Kebijakan Privatisasi BUMN Di Indonesia

(1)

KEBIJAKAN PRIVATISASI BUMN DI INDONESIA

Dra. Berlianti, M.Sp

NIP. 19670604 200910 2 001

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Pengelolaan perusahaan (coorporate governance) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus menjadi persoalan utama untuk dikaji. Sebab pengelolaan perusahaan harus baik agar BUMN dapat menjadi lebih efisien.

Salah satu cara untuk membuat BUMN menjadi efisien adalah melakukan privatisasi secara sempurna. Dengan privatisasi tersebut diharapkan dapat menciptakan kesejahteraan dalam negeri (domestic welfare).

Dengan demikian perlu pula dikaji kebijakan privatisasi BUMN yang merupakan dasar dilakukannya privatisasi agar dapat menjamin dalam merumuskan proses privatisasi, dalam penjualan perusahaan BUMN kepada para karyawan dan potongan harga.

Tulisan ilmiah tentang kebijakan privatisasi BUMN ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagaimana proses melakukan privatisasi BUMN di Indonesia.

Medan, 08 Nopember 2011 Penulis,

Dra. Berlianti, M.Sp


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ……… i

DAFTAR ISI ……… ii

I. Pendahuluan ………..………... 1

II. Sistem Pengelolaan Perusahaan Menurut UU BUMN ………. 4

III. Kebijakan Privatisasi BUMN ………. 6

IV. Penutup ………. 19


(4)

TINJAUAN KEBIJAKAN PRIVATISASI BUMN

I. Pendahuluan

Istilah kebijakan dalam kehidupan sehari-hari sering digunakan untuk suatu kegiatan yang mempunyai maksud yang berbeda. Penjelasan maksud kebijakan publik mempunyai penekanan yang berbeda-beda , suatu definisi yang menekankan tidak hanya apa yang diusulkan pemerintah, tetapi juga mencakup pula arah tindakan atau apa yang dilakukan oleh pemerintah1 Dalam formulasi kebijakan , para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat perintah salah satunya adalah perintah eksekutif. 2Kebijakan publik yang merupakan arah tidakan yang dilakukan oleh pemerintah dan mempunyai pengaruh terhadap kepentingan masyarakat secara luas, seperti halnya dengan kebijakan privatisasi BUMN.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam perekonomian nasional. Setidaknya terdapat lima tujuan pendirian BUMN tersebut. Pertama, memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional dan penerimaan negara. Kedua, mengejar keuntungan. Ketiga, menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Keempat, menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi. Kelima, turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.3 Oleh karena itu

      

1

Budi Winarno, “Teori dan Proses Kebijakan Publik,” Media Presindo, Jakarta, 2002. hal.30. 2

William N. Dunn, Pengatar Analisis Kebijakan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2003, hal. 24.

3

Iwan P. Pontjowinoto, “Kepentingan BUMN Dalam Kebijakan Perpajakan Nasional,” makalah disampaikan pada Seminar Nasional Reposisi Keuangan Negara dan Kebijakan Perpajakan di


(5)

keberadaan BUMN sebagai salah satu kekuatan ekonomi nasional tersebut perlu ditingkatkan produktivitas dan efisiennya.

Untuk dapat mengoptimalkan peranannya dan mampu mempertahankan keberadaannya, termasuk dalam perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif sekarang ini, maka BUMN itu perlu menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme, seperti harus melakukan pembenahan pengurusannya dan pengawasannya.

Dalam konteks itu pula pengurusan dan pengawasan BUMN harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata-kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), dimana peningkatan efisiensi dan produktivitas BUMN mutlak dilakukan melalui langkah-langkah restrukturisasi dan privatisasi. Restukturisasi sektoral dilakukan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga tercapai efisiensi dan pelayanan yang optimal. Sedangkan restrukturisasi perusahaan meliputi penataan kembali bentuk badan usaha, kegiatan usaha, organisasi, manajemen dan keuangan.

Namun di sini perlu penekanan bahwa privatisasi bukan semata-mata bermakna sebagai penjualan perusahaan, melainkan menjadi alat dan cara pembenahan BUMN untuk mencapai beberapa sasaran sekaligus, termasuk di dalamnya peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yang sehat dan kompetitif, pemberdayaan BUMN yang mampu bersaing dan berorientasi global, penyebaran kepemilikan oleh publik serta pengembangan pasar modal domestik.

Perlu juga diingat bahwa dengan dilakukannya Privatisasi BUMN bukan berarti kendali atau kedaulatan negara atas BUMN yang bersangkutan menjadi berkurang atau

       

Indonesia: Telaah Kritis RUU Perpajakan, Fakultas Hukum UI, Depok, tanggal 24 Nopember 2005, hal. 2.


(6)

hilang, karena negara tetap menjalankan fungsi penguasaan melalui regulasi sektoral tempat BUMN yang diprivatisasi melaksanakan kegiatan usahanya.

Jika diperhatikan awal pemikiran pentingnya penataan yang berkelanjutan atas pelaksanaan peran BUMN dalam sistem perekonomian nasional, terutama upaya peningkatan kinerja dan nilai (value) perusahaan telah sejak dahulu diamanatkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1999-2004. Ketetapan MPR tersebut menetapkan bahwa BUMN, terutama yang usahanya berkaitan dengan kepentingan umum, perlu terus ditata dan disehatkan melalui restrukturisasi, dan bagi BUMN yang usahanya tidak berkaitan dengan kepentingan umum dan berada dalam sektor yang telah kompetitif didorong untuk privatisasi.

Kebijakan untuk melaksanakan privatisasi itu telah ditentukan dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan Peraturan Pemerintahan Nomor 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero). Kebijakan tersebut ditetapkan untuk dapat lebih memberikan pedoman bagi pelaksanaan program Privatisasi perusahaan perseroan (Persero).

Dengan demikian jika pembicaraan kegiatan privatisasi itu dikaitkan dengan kebiijakan publik, maka kebijakan publik sebagai suatu manajemen pencapaian tujuan nasional harus dikaji secara kritis, mengingat privatisasi itu mengalihkan kepemilikan negara dalam BUMN.

II. Sistem Pengelolaan Perusahaan Menurut UU BUMN

Untuk mengatasi lemahnya pengelolaan BUMN, pemerintah telah mengeluarkan UU No 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara /BUMN (selanjutnya disebut


(7)

dengan UU BUMN) yang mencoba untuk mengadopsi beberapa prinsip good corporate governance. Hal ini dinyatakan jelas pada Pasal 36 ayat (1) UU BUMN yang menyatakan bahwa perum dalam menyelenggarakan usahanya harus berdasarkan pada prinsip pengelolaan prusahaan yang sehat. Ketentuan ini juga diatur dalam Pasal 5 ayat (3) jo. Pasal 6 ayat (3) UU BUMN yang mewajibkan direksi, komisaris dan dewan pengawas dalam melaksanakan tugasnya harus melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggung jawaban serta kewajaran.

Salah satu prinsip profesionalisme dan transparansi tersebut kemudian tertuang dalam Pasal 16 ayat (3) jo. Pasal 19 ayat (4) UU BUMN yang menyatakan bahwa setiap anggota direksi yang telah lulus uji kelayakan wajib menandatangani kontrak manajemen sebelum ditetapkan menjadi anggota direksi. Sedangkan independensi dan kemandirian dari direksi, komisaris dan dewan pengawas diatur dalam Pasal 25, Pasal 33 dan Pasal 53 UU BUMN yang melarang mereka untuk memegang jabatan rangkap. Pasal 21 – 23 jo. Pasal 49-51, Pasal 32, Pasal 54, Pasal 61 lebih lanjut mengatur mengenai pertanggung jawaban Direksi, Komisaris dan Dewan Pengawas. Sementara itu untuk menjamin akuntabilitas, UU BUMN mewajibkan pembentukan Komite Audit dan Komite Lainnya (Pasal 70) serta mewajibkan adanya auditor eksternal untuk memeriksa Laporan Keuangan (Pasal 71). Disamping itu UU BUMN juga telah menjamin dan mengatur adanya social responsibility dari BUMN. Hal ini tertuang dalam Pasal 87 ayat (2) yang mengijinkan pembentukan serikat kerja sebagai wadah penyaluran aspirasi dari karyawan agar hak-haknya dapat terpenuhi. Pasal 88 ayat (1) juga memberikan kepastian kepada BUMN untuk menyalurkan sebagian laba bersihnya


(8)

untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. Sedangkan Pasal 90 mengatur mengenai donasi untuk amal dan tujuan sosial.

Terlihat bahwa secara umum UU BUMN memang telah mengadopsi beberapa ketentuan dan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik. Namun, perlu kita cermati bahwa ketentuan diatas hanyalah bersifat umum dan perlu penafsiran serta pengimplementasian lebih lanjut agar dapat berfungsi dengan baik di tingkat lapangan. Hal ini juga penting untuk menjaga penyalahgunaan BUMN dan untuk mengukur kinerja direksi BUMN itu sendiri.Setidak-tidaknya ada beberapa ketentuan dan prinsip yang harus kita telaah lebih lanjut, seperti prinsip fiduaciary duty direktur dan komisaris, kontrak manajemen, direktur independen, komisaris independen, hubungan industrial antara BUMN dan karyawan, dan berbagai hal yang harus diperhatikan dalam privatisasi.4

Komite Audit

UU BUMN mengatur ketentuan mengenai komite audit, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2). Komite audit dibentuk dengan maksud untuk mewujudkan pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan tugasnya, Komisaris dan Dewan Pengawas perlu dibantu oleh komite audit yang bertugas menilai pelaksanaan kegiatan hasil audit yang dilakukan oleh satuan pengawasan intern maupun auditor eksternal, memberikan rekomendasi mengenai penyempurnaan sistem pengendalian manajemen serta pelaksananya, memastikan telah terdapat prosedur review yang memuaskan terhadapsegala informasi yang dikeluarkan BUMN,mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian Komisaris dan Dewan Pengawas serta tugas-tugas pengawas lainnya. Komite audit tersebut beranggotakan Komisaris Independen, yang diangkat oleh Komisaris.

      

4

Bismar Nasution, “Menuju Sistem Pengelolaan BUMN Yang Efektif dan Efisien,” makalah disampaikan pada Sosialisasi Undang-Undang BUMN dan Peraturan Pelaksanaannya serta Eksistensinya Dalam Sistem Pembinaan dan Pengelolaan BUMN, diselenggarakan Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara, Medan, 14 Desember 2005, hal. 2-3.


(9)

III. Kebijakan Privatisasi BUMN

Sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (persero), pemerintah telah melakukan privatisasi berbagai BUMN. Akibatnya pelaksanaan privatisasi saat itu tidak didasarkan oleh kebijakan publik (public policy) sebagaimana telah diatur oleh Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah privatisasi tersebut. Sedangkan dalam rangka privatisasi itu kebijakan publik sangat dibutuhkan, mengingat sebagaimana diuraikan Harold Laswel mendefinisikan kebijakan publik sebagai “suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu nilai-nilai tertentu, dan praktek-praktek tertentu.”5 Dengan ini privatisasi BUMN itu harus memperhatikan tiga hal. Pertama, perumusan kebijakan.

Kedua, implementasi kebijakan. Ketiga, evaluasi kebijakan.6

Sejalan dengan itu ketentuan yang mengatur tata cara privatisasi terdapat pada Pasal 5 Peraturan Pemerintah RI Nomor 33 Tahun 2005 Tentang Tata cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (PERSERO), telah menentukan bahwa Privatisasi harus dilakukan dengan cara :

1. Penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal. 2. Penjualan saham secara langsung kepada investor.

3. Penjualan saham kepada manjemen dan/atau karyawan persero yang bersangkutan.

Adapun Persero yang dapat diprivatisasi sekurang-kurangnya memenuhi kriteria, yaitu industri/sektor usahanya kompetitif atau industri/sektor unsur teknologinya cepat berubah. Sedangkan Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah persero yang bidang

      

5

Harold Laswel dalam Riant Nugroho D, Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi, dan

Evaluasi, (Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komptindo Kelompok Gramedia, 2003), hal. 4.

6 Ibid.


(10)

usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN, perseroan yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara, persero yang bergerak disektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, dan persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi.

Peraturan pemerintah ini hanya mengatur tentang privatisasi persero, sepanjang dimungkinkan berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor tempat persero yang bersangkutan melakukan kegiatan usahanya. Sedangkan Perusahaan Umum (PERUM), menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara tidak dimungkinkan untuk di privatisasi. Persero dapat di privatisasi karena selain di mungkinkan oleh ketentuan di bidang Pasar Modal juga karena pada umumnya hanya persero yang telah bergerak dalam sektor-sektor yang kompetitif. Pelaksanaan Privatisasi senantiasa memperhatikan manfaat bagi rakyat.

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Peraturan Pemerintah ini juga menetapkan kreteria persero apa saja yang dapat di privatisasi dan persero apa saja yang tidak dapat diprivatisasi. Selain itu, diatur pula mengenai cara Privatisasi dan prosedur privatisasi. Dalam rangkain kegiatan pelaksanaan privatisasi, Menteri menetap program tahunan Privatisasi yang memuat hasil seleksi dan penetapan Persero yang akan diprivatisasi, metode Privatisasi yang akan digunakan dan jenis serta rentangan jumlah saham yang akan dijual. Menteri juga menetapkan lembaga dan/atau profesi penunjang lainnya untuk membantu pelaksanaan Privatisasi. Namun demikian dalam penunjukan lembaga dan/atau profesi penunjang


(11)

dimaksud dituntut pula keterlibatan aktif manajemen Persero yang terwakili dalam keanggotaan tim Privatisasi.

Dengan demikian Peraturan Pemerintah tentang privatisasi BUMN itu menentukan kreteria persero yang dapat diprivatisasi, seperti ketentuan. Pasal 7 Peraturan Pemerintah Privatisasi yang menentukan bahwa persero yang dapat di privatisasi harus sekurang-kurangnya memenuhi kreteria:

1. Industri/sektor usahanya kompetitif; atau

2. Industri /sektor usahanya terkait dengan teknologi yang cepat berubah.

Sebaliknya dalam ketentuan dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah tersebut ditentukan bahwa Persero yang tidak dapat di privatisasi, antara lain :

1. Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya boleh dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara;

2. Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara;

3. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh Pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.

4. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi.

Adapun prosedur privatisasi Persero dalam Peraturan Pemerintah ini diatur Pada BAB IV. Yang menjadi bagian dari prosedur privatisasi Persero tersebut adalah dibentuknya komite privatisasi. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) yang menyebutkan bahwa untuk membahas dan memutuskan kebijakan tentang


(12)

Privatisasi sehubungan dengan kebijakan lintas sektoral, pemerintah membentuk sebuak Komite Privatisasi sebagai wadah koordinasi. Kemudian ayat (2) menyebutkan bahwa Komite Privatisasi di pimpin oleh Menteri Koordinator yang membidangi perekonomian dengan anggota-anggotanya yaitu Menteri, Menteri Keuangan, dan Menteri Teknis tempat Persero melakukann kegiatan usaha. Ketentuan dalam ayat (3) menyebutkan bahwa Keanggotaan Komite Privatisasi tersebut ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Setelah terbentuknya Komite Privatisasi dimana keanggotaannya telah di tetapkan dengan Keputusan Presiden maka komite tersebut bertugas sesuai apa yang diamanatkan dalam Pasal 11, bahwa Komite Privatisasi bertugas untuk :

1. Merumuskan dan menetapkan kebijakan umumdan persyaratan umum dan persyaratan pelaksanaan privatisai;

2. Menetapkan langkah-lang yang diperlukan untuk memperlancar proses privatisasi persero;

3. Membahas dan memberikan jalan keluar atas permasalahan strategis yang timbul dalam proses privatisasi persero termasuk yang berhubungan dengan kebijakan sektoral pemerintah.

Pelaksanaan Privatisasi melibatkan lembaga dan/atau profesi penunjang serta profesi lainnya sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan yang berlaku, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 13.

Adapun pembiayaan pelaksanaan privatisasi diatur dalam Pasal 18, dalam ayat (1) Peraturan Pemerintah itu disebutkan bahwa Biaya pelaksanaan Privatisasi dibebankan pada hasil Privatisasi. Ayat (2) menyebutkan bahwa biaya pelaksana Privatisasi di pergunakan untuk :


(13)

2. Biaya operasional privatisasi.

Apabila privatisasi tidak dapat dilaksanakan atau ditunda pelaksanaannya, maka pembebanan atas biaya yang telah dikeluarkan ditetapkan oleh RUPS. Ketentuan tersebut diatur dalam ayat (3) Pasal 18.

Ketentuan dalam Pasal 20 Peraturan Pemerintah tersebut menyebutkan bahwa : 1. Hasil Privatisasi saham milik negara pada persero disetorkan langsung ke Kas

Negara

2. Hasil Privatisasi saham dalam simpanan disetorkan langsung ke Kas Persero yang bersangkutan.

3. Privatisasi anak perusahaan Persero sebagaiman di maksud Pasal 8 dapat ditetapkan sebagai deviden interim Persero yang bersangkutan.

Ketentuan atas Pengadministrasian dan pelaksanaan penyetoran hasil privatisasi diatur dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah ini, dimana ditentukan bahwa :

1. Penjamin pelaksanaan emisi atau penasehat keuangan membuka rekening penampungan (escrow account) untuk menampung hasil privatisasi.

2. setelah dikurangi biaya-biaya pelaksanaan privatisasi , penjamin pelaksanaan emisi atau penasehat keuangan wajib segera menyetorkan hasil bersih privatisasi ke Kas Negara dan/atau Kas Persero yang bersangkutan

3. Penjamin pelaksana emisi atau penasehat keuangan wajib segera melaporkan penyetorab privatisasi sebagaimana dimaksud dalam point 2 kepada menteri, Menteri Keuangan dan Direksi Persro yang bersangkutan.

Bahwa pengasilan lain yang diperoleh dari rekening penampungan hasil privatisasi diperhitungkan sebagai hasil privatisasi, dan verifikasi atas biaya dan hasil privatisasi dilakukan oleh akuntan publik yang ditunjuk oleh menteri.


(14)

Pentingnya Kebijakan Privatisasi BUMN

Dengan disahkannya PP No. 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (PP Privatisasi) maka pengaturan privatisasi di Indonesia kini sudah mempunyai dasar hukum yang jelas. Namun demikian perlu kiranya kita telah lebih lanjut agar pelaksanaan privatisasi dapat berjalan lancar di tingkat pelaksanaannya.

Secara teoritis terdapat dua pertanyaan mendasar berkenaan dengan masalah kepemilikan perusahaan. Pertama, bentuk kepemilikan yang bagaimana yang secara efektif dapat meningkatkan kesejahteraan sosial (social welfare) dan efisiensi. Kedua, mengapa pemerintah berkenan melepaskan kepemilikannya, padahal dengan mempertahankan kepemilikannya pada perusahaan mereka akan mendapatkan dukungan politik.7

Berdasarkan riset secara empiris8 dapat digambarkan bahwa perusahaan swasta seringkali beroperasi lebih efisien dibandingkan dengan perusahaan negara. Pengalaman dibanyak negara terbukti bahwa kepemilikan swasta merupakan pilihan terbaik. Di sektor perbankan kepemilikan pemerintah menunjukkan kaitan yang erat dengan lambannya perkembangan sektor keuangan serta pertumbuhan produktivitas yang rendah.9

      

7

George R.G. Clarke dan Robert Cull, Political and Economics Determinants of The Likelihood of Privatizing Argentina Public Bank, Jurnal of Law and economics, (Vol. XLV, April 2002), The University of Chicago, hal. 166

8

Data empiris tersebut diuraikan oleh Clarke dan Cull yang mengaitkannya dengan data “Lending to the Public Sector and Change in Employment (Third Quarter, 1998)”, “Independent

Variables Included in the Estimation”, “Correlations Between Independent Variables”, “Result from Discrete Hazard Model Estimation of Time to Pass Law Authorizing Privatization, Probit Model”, “Result from Discrete Hazard Model Estimation of Time to Pass Law Authorizing Privatization with Endogenous Fiscal Variables, All Banks”, “Elasticities of Probability of Privatization with Respect to Continuous Variables”, “ Results from Cross-Sectional Tobit Estimation of Time to Pass Law Authorizing Privatization, Tobit Model”, dan “Results from Two-Period Probit and Ordinary Least Squares (OLS) Analysis.” George R.G. Clarke dan Robert Cull, Op.Cit., hal. 173-193

9


(15)

Studi yang dilakukan George Clarke dan Robert Cull memberikan pemahaman bahwa setelah privatisasi itu tergambar pula terjadinya peningkatan dalam portfolio pinjaman dan peningkatan efisiensi. Kenyataan yang sama juga terjadi pada privatisasi di negara berkembang, meski tidak di seluruh negara berkembang.

Pertanyaan kedua yang paling sulit dijawab, oleh karena sangat sedikit data empiris yang dapat digunakan untuk menjawabnya.10 Jawaban praktis yang dapat diajukan adalah pemerintah akan menjual kepemilikannya pada suatu perusahaan apabila biaya politik dengan tetap memelihara kepemilikan tersebut lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepemilikan swasta lebih mendorong terjadinya efisiensi. Untuk itu perlu diambil langkah-langkah kebijakan agar terjadi proses privatisasi. Secara konsep privatisasi dapat terjadi atas kemauan politik (paksaan) maupun secara sukarela. Untuk mendorong terjadinya privatisasi secara sukarela dibutuhkan adanya serangkaian regulasi yang dapat meningkatkan biaya politik memiliki perusahaan.

Privatisasi di Indonesia haruslah diartikan sebagai upaya untuk menghilangkan konsentrasi kepemilikan. Baik konsentrasi kepemilikan oleh pemerintah maupun konsentrasi kepemilikan oleh swasta.11

Di sektor perbankan alasannya adalah untuk memperkuat sistem perbankan dengan cara membuat ketentuan pembatasan kepemilikan bank. Hal ini perlu mengingat perbankan di Indonesia pernah mengalami kehancuran disebabkan ketidakpercayaan masyarakat, dimana ketidakpercayaan itu telah pula membuat kegagalan pasar. Oleh karena industri perbankan pernah dijadikan sebagai bahan eksploitasi pemiliknya.

      

10

Ibid, hal. 167 11


(16)

Pada masa lalu perubahan regulasi atas sistem dan struktur perbankan atas dorongan liberalisasi perbankan telah memfasilitasi pertumbuhan perbankan yang cepat, sehingga memberi peluang untuk masuknya individu yang tidak bermutu ke dalam bisnis perbankan.

Sistem dan struktur perbankan yang demikian itu mengakibatkan dimungkinkan terjadinya kepemilikan silang (interlocking ownership) dan lending pattern serta dimilikinya satu bank secara mayoritas.12 Pemilikan demikian sangat rawan terhadap kegagalan pasar disebabkan moral hazard, adverse selection dan harga oligopolistic. Sebab kondisi pemilikan mayoritas itu memudahkan pengambilan risiko berlebihan pada perbankan.

Konsentrasi kepemilikan dimungkinkan pula timbulnya campur tangan pemilik secara berlebihan dalam kepengurusan bank. Hal ini antara lain menyebabkan fungsi pengawasan internal sebagai first line of defense menjadi kurang berfungsi. Sebab pada umumnya pemilik itu sekaligus menjadi komisaris. Akibatnya komisaris sebagai pengawas bisa tidak efektif. Padahal komisaris memiliki peran strategis dalam pengawasan jalannya bank tersebut.

Kondisi konsentrasi kepemilikan itu dapat pula menimbulkan terjadinya cross-ownership atau cross-management yang bisa menimbulkan benturan kepentingan, dimana benturan kepentingan terjadi sebagai akibat adanya ownership atau cross-management antara bank dengan usaha lain baik di sektor finansial maupun sektor riil. Selanjutnya, keadaan tersebut membuka kemungkinan terjadinya penyalahgunaan bank untuk mendukung kepentingan usaha pribadi pemilik.

      

12

Lihat. Zulkarnain Sitompul, “Pembatasan Kepemilikan Bank : Gagasan Untuk Memperkuat Sistem Perbankan,” Jurnal Hukum Bisnis, (Volume 22, No. 6, Tahun 2003), hal. 36.


(17)

Setidak-tidaknya terdapat tiga kelompok permasalahan yang berkenaan dengan privatisasi.

Pertama, masalah politik, dimana suksesnya pelaksanaan privatisasi sangat bergantung kepada kualitas politik pengambilan keputusan. Pembentukan opini publik vis a vis terhadap privatisasi merupakan masalah besar. Sangat sulit untuk menjelaskan pada masyarakat awam tentang keuntungan yang diperoleh dari kepemilikan swasta. Hal yang penting dilakukan adalah bagaimana meyakinkan mereka bahwa tindakan itu adalah tepat untuk dilakukan. Perencanaan, persyaratan dan keterbukaan diperlukan untuk membentuk kembali sikap masyarakat berkenaan dengan masalah kepemilikan sehingga tetap aman. Sikap negatif sering terjadi berkenaan dengan pemasukan modal asing dan pendirian joint venture.

Kedua, masalah hukum dan ekonomi yang berada dibawah kekuasaan negara. Kredit dan sistem perbankan menimbulkan permasalahan terhadap proses privatisasi. Mekanisme ekonomi pasar, merupakan hal yang menentukan suksesnya kebijakan privatisasi. Hukum harus merupakan dasar dilakukannya privatisasi agar dapat menjamin dalam merumuskan proses privatisasi, dan penjualan saham perusahaan kepada para karyawannya dengan potongan harga (discount). Pemilihan perusahaan untuk diprivatisasi merupakan masalah lain yang lebih sulit. Secara umum privatisasi sebaiknya dilakukan pada perusahaan yang secara operasional masih visible.

Ketiga, masalah teknis. Masalah utama yang menjadi perhatian adalah penilaian/penaksiran aset yang ditawarkan untuk dijual. Untuk itu harus ada suatu badan sebagai komisi independen yang antara lain bertugas mengatur saham, menaksir nilai aset yang akan diprivatisasi. Hal ini diperhatikan, mengingat informasi yang sederhana tentang sebuah perusahaan tidaklah cukup untuk menaksir nilai asetnya. Untuk menilai


(18)

prospek perusahaan sebaiknya dilakukan studi yang mendalam. Penetapan harga penjualan perusahaan negara kepada investor asing harus realistis sehingga perusahaan asing dimaksud menyetujui penawaran tersebut tanpa menimbulkan polemik. 13

Dalam kerangka produktivitas ekonomi dan kesejahteraan konsumen terdapat dua kondisi sebagai faktor penting yang mempengaruhi suksesnya privatisasi. Pertama adalah pasar yang berjalan secara alami, termasuk didalamnya perusahaan yang akan di divestasi pada sektor kompetitif ataupun non kompetitif. Sektor kompetitif adalah sektor yang dapat diperdagangkan, misalnya industri, penerbangan (airlines), budidaya pertanian (agriculture), dan kegiatan pendistribusian.14 Sektor ini sangat memungkinkan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi secara cepat dan berarti, sepanjang tidak terdapat distorsi ekonomi secara luas. Adanya distorsi mengakibatkan privatisasi kehilangan keuntungan terhadap beban subsidi pajak BUMN dan besarnya biaya yang diakibatkan oleh distorsi itu sendiri. Kedua, kondisi negara yang bersangkutan, meliputi kerangka kebijakan seluruh sektor makro ekonomi dan kewenangan untuk membuat regulasi.15

       

Privatisasi yang dilakukan pada kedua sektor baik perusahaan kompetitif maupun perusahaan non kompetitif akan lebih mempercepat dan memperbesar keuntungan. Dengan kebijakan yang peka terhadap terciptanya kondisi lingkungan dan pasar yang lebih mendukung. Hal ini merupakan argumentasi yang digunakan Bank Dunia dalam memberikan dukungan terhadap privatisasi sebagai salah satu bagian dari program kebijakan pemerintah.

 

13

V.V Ramanadham, Privatization : A Global Perspective, (London and New York : Routledge, 1993), hal. 78-80.

14

Pasal 7 PP No.33 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Privatisasi Persero (PP Privtisasi). 15


(19)

Apabila privatisasi yang dilakukan meliputi perusahaan pada pasar non kompetitif (biasanya kegiatan BUMN memonopoli pada beberapa bidang seperti kekuasaan (power), penyediaan sumberdaya air (water supply), dan telekomunikasi, maka sistem peraturan perundang-undangan harus dibuat untuk melindungi para konsumen. Kebijakan dan kapasitas peraturan yang baik berhubungan erat dengan pendapatan. Oleh karena itu, pada negara yang pendapatannya pada level menengah (middle-income) cenderung lebih baik posisinya dalam memprivatisasi perusahaan pada sektor non kompetitif ini.16

Tabel berikut memberikan suatu kerangka kebijakan terhadap pembuat keputusan sebelum melakukan privatisasi dengan memperhatikan keadaan negara :17

Keadaan Perusahaan Keadaan Negara

Sektor Kompetitif Sektor Non Kompetitif Kapasitas yang tinggi

untuk membuat regulasi; Pasar yang mendukung

Keputusan :

 Dijual

Keputusan :

 Menjamin atau

membuat pengaturan lingkungan secara tepat.

 Kemudian

mempertimbangkan penjualan

Kapasitas yang rendah Keputusan : Keputusan :

      

16

Ibid, hal. 5. 17


(20)

untuk membuat regulasi; Pasar tidak mendukung

 Dijual, dengan memperhatikan keadaan kompetisi.

 Mempertimbangkan managemen

privatisasi.

 Mengusahakan pasar yang mendukung kerangka kebijakan.

 Membuat pengaturan lingkungan secara tepat.

 Kemudian

mempertimbangkan penjualan.

Agar jalannya privatisasi BUMN lebih fair, perlu dipikirkan apakah kita memerlukan satu Komisi Privatisasi yang bersifat independen yang anggota terdiri dari orang-orang di luar pemerintah, yang bertugas menjual BUMN, sebagaimana pernah diterapkan Perancis dalam pelaksanaan privatisasi. Memang, Komite Privatisasi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, tetapi terlihat Komite itu belum bersifat independen, karena anggotanya terdiri dari Menteri-Menteri. Apabila Komisi yang bersifat independen itu kita butuhkan, seyogianya diatur dalam perubahan peraturan Privatisasi yang akan datang. Kita bisa mencontoh Peraturan mengenai Komisi Privatisasi yang mensyaratkan bahwa anggota komisi privatisasi harus berasal dari kalangan profesional. Sehingga dalam pelaksanaanya dari 9 anggota


(21)

Pakistan Privatisasion Commission, 8 diantaranya adalah profesional dari kalangan privat. 18

Penekanan pengaturan lainnya yang perlu diperhatikan dalam ketentuan Peraturan Menteri tentang cara privatisasi yang di amanatkan Pasal 5 ayat (2) PP Privatisai. Pelaksanaan privatisasi itu lebih baik menitikberatkan penjualannya melalui pasar modal, dibandingkan dengan menjualnya kepada mitra strategis (strategic sale).19 Melalui pasar modal akan membuat penjualan saham BUMN terdistribusi dalam masyarakat. Dengan ini akan memperluas kepemilikan masyarakat atas BUMN.

IV. PENUTUP

Perlu diperhatikan tujuan dari UU BUMN dan berbagai peraturan perundang-undangan tidak akan tercapai apabila dalam pelaksanaanya terdapat berbagai permasalahan dan hambatan, yang pada gilirannya pula membuat Undang-Undang tersebut tidak dapat dijalankan dilapangan. Oleh karena itu menjadi perhatian kita untuk mengkaji berbagai hal yang perlu dibuat mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin timbul dalam pelaksanaan UU BUMN ini kedepan dan pada gilirannya dapat menjadi dasar sistem pembinaan dan pengelolaan BUMN efektif dan efisien.

     

     

      

18

Lihat Pasal 7 Pakistan Privatisasion Commision Ordinance tahun 2000. 19


(22)

DAFTAR PUSTAKA

Clarke, R.G., George dan Robert Cull, Political and Economics Determinants of The Likelihood of Privatizing Argentina Public Bank, Jurnal of Law and economics, (Vol. XLV, April 2002), The University of Chicago.

Dunn, William N., Pengatar Analisis Kebijakan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2003.

Laswel, Harold dalam Riant Nugroho D, Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi, (Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komptindo Kelompok Gramedia, 2003.

Nasution Bismar, “Menuju Sistem Pengelolaan BUMN Yang Efektif dan Efisien,” makalah disampaikan pada Sosialisasi Undang-Undang BUMN dan Peraturan Pelaksanaannya serta Eksistensinya Dalam Sistem Pembinaan dan Pengelolaan BUMN, diselenggarakan Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara, Medan, 14 Desember 2005

Pontjowinoto, P, Iwan., “Kepentingan BUMN Dalam Kebijakan Perpajakan Nasional,” makalah disampaikan pada Seminar Nasional Reposisi Keuangan Negara dan Kebijakan Perpajakan di Indonesia: Telaah Kritis RUU Perpajakan, Fakultas Hukum UI, Depok, tanggal 24 Nopember 2005.

Ramanadham, V.V, Privatization : A Global Perspective, (London and New York : Routledge, 1993).

Sitompul, Zulkarnain, “Pembatasan Kepemilikan Bank : Gagasan Untuk Memperkuat Sistem Perbankan,” Jurnal Hukum Bisnis, (Volume 22, No. 6, Tahun 2003), Winarno, Budi, “Teori dan Proses Kebijakan Publik,” Media Presindo, Jakarta, 2002.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara Pakistan Privatisasion Commision Ordinance tahun 2000.


(1)

Setidak-tidaknya terdapat tiga kelompok permasalahan yang berkenaan dengan privatisasi.

Pertama, masalah politik, dimana suksesnya pelaksanaan privatisasi sangat bergantung kepada kualitas politik pengambilan keputusan. Pembentukan opini publik vis a vis terhadap privatisasi merupakan masalah besar. Sangat sulit untuk menjelaskan pada masyarakat awam tentang keuntungan yang diperoleh dari kepemilikan swasta. Hal yang penting dilakukan adalah bagaimana meyakinkan mereka bahwa tindakan itu adalah tepat untuk dilakukan. Perencanaan, persyaratan dan keterbukaan diperlukan untuk membentuk kembali sikap masyarakat berkenaan dengan masalah kepemilikan sehingga tetap aman. Sikap negatif sering terjadi berkenaan dengan pemasukan modal asing dan pendirian joint venture.

Kedua, masalah hukum dan ekonomi yang berada dibawah kekuasaan negara. Kredit dan sistem perbankan menimbulkan permasalahan terhadap proses privatisasi. Mekanisme ekonomi pasar, merupakan hal yang menentukan suksesnya kebijakan privatisasi. Hukum harus merupakan dasar dilakukannya privatisasi agar dapat menjamin dalam merumuskan proses privatisasi, dan penjualan saham perusahaan kepada para karyawannya dengan potongan harga (discount). Pemilihan perusahaan untuk diprivatisasi merupakan masalah lain yang lebih sulit. Secara umum privatisasi sebaiknya dilakukan pada perusahaan yang secara operasional masih visible.

Ketiga, masalah teknis. Masalah utama yang menjadi perhatian adalah penilaian/penaksiran aset yang ditawarkan untuk dijual. Untuk itu harus ada suatu badan sebagai komisi independen yang antara lain bertugas mengatur saham, menaksir nilai aset yang akan diprivatisasi. Hal ini diperhatikan, mengingat informasi yang sederhana tentang sebuah perusahaan tidaklah cukup untuk menaksir nilai asetnya. Untuk menilai


(2)

prospek perusahaan sebaiknya dilakukan studi yang mendalam. Penetapan harga penjualan perusahaan negara kepada investor asing harus realistis sehingga perusahaan asing dimaksud menyetujui penawaran tersebut tanpa menimbulkan polemik. 13

Dalam kerangka produktivitas ekonomi dan kesejahteraan konsumen terdapat dua kondisi sebagai faktor penting yang mempengaruhi suksesnya privatisasi. Pertama adalah pasar yang berjalan secara alami, termasuk didalamnya perusahaan yang akan di divestasi pada sektor kompetitif ataupun non kompetitif. Sektor kompetitif adalah sektor yang dapat diperdagangkan, misalnya industri, penerbangan (airlines), budidaya pertanian (agriculture), dan kegiatan pendistribusian.14 Sektor ini sangat memungkinkan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi secara cepat dan berarti, sepanjang tidak terdapat distorsi ekonomi secara luas. Adanya distorsi mengakibatkan privatisasi kehilangan keuntungan terhadap beban subsidi pajak BUMN dan besarnya biaya yang diakibatkan oleh distorsi itu sendiri. Kedua, kondisi negara yang bersangkutan, meliputi kerangka kebijakan seluruh sektor makro ekonomi dan kewenangan untuk membuat regulasi.15

       

Privatisasi yang dilakukan pada kedua sektor baik perusahaan kompetitif maupun perusahaan non kompetitif akan lebih mempercepat dan memperbesar keuntungan. Dengan kebijakan yang peka terhadap terciptanya kondisi lingkungan dan pasar yang lebih mendukung. Hal ini merupakan argumentasi yang digunakan Bank Dunia dalam memberikan dukungan terhadap privatisasi sebagai salah satu bagian dari program kebijakan pemerintah.

 

13

V.V Ramanadham, Privatization : A Global Perspective, (London and New York : Routledge, 1993), hal. 78-80.

14

Pasal 7 PP No.33 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Privatisasi Persero (PP Privtisasi).

15


(3)

Apabila privatisasi yang dilakukan meliputi perusahaan pada pasar non kompetitif (biasanya kegiatan BUMN memonopoli pada beberapa bidang seperti kekuasaan (power), penyediaan sumberdaya air (water supply), dan telekomunikasi, maka sistem peraturan perundang-undangan harus dibuat untuk melindungi para konsumen. Kebijakan dan kapasitas peraturan yang baik berhubungan erat dengan pendapatan. Oleh karena itu, pada negara yang pendapatannya pada level menengah (middle-income) cenderung lebih baik posisinya dalam memprivatisasi perusahaan pada sektor non kompetitif ini.16

Tabel berikut memberikan suatu kerangka kebijakan terhadap pembuat keputusan sebelum melakukan privatisasi dengan memperhatikan keadaan negara :17

Keadaan Perusahaan Keadaan Negara

Sektor Kompetitif Sektor Non Kompetitif Kapasitas yang tinggi

untuk membuat regulasi; Pasar yang mendukung

Keputusan :  Dijual

Keputusan :

 Menjamin atau

membuat pengaturan lingkungan secara tepat.

 Kemudian

mempertimbangkan penjualan

Kapasitas yang rendah Keputusan : Keputusan :

      

16

Ibid, hal. 5.

17


(4)

untuk membuat regulasi; Pasar tidak mendukung

 Dijual, dengan memperhatikan keadaan kompetisi.

 Mempertimbangkan managemen

privatisasi.

 Mengusahakan pasar yang mendukung kerangka kebijakan.

 Membuat pengaturan lingkungan secara tepat.

 Kemudian

mempertimbangkan penjualan.

Agar jalannya privatisasi BUMN lebih fair, perlu dipikirkan apakah kita memerlukan satu Komisi Privatisasi yang bersifat independen yang anggota terdiri dari orang-orang di luar pemerintah, yang bertugas menjual BUMN, sebagaimana pernah diterapkan Perancis dalam pelaksanaan privatisasi. Memang, Komite Privatisasi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, tetapi terlihat Komite itu belum bersifat independen, karena anggotanya terdiri dari Menteri-Menteri. Apabila Komisi yang bersifat independen itu kita butuhkan, seyogianya diatur dalam perubahan peraturan Privatisasi yang akan datang. Kita bisa mencontoh Peraturan mengenai Komisi Privatisasi yang mensyaratkan bahwa anggota komisi privatisasi harus berasal dari kalangan profesional. Sehingga dalam pelaksanaanya dari 9 anggota


(5)

Pakistan Privatisasion Commission, 8 diantaranya adalah profesional dari kalangan privat. 18

Penekanan pengaturan lainnya yang perlu diperhatikan dalam ketentuan Peraturan Menteri tentang cara privatisasi yang di amanatkan Pasal 5 ayat (2) PP Privatisai. Pelaksanaan privatisasi itu lebih baik menitikberatkan penjualannya melalui pasar modal, dibandingkan dengan menjualnya kepada mitra strategis (strategic sale).19 Melalui pasar modal akan membuat penjualan saham BUMN terdistribusi dalam masyarakat. Dengan ini akan memperluas kepemilikan masyarakat atas BUMN.

IV. PENUTUP

Perlu diperhatikan tujuan dari UU BUMN dan berbagai peraturan perundang-undangan tidak akan tercapai apabila dalam pelaksanaanya terdapat berbagai permasalahan dan hambatan, yang pada gilirannya pula membuat Undang-Undang tersebut tidak dapat dijalankan dilapangan. Oleh karena itu menjadi perhatian kita untuk mengkaji berbagai hal yang perlu dibuat mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin timbul dalam pelaksanaan UU BUMN ini kedepan dan pada gilirannya dapat menjadi dasar sistem pembinaan dan pengelolaan BUMN efektif dan efisien.

     

            

18

Lihat Pasal 7 Pakistan Privatisasion Commision Ordinance tahun 2000.

19


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Clarke, R.G., George dan Robert Cull, Political and Economics Determinants of The Likelihood of Privatizing Argentina Public Bank, Jurnal of Law and economics, (Vol. XLV, April 2002), The University of Chicago.

Dunn, William N., Pengatar Analisis Kebijakan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2003.

Laswel, Harold dalam Riant Nugroho D, Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi, (Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komptindo Kelompok Gramedia, 2003.

Nasution Bismar, “Menuju Sistem Pengelolaan BUMN Yang Efektif dan Efisien,” makalah disampaikan pada Sosialisasi Undang-Undang BUMN dan Peraturan Pelaksanaannya serta Eksistensinya Dalam Sistem Pembinaan dan Pengelolaan BUMN, diselenggarakan Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara, Medan, 14 Desember 2005

Pontjowinoto, P, Iwan., “Kepentingan BUMN Dalam Kebijakan Perpajakan Nasional,” makalah disampaikan pada Seminar Nasional Reposisi Keuangan Negara dan Kebijakan Perpajakan di Indonesia: Telaah Kritis RUU Perpajakan, Fakultas Hukum UI, Depok, tanggal 24 Nopember 2005.

Ramanadham, V.V, Privatization : A Global Perspective, (London and New York : Routledge, 1993).

Sitompul, Zulkarnain, “Pembatasan Kepemilikan Bank : Gagasan Untuk Memperkuat Sistem Perbankan,” Jurnal Hukum Bisnis, (Volume 22, No. 6, Tahun 2003), Winarno, Budi, “Teori dan Proses Kebijakan Publik,” Media Presindo, Jakarta, 2002.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara Pakistan Privatisasion Commision Ordinance tahun 2000.