Imunoparasitologi Atopi TINJAUAN PUSTAKA

Setelah sampai di jantung larva ini akan dipompakan ke paru-paru. Larva di dalam paru-paru ini mencapai alveoli dan tinggal selama 10 hari untuk berkembang lebih lanjut. Bila larva ini telah mencapai ukuran 1,5 mm, ia mulai bermigrasi ke saluran nafas atas, ke epiglotis dan kemudian ke esofagus, lambung akhirnya kembali ke usus halus dan menjadi dewasa yang berukuran 15 – 35 cm Sandjaja, 2007. Seekor cacing betina mampu menghasilkan 200.000 – 250.000 telur perhari. Telur yang telah dibuahi akan menjadi matang di tanah yang lembab dalam waktu ±3 minggu dan dapat hidup lama serta tahan terhadap pengaruh cuaca buruk. Keseluruhan siklus hidup ini berlangsung kurang lebih 2 – 3 bulan. Cacing dewasa ini akan tahan hidup di dalam rongga usus halus hospes selama 9 – 12 bulan Sandjaja, 2007. Gambar 4. Siklus hidup cacing Ascaris lumbricoides

2.2. Imunoparasitologi

Infeksi cacing dapat berjalan kronis akibat lemahnya pertahanan alamiah dan kemampuan mengelak dari pertahanan imun spesifik hospes definitif. Cacing- cacing tertentu berusaha untuk menghindar dari reaksi imunologik dengan 9 Universitas Sumatera Utara mengubah antigen permukaannya atau melapisi permukaannya dengan protein hospes definitif, misalnya dengan glikoprotein molekul MHC Major Histocompatibility Complex dan IgG sehingga dianggap sebagai self component Kresno, 2001. Cara lain adalah mengubah struktur parasit setiap kali menunjukkan determinan antigen yang baru atau cacing dapat mengubah susunan biokimiawi permukaannya sehingga mencegah aktivasi komplemen Hyde, 1990. Cacing dapat juga mengekspresikan ectoenzyme yang dapat merombak antibodi sehingga mencegah terjadinya Antibody Dependent Cell Cytotoxicity ADCC Tizard, 1995. Gambaran reaksi imun terhadap infeksi cacing adalah peningkatan eosinofil dan jumlah IgE. Rangsangan antigen spesifik untuk terbentuknya sel mastoid yang dilapisi IgE menyebabkan terjadinya eksudasi serum protein dengan konsentrasi antibodi protektif yang tinggi untuk semua kelas imunoglobulin dan dilepaskannya faktor kemotaktik eosinofil Roitt, 2002. Eliminasi infeksi cacing usus merupakan pendekatan yang khusus berupa gabungan reaksi seluler dan humoral untuk menghilangkan infeksi yang masuk Roitt, 2002. Pada parasit yang bertahan bertahun-tahun menghadapi reaksi imunologik, interaksi dengan antigen asing sering menyebabkan kerusakan jaringan. Reaksi hipersensitivitas lambat yang disebabkan adanya TNF- α yang memungkinkan telur meloloskan diri dari kapiler intestinal ke dalam lumen usus untuk meneruskan siklus hidup di luar pejamu Roitt, 2002.

2.3. Atopi

Istilah atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu “atopos” yang berarti “out of place ” atau “di luar dari tempatnya”, dan ditujukan pada penderita dengan penyakit yang diperantarai oleh Imunoglobulin E IgE MacKay Rosen, 2001. Atopi adalah predisposisi herediter terhadap alergi atau hipersensitivitas. Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca dan Cooke pada tahun 1923 sebagai istilah yang digunakan untuk sekelompok penyakit, di antaranya adalah asma, hay fever, urtikaria, yang terjadi secara spontan pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarga. Wise Sulzbergen pada tahun 1933 menggunakan kata dermatitis atopik untuk menggambarkan suatu kelompok 10 Universitas Sumatera Utara penyakit yang terjadi pada keadaan atopi yang dapat terjadi pada semua kelompok umur Paller and Mancini, 2006; Grammer, 1997. Etiologi atopi mencakup faktor genetik kompleks yang belum sepenuhnya dipahami Prescott Tang, 2005. Beberapa penelitian epidemiologi menyatakan adanya efek protektif agen infeksius tunggal atau multipel dan atau produk mikroba terhadap berkembangnya sensitisasi alergi atau penyakit alergi. Hal ini mencakup infeksi campak, malaria, infeksi saluran pencernaan seperti virus hepatitis A dan Helicobacter pylori, dan flora normal usus. Endotoksin lingkungan, produk mikroba lain di lingkungan dan kecacingan juga disebutkan memiliki efek protektif. Pola pemaparan terhadap faktor risiko dan faktor protektif di lingkungan akan menentukan prevalensi penyakit alergi dan atopi pada populasi Cooper, 2004. Kelainan atopi diperkirakan terjadi pada 10 – 30 populasi negara maju Terr, 2001. Prevalensi kelainan atopi juga dikatakan meningkat di negara industri Han et al, 2003. Menurut Terr Al 2001 terjadi peningkatan insiden kelainan atopi pada populasi di negara maju. Peningkatan ini dikaitkan dengan polusi udara dan terjadinya deviasi respons imun karena berkurangnya penyakit infeksi pada anak. “Hygiene hypothesis” menyatakan bahwa berkurangnya paparan mikroba pada usia dini terutama pada mukosa usus menyebabkan kecenderungan pergeseran profil respons sistem imun dari T helper tipe 1 Th-1 kepada dominasi T helper tipe 2 Th-2 yang lebih cenderung mencetuskan respons alergi Wolf, 2004. Immunoglobulin E IgE merupakan mediator kunci dari penyakit alergi O‟Brien, 2002. Pembentukan IgE dimulai pada masa awal kehidupan di mana sensitisasi sering dapat terdeteksi sebelum gejala klinis timbul. Setelah disekresikan oleh limfosit B, IgE mengikuti sirkulasi aliran darah hingga ia berikatan dengan permukaan membran sel mast dan basofil yang terdapat di permukaan epitel di seluruh tubuh, misalnya pada saluran nafas, saluran cerna dan kulit. Pada paparan ulang, alergen akan bereaksi dengan membran yang terikat dengan IgE spesifik tersebut dan mencetuskan pelepasan zat mediator inflamasi seperti: histamin, leukotrin, prostaglandin, dan protease, sehingga menimbulkan tanda dan gejala alergi Goodman, 1994. 11 Universitas Sumatera Utara

2.4. Hubungan Infeksi Cacing Terhadap Atopi

Dokumen yang terkait

Hubungan Infeksi Ascaris lumbricoides Terhadap Hasil Uji Tusuk Kulit (Skin Prick Test) dengan Alergen dari Cacing Ascaris pada Anak Sekolah Dasar Negeri 047/XI Koto Baru yang Memiliki Riwayat Atopi di Kecamatan Pesisir Bukit Kota Sungai Penuh Provinsi Jam

2 50 86

Hubungan Infeksi Cacing Ascaris Lumbricoides Dengan Indeks Massa Tubuh Pada Siswa Perempuan SD Salsabila Kecamatan Medan Marelan Kota Medan Tahun 2014

2 50 67

Hubungan Reaktivitas Uji Tusuk Kulit pada Anak Atopi dengan Jumlah Saudara Kandung

0 23 66

Hubungan Infeksi Ascaris lumbricoides dengan Status Gizi pada Siswa-Siswi SD Negeri No.101837 Suka Makmur, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011

1 55 52

Hubungan Infeksi Ascaris Lumbricoides (Askariasis)Dengan Kemampuan Kognitif Siswa SMU Di Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember.

0 24 52

Hubungan Infeksi Ascaris lumbricoides Terhadap Hasil Uji Tusuk Kulit (Skin Prick Test) dengan Alergen dari Cacing Ascaris pada Anak Sekolah Dasar Negeri 047/XI Koto Baru yang Memiliki Riwayat Atopi di Kecamatan Pesisir Bukit Kota Sungai Penuh Provinsi Jam

0 1 27

Hubungan Infeksi Ascaris lumbricoides Terhadap Hasil Uji Tusuk Kulit (Skin Prick Test) dengan Alergen dari Cacing Ascaris pada Anak Sekolah Dasar Negeri 047/XI Koto Baru yang Memiliki Riwayat Atopi di Kecamatan Pesisir Bukit Kota Sungai Penuh Provinsi Jam

0 0 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cacing Usus - Hubungan Infeksi Ascaris lumbricoides Terhadap Hasil Uji Tusuk Kulit (Skin Prick Test) dengan Alergen dari Cacing Ascaris pada Anak Sekolah Dasar Negeri 047/XI Koto Baru yang Memiliki Riwayat Atopi di Kecamatan P

0 0 8

Hubungan Infeksi Ascaris lumbricoides Terhadap Hasil Uji Tusuk Kulit (Skin Prick Test) dengan Alergen dari Cacing Ascaris pada Anak Sekolah Dasar Negeri 047/XI Koto Baru yang Memiliki Riwayat Atopi di Kecamatan Pesisir Bukit Kota Sungai Penuh Provinsi Jam

0 0 21

Hubungan Infeksi Cacing Ascaris Lumbricoides Dengan Indeks Massa Tubuh Pada Siswa Perempuan SD Salsabila Kecamatan Medan Marelan Kota Medan Tahun 2014

0 0 14