Aplikasi herbisida dalam persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan produksi jagung (Zea mays L.)

APLIKASI HERBISIDA DALAM PERSIAPAN LAHAN
DAN FREKUENSI PENGENDALIAN GULMA TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI JAGUNG (Zea mays L.)

OLEH :
JIMMY ARISTON PANDIA
A24060081

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

APLIKASI HERBISIDA DALAM PERSIAPAN LAHAN
DAN FREKUENSI PENGENDALIAN GULMA TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI JAGUNG (Zea mays L.)

Skripsi sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor


OLEH
JIMMY ARISTON PANDIA
A24060081

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

LEMBAR PENGESAHAN
JUDUL

: APLIKASI HERBISIDA DALAM PERSIAPAN LAHAN DAN
FREKUENSI

PENGENDALIAN

GULMA

TERHADAP


PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI JAGUNG (Zea mays L.)
NAMA

: JIMMY ARISTON PANDIA

NRP

: A24060081

Menyetujui
Dosen Pembimbing

(Ir. H. Is Hidayat Utomo, MS)
NIP. 19500601 198003 1 001

Mengetahui
Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura
Fakultas Pertanian IPB


(Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr)
NIP : 19611101 198703 1 003

Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabanjahe pada tanggal 16 Agustus 1988. Penulis
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak W. Pandia dan
Ibu S. br Meliala.
Tahun 2000 penulis menyelesaikan pendidikannya di SDN 02 Payung,
Kabupaten Karo, Sumatra Utara. Pada tahun 2003 penulis lulus dari SLTPN 01
Batukarang, Kabupaten Karo. Tahun 2006 penulis lulus dari SMUN 01
Kabanjahe, Kabupaten Karo. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB)
sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian.
Selama menempuh pendidikannya di IPB, penulis menjadi staf anggota Himpunan
Mahasiswa Agronomi dan Hortikultura (HIMAGRON) pada tahun 2007/2008 dan
anggota Keluarga Mahasiswa Katolik (KEMAKI) pada tahun 2006-20009.

RINGKASAN

JIMMY ARISTON PANDIA. Aplikasi Herbisida dalam Persiapan Lahan
dan Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Pertumbuhan dan Produksi
Jagung (Zea mays L.). Dibimbing oleh IS HIDAYAT UTOMO.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh teknik persiapan
lahan dan frekuensi pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan produksi
jagung. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan IPB pada bulan
Februari hingga Juni 2010. Penelitian menggunakan rancangan petak terbagi (split
plot design) dengan perlakuan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor utama adalah
teknik persiapan lahan yang terdiri atas tiga taraf yaitu olah tanah sempurna
(OTS), tanpa olah tanah (TOT) + herbisida paraquat, TOT + herbisida glifosat.
Anak petak adalah frekuensi pengendalian gulma yang terdiri atas tiga taraf yaitu
tanpa penyiangan, disiangi dua kali pada 3 dan 6 MST, dan disiangi tiga kali pada
3, 6, 9 MST.
Hasil

penelitian

menunjukkan

perlakuan teknik


persiapan

lahan

mempengaruhi persentase penutupan gulma, berat kering gulma Axonopus
compressus pada 4 dan 6 MST, berat kering gulma Borreria alata pada 4 dan
6 MST, berat kering gulma Brachiaria mutica pada 4, 6, dan 8 MST, berat kering
gulma Euphorbia hirta pada 4 dan 6 MST, sedangkan berat kering gulma Cleome
rutidosperma tidak berbeda nyata. Secara umum, perlakuan TOT + glifosat
memberikan nilai berat kering gulma dominan yang paling rendah, sedangkan
untuk persentase penutupan gulma dan nilai Nisbah Jumlah Dominansi (NJD)
gulma dominan tertinggi terdapat di perlakuan TOT + paraquat.
Perlakuan teknik persiapan lahan tidak mempengaruhi hampir semua
peubah vegetatif dan generatif yang diamati pada tanaman jagung, kecuali jumlah
daun pada 6 dan 8 MST. Meskipun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata,
namun secara keseluruhan perlakuan TOT + glifosat memberikan pertumbuhan
dan produksi jagung yang lebih baik dibanding perlakuan OTS dan
TOT + paraquat.
Frekuensi pengendalian gulma memberikan pengaruh nyata terhadap

persentase penutupan gulma dan semua berat kering gulma dominan. Perlakuan
tanpa penyiangan secara nyata menghasilkan persentase penutupan gulma dan
berat kering gulma dominan paling tinggi. Namun tidak terdapat perbedaan nyata

vi

antara perlakuan penyiangan dua kali dengan penyiangan tiga kali terhadap
persentase penutupan gulma dan berat kering gulma dominan.
Perlakuan frekuensi pengendalian gulma mempengaruhi hampir semua
peubah pengamatan pada tanaman jagung kecuali jumlah daun pada 4 MST dan
bobot 100 butir. Perlakuan penyiangan dua kali dan penyiangan tiga kali
memberikan pertumbuhan dan produksi jagung yang lebih baik dibandingkan
dengan tanpa penyiangan. Namun baik penyiangan dua kali maupun penyiangan
tiga kali tidak menunjukkan perbedaan nyata dalam pertumbuhan dan produksi
jagung.

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Kuasa yang masih memberikan nikmat, rahmat, dan kekuatan sehingga penulisan
skripsi dengan judul “Aplikasi Herbisida dalam Persiapan Lahan dan Frekuensi

Pengendalian Gulma terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jagung (Zea mays L).”
dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1.

Ir. H. Is Hidayat Utomo, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan selama kegiatan penelitian hingga
penulisan skripsi.

2.

Ir. Adolf Pieter Lontoh, MS dan Dr. Ir. Ahmad Junaedi, MSi selaku dosen
penguji atas saran dan nasihat selama penulis menjalani ujian skripsi.

3.

Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS selaku pembimbing akademik yang selalu
memberi motivasi selama menempuh pendidikan di IPB.

4.


Ibu, ayah, dan adik atas doa, dukungan, dan semangat yang selalu diberikan
dalam menjalani hidup.

5.

Seluruh teman-teman Agronomi dan Hortikultura angkatan 43 yang ikhlas
membantu dan memberikan motivasi.

6.

Teman-teman di Wisma Sarajevo atas dorongan, perhatian, dan bantuan
yang diberikan.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak

yang memerlukan.

Bogor, Februari 2011

Penulis


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL……………………………………………………….

Halaman
ix

DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................

x

DAFTAR GAMBAR………………………………………....................

xii

PENDAHULUAN………………………………………………………
Latar Belakang……………………………………………………..
Tujuan………………………………………………………………
Hipotesis……………………………………………………………


1
1
3
3

TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………
Botani dan Ekologi Tanaman Jagung (Zea mays L.)………………
Teknik Persiapan Lahan……………………………………………
Herbisida Paraquat…………………………………………………
Herbisida Glifosat………………………………………………….
Pengendalian Gulma pada Budidaya Jagung……………………....

4
4
5
6
6
7


BAHAN DAN METODE……………………………………………….
Tempat dan Waktu…………………………………………………
Bahan dan Alat……………………………………………………..
Metode Penelitian…………………………………………………..
Pelaksanaan…………………………………………………………
Pengamatan…………………………………………………………

9
9
9
9
10
12

HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………
Kondisi Umum……………………………………………………..
Pengamatan pada Gulma……………………………………………
Pengamatan pada Tanaman Jagung…………………………………

14
14
15
31

KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………….
Kesimpulan…………………………………………………………
Saran………………………………………………………………..

39
39
39

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………

40

LAMPIRAN……………………………………………………………..

43

DAFTAR TABEL
Nomor
1.
2.
3.
4.
5.
6.

7.
8.

9.
10.

11.
12.

13.
14.
15.
16.

17.

Halaman
Pengaruh Teknik Persiapan Lahan terhadap Komposisi Gulma
Dominan………………………………………………………..
Pengaruh Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Komposisi
Gulma Dominan………………………………..........................
Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian
Gulma terhadap Persentase Penutupan Gulma…………………
Interaksi Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian
Gulma terhadap Persentase Penutupan Gulma…………………
Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian
Gulma terhadap Berat Kering Gulma Axonopus compressus….
Interaksi Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian
Gulma terhadap Berat Kering Gulma Axonopus compressus
pada 4 MST…………………………………………………….
Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian
Gulma terhadap Berat Kering Gulma Borreria alata…………..
Interaksi Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian
Gulma terhadap Berat Kering Gulma Borreria alata pada 4
dan 6 MST……………………………………………………...
Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian
Gulma terhadap Berat Kering Gulma Brachiaria mutica……...
Interaksi Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian
Gulma terhadap Berat Kering Gulma Brachiaria mutica pada
4 dan 8 MST……………………………………………………
Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian
Gulma terhadap Berat Kering Gulma Euphorbia hirta………...
Interaksi Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian
Gulma terhadap Berat Kering Gulma Euphorbia hirta pada 4
dan 6 MST……………………………………………………...
Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian
Gulma terhadap Berat Kering Gulma Cleome rutidosperma…..
Pengaruh Teknik Persiapan lahan dan Frekuensi Pengendalian
Gulma terhadap Tinggi Tanaman Jagung……………………...
Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian
Gulma terhadap Jumlah Daun Tanaman Jagung……………….
Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian
Gulma terhadap Umur Berbunga, Jumlah Tongkol dan Bobot
Brangkasan Tanaman Jagung…………………………………..
Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian
Gulma terhadap Bobot Basah Tongkol Berkelobot, Bobot
Kering Tongkol Berkelobot, Bobot 100 Biji, dan Potensi Hasil.

18
19
20
22
23

24
24

25
26

27
28

29
30
31
32

33

35

x

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1.

Data Iklim Selama Pelaksanan Penelitian……………………...

44

2.

Deskripsi Jagung Varietas BISI 2……………………................

44

3.

Koefisien Komunitas Antar Petak (%)…………………………

44

4.

Nilai Nisbah Jumlah Dominansi (%)…………………...............

45

5.

Rekapitulasi Analisis Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan
Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan
Interaksinya terhadap Persentase Penutupan Gulma dan Berat
Kering Gulma Dominan………………………………………..

46

Rekapitulasi Analisis Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan
Lahan (P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan
Interaksinya terhadap Komponen Vegetatif dan Generatif
Tanaman Jagung………………………………………………..

46

Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan
(P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya
terhadap Persentase Penutupan Gulma…………………………

47

Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan
(P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya
terhadap Berat Kering Gulma Axonopus compressus………….

47

Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan
(P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya
terhadap Berat Kering Gulma Borreria alata………………….

47

10. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan
(P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya
terhadap Berat Kering Gulma Brachiaria mutica……………...

47

11. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan
(P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya
terhadap Berat Kering Gulma Euphorbia hirta………………...

48

12. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan
(P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya
terhadap Berat Kering Gulma Cleome rutidosperma…………..

48

13. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan
(P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya
terhadap Tinggi Tanaman Jagung……………………………...

48

14. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan
(P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya
terhadap Jumlah DaunTanaman Jagung………………………..

48

6.

7.

8.

9.

xi
15. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan
(P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya
terhadap Umur Berbunga, Jumlah Tongkol, dan Bobot
Brangkasan Tanaman Jagung…………………………………..

49

16. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan
(P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya
terhadap Bobot Basah dan Bobot Kering Tongkol Berkelobot
Tanaman Jagung………………………………………………..

49

17. Kesimpulan Sidik Ragam Pengaruh Teknik Persiapan Lahan
(P), Frekuensi Pengendalian Gulma (G), dan Interaksinya
terhadap Bobot 100 Biji, dan Potensi Hasil Tanaman Jagung…

49

18. Perbandingan Biaya Produksi dan Pendapatan Hasil Jagung
pada Beberapa Teknik Persiapan Lahan per Hektar (dalam
Rupiah)…………………………………………………………

49

DAFTAR GAMBAR
Nomor
1.

Halaman
Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian
Gulma terhadap Komposisi Gulma Dominan………………….

16

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jagung merupakan salah satu komoditas pangan penting di Indonesia
setelah padi. Jagung memiliki peranan strategis dan bernilai ekonomis serta
mempunyai peluang untuk dikembangkan, mengingat komoditas ini mempunyai
fungsi yang multiguna, selain untuk pangan juga sebagai pakan ternak dan
industri. Dewasa ini penggunaan jagung untuk kebutuhan bahan baku industri
mulai berkembang, seperti pembuatan minyak jagung, tepung, pati, serta industri
kimia (etil alkohol aseton, asam laktat, asam sitrat dan gliserol) (Purwono dan
Hartono, 2005).
Produksi jagung Indonesia dari tahun ke tahun cenderung mengalami
peningkatan. Peningkatan produksi jagung nasional sejak tahun 2006 sampai 2008
menunjukkan kenaikan dari 11.61 menjadi 16.31 juta ton pipilan kering. Kenaikan
produksi terjadi karena bertambahnya luas panen dari 3.3. juta ha menjadi 4 juta
ha dan peningkatan produktivitas dari 3.47 menjadi 4.78 ton/ha (BPS, 2010).
Sementara itu, meskipun produksi jagung nasional cenderung meningkat, akan
tetapi peningkatannya relatif lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan
penggunaan jagung.
Penggunaan jagung untuk bahan pangan mencapai 50% dari total
kebutuhan, sedangkan untuk bahan baku industri pakan, makanan dan minuman
dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2000-2004) meningkat 10-15 % / tahun
(Suryana, 2006). Selain itu, saat ini jagung juga dikembangkan sebagai bahan
baku pembuatan bio etanol (Deptan, 2008). Kebutuhan jagung akan terus
meningkat

sejalan

dengan

pertambahan

jumlah

penduduk

dan

terus

berkembangnya industri pakan serta industri yang berbahan baku jagung.
Salah satu upaya pencapaian peningkatan kapasitas produksi jagung
nasional adalah dengan melakukan kegiatan budidaya yang efektif dan efisien.
Persiapan lahan merupakan tahap awal dalam budidaya dan sangat penting
diperhatikan dalam menunjang pertumbuhan tanaman. Persiapan lahan dilakukan
untuk menciptakan kondisi yang mendukung bagi perkecambahan benih dan
perkembangan akar tanaman serta mengurangi kompetisi terhadap gulma. Namun,

2
selain untuk mendukung pertumbuhan tanaman, kegiatan persiapan lahan juga
harus memperhatikan prinsip keberlanjutan ekonomi dan lingkungan.
Teknik persiapan lahan dalam praktiknya dikelompokkan ke dalam sistem
olah tanah sempurna (OTS), olah tanah minimum (OTM), tanpa olah tanah (TOT)
dan olah tanah bermulsa. Sistem olah tanah sempurna merupakan cara yang
umum diterapkan oleh petani dalam kegiatan persiapan lahan. Pengolahan tanah
sempurna dimaksudkan agar tanah lebih gembur sehingga aerasi meningkat dan
menghilangkan gulma di areal budidaya. Namun, pengolahan tanah yang intensif
akan menyebabkan degradasi lahan yang menyebabkan daya dukung dan
produktivitas lahan semakin menurun (Syam’um, 2002).
Sistem TOT merupakan bagian dari olah tanah konservasi (OTK) yang
dikombinasikan dengan herbisida pada dosis yang tepat untuk mengendalikan
gulma awal. Penerapan sistem TOT dengan herbisida bertujuan untuk menyiapkan
lahan agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik namun tetap
memperhatikan keseimbangan ekologi lingkungan, terutama air dan tanah. Hal ini
disebabkan sisa gulma yang mati sebelumnya dapat menjadi mulsa yang berfungsi
menambah bahan organik dalam tanah, menekan pertumbuhan kembali gulma
dan meningkatkan tersedianya air tanah serta mengurangi dampak buruk tetesan
air hujan (Moenandir, 2004).
Keberadaan gulma pada areal produksi pertanian dapat menimbulkan
kerugian hasil baik secara kuantitas maupun kualitas. Penurunan hasil tanaman
akibat keberadaan gulma disebabkan oleh adanya kompetisi antara gulma dan
tanaman dalam memperoleh hara, air, cahaya, dan ruang tumbuh serta berpotensi
menjadi inang bagi hama dan penyakit tanaman (Tjitrosoedirdjo, et al.,1984)
Pengendalian gulma dalam kegiatan produksi tanaman harus dilakukan
secara benar dan pada waktu yang tepat. Waktu dan frekuensi pengendalian gulma
yang tidak tepat akan mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi terganggu.
Menurut Utomo (1999), penyiangan yang tepat biasanya dilakukan sebelum akar
tanaman banyak mengambil hara dari tanah. Selain itu, pengetahuan terhadap
periode kritis suatu tanaman dapat membantu dalam menentukan saat yang tepat
dalam pengendalian gulma.

3
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
1.

Mengetahui pengaruh teknik persiapan lahan terhadap pertumbuhan dan
produksi jagung.

2.

Mengetahui pengaruh frekuensi pengendalian gulma secara manual terhadap
pertumbuhan dan produksi jagung.

3.

Mengetahui interaksi antara aplikasi herbisida dalam persiapan lahan dan
frekuensi pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan produksi jagung.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Terdapat pengaruh teknik persiapan lahan terhadap pertumbuhan dan
produksi jagung.
2. Terdapat pengaruh frekuensi pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan
produksi jagung.
3. Terdapat interaksi antara teknik persiapan lahan dengan frekuensi
pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan produksi jagung.

TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Ekologi Tanaman Jagung (Zea mays L.)
Tanaman jagung merupakan tanaman asli benua Amerika yang termasuk
dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays L. Taksonomi
tanaman jagung adalah sebagai berikut:
Kelas

: Monocotyledone (berkeping satu)

Ordo

: Graminae (rumput-rumputan)

Famili

: Graminaceae

Genus

: Zea

Spesies

: Zea mays L.

Tanaman jagung dapat tumbuh pada segala jenis tanah dengan sifat fisika
dan kimia tanah yang mendukung. Sifat fisika tanah berupa kondisi tanah yang
gembur, berdrainase dan aerasi yang baik, serta kaya bahan organik. Sifat kimia
tanah berupa kisaran pH yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman jagung yaitu
berkisar antara 5,5 - 7,0. Suhu optimum untuk pertumbuhan jagung adalah antara
23–27 0C , curah hujan 600-1000 mm/tahun dan ketinggian tempat antara
0-1.300 m di atas permukaan laut (Muhadjir, 1988).
Tanaman jagung termasuk tanaman berakar serabut yang terdiri atas akarakar seminal, akar adventif dan akar udara (brace) yang tumbuh dari ruas-ruas
permukaan tanah. Batang jagung terdiri dari beberapa ruas dan buku ruas,
berbentuk silinder, dan tidak bercabang. Pada buku ruas terdapat tunas yang akan
berkembang menjadi tongkol. Daun jagung memanjang dan muncul dari bukubuku batang. Setiap daun terdiri atas kelopak daun, ligula, dan helaian daun.
Ligula atau lidah daun terdapat diantara kelopak dan helaian daun yang berfungsi
untuk mencegah air masuk ke dalam kelopak daun dan batang.
Bunga jagung tergolong bunga tidak lengkap karena struktur bunganya
tidak memiliki petal dan sepal. Letak bunga jantan terpisah dengan bunga betina
namun masih dalam satu tanaman sehingga tanaman jagung termasuk tanaman
berumah satu (monoecious). Bunga jantan terdapat di ujung batang dan bunga
betina terdapat pada ketiak daun ke-6 atau ke-8 dari bunga jantan. Tanaman
jagung bersifat protandry, yaitu bunga jantan muncul 1-2 hari sebelum munculnya

5
rambut jagung (style) pada bunga betina. Oleh sebab itu, penyerbukan jagung
bersifat penyerbukan silang (Muhadjir, 1988).
Jagung tergolong tanaman C-4 dan mampu beradaptasi dengan baik pada
faktor pembatas pertumbuhan dan produksi. Sifat yang menguntungkan tanaman
jagung sebagai tanaman C-4 antara lain; daun mempunyai laju fotosintesis yang
relatif tinggi pada keadaan normal, fotorespirasi dan transpirasi rendah, serta
efisien dalam penggunaan air (Muhadjir, 1988).
Teknik Persiapan Lahan
Persiapan lahan bertujuan untuk mengkondisikan lahan budidaya agar
sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan tanaman dalam perkembangan akar dan
pertumbuhan tanaman. Selain menciptakan kondisi yang mendukung bagi
tanaman, kegiatan persiapan lahan juga harus memperhatikan keseimbangan
ekologi lingkungan terutama degradasi tanah dan ketersediaan air. Teknik
persiapan lahan dalam praktiknya dikelompokkan dalam olah tanah sempurna,
olah tanah minimum, tanpa olah tanah, dan olah tanah bermulsa. Olah tanah
sempurna yang umumnya menggunakan alat-alat sederhana hingga alat-alat berat
pada dasarnya bertujuan mengendalikan gulma dan untuk menggemburkan tanah
sehingga aerasi dan kapasitas infiltrasi tanah meningkat. Namun sistem olah tanah
sempurna dalam jangka panjang akan berdampak buruk yaitu terjadinya degradasi
tanah yang dapat memacu erosi, dan menurunnya kesuburan tanah (Utomo, 1999).
Olah tanah konservasi merupakan kegiatan persiapan lahan yang dapat
mengurangi kehilangan lapisan tanah dan air dibandingkan dengan olah tanah
konvensional (Moenandir, 2004). Budidaya tanaman tanpa olah tanah (TOT)
merupakan bagian dari teknologi olah tanah konservasi yang mengandalkan
herbisida dalam pengendalian gulma awal sebelum tanam. Menurut Utomo
(2002), dalam sistem budidaya tanpa olah tanah, tanah tidak diolah secara
mekanis kecuali pada lubang tanam dan alur pupuk. Sementara itu, gulma
dikendalikan dengan herbisida dan sisa-sisa gulma dari aplikasi herbisida tersebut
dibiarkan di atas permukaan tanah sebagai mulsa. Adanya mulsa alami akan
menambah

bahan

organik

dalam

tanah,

mencegah

pengurusan

tanah,

meningkatkan ketersediaan air, dan menekan pertumbuhan kembali gulma.

6
Menurut Moenandir (2004), sistem tanpa olah tanah dapat mengurangi erosi
hingga 90 % dibanding pengolahan tanah secara konvensional.
Keuntungan budidaya tanaman tanpa olah tanah selain konservasi tanah
dan air juga lebih efisien dalam penggunaan tenaga kerja, waktu, dan biaya.
Namun perlu diperhatikan herbisida yang digunakan dalam sistem TOT harus
pada dosis yang tepat dan ramah lingkungan, artinya herbisida yang mudah
terdekomposisi oleh mikroorganisme dalam tanah dan tidak merusak sumberdaya
lingkungan.
Herbisida Paraquat
Paraquat adalah nama umum dari bahan kimia 1,1-dimethyl-4,4bipyrilidium yang termasuk herbisida bersifat nonselektif (kontak) dan digunakan
untuk mengendalikan gulma semusim. Karakteristik dari paraquat adalah tidak
dapat diserap oleh bagian tanaman yang tidak hijau (batang dan akar) dan tidak
aktif di tanah. Ketidakaktifan tersebut disebabkan adanya reaksi antara dua
muatan ion positif pada paraquat dan ion negatif mineral liat sehingga molekul
positif paraquat terabsorbsi kuat dengan lapisan liat dan tidak aktif lagi (Ashton
dan Monaco, 1991).
Penetrasi paraquat terjadi melalui daun. Aplikasi paraquat akan lebih
efektif apabila ada sinar matahari karena reaksi keduanya akan menghasilkan
hidrogen peroksida yang merusak membran sel. Cara kerja paraquat yaitu
menghambat proses dalam fotosistem I, yaitu mengikat elektron bebas hasil
fotosistem dan mengubahnya menjadi elektron radikal bebas. Radikal bebas yang
terbentuk akan diikat oleh oksigen membentuk superoksida yang bersifat sangat
aktif. Superoksida tersebut mudah bereaksi dengan komponen asam lemak tak
jenuh dari membran sel, sehingga akan menyebabkan rusaknya membran sel dan
jaringan tanaman (Pusat Informasi Paraquat, 2006).
Herbisida Glifosat
Glifosat adalah nama umum dari N-(phosphonomethyl) glycine. Glifosat
merupakan herbisida sistemik yang mempunyai spektrum pengendalian yang luas
dan bersifat non-selektif (Ashton dan Monaco, 1991). Herbisida ini diaplikasikan

7
pada daun dan tidak aktif ketika diaplikasikan pada tanah. Hal ini karena glifosat
akan diikat dengan kuat dan cepat oleh partikel tanah dalam ikatan fosfat sehingga
tidak tersedia bagi akar gulma dan tumbuhan lainnya (Duke, 1988).
Glifosat

mudah

ditranslokasikan

dalam

jaringan

tanaman

dan

mempengaruhi pigmen sampai terjadi khlorotik, pertumbuhan terhenti dan
tanaman mati. Herbisida ini juga menghambat lintasan biosintetik asam amino
aromatik dan sangat efektif untuk mengendalikan gulma rumput tahunan, gulma
berdaun lebar, dan yang mempunyai perakaran dalam. Gejala awal pada
umumnya adalah daun mengalami klorosis yang diikuti oleh nekrosis (Ashton dan
Monaco, 1991).
Glifosat bekerja lebih baik jika diaplikasikan pada bagian gulma yang
telah tumbuh aktif dan telah sempurna pertumbuhan tajuknya. Glifosat tergolong
dalam herbisida organik yang mudah terdekomposisi oleh mikroorganisme tanah
seperti Pseudomonas aeroginasa dengan cepat sehingga tidak membahayakan
lingkungan.
Pengendalian Gulma Pada Budidaya Jagung
Gulma merupakan tumbuhan yang tumbuh bukan pada tempatnya, tidak
dikehendaki, dan bersifat merugikan (Sukman dan Yakup, 2002). Gulma yang
dibiarkan tumbuh pada tanaman budidaya akan bersaing dalam pemanfaatan unsur
hara, air, udara, cahaya, dan ruang tumbuh. Selain itu, beberapa gulma dapat
menjadi inang bagi hama dan penyakit. Menurut Bangun (1988), penurunan hasil
akibat adanya kompetisi tanaman jagung dengan gulma berkisar antara 16- 82%.
Oleh sebab itu, pengendalian gulma merupakan suatu keharusan pada budidaya
jagung.
Menurut Bangun (1988), spesies gulma yang sering ditemui pada
pertanaman

jagung

adalah:

Digitaria

ciliaris.

Paspalum

distichum,

Eleusine indica, Cynodon dactylon, Echinochloa colona, Ageratum conyzoides,
Borreria latifolia, Phylantus nituri, dan Cyperus rotundus. Pengendalian gulma
pada pertanaman jagung umumnya dilakukan secara manual atau penyiangan.
Selain pengendalian secara manual, pengendalian gulma pada tanaman jagung
juga dapat dilakukan secara kimia, secara mekanik, dan secara biologi.

8
Waktu pengendalian gulma pada tanaman jagung merupakan hal yang
penting untuk diperhatikan, terutama pengendalian gulma secara manual. Hal ini
disebabkan pengendalian gulma pada waktu yang tidak tepat dapat merusak
perakaran tanaman jagung, sehingga mengganggu penyerapan air dan unsur hara
oleh akar. Selain itu, periode kritis dapat menentukan saat yang tepat dalam
pengendalian gulma. Keberadaan gulma pada periode kritis akan berpengaruh
pada pertumbuhan dan hasil akhir tanaman budidaya yang diakibatkan tanaman
kalah bersaing dalam pemanfaatan sarana pertumbuhan, seperti unsur hara, air,
cahaya, dan ruang tumbuh.
Frekuensi pengendalian gulma juga sangat penting diperhatikan karena
berkaitan dengan biaya serta pertumbuhan dan hasil tanaman jagung. Tanpa
pengendalian gulma dapat menurunkan pertumbuhan dan produksi, sedangkan
frekuensi pengendalian gulma yang terlalu sering juga dapat mengganggu
pertumbuhan dan produksi tanaman jagung. Oleh sebab itu. pengendalian gulma
akan efektif dan efisien jika dilakukan pada waktu dan frekuensi yang tepat.

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan IPB Darmaga
pada ketinggian ± 250 meter di atas permukaan laut dan Laboratorium Ekofisiogi
Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB. Penelitian dimulai pada
bulan Februari sampai bulan Juli 2010 dengan curah hujan berkisar antara
158-343 mm/bulan (Lampiran 1).
Bahan dan alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : benih jagung varietas
Bisi 2 (Lampiran 2) sebanyak 15 kg/ha, herbisida paraquat 276 SL dengan dosis
3 L/ha, herbisida glifosat 480 AS dengan dosis 3 L/ha, Furadan 3G dengan dosis
20 kg/ha, dan Score 0.5 ml/l untuk pengendalian hama dan penyakit. Pupuk yang
digunakan adalah pupuk urea 200 kg/ha, KCl 100 kg/ha, dan SP18 200 kg/ha.
Alat yang digunakan adalah knapsnack sprayer untuk aplikasi herbisida,
kuadrat berukuran 0.5 m x 0.5 m, meteran, alat pemotong, gelas ukur, oven,
timbangan analitik, jangka sorong, kantong kertas, kantong plastik, dan alat-alat
budidaya pada umumnya.
Metode Penelitian
Penelitian disusun dalam Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design)
dengan perlakuan dua faktor. Faktor pertama sebagai petak utama merupakan
teknik persiapan lahan (P) yang terdiri atas tiga taraf:
P0

= Olah tanah sempurna

P1

= Tanpa olah tanah menggunakan herbisida paraquat 276 SL dosis 3 L/ha

P2

= Tanpa olah tanah menggunakan herbisida glifosat 480 AS dosis 3 L/ha
Faktor kedua merupakan anak petak yaitu frekuensi pengendalian gulma

(G) yang terdiri atas tiga taraf:
G0

= Tanpa penyiangan

G1

= Disiangi dua kali pada umur 3 dan 6 minggu setelah tanam (MST)

G2

= Disiangi tiga kali pada umur 3, 6, dan 9 MST

10
Setiap kombinasi perlakuan masing-masing diulang sebanyak tiga kali
sehingga terdapat 27 satuan percobaan. Ukuran petak satuan percobaan 5 m x 3 m
sehingga luasan efektif percobaan seluruhnya adalah 505 m2.
Model linear untuk rancangan ini adalah:
Yijk = µ + Ki + Pj + γij + Gk + (PG)jk + θijk
Keterangan:
Yijk

= Produksi jagung pada kelompok ke-i yang memperoleh perlakuan
taraf ke-j dari faktor P dan taraf ke-k dari faktor G

µ

= Nilai rata-rata penambahan produksi jagung

Ki

= Pengaruh aditif dari kelompok ke-i

Pj

= Pengaruh aditif taraf cara persiapan lahan ke-j

γij

= Pengaruh galat yang muncul pada taraf ke-j dari faktor P
kelompok ke-i (galat utama)

Gk

= Pengaruh aditif frekuensi pengendalian gulma ke-k

(PG)jk =Pengaruh interaksi taraf cara persiapan lahan ke-j dan taraf
frekuensi pengendalian gulma ke-k
Θijk

= Pengaruh galat percobaan pada kelompok ke-i yang memperoleh
perlakuan taraf cara persiapan lahan ke-j dan taraf frekuensi
pengendalian gulma ke-k (galat anak petak)

Hasil percobaan dianalisis dengan uji sidik ragam F taraf 5%. Jika
perlakuan berpengaruh nyata diuji lebih lanjut dengan Uji Wilayah Berganda
Duncan (DMRT).
Pelaksanaan
Persiapan Lahan
Dua minggu sebelum tanam, terlebih dahulu dilakukan analisis vegetasi
untuk mengetahui spesies gulma dominan pada areal percobaan. Analisis vegetasi
dilakukan dengan menggunakan kuadrat berukuran 0.5 m x 0.5 m pada setiap
petak percobaan.
Petak dengan perlakuan P0 diolah secara sempurna, yaitu lahan diolah
dengan menggunakan traktor tangan dan diratakan dengan cangkul pada 3 hari
sebelum tanam (HSbT). Pada petak P1, penyiapan lahan dilakukan dengan

11
aplikasi herbisida paraquat pada 4 HSbT, sedangkan petak dengan perlakuan P2
diaplikasikan dengan glifosat pada 8 HSbT. Aplikasi herbisida menggunakan
knapsnack sprayer pada volume 500 L/ha dan dilaksanakan pada pagi hari saat
cuaca tidak mendung dan tidak berawan.
Penanaman
Benih jagung yang telah diberi Rhidomil ditanam serempak dengan cara
ditugal sedalam kurang lebih 3 cm dan jarak tanam 75 cm x 40 cm sebanyak dua
benih tiap lubangnya lalu ditutup dengan tanah. Pemberian insektisida furadan 3G
dengan dosis 20 kg/ha diberikan bersamaan dengan benih. Penyulaman dilakukan
pada 1 MST, dan penjarangan dilakukan pada 2 MST dengan menyisakan dua
tanaman tiap lubang.
Pemupukan
Pemupukan dilakukan dua kali, yaitu pemupukan dasar yang dilakukan
bersamaan dengan tanam dan pemupukan susulan untuk pupuk urea pada 3 MST.
Pupuk yang digunakan adalah pupuk SP-18 sebanyak 200 kg/ha, KCl 100 kg/ha,
dan urea 200 kg/ha, khusus untuk pupuk urea diberikan dua kali, yaitu sepertiga
bagian (66.67 kg) pada saat pemupukan dasar dan sisanya (133.33 kg) diberikan
saat pemupukan susulan pada 3 MST. Pupuk diberikan dengan cara ditugal
dengan jarak 7-10 cm dari lubang tanam kemudian ditutup dengan tanah.
Pengendalian gulma sesuai dengan perlakuan. Penyiangan dilakukan
secara manual menggunakan alat bantu berupa kored atau cangkul. Penyemprotan
Score dilakukan jika telihat gejala serangan hama dan penyakit, seperti; hama
belalang, Spodoptera litura, dan penyakit hawar daun yang umumnya menyerang
tanaman jagung.
Pemanenan
Tanaman jagung dapat dipanen saat 95% daun dan kelobot menguning dan
kering serta adanya black layer pada pangkal biji.

12
Pengamatan
Peubah yang diamati pada jagung :
Pengamatan pada komponen vegetatif jagung dilakukan pada sepuluh
tanaman contoh per petak yang ditentukan secara acak dan bukan tanaman
pinggir, sedangkan pengamatan komponen generatif dilakukan secara ubinan
dengan luas 2 m x 2 m tiap petak.
Komponen vegetatif:
1. Tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah hingga ujung daun tertinggi
dilakukan pada 4, 6, dan 8 MST
2. Jumlah daun per tanaman, dihitung pada 4, 6, dan 8 MST
Komponen generatif:
3. Umur berbunga, umur tanaman 75% mengeluarkan tasel
4. Jumlah tongkol per tanaman
5. Hasil ubinan bobot basah dan bobot kering tongkol berkelobot yang
diambil dari hasil tiap petak panen bersih tanpa tanaman pinggir.
6. Bobot brangkasan, bobot biji pipilan kering hasil ubinan, bobot 100 biji,
dan potensi hasil.

Peubah yang diamati pada gulma:
1. Nisbah Jumlah Dominansi (NJD) atau Summed Dominance Ratio (SDR),
yang dilakukan pada 2 minggu sebelum tanam (MSbT), 4, 6, dan
8 MST.
2. Persentase penutupan gulma diamati secara visual pada 2 minggu sebelum
tanam, 4, dan 12 MST.
3. Bobot kering gulma dominan pada 2 minggu sebelum tanam, 4, 6, 8 MST,
dengan menggunakan metode kuadrat berukuran 0.5 m x 0.5 m. Contoh
gulma yang terdapat di dalam kuadrat dipotong sampai dengan permukaan
tanah dan dipisahkan berdasarkan spesiesnya kemudian dioven selama
24 jam dengan suhu 1050C dan ditimbang.

13
4. Koefisien komunitas gulma pada saat 2 MSbT yang diperoleh dari rumus
(Numata, 1982):
C=

2W

100 %

a+b
Keterangan:
C = Koefisien komunitas
W= Jumlah dari dua kuantitas terendah untuk jenis dari masing-masing
komunitas
a = Jumlah dari seluruh kuantitas pada komunitas pertama
b = Jumlah dari seluruh kuantitas pada komunitas kedua
Nilai C > 75 %, berarti dua komunitas dinyatakan homogen
Nilai C 75% dan dinyatakan heterogen
jika C < 75% (Numata, 1982). Pada petak percobaan diperoleh nilai koefisien
komunitas sebesar > 75% (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan lahan percobaan
memiliki komposisi gulma yang homogen.
Waktu aplikasi herbisida glifosat berbeda dengan waktu aplikasi herbisida
paraquat. Aplikasi herbisida glifosat dilakukan pada 8 hari sebelum tanam (HSbT)
dan herbisida paraquat 4 HSbT. Perbedaan waktu aplikasi kedua herbisida
tersebut didasarkan atas perbedaan sifat dan karakteristik kedua herbisida.
Herbisida glifosat bersifat sistemik dan herbisida paraquat bersifat kontak.
Sedangkan untuk olah tanah sempurna, lahan dibersihkan dengan traktor tangan
dan diratakan dengan cangkul pada tiga hari sebelum tanam.
Benih jagung yang sudah dicampur dengan Rhidomil ditanam dengan cara
ditugal. Benih jagung sudah mulai berkecambah pada 4-7 hari setelah tanam dan
mempunyai daya berkecambah sebesar 95%. Kegiatan penyulaman dilakukan
pada 1 MST dan penjarangan pada 2 MST dengan menyisakan dua tanaman per
lubang tanam. Hama yang menyerang tanaman selama percobaan adalah belalang
(Sexava spp.) dengan gejala daun rusak dan berlubang. Namun, hama belalang
tidak menyebabkan penurunan hasil yang berarti.
Pada saat tanaman berumur 11 MST terjadi kerebahan pada sebagian
tanaman yang disebabkan intensitas hujan yang tinggi disertai angin yang cukup
besar. Saat menjelang panen, terdapat serangan burung yang memakan biji jagung
yang sudah mulai masak.

15
Pengamatan pada Gulma
Nisbah Jumlah Dominansi (NJD)
Keberadaan gulma dalam areal pertanian dapat menimbulkan kerugian
hasil baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini disebabkan adanya kompetisi
antara gulma dengan tanaman budidaya dalam pemanfaatan sarana pertumbuhan
yang ada dalam keadaan terbatas secara bersamaan. Sarana tumbuh merupakan
faktor pendukung pertumbuhan suatu tanaman, yang meliputi; cahaya, air, hara,
dan ruang tumbuh.
Penguasaan sarana tumbuh dapat dilihat dari Nisbah Jumlah Dominansi
(NJD) gulma. Semakin besar nilai NJD gulma berarti semakin tinggi kemampuan
spesies gulma tersebut dalam penguasaan sarana tumbuh. Nilai NJD dapat
diperoleh dari kegiatan analisis vegetasi dengan mengamati jenis, kerapatan,
frekuensi, dan bobot kering gulma dalam suatu komunitas.
Adanya perlakuan teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian
gulma menyebabkan perubahan komposisi gulma, baik pada spesies maupun
jumlah gulma. Hasil analisis vegetasi awal pada 2 minggu sebelum tanam
(Lampiran 4)

menunjukkan ada 17 spesies gulma yang dikelompokkan atas

7 spesies golongan rumput, 9 spesies golongan daun lebar, 2 spesies golongan
teki. Pada saat 4 MST terdapat 18 spesies gulma yang terdiri atas 6 spesies
golongan rumput, 11 spesies gulma golongan daun lebar, dan 1 spesies teki.
Komposisi gulma pada 6 MST tidak berbeda dengan komposisi gulma
pada saat 4 MST, yaitu terdiri dari 18 spesies gulma dengan pengelompokan
6 spesies golongan rumput, 11 spesies golongan daun lebar, dan 1 spesies teki.
Pada 8 MST terjadi penurunan jumlah spesies gulma menjadi 17 spesies gulma
yang terdiri dari 6 spesies golongan rumput dan 11 spesies golongan berdaun
lebar. Penurunan spesies gulma tersebut dapat disebabkan karena adanya
perlakuan penyiangan gulma pada 6 MST, sehingga memungkinkan adanya
spesies gulma tercabut. Terdapat 5 spesies gulma yang dominan pada lahan
percobaan yang terdiri dari: Axonopus compressus, Brachiaria mutica, Borreria
alata, Cleome rutidosperma, dan Euphorbia hirta.

16
35
30
25
N J D (%)

A. compressus
20
B. mutica
15

B.alata

10

E. hirta
C. rutidosperma

5
0
2 MSbT

4 MST

6 MST

8 MST

Umur

Gambar 1.Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma
terhadap Komposisi Gulma Dominan
Gambar 1 menunjukkan adanya perubahan nilai NJD gulma dominan
setelah diberikan perlakuan teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian
gulma. Pada 4 MST, hampir seluruh gulma dominan mengalami penurunan nilai
NJD, kecuali Cleome rutidosperma yang mengalami kenaikan nilai NJD.
Penurunan nilai NJD gulma-gulma dominan selain persiapan lahan, lebih
disebabkan adanya perlakuan pengendalian gulma pada 3 MST. Hal ini dapat
dilihat dari analisis vegetasi pada 4 MST, dimana tidak adanya gulma yang
diperoleh pada perlakuan penyiangan dua kali maupun penyiangan tiga kali.
Pengamatan gulma pada 6 MST menunjukkan hampir semua gulma
dominan mengalami peningkatan nilai NJD, hanya gulma Cleome rutidosperma
yang mengalami penurunan nilai NJD. Brachiaria mutica memiliki NJD tertinggi
pada 6 MST. Pada 4 dan 6 MST, terdapat perbedaan antara gulma Cleome
rutidosperma dengan gulma dominan lainnya. Hal ini dapat terjadi karena Cleome
rutidosperma merupakan kelompok gulma daun lebar yang berbatang lunak yang
cepat tumbuh pada lahan yang baru diolah/ditanami, namun akan terdesak dengan
gulma yang berbatang keras baik dari rumput maupun daun lebar seiring
berjalannya waktu. Selain itu, kemampuan spesies gulma tertentu dalam menyerap
fosfor tersedia dalam tanah dapat memberi pengaruh terhadap serapan herbisida

17
oleh gulma. Spesies gulma yang menyerap fosfor lebih tinggi akan menyebabkan
herbisida yang diaplikasikan menjadi kurang efektif pada gulma tersebut.
Pada 8 MST, hampir semua gulma dominan mengalami penurunan nilai
NJD, hanya Borreria alata yang mengalami peningkatan nilai NJD. Meskipun
mengalami penurunan nilai NJD, namun Brachiaria mutica pada 8 MST lebih
dominan di petak percobaan dibanding gulma dominan lainnya. Hal ini
disebabkan Brachiaria mutica memiliki frekuensi mutlak dan kerapatan mutlak
yang lebih tinggi dibanding gulma lainnya.
Perubahan komposisi gulma dominan diakibatkan adanya perlakuan teknik
persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma dapat dilihat dari perubahan
nilai NJD gulma dominan (Gambar 1). Gulma Axonopus compressus yang
awalnya sangat dominan sebelum adanya perlakuan tergantikan oleh gulma
Brachiaria mutica setelah diberikan perlakuan. Gulma Axonopus compressus dan
Brachiaria mutica merupakan gulma golongan rumput yang mempunyai
perakaran dalam dan rhizome yang luas. Namun, gulma Brachiaria mutica lebih
mampu bertahan dalam keadaan terbuka maupun ternaungi. Hal ini berbeda
dengan gulma Axonopus compressus yang termasuk tanaman C-4 sehingga harus
membutuhkan cahaya matahari yang cukup dalam pertumbuhannya (Skerman dan
Riveros, 1989).
Muncul dan berkembangnya jenis-jenis gulma dominan pada lahan
pertanian, selain dipengaruhi oleh iklim, keadaan tanah, dan sifat biologi jenis
gulma, juga ditentukan oleh sistem persiapan lahan, pola tanam, dan cara
pengendalian. Selain itu, spesies gulma tertentu memiliki daya adaptasi yang
berbeda terhadap perubahan kondisi lingkungan yang mengakibatkan terjadinya
perubahan komposisi dominansi gulma dalam sebuah komunitas. Spesies gulma
yang memiliki daya adaptasi tinggi akan mampu tumbuh dan mendominasi
komunitas tersebut (Moenandir, 1993)
Pengaruh Teknik Persiapan Lahan
Perlakuan teknik persiapan lahan menyebabkan terjadinya perubahan
komposisi gulma dominan dan gulma lainnya. Pengaruh teknik persiapan lahan
terhadap dinamika populasi gulma tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

18
Tabel 1. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan terhadap Komposisi Gulma Dominan
Umur

Perl.
Bm
33.38
38.9
31.43

NJD (%)
Ba
32.47
26.93
26.89

Eh
5.18
7.49
4.28

Jumlah
Cr
10.63
6.04
9.46

Gulma
lain

90.72
91.03
80.35

9.28
8.97
19.65

4
MST

P0
P1
P2

Ac
9.06
11.67
8.29

6
MST

P0
P1
P2

9.81
16.35
14.61

33.68
45.09
37.00

29.74
18.32
21.86

12.66
14.34
12.01

2.98
1.62
2.47

88.87
95.73
87.96

11.13
4.27
12.04

8
MST

P0
P1
P2

18.23
21.09
23.57

24.80
29.99
26.41

27.20
24.13
20.68

9.84
11.27
6.19

6.95
1.47
3.41

87.03
87.95
80.27

12.97
12.05
19.73

Keterangan: NJD = Nisbah jumlah dominansi; MSbT = Minggu sebelum tanam; MST = Minggu
setelah tanam; P0 = Olah tanah sempurna; P1 = Tanpa olah tanah + paraquat; P2 =
Tanpa olah tanah + glifosat
Ac = Axonopus compressus; Bm = Brachiaria mutica; Ba = Borreria alata ; Eh =
Euphorbia hirta ; Cr = Cleome rutidosperma

Perlakuan olah tanah sempurna mampu menekan pertumbuhan gulma
Axonopus compressus yang awalnya mendominasi petak percobaan. Namun,
pengolahan tanah sempurna tidak mampu menekan pertumbuhan gulma Borreria
alata, dan cleome rutidosperma. Hal ini dapat disebabkan kedua gulma golongan
daun lebar tersebut berkembang biak dengan biji, sehingga pada saat pengolahan
tanah biji-biji gulma terangkat ke permukaan dan segera berkecambah.
Moenandir (1993) menjelaskan bahwa pengolahan tanah akan mendorong biji
berpindah tempat, yang menyebabkan keadaan dormansinya tertekan dan dapat
segera berkecambah.
Perlakuan TOT + paraquat memiliki NJD gulma dominan paling tinggi
dibanding dengan perlakuan lainnya (Tabel 1). Pada Tabel 1 juga terlihat
perlakuan TOT + herbisida paraquat tidak mampu dalam menekan pertumbuhan
kembali gulma dominan, khususnya Axonopus compressus dan Brachiaria mutica
yang keduanya berasal dari golongan rumput. Kurang efektifnya paraquat pada
beberapa spesies gulma dominan, khususnya gulma golongan rumput, disebabkan
herbisida yang bersifat kontak dan morfologi daun gulma. Tjitrosoedirdjo et. al.,
(1984) menyatakan bahwa herbisida kontak hanya mematikan bagian tanaman

19
yang terkena larutannya, sehingga bagian tanaman yang berada di bawah tanah
seperti akar atau akar rimpang tidak terpengaruhi dan pada waktunya dapat
tumbuh kembali. Sukman dan Yakup (2002) menambahkan bahwa herbisida
paraquat kurang efektif dalam mematikan gulma golongan rumput yang memiliki
akar rimpang atau stolon. Selain itu, butiran paraquat juga sulit menempel pada
daun yang berkedudukan tegak, sempit, dan berlilin.
Perlakuan TOT + glifosat cukup berhasil dalam menekan pertumbuhan
gulma dominan seperti Brachiaria mutica dan Borreria alata. Selain itu,
perlakuan TOT + glifosat memiliki NJD gulma dominan yang lebih rendah
dibanding dengan perlakuan lainnya (Tabel 1). Hal ini disebabkan herbisida
glifosat

bersifat sistemik yang memiliki spektrum luas artinya dapat

mengendalikan gulma annual, biannual, dan perennial dengan jenis gulma
rumput-rumputan, teki, dan daun lebar (Ashton dan Monaco, 1991).
Pengaruh Frekuensi Pengendalian Gulma
Komposisi gulma dominan dan gulma lainnya mengalami perubahan
dengan adanya perlakuan frekuensi pengendalian gulma. Dinamika komposisi
gulma dominan dan lainnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh Frekuensi Pengendalian Gulma terhadap Komposisi Gulma
Dominan
Umur

Perl.
Bm
36.90
0
0

NJD (%)
Ba
24.79
0
0

Eh
7.32
0
0

Cr
12.38

Jumlah

4
MST

G0
G1
G2

Ac
10.12
0
0

6
MST

G0
G1
G2

18.40
16.15
8.22

31.12
39.95
41.71

26.89
21.30
19.73

12.22
12.55
18.24

8
MST

G0
G1
G2

21.13
24.47
24.29

33.78
17.89
23.52

26.51
28.11
18.39

9.94
11.09
6.27

91.52
0
0

Gulma
lain
8.48
0
0

1.47
0.38
2.60

87.22
79.05
90.51

12.78
20.95
9.49

2.09
3.96
4.78

93.46
85.54
77.25

6.54
14.46
22.75

Keterangan: NJD = Nisbah jumlah dominansi; MSbT = Minggu sebelum tanam; MST = Minggu
setelah tanam; G0 = Tanpa pengendalian gulma; G1 = Pengendalian gulma 2 kali;
P2 = Pengendalian gulma 3 kali
Ac = Axonopus compressus; Bm = Brachiaria mutica; Ba = Borreria alata ; Eh =
Euphorbia hirta ; Cr = Cleome rutidosperma

20
Pada 4 MST, nilai NJD gulma dominan pada G1 dan G2 tidak ada, nilai
NJD hanya terdapat pada G0. Hal ini disebabkan perlakuan pengendalian gulma
yang dilakukan pada 3 MST, sehingga petak-petak percobaan yang disiangi belum
terdapat gulma yang tumbuh. Pada petak G0 (tanpa pengendalian gulma), nilai
NJD Brachiaria mutica lebih tinggi dibanding gulma dominan lainnya.
Pada 6 dan 8 MST hanya terdapat perubahan nilai NJD pada gulma-gulma
dominan. Meskipun adanya pengendalian gulma (perlakuan G1 dan G2) tetapi
tidak mengubah komposisi gulma Brachiaria mutica sebagai gulma yang lebih
dominan di areal percobaan, Hal ini dapat disebabkan karena pengendalian gulma
yang dilakukan secara manual, sehingga masih adanya sisa perakaran gulma yang
tersisa. Brachiaria mutica merupakan gulma golongan rumput yang memiliki
perakaran yang kuat dan menjalar. Selain itu, Brachiaria mutica mampu untuk
menghasilkan tunas dari setiap bukunya.
Persentase Penutupan Gulma
Persentase penutupan gulma dilakukan secara visual dengan tujuan untuk
mengetahui besarnya penutupan gulma pada suatu komunitas/areal percobaan.
Teknik persiapan lahan dan frekuensi pengendalian gulma mempengaruhi
persentase pengendalian gulma. Terdapat interaksi antara teknik persiapan lahan
dan frekuensi pengendalian gulma (Lampiran 5 dan Lampiran 7).
Tabel 3. Pengaruh Teknik Persiapan Lahan dan Frekuensi Pengendalian Gulma
terhadap Persentase Penutupan Gulma
Persentase Penutupan Gulma (%)
Perlakuan
Teknik Persiapan lahan
OTS (P0)
TOT + Paraquat (P1)
TOT + Glifosat (P2)
Frekuensi Pengendalian Gulma
Kontrol (G0)
Penyiangan 2 kali (G1)
Penyiangan 3 kali (G2)

4 MST

12 MST

13.67b
17.33a
14.78b

54.44
54.33
51.78

28.22p
9.56q
8.00q

77.56p
56.44q
24.56r

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan nyata pada taraf uji DMRT (5%)

21
Tabel 3 memperlihatkan bahwa pada pengamatan 4 MST, perlakuan
TOT + paraquat mempunyai persentase penutupan gulma paling tinggi. Meskipun
pada 12 MST, persentase penutupan gulma tidak berbeda nyata di setiap
perlakuan, namun terdapat kecenderungan perlakuan TOT + paraquat mempunyai
persentase penutupan gulma yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
perlakuan TOT + paraquat kurang efektif dalam mematikan seluruh bagian gulma
sehingga gulma yang tersisa pada waktunya dapat tumbuh kembali. Zubachtirodin
dan Amir (1998) menyatakan