada ekstrak
etanol buah sirsak. Rieser et al. (1996) dan
Zeng et al. (1996) mendapatkan nilai LC50
untuk ekstrak kasar teraktif daun sirsak ratu
berada di bawah nilai 250 ppm. Jika
dibandingkan dengan nilai LC50 tersebut,
maka ekstrak etil asetat merupakan ekstrak
teraktif dengan nilai LC50 terendah.

350
300
250
200
150
100
50
0
ekstrak ekstrak etil ekstrak air
etanol
asetat
sirsak ratu

sirsak hutan

Gambar 5 Nilai LC50 uji toksisitas terhadap
embrio ikan zebra.
Ekstrak etil asetat dari kedua sampel buah
sirsak menghasilkan nilai LC50 yang paling
rendah. Hasil ini serupa dengan pengujian
menggunakan metode BSLT. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa ekstrak etil asetat dari
buah sirsak ratu dan sirsak hutan paling aktif
dan memiliki daya sitotoksik paling tinggi.
Bila dibandingkan dengan nilai LC50 dari
metode BSLT, nilai LC50 hasil uji toksisitas
terhadap embrio ikan zebra lebih besar. Hal
ini dikarenakan ikan zebra merupakan
organisme yang lebih kompleks dibandingkan
dengan A. salina, sehingga memiliki
ketahanan tubuh yang lebih baik terhadap
senyawa toksik yang diujikan.
Pengamatan Embrio Ikan Zebra
Embrio ikan zebra yang telah diamati
untuk penentuan nilai LC50 kemudian diamati
secara mikroskopik untuk mengetahui
pengaruh ekstrak aktif terhadap morfologi
embrio. Embrio ikan zebra secara in vivo
dapat mewakili kompleksitas fisiologis dan
morfologis yang terdapat pada organisme
dewasa. Oleh karena itu, embrio tersebut
memiliki potensi untuk menggambarkan
informasi organisme yang lengkap dalam
suatu uji toksisitas (Ma et al. 2007). Suatu
ekstrak dapat dikatakan memiliki potensi
antikanker apabila penambahan ekstrak
tersebut pada embrio ikan zebra memberikan
pengaruh
yang
signifikan
terhadap
pertumbuhan morfologi embrio (Coelho et al
2011).
Pengamatan embrio dilakukan dengan
mikroskop stereo. Foto objek dapat digunakan
untuk mengukur organ-organ embrio dengan

7

menggunakan skala preparat, setelah semua
embrio dari masing-masing konsentrasi uji
diamati. Organ-organ yang diamati antara lain
pigmentasi, panjang tubuh, diameter embrio
(jika embrio tidak menetas), kepala, mata,
jantung, kantung kuning telur, dan ekor.
Perlakuan dengan ekstrak etil asetat sirsak
ratu menghasilkan perbedaan morfologi
embrio yang cukup signifikan (Gambar 6).
Kontrol (0 ppm) menghasilkan perkembangan
embrio yang telah sempurna menjadi larva
(A). Organ-organ embrio tersebut telah
berkembang dengan sempurna dan terlihat
dengan jelas. Heiden et al. (2007) dan Wei et
al. (2010) melaporkan bahwa larva ikan zebra
yang normal akan memiliki sumbu tubuh yang
lurus. Larva kontrol memiliki sumbu tubuh
yang lurus, sehingga dapat dikatakan larva
kontrol
berkembang
dengan
normal.
Perkembangan sempurna larva kontrol juga
dapat ditunjukkan dengan pigmentasi yang
terjadi. Coelho et al. (2011) menyatakan jika
larva ikan zebra memiliki kelainan, maka
intensitas pigmennya akan berkurang. Jika

Gambar 6

Embrio ikan zebra dengan
penambahan ekstrak etil asetat
sirsak ratu.

dibandingkan dengan pigmentasi normal larva
ikan zebra pada penelitian tersebut, intensitas
pigmen pada kontrol memiliki kemiripan.
Organ jantung, kantung kuning telur, ekor,
dan kepala pada kontrol juga telah
berkembang dengan baik.
Perlakuan dengan konsentrasi 50 ppm (B)
menghasilkan embrio yang menetas menjadi
larva, namun tidak berkembang dengan
sempurna. Kerusakan terjadi pada sumbu
tubuh dan pigmentasi tidak terjadi. Bentuk
tubuh sedikit membungkuk pada bagian ekor.
Ukuran kantung kuning telur pada larva B
lebih besar jika dibandingkan dengan kontrol
(Lampiran 9). Kantung kuning telur
merupakan membran yang berfungsi untuk
menyediakan nutrisi bagi embrio. Pembesaran
kantung kuning telur merupakan salah satu
indikasi tidak terjadinya distribusi nutrisi yang
sempurna pada embrio. Hal tersebut akan
menyebabkan kekurangan nutrisi pada embrio
yang lambat laun akan menyebabkan
kematian (Bie 2001).

Gambar 7 Embrio ikan zebra dengan
penambahan ekstrak etil asetat
sirsak hutan.

8

Organ jantung dan mata tidak dapat teramati
dengan jelas. Keabnormalan yang terjadi pada
larva B merupakan indikasi bahwa ekstrak etil
asetat sirsak ratu sudah bersifat toksik pada
konsentrasi 50 ppm.
Perlakuan selanjutnya (C) merupakan
pemaparan ekstrak dengan konsentrasi 250
ppm. Embrio tidak menetas menjadi larva,
namun telah terjadi perkembangan embrio di
dalam telur. Perlakuan konsentrasi 500 ppm
(D), 750 ppm (E), dan 1000 ppm (F) membuat
embrio tidak menetas dan bahkan tidak terjadi
perkembangan di dalam telur. Embrio yang
berwarna gelap menunjukkan bahwa embrio
telah lama mati sebelum waktu pengamatan
(sebelum 24 jam). Hasill pengamatan ini
menunjukkan bahwa daya sitotoksik ekstrak
semakin
meningkat
dengan
semakin
meningkatnya konsentrasi.
Hasil pengamatan pada perlakuan ekstrak
sirsak hutan (Gambar 7) tidak menampakkan
perbedaan yang signifikan jika dibandingkan
dengan ekstrak sirsak ratu. Embrio kontrol (0
ppm) telah menetas dan berkembang dengan
sempurna (A). Pigmentasi dan perkembangan
organ-organ juga telah terjadi dengan baik.
Embrio dengan perlakuan konsentrasi 50
ppm (B) telah menetas menjadi larva. Namun,
terdapat beberapa abnormalitas pada larva B.
Intensitas pigmentasi tidak sebaik kontrol,
posisi kepala menekuk ke dalam, dan ukuran
kantung kuning telur lebih besar dibandingkan
dengan kontrol (Lampiran 10). Ini merupakan
indikasi bahwa pada konsentrasi 50 ppm, daya
sitotoksik ekstrak sirsak hutan telah
memengaruhi perkembangan embrio, tetapi
tidak sekuat ekstrak sirsak ratu. Hasil ini
berkorelasi dengan nilai LC50 yang dihasilkan,
nilai LC50 ekstrak etil asetat sirsak ratu
(36.2806 ppm) lebih kecil dibandingkan
dengan ekstrak sirsak hutan (43.8747 ppm).
Konsentrasi 250 ppm (C), memberikan
pengaruh yang lebih signifikan pada larva.
Larva C lebih pendek daripada kontrol
(Lampiran 10). Bentuk kepala juga lebih
merunduk dan intensitas pigmentasi lebih
sedikit dibandingkan dengan kontrol. Kantung
kuning telur mengalami kerusakan sehingga
dapat memengaruhi asupan nutrisi yang
dibutuhkan oleh larva. Larva D dengan
konsentrasi ekstrak 500 ppm mengalami
abnormalitas yang lebih buruk. Embrio D
telah menetas, namun tidak berkembang
dengan baik menjadi larva. Diperkirakan
setelah menetas, larva D langsung mengalami
kematian. Hal ini ditunjukkan dengan organ
tubuh yang belum berkembang dengan
sempurna dan warna larva yang gelap.

Pengamatan embrio E (750 ppm) dan F
(1000 ppm) menunjukkan daya sitotoksik
tertinggi pada ekstrak etil asetat sirsak hutan.
Embrio tidak menetas, namun mengalami
perkembangan di dalam telurnya. Pada embrio
E, perkembangannya lebih baik, ditandai
dengan morfologi embrio yang sudah
menyerupai larva. Hal ini sesuai dengan
konsentrasi ekstrak yang semakin meningkat,
maka daya sitotoksiknya pun akan semakin
meningkat.
Gambar 6 dan 7 cukup jelas menunjukkan
bahwa ekstrak etil asetat kedua buah sirsak
dapat menghambat pertumbuhan embrio ikan
zebra, maka diharapkan dapat memberikan
efek yang serupa terhadap pertumbuhan sel
kanker. Ekstrak etil asetat dapat menghambat
pertumbuhan morfologi embrio, merusak
organ mata, kantung kuning telur, dan
jantung, serta menghambat laju peredaran
darah embrio. Laju aliran darah pada embrio
mengalami perlambatan dengan semakin
besarnya konsentrasi ekstrak yang diberikan.
Hal tersebut menggambarkan bahwa ekstrak
etil asetat dapat menghambat laju aliran darah
pada sel kanker. Jika laju aliran darah dapat
dihambat, maka asupan nutrisi untuk sel akan
berkurang. Hal ini jika berlangsung lama
dapat mengakibatkan kematian pada sel. Efek
tersebut diharapkan dapat membunuh sel
kanker di dalam tubuh manusia. Namun, perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui kinerja spesifik antikanker dari
ekstrak etil asetat buah sirsak.
Analisis statistik yang digunakan untuk
menguji data pengamatan embrio ikan zebra
adalah uji Anova 1 arah dan uji lanjutan
Dunnet post hoc. Uji Anova 1 arah digunakan
untuk membandingkan rata-rata lebih dari 2
kelompok dan untuk menganalisis apakah
konsentrasi
ekstrak
yang
diberikan
memengaruhi morfologi embrio secara
signifikan. Hipotesis yang digunakan adalah
H0: konsentrasi tidak berpengaruh terhadap
morfologi embrio, dan H1: konsentrasi
berpengaruh terhadap morfologi embrio.
Pengambilan
putusan
didasarkan
perbandingan nilai Fhitung dengan Ftabel. Jika
Fhitung > Ftabel, maka H0 ditolak (Walpole
1993). Nilai Ftabel yang digunakan pada taraf
nyata 0.05 adalah 3.106.
Uji
Dunnet
digunakan
untuk
membandingkan perlakuan dengan kontrol.
Kontrol adalah perlakuan dengan konsentrasi
0 ppm. Taraf signifikansi yang digunakan
0.05. Hal ini berarti jika nilai signifikansi dari
pengukuran embrio (p) < 0.05, maka

9

perlakuan konsentrasi berbeda signifikan
dengan kontrol (Mattjik & Jaya 2006).
Semua
data
pengamatan
embrio
menghasilkan nilai Fhitung > Ftabel (Lampiran
11) sehingga H0 ditolak dan H1 diterima:
konsentrasi yang diberikan berpengaruh
terhadap morfologi embrio. Pigmentasi pada
ekstrak sirsak ratu tidak menghasilkan nilai
Fhitung, hal ini dikarenakan data pigmentasi
sudah berbeda nyata pada konsentrasi 50 ppm.
Hasil uji Dunnet untuk panjang tubuh
embrio (Lampiran 12) dengan ekstrak sirsak
ratu memberikan nilai p < 0.05 pada
konsentrasi 250 sampai 1000 ppm.
Konsentrasi 50 ppm menghasilkan nilai p >
0.05. Jadi, pada konsentrasi 50 ppm, panjang
tubuh embrio tidak berbeda signifikan dengan
kontrol, sedangkan pada konsentrasi 250–
1000 ppm panjang tubuh embrio berbeda
secara signifikan. Hasil uji Dunnet untuk
panjang tubuh embrio dengan ekstrak sirsak
hutan memberikan nilai p < 0.05 pada
konsentrasi 500–1000 ppm. Konsentrasi 50
dan 250 ppm menghasilkan nilai p di atas
0.05. Panjang tubuh embrio pada kedua
perlakuan tersebut tidak berbeda secara
signifikan dengan kontrol, sedangkan pada
konsentrasi 500 hingga 1000 ppm, panjang
tubuh embrio berbeda secara signifikan.
Perbandingan kedua hasil uji Dunnet tersebut
menggambarkan bahwa ekstrak sirsak ratu
memberikan pengaruh sitotoksik yang lebih
besar dibandingkan dengan ekstrak sirsak
hutan. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan
panjang tubuh embrio yang signifikan dimulai
pada konsentrasi 250 ppm.
Data pigmentasi (Lampiran 9) untuk
ekstrak sirsak ratu tidak menghasilkan nilai
signifikansi. Hal ini dikarenakan pada
konsentrasi 50 ppm, skor pigmentasi embrio
adalah 0. Sama halnya untuk konsentrasi
250–1000 ppm, skor pigmentasi adalah 0,
karena pada konsentrasi tersebut embrio tidak
menetas menjadi larva sehingga tidak dapat
diamati skor pigmentasinya. Ekstrak sirsak
hutan menghasilkan nilai signifikansi pada
konsentrasi 50 dan 250 ppm (Lampiran 12).
Nilai p < 0.05, sehingga dapat dikatakan
pigmentasi embrio pada kedua konsentrasi
tersebut berbeda signifikan dengan kontrol.
Pada konsentrasi 500–1000 ppm, tidak
terdapat nilai signifikansi. Hal ini dikarenakan
embrio tidak menetas menjadi larva. Data
pigmentasi ini juga menyimpulkan bahwa
ekstrak sirsak ratu memberikan efek sitotoksik
yang lebih tinggi dibandingkan dengan
ekstrak
sirsak
hutan,
karena
telah

menghambat perkembangan pigmen embrio
dari konsentrasi 50 ppm.
Uji Dunnet pada data jantung embrio
menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak sirsak
ratu memberikan nilai p < 0.05 untuk setiap
konsentrasi (Lampiran 12). Nilai yang sama
juga diperoleh untuk konsentrasi ekstrak
sirsak hutan. Hal ini berarti setiap konsentrasi
memberikan
efek
sitotoksik
yang
memengaruhi perkembangan jantung embrio.
Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan
kedua ekstrak buah sirsak memberikan daya
sitotoksik yang cukup besar terhadap embrio
ikan zebra.
Data kantung kuning telur (Lampiran 12)
untuk perlakuan ekstrak sirsak ratu
menghasilkan nilai p < 0.05 pada konsentrasi
250 hingga 1000 ppm. Konsentrasi 50 ppm
menghasilkan nilai p > 0.05. Sementara data
kantung kuning telur untuk perlakuan ekstrak
sirsak hutan menghasilkan nilai p > 0.05 pada
konsentrasi 50–500 ppm. Konsentrasi 750 dan
1000 ppm baru menghasilkan nilai p < 0.05.
Jika dibandingkan dengan ekstrak sirsak
hutan, ekstrak sirsak ratu juga memberikan
daya sitotoksik yang lebih tinggi terhadap
perkembangan kuning telur.
Pengukuran kepala embrio (Lampiran 12)
dengan perlakuan ekstrak sirsak ratu
menghasilkan nilai p < 0.05 untuk setiap
konsentrasi. Embrio ikan pada konsentrasi
250–1000 ppm tidak menetas menjadi larva
sehingga ukuran kepala tidak dapat dihitung.
Namun, pada konsentrasi 50 ppm embrio telah
menetas dan ukuran kepala berbeda signifikan
jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini
sekali lagi menggambarkan bahwa ekstrak
sirsak ratu telah memberikan efek sitotoksik
yang cukup besar dimulai dari konsentrasi
terendah. Pengukuran kepala embrio pada
perlakuan ekstrak sirsak hutan memberikan
nilai p < 0.05 hanya pada konsentrasi 250–
1000 ppm.
Ukuran mata embrio (Lampiran 12) pada
perlakuan ekstrak sirsak ratu juga memberikan
nilai p < 0.05 untuk semua konsentrasi. Mata
embrio pada konsentrasi 50 ppm sudah tidak
terlihat dengan jelas akibat kerusakan yang
disebabkan oleh ekstrak, sedangkan pada
konsentrasi 250–1000 ppm, embrio ikan tidak
menetas menjadi larva. Ukuran mata pada
embrio dengan perlakuan ekstrak sirsak hutan
memberikan nilai p < 0.05 hanya pada
konsentrasi 500–1000 ppm. Konsentrasi 50
dan 250 ppm menghasilkan nilai p > 0.05. Hal
ini menyatakan bahwa ekstrak sirsak hutan
baru memberikan efek sitotoksik terhadap

10

perkembangan mata embrio mulai konsentrasi
500 ppm.
Pengukuran ekor embrio (Lampiran 12)
pada perlakuan ekstrak sirsak ratu maupun
sirsak hutan memberikan nilai p < 0.05 pada
konsentrasi 250–1000 ppm. Konsentrasi 50
ppm memberikan nilai p > 0.05. Hal ini
dikarenakan pada konsentrasi 250–1000 ppm,
embrio tidak menetas menjadi larva. Hasil
pengukuran mata embrio menunjukkan bahwa
daya sitotoksik sirsak ratu lebih tinggi
daripada sirsak hutan, tetapi hasil pengamatan
ekor embrio memperlihatkan daya sitotoksik
yang sama untuk kedua ekstrak.
Perbandingan hasil pengamatan embrio
dari kedua ekstrak etil asetat buah sirsak
secara umum menunjukkan bahwa ekstrak etil
asetat sirsak ratu memberikan efek sitotoksik
yang lebih besar pada embrio dibandingkan
dengan ekstrak etil asetat sirsak hutan. Dapat
dikatakan bahwa daya sitotoksik yang terbesar
terdapat pada ekstrak etil asetat sirsak ratu.
Hasil
pengamatan
embrio
ini
juga
menunjukkan
bahwa
uji
toksisitas
menggunakan embrio ikan zebra lebih sensitif
jika dibandingkan dengan menggunakan
metode BSLT. Hal ini dikarenakan data
toksisitas pada metode embrio ikan zebra
dapat
ditunjang
dengan
pengamatan
mikroskopik bagian-bagian organ yang
terkena dampak sitotoksik. Selain itu, ikan
zebra memiliki organ-organ yang lebih
kompleks sehingga memiliki korelasi yang
lebih baik dengan organ hewan vertebrata
lainnya.
Uji Fitokimia
Pengujian fitokimia bertujuan mengetahui
kandungan metabolit sekunder yang terdapat
pada suatu tanaman. Uji fitokimia dilakukan
terhadap ekstrak teraktif, yaitu ekstrak etil
asetat. Uji yang dilakukan meliputi uji
alkaloid, saponin, triterpenoid, steroid, tanin,
dan flavonoid.
Hasil uji fitokimia terhadap ekstrak etil
asetat buah sirsak (Tabel 3) menunjukkan
bahwa ekstrak etil asetat kedua buah sirsak
mengandung golongan senyawa alkaloid,
tanin, dan flavonoid. Hasil uji negatif
ditunjukkan pada uji saponin, triterpenoid, dan
steroid. Hasil uji negatif mengindikasikan
bahwa ekstrak etil asetat buah sirsak tidak
mengandung golongan senyawa tersebut atau
kandungan fitokimia yang terdapat dalam
contoh sangat kecil.

Tabel 3

Uji fitokimia ekstrak etil asetat
buah sirsak

Uji fitokimia

Bahan
Sirsak
Sirsak
ratu
hutan

Keterangan

terdapat
endapan
Saponin
tidak berbusa
tidak
berwarna
Triterpenoid
merah/ungu
tidak
Steroid
berwarna
hijau/biru
Tanin
+
++
hijau
Flavonoid
+
++
kuning
Keterangan: (-): tidak terdeteksi; (+): terdeteksi.
Banyaknya (+) menunjukkan intensitas
warna atau endapan yang terbentuk.
Alkaloid

+++

+++

Alkaloid merupakan golongan senyawa
yang banyak terkandung pada ekstrak etil
asetat buah sirsak. Baik pada ekstrak sirsak
ratu maupun sirsak hutan, hasil uji fitokimia
untuk
golongan
senyawa
alkaloid
menghasilkan intensitas endapan yang cukup
banyak. Uji fitokimia golongan senyawa tanin
dan flavonoid pada sirsak hutan menghasilkan
intensitas warna yang lebih pekat jika
dibandingkan dengan sirsak ratu. Hal tersebut
mengindikasikan
pada
sirsak
hutan
mengandung lebih banyak golongan senyawa
tanin dan flavonoid dibandingkan dengan
sirsak ratu.
Hasil positif uji fitokimia menunjukkan
bahwa kemungkinan golongan senyawa yang
aktif sebagai antikanker pada buah sirsak
adalah alkaloid, tanin, dan flavonoid.
Mustariani (2011) melaporkan bahwa
senyawa golongan flavonoid yang berperan
sebagai antikanker dari daun sirsak adalah
kaempferol. Hasil uji fitokimia ini juga sesuai
dengan uji fitokimia yang dilakukan
McLaughlin (2008) terhadap Asimina triloba
(paw paw). Pada penelitian tersebut
ditemukan
golongan
senyawa
tanin,
flavonoid, dan alkaloid pada ekstrak A.
triloba.
Penentuan Fraksi Ekstrak Teraktif
Penentuan fraksi ekstrak teraktif dilakukan
dengan menggunakan metode KLT. Langkah
awal adalah penentuan pelarut terbaik. Pelarut
yang digunakan memiliki tingkat kepolaran
yang berbeda, antara lain metanol, etanol, etil
asetat, aseton, diklorometana, kloroform, dan
n-heksana. Pelarut yang dijadikan sebagai
penyusun
fase
gerak
adalah
yang
menghasilkan jumlah noda terbanyak dan
mem