1
BAB SATU
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang dilahirkan dengan beragam bentuk, pemikiran, aliran dan gerakan, sejarah mencatat bahwa semenjak Islam hadir empat belas abad lalu, yaitu semenjak
wafatnya Rasullullah SAW telah lahir beragam gerakan aliran kepercayaan dalam Islam sebagai imbas pemikiran dan politik, secara umum terdapat tiga gerakan aliran kepercayaan
Islam yaitu Syi‘ah, Ahlussunnah dan Khowarij, munculnya gerakan-gerakan Islam tersebut tidak bisa dilepaskan dalam kontek sosio-historis yang memicu perkembangannya begitu pula
keberaagaman aliran kepercayaan yang muncul belakangan ini di belahan dunia Islam maupun di Indonesia khususnya
1
, perbedaan-perbedaan keyakinan dalam Islam adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dinafikan, hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW
―Ihtilaf Ummati Rohmah‖, keberagaman yang seharusnya menjadi sebuah rahmat dalam upaya untuk integritas ummat, nyatanya telah melahirkan beragam reaksi defensif maupun
ofensif dari beberapa kalangan umat Islam sendiri sehingga memunculkan konflik horisontal
atas nama agama.
1
Terdapat berbagai judul buku maupun penelitian-penelitian yang menguraikan secara mendalam terkait dengan gerakan-gerakan keagamaan yang muncul pada awal mula sejarah Islam maupun
gerakan yang muncul dan berkembang di Indonesia, beberapa literatur pendukung yang bisa menjadi rujukan diantaranya Adam, Muchtar 2003 Perbandingan Mazhab dalam Islam. Bandung: Penerbit
Babussalam, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Departemen Agama RI, 2009, Profil Faham dan Gerakan Keagamaan, Puslitbang Kehidupan Keagmaan Departemen Agama RI, 2011
Perkembangan Faham Gerakan Keagamaan Trans-nasional Di Indonesia, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Departemen Agama RI, 2010, Aliran-aliran Keagamaan Aktual di Indonesia, dalam
literatur Bahasa Arab seperi Al Milal Wa Nihal karya Saharastani, Khowarij wa Fikrul Mutajaddid, Al Mausu’ah Al Maisaroh Fil Adyan Wal Mazahib Wal Ahzan Al Mua’siroh
2 Konflik atas nama agama memang memiliki dimensi yang sangat kompleks, beberapa
hal pemicu konflik seperti perbedaan dalam menginterpretasikan dan menafsirkan ajaran- ajaran pokok agama, klaim kebenaran akan keyakinan kelompok tertentu diatas kelompok
lain, pemahaman Islam dengan pedekatan skriptual-tekstualis, seperti halnya dalam menginterpretasikan teks Al Quran dan Al Hadis dengan kecenderungan sebatas pada
pemahaman legal ordernya saja tanpa mengaitkan dengan realitas material kekinian, tentu akan melahirkan pemahaman dan pandangan keagamaan yang rigit, hitam-putih, Muslim
– kafir sesat, serta condong eksklusif ditambah karena adanya politik kepentingan dari
berbagai stake holder, baik kalangan pemerintah yang berkuasa maupun elit-lokal daerah dan para pemangku kepentingan lainnya membuat masalah menjadi kian rumit.
Fakta historis menunjukkan walaupun Islam Syi‘ah sudah terlahir semenjak empat
belas abad lalu, sampai kini-pun kehadiran dan eksistensi Syi‘ah di tengah umat Muslim
masih belum bisa sepenuhnya di terima, Indonesia yang dikenal memiliki kebhinekaan dalam suku, adat maupun agama, dan juga yang dikenal dengan populasi ummat Muslim terbesar di
dunia masih saja memiliki catatan hitam terkait dengan relasi sosial kelompok keagamaan, perkembangan gerakan
Syi‘ah di Indonesia
2
, tidak bisa dilepaskan dari warisan kultural maupun pengaruh politis pasca meletusnya revolusi Islam Iran tahun 1979, warisan kultural
3
nampak pada tradisi ritual keagamaan yang dilakukan oleh kaum sufi maupun kalangan Nahdyyin dengan kecenderungan pemikiran maupun ritual keagamaan yang serupa dengan
tradisi Syi‘ah seperti mistiko filosofis ala Al Hallaj, thariqoh-thariqah sufistik , tradisi
2
Sebagaimana dalam catatan Kang Jalal ―Dikotomi Sunnah-Syi’ah tidak Relevan Lagi‖, terdapat tiga gelombang bagaimana
Syi‘ah masuk dan berkembang di Indonesia Gelombang pertama Syi‘ah masih bercorakkan kultural, gelombang kedua
Syi‘ah Bercorakkan Ideologis dengan adanya pengaruh revolusi Islam Iran dan pemikiran-pemikiran progresif yang tercetus dari ideolog seperti
Ali Syariati maupun wacana keilmuan filsafat yang lahir dari Qum, gelombang ketiga Syi‘ah yang
bercorakkan Fikih pada level inilah sudah mulai terlihat pergesekan antara ahlussunah dengan Syi‘ah
3
Secara lebih rinci Azra menjelaskan eksistensi Syi‘ah dalam sudut pandang historis dan budaya,
lihat Azyumardi Azra ―Syi’ah di Indonesia : Antara Mitos dan Realitas‖, dalam ―Islam Reformis ; Dinamika Intelektual dan Gerakan” 1999 makalah disadur dari Jurnal Ulumul Qur‘an, No.4, Vol. VI,
1995. Rajawali Pers
3 upacara Tabot dari Sumatra, ritual metoni, empat puluh hari, syair-syair keagamaan dengan
pujian terhadap Ahlul Bait Nabi seperti dalam nasyid ―Li Khomsatun‖
4
dan beragam tradisi keagamaan lainnya, karenanya dalam kultur seperti inilah maka wajar dimengerti kalau
seandainya Sunni adalah Syi‘ah minus Imamah atau dalam bahasa lain Syi‘ah kultural
demikian tanggapan dari Gusdur. Disamping warisan kultural, tranmisi gerakan
Syi‘ah juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh revolusi Islam Iran, gerakan revolusioner yang berbasis pada agama ini telah
membuat banyak orang dari berbagai kalangan keilmuan, akademisi, praktisi maupun negarawan simpatik akan sepak terjang Iran di tengah dunia global. Tradisi kelimuan dan
prinsip fundamental akidah yang kuat,
5
telah melahirkan beragam tokoh pemikir, filosof maupun ideolog yang mampu menghadirkan wacana dan perubahan nyata dalam masyarakat
faktor geografis dan sosio-historis menjadi bukti otentik bahwa di bumi Persia inilah telah tersemayam warisan kelimuan yang kuat dan mendalam, hal ini terbukti dengan keberadaan
kota Qum sebagai pusat kajian keilmuan disamping Mesir dengan Al Azhar, atau Hauzah Najaf Irak
6
, maka wajar kalau kemudian hingga kini tranmisi Syi‘ah mudah tersebar ke
belahan wilayah dunia dengan kekhususannya tersendiri.
4
Li Khomsatun adalah sebuah syair yang menyanjung Ahlul Bait keluarga Nabi sebagaimana yang diyakini oleh mazhab
Syi‘ah, berbeda dengan penafsiran Sunni , mazhab Syi‘ah mengkategorikan keluarga Nabi terbatas kepada orang-orang tertentu yang disucikan
– dalam hal ini tidak mencakup istri-istri Nabi melainkan secara khusus Nabi dan keturunan 12 Imam
– sebagaimana termaktub dalam hadis Al Kisa‘ yaitu hadis yang menyatakan keberlanjutan kepemimpinan Ahlul Bait
Rosulullah SAW Nabi Muhammad SAW, Imam Ali, Sayidah Fatimah, Imam Ali dan Imam Husain, begitu juga dalam ayat Tathir. Lihat dalam Kitab Ahlul Bait As fil Hayatil Islamiyah
Dirosah Wa Tahlil karya Ayatullah Muhammad Baqir Hakim.
5
Tradisi keagamaan disini menunjuk pada struktur fundamental keyakinan Syi‘ah yang menguatkan
basisnya pada metode Teologikalam. Teologi terdiri atas tiga prinsip umum yaitu Tauhid, Nubuah dan Ma‘ad serta dua prinsip khusus yang menjadi “maktabul fikr” atau “school of thught” yaitu
Imamah dan A’dalah bahkan ada juga yang menempatkan lebih khusus lagi yaitu permasalahan
“Wilayatul Faqih Al Mutlaqoh” sebagaimana konsep yang dikemukakan oleh Ayatullah Khomeini lihat dalam karya ‗’Al Hukumat Islamiyah”.
6
Ali, Syamsuri 2002, Alumni Hawzah Ilmiah Qum: Pewacanaan In-tellektualitas dan Relasi Socialnya dalam Transmisi
Syi’ah di In-donesi, PhD Disertation, Program Pascasarjana UIN
4 Perkembangan gerakan
Syi‘ah di tengah mayoritas yang berfaham Ahlussunnah Wal Jama‘ah, telah melahirkan beragam respon baik respon positif, moderat, akomodatif, toleran,
inklusif ataupun sebaliknya respon negatif, konfrontatif, in-toleran dan eksklusif, polemis Sunnah
Syi‘ah di Indonesia sudah di mulai semenjak kehadiran Islam pertama ketika Zaman Kerajaan Perlak hingga era pasca reformasi sekarang, konflik bernuansa SARA sebagaimana
yang sering terjadi di Indonesia adalah cermin dari salah satu bentuk relasi sosial kelompok keagamaan yang mengarah pada proses disosiatif, tidak terkecuali apa yang terjadi dalam
reaksi polemis Sunnah- Syi‘ah yang semata-mata dilatar belakangi oleh pre-judice dakawaan
berpikir yang telah lama terbangun hingga menimbulkan stereotipe sesat atas kelompok berbeda keyakinan
7
. Terlepas dari persamaan antara tradisi Syi‘ah dengan Ahlussunah baik
dalam wilayah teologis maupun kultural, didalamnya pun juga terdapat perbedaan-perbedaan
Syarif Hidayatullah, dalam tulisannya Ali Syamsuri menjelaskan tentang tranmini dan jaringan Syi
‘ah yang diperankan oleh Tolebeh Qum dan Posisi Qum dalam dunia pendidikan Syi‘ah, sepintas bisa dijelaskan bahwa Qum dikenal sebagai lokus jaringan ulama networks of the ulama komunitas
Syi‘ah . Sebagai gambaran umum, banyak ulama yang memiliki reputasi, bahkan sebagian di antaranya menempati posisi sebagai pemegang ―otoritas mutlak dalam agama‖ marja’i – taqlid-i-
mutlaq dalam mazhab Syi‘ah . Di Qum, murid-murid dari mancanegara, termasuk dari kawasan
Indonesia, belajar atau mengikuti program studi ilmu-ilmu agama — terutama yang berhubungan
dengan disiplin mazhab Syi‘ah — di lembaga-lembaga pendidikan tradisional Hawzah Ilmiyah ,
sejenis pesantren di Indonesia, yang dipimpin dan dibina oleh ulama-ulama yang kompeten. Namuan sebagaimana pernyataan Sa
yyed Husain Nasr, Qum dianggap representasi dari ―entitas keilmuan‖ khususnya
Syi‘ah yang paling berwibawa untuk tujuan studi ilmu-ilmu agama dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya di Iran, istilah Qum School mazhab Qum
merupakan penyeimbang dari tradisi pemikiran Barat yang lahir dari Chicago School –Amerika-,
ataupun Frakfurt School –Jerman-.
7
Konflik bernuansakan SARA telah menjadi bagian integral dari kehdupan keagamaan di Indonesia, dengan adanya prejudice klaim kebenaran, prasangka, stigma dan label sesat suatu kelompok
tertentu bisa dengan mudah melakan tindakan anarkis, pembenaran atas nama agama yang menjadi dalih dilakukannya tindakan tersebut, alhasil eskalasi konflik merebak jauh dan meluas pasca orba
beberapa literatur dan penelitian yang menguraikan hal ini cukup banyak diantaranya Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog Bebas Konflik Pustaka Hidayah, Bandung, 1998 Budhy
Munawar-Rachman, Resolusi Konflik Agama dan Masalah Klaim Kebenaran, Dari Keseragaman Menuju Keberagaman: Wacana Multikultural dalam Media Lembaga Studi Pers dan
Pembangunban, Jakarta, 1999, Syafig Mugni, Kekerasan Suci, Disertasi Hamzah
Tauleka “Konflik dan Integrasi Sosial
― kasus Ambon, Potret Kerukunan Hidup Beragama di Kabupaten Bondowoso Jawa Timur, terkaiat dengan kekerasan terhadap Komunitas
Syi‘ah Konflik Sunni -Syi‘ah di Bondowoso Imam Syauqani dalam Jurnal Harmoni edisi Juli-September 2009
5 yang secara normatif-teologis sukar untuk dipertemukan, karenanya kajian tentang
Syi‘ah memang dibutuhkan. Fenomena yang muncul belakangan ini khususunya yang terjadi di
Jawa Timur dalam tragedi Penyerangan jamaah Syi‘ah di Bondowoso, Ponpes YAPI-Bangil
dan khusunya tragedi Sampang –Madura
8
, merupakan akibat dari adanya sikap dan konstruksi sosial masyarakat dalam memaknai realitas perbedaan faham keagaman dan relasi kelompok
keagamaan yang intoleran, berkembangnya ajaran
Syi‘ah di Jawa Timur telah memunculkan reaksi konfrontatif dari segelintir komunitas anti syiah yang mentasnamakan diri sebagai
kelompok Ahlussunnah Wal Jamaah Sunni maupun kelompok-kelompok yang berada dalam naungan lembaga-lembaga Islam lain.
Tidak bisa dinafikan bahwa hate spech syiar kebencian atau mencapme-labeli kelompok lain sebagai kelompok sesat dalam berbagai macam bentuk dakwah akif maupun
pasif, tentu akan melahirkan interpretasi yang mendalam bagi sekelompok masyarakat dan dari sinilah konstruksi masyarakat terbentuk, sejatinya sebagaimana dikutip dan dinyatakan
oleh Syamsul Arifin bahwa dalam bentuk konflik realistik, memang belum muncul kembali. Namun begitu, pada masing-masing komunitas agama sebenarnya sedang terjadi apa yang
disebut dengan konflik autistik. Perbedaan antara konflik realistik dan konflik autistik terletak pada artikulasinya, dalam konflik realistik, pihak-pihak yang saling bertentangan sudah
berhadapan, dan bahkan menggunakan cara-cara kekerasan fisik. Sedangkan konflik autistik sebatas perbedaan dan kesalah pahaman di level pemahaman dan sikap. Sewaktu-waktu
konflik autistik bisa berubah menjadi konflik realistik jika ada pemicunya.Tentu tidak mudah mengeliminasi konflik autistik.
9
8
Tragedi di YAPI pada tangaal 15 Februari 2011, tragedi Sampang satu 29 Desember 2011, tragedi Sampang dua 26 Agustus 2012, serangkaian kejadian penyerangan tersebut merupakan bentuk dari
eskalasi berkepanjangan akibat beragam propaganda dan prejudice sesat sehingga lahirlh konflik realistik yang sebelumnya masih dalam taraf autistik.
9
Syamul Arifin, 2009, Studi Agama Perspektif Sosiologis dan Isu-isu Kontemporer, UMM Press
6 Fakta menunjukkan bahwa apa yang terjadi di Jawa Timur yang dikenal sebagai basis
Ummat Muslim, ternyata masyarakat dengan beragam lapisan struktur sosial didalamnya, baik dari aparatur pemerintah state negara maupun non-state non-pemerintah seperti MUI
dan sebagian kelompok Islam memiliki tendensi besar dalam masalah pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, mengutip pantauan dan pengamatan oleh CMARSs,
sebagaimana data yang diperoleh selama setahun terahir 2011 telah terjadi dua macam bentuk pelanggaran aktif dan pasif, hal tersebut sebagaimana data berikut:
TABEL 1.1 Tabel Sebaran Waktu, jumlah peristiwa dan pelanggaran kebebasan beragama
di Jawa Timur Jenis Bulan Januari-Desember tahun 2011
10
NO Bulan Peristiwa
Pelanggaran
1 Januari
4 15
2 Februari
8 10
3 Maret
9 11
4 April
6 65
5 Mei
1 9
6 Juni
1 3
7 Juli
3 7
8 Agustus
3 12
9 September
10 Oktober
2 9
11 November
1 4
12 Desember
5 13
Jumlah 43
158
Sumber : CMARSS. Eksekutif Review ; Titik Nol Jaminan Kebebasan Beragama Berkeyakinan tahun 2011
10
Lihat laporan LSM Center for Marginalized Communities Studies CMARSs Surabaya, Eksekutif Review ; Titik Nol Jaminan Kebebasan Beragama Berkeyakinan Laporan Kondisi
Kebebasan BeragamaBerkeyakinan di Jawa Timur 2011
7
TABEL 1.2 Tabel Jenis Pelanggaran Kebebasan Beragama
Pelanggaran Aktif Pelanggaran Pasif
69 43, Pelanggaran Aktif aparat negara membatasi dan menghambat hak kebebasan
beragama 89 57, Pelanggaran pasif karena negara
lalai dan gagal menjamin hak kebebasan beragama
Sumber : CMARSS. Eksekutif Review ; Titik Nol Jaminan Kebebasan Beragama Berkeyakinan tahun 2011
Berdasarkan data diatas dapat diinterpretasikan bahwa selama tahun 2011 Januari- Desember, telah terjadi 43 peristiwa pelanggaran kebebasan beragamaberkeyakinan
dengan 158 tindakan pelanggaran, angka tersebut tergolong sangat tinggi dengan mempertimbangkan bahwa monitoring yang dilakukan oleh CMARSs hanya mencakup
wilayah Jawa Timur. Dengan rincian sebanyak 69 [43 ] merupakan tindakan aktif human rights violation by commision dan 89 [57] merupakan tindakan pasif human
rights violation by ommision. Hal ini berarti, 89 [57] tindakan pelanggaran dilakukan oleh
aktor-aktor sipil
dalam menghambat
dan menyerang
hak kebebasan
beragamaberkeyakinan human rights abuse, sementara pada yang sangat aparat negara gagal melakukan proteksi terhadap kelompok-kelompok rentan yang hak-haknya diserang.
Sisanya, 66 [43 ] merupakan tindakan aktif aparat negara dalam menyerang dan menghambat hak kebebasan beragamaberkeyakinan individukelompok masyarakat.
Fakta diatas menunjukkan bahwa apa yang terjadi di Jawa Timur merupakan fenomena nyata dalam kehidupan bergama di Indonesia, wacana penyesatan terhadap suatu
kelompok aliran tertentu yang dilakukan oleh aparatur negara maupun non-negara seperti MUI dan organisasi ke-Islaman lainnya, mengindikasikan bahwa relasi sosial anatar umat
selalu diwarnai dengan in-toleransi yang berujung pada tindak anarkisme, pemerintah dan elit
8 keagamaan yang semestinya bertanggung jawab untuk menciptakan integritas sosial antar
ummat namun nyatanya menghadirkan sikap-sikap kontraproduktif seperti wacana penyesatan, syiar-syiar kebencian hate speech dalam bentuk provokasi massa, penyerangan,
pengusiran, pemaksaan, pembekuan ajaran, pengisolasian maupun pemaksaan pindah keyakinan, hal-hal seperti inilah yang kemudian melahirkan konflik realistik berupa
kekerasan atas nama agama. Masyarakat awam yang kurang memahami agama hanya sepenuhnya tunduk pada Kiai yang dianggap memeiliki legitimasi dan otoritas keilmuan dan
kebenaran yang petuahnya selalu diikuti, sebagaimana petuah Madura untuk tunduk patuh pada Buppa, Bhabbhu, Guru, Rato.
Konflik bernuansakan SARA yang terjadi di Sampang adalah salah satu bukti kongkrit adanya intoleransi dalam kehiduan sosial keagamaan, tidak bisa dipungkiri bahwa
lembaga keagamaan, Ulama ataupun Kiai merupakan aktor penting dalam berjalannya komunikasi dan pembentukan pola pikir masyarakat, pengaruh dan legitimasi para ulama dan
agamawan menjadi faktor penting dari sekian faktor guna terjalinnya keharmonisan dalam kebebasaan berkeyakinan di masyarakat. Disamping juga para pihak yang terkait baik dalam
tingkat Majlis Ulama Indonesia, Aparat keamanan dari pihak pemerintah, lembaga-lembaga sosial masyarakat dan berbagai kelompok kepentingan lainnya baik terkhusus dalam wilayah
ekonomi dan politik, lembaga keagamaan berikut jaringang struktural didalamnnya merupakan salah satu medium utama dalam menguatkan basis legitimasi kekuasaan.
Munculnya ajaran Syi‘ah sebagaimana yang dibawa oleh Ustad Ali Murtadho alias
Tajul Muluk mengindikasikan bahwa terdapat penolakan yang tegas di tengah ummat yang mayoritasnya berfaham Ahlussunnah Wal Jama‘ah, insiden Sampang satu pada tanggal 29
Desember 2011 dan Sampang dua pada tanggal 26 Agustus 2012 adalah bukti nyata kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh kaum mayoritas terhadap minoritas Muslim
Syi‘ah, berbagai pihak terutama dari kalangan ulama dan Kiai yang tidak menghendaki
9 Syi‘ah berkembang di Indonesia telah mengarahkan segala upaya untuk membendung dan
membatasi gerakan Syi‘ah, baik secara formal maupun informal, bahkan belakangan telah muncul kebijakan pemerintah maupun dari segelintir kelompok keagamaan yang
memutuskan secara legal-formal akan pelarangan Syi‘ah
11
. Namun disatu sisi walaupun mengalami beragam pertentangan, eksisensi
Syi‘ah juga di dukung oleh beragam kelompok baik dari kalangan agamawan, ulama, cendikiawan, aktivis HAM maupun lembaga-lembaga
sosial masyarakat, kesemunya telah menghadirkan upaya untuk mendekatkan beragam mazhab dalam bingkai Taqrib Bainal Mazahib Pendekatan berbagai Mazhab hal inilah yang
terselenggara dalam konfrensi Aman
12
Kasus penyesatan jamaah Syi‘ah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, dan Desa Bluuran, Kecamatan Karang Penang, Kabupaten Sampang Madura, memang sudah
terjadi semenjak tahun 2004, kasus ini mencuat pasca pengusikan dari beberapa tokoh agama, lembaga-lembaga keagamaan, aparatur pemerintah dan masyarakat anti
Syi‘ah, syiar
11
Ada beberapa landasan yuridis yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagaimana data berikut: 1. Majelis Ulama Indonesia MUI Pusat, dalam Rapat Kerja Nasional 7 Maret 1984. 2 Majelis Ulama
Indonesia MUI Jawa Timur, telah mengeluarkan fatwa No. Kep-01SKF-MUIJTMI2012, menjelaskan secara detail mengenai kesesatan dan penyimpangan ajaran Syiah. 3. Majelis Ulama
Indonesia MUI Kabupaten Sampang, Madura, mengeluarkan keputusan serupa, Nomor A- 035MUISPG2012. Dijelaskan di dalamnya bahwa ajaran Syiah adalah menyimpang. , 4. Peraturan
Gubernur Pergub Jawa Timur Nomor 55 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur, perda ini masih belum menyinggung secara lebih
spesifik tentang aliran Syi‘ah, walaupun perda ini dimunculkan kareda desakan oleh para ulama
JATIM dalam rapat ―Silaturahim Ulama dan Umara‖ . 5. Departemen Kementerian Agama Indonesia menjelaskan kesesatan Syiah dalam surat Nomor DBA.0148651983, 5 Desember 1983,
yang berjudul Hal Ikhwal Mengenai Golongan Syiah, di pihak lain juga terdapat kelompok keagamaan yang secara khusus bergerak dalam membendung gerakan
Syi‘ah seperti Al Bayyinat, MIUMI, FUUI, MUUI dalam pembuatan rumusan langkah-langkah strategis untuk menyikapi
penyesatan dan penghinaan jamaah Syi‘ah, tanggal 22 April 2012 yang dilaksanakan di Bandung
Jawa Barat.
12
Prof Dr Azrumardi Azra, Prof Qomarudin Hidayat, Prof Amin Rais, KH Hasyim Muzadi, Prof Din Syamsudin, Dr Agil Siraj, Ketua MUI Pusat Prof Dr Umar Shihab, Habib Umar Bin Hafid dari
kalangan Sunni , dan beberapa tokoh terdahulu Syeh Saltut Rektor Universitas Al Azhar merupakan beberapa dari segelintir akademisi maupun ulama yang terus mencoba mengedepankan upaya
ukhuwah Islamiyah – solidaritas sosial antar ummat- tanpa mempermasalahkan keyakinan yang
bersifat normatif teologis.
10 kebencian yang dikumandangkan lembaga lokal maupun pemerinah dari MUI, PCNU dan
terkhusus para ulama di Sampang membuat kasus ini berujung pada berbagai macam tindakan pelanggaran HAM, syiar kebencian yang dikonsolidaskan secara intensif, telah
menjadikan kekuatan anti Syi‘ah semakin besar, eskalasi tindakan kekerasan-pun semakin
meningkat. Persekutuan negara dengan kelompok anti-toleran menambah daftar panjang angka kekerasan terhadap jamaah
Syi‘ah Sampang , akibat tekanan massa yang sangat kuat pemerintah Kabupaten Sampang dan pemerintah provinsi Jawa Timur secara terang-terangan
mendukung langkah MUI, Ormas-ormas Islam, para ulama se-Madura yang tergabung dalam BASSRA pun memiliki satu suaru untuk mengusir pimpinan jamaah
Syi‘ah Tajul Muluk dari tanah kelahirannya.
Pemerintah-pun juga mengisolasi jamaah Syi‘ah yang masih bertahan di Nangkreang.
Dalam catatan CMAR-S selama proses pemantauan yang berlangsung selama bulan April –
Oktober 2011 terdapat 45
13
pelanggran hak kebebasan beragama yang dilakukan oleh aparatur negara. 21 pelanggaran merupakan tindakan aktif human right violation by
commision dan 24 pelanggaran merupakan tindakan pembiaran human right violation by ommision pilihan negara untuk bersekutu dengan kelompok anti-toleran semakin jelas
menampakkan betapa negara telah gagal dalam memberikan jaminan hak kebebesan bergama dan berkeyakinan dan tunduk terhadap kekuatan sipil anti-toleran.
Syi‘ah di Nangkrenang adalah cerita sempurna bagaimana negara berkaloborasi dengan kelompok anti-toleran,
mendzalimi kelompok minoritas sampai pada taraf menghina kemanusiaan. Akar kekerasan yang menimpa warga komunitas
Syi‘ah memang tidak bisa dilihat dalam satu bingkai masalah saja, terdapat kompleksitas permasalahan yang perlu diuraikan
13
Lihat Laporan CMARSs, dalam Buletin ―Syahadah: News Letter On Religious Fredom”, edisi 13 Bulan Oktober 2011, secara keseluruhan semua tindakan pelanggran dapa dikategorikan dalam 13
jenis tindakan yakni 1. Penyesatan, 2, intimidasi dan teror, 3, blokade jalan, 4, pemaksaan pindah keyakinan 5. Penghentian paksa akivitas dakwah, 6. Penangkapan sewenang-wenang, 7. Penahanan
sewenang-wenang, 8. Pengusiran, 9. Pengisolasian, 10. Penutupan akses informasi, 11. Interogasi, 12. Pengrusakan fasilitas umum, 13. Non-rehabilitasi.
11 dari berbagai macam perspektif, alasan penistaan Agama dan kriminalisasi keyakinan korban
yang dikorbankan dari aparat pemerintah dan organisasi keagamaan kepada Tajul Muluk hanya satu dari sekian rangkaian interest berbagai kelompok kepentingan seperti konsolidasi
ulama, MUI dan aparatur negara serta pelibatan komunitas Sunni anti Syi‘ah
14
. Ihtilafiyat atau perbedaan dalam berkeyakinan tentu akan sering menimbulkan perdebatan dan
pertentangan dari masyarakat, konstruksi berpikir masyarakat dalam memahami persoalan akidah, ibadah-muamalah, etika, dan bahkan sampai persoalan politik pemerintahan, tidak
serta merta terbangun begitu saja terdapat realitas objektif dan subjektif yang membingkai perilaku sosial masyarakat hingga kesemua tindakan membentuk habitus baru, dialektika
antara individu dan masyarakat inilah yang akan menentukan sejauh mana relasi sosial antara komunitas
Syi‘ah dan sunnah bisa terbangun lebih kooperatif dan inegratif, jika tidak demikina lalu relasi sosial apa yang akan muncul dari konstruksi sosial masyarakat yang
terbangun selama ini. Berangkat dari permasalahan diataslah penulis ingin menyajikan penelitian
komprehensif dengan melihat, mencermati, mengobservasi dan melakukan pengamatan mendalam dari berbagai pihak khususnya warga komunitas
Syi‘ah dan Sunni guna menggali konstruksi dan relasi sosial pada masyarakat yang berbeda faham keagamaan, memang upaya
14
Mengutip laporan CMARSs, pada tanggal 8 April 2011, ulama beserta masyarakat melayangkan surat yang ditujukan kepada Bupati Sampang dengan tembusan kepada Kapolres Sampang , Dandim
Sampang , Ketua DPRD Sampang , Kajari Sampang , Kakanmenag Sampang, Ketua Pengadilan Agama Sampang , Ketua PN Sampang , Ketua MUI Sampang , Kepala Bakesbang Sampang dan
ditandatangani oleh puluhan ulama dan ratusan tokoh masyarakat yang disertai dengan foto kopi KTPSIM masing-masing sebagai jaminan keseriusan mereka, bahkan selanjutnya pasca kejadian
penyerangan tanggal 29 Desember 2011, upaya krimininalisasi terhadap Tajul Muluk terus diupayakan oleh aparat, tepatnya pada tanggal 16 Maret 2012, Ustad Tajul Muluk justru ditetapkan
tersangka berdasarkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan SPDP Kepolisian Daerah Jawa Timur nomor Sp.Sidik47I2012Ditreskrimum, tertanggal 27 Januari 2012 dan surat pemanggilan
nomer S.Plg626III2012Ditreskrimum, tertanggal 16 Maret 2012. Ia dituduh melanggar pasal 156a pasal 335 KUHP tentang penodaan agama dan perbuatan tidak menyenangkan.Lihat Press Release
FKUB Surabaya, Kontras dan CMARSs: Korban yang dikorbankan, penetapan Ustad Tajul Muluk Mulul sebagai tersangka, siaran press penangkapan ustad Tajul Muluk sebagai tersangka tanggal 28
Maret 2012
12 untuk menjaga toleransi intern umat beragama di Madura merupakan perjuangan panjang
yang tidak mudah, karenanya diperlukan pembacaan yang obyektif atas fakta yang sedang terjadi tentang persoalan ini , sehingga akan memberikan gambaran yang baik bagi semua
pihak dalam menyikapi persoalan kerukunan antar kelompok keyakinan, dengan demikian judul yang penulis angkat adalah ―Konstruksi Sosial Masyarakat Terhadap Realitas
Perbedaan Faham Keagamaan: Studi Fenomenologis Pada Komunitas
Syi‘ah dan Sunni di Desa Karang Gayam dan Bluuran Kabupaten Sampang Madura, demikianlah landasan
penelitian ini dilakukan.
B. Rumusan Masalah Penelitian