Kebijakan Privatisasi di Indonesia buku

Nama : Imas Qurhothul Ainiyah
NPM : 1306383155
Kelas : Negara A

Kebijakan Privatisasi di Indonesia
Privatisasi merupakan kebijakan publik yang mengarahkan bahwa tidak ada alternative
lain selain pasar yang dapat mengendalikan ekonomi secara efisien, serta menyadari bahwa sebagian
besar kegiatan pembangunan ekonomi yang dilaksanakan selama ini seharusnya diserahkan kepada
sector swasta (Indra Bastian: 2002). Asumsi penyerahan pengelolaan pelayanan publik ke sector
swasta adalah peningkatan efisiensi penggunaan sumber daya yang dapat dicapai. Sedangkan
menurut John More – Menteri Muda BUMN Inggris: 1980-1988 (dalam Indra Bastian: 2002),
mengemukakan bahwa privatisasi sering dikonotasikan sebagai pengembalian perusahaan Negara
kepada sector swasta, kontrak jasa kepada sector swasta, pembebasan dalam arti kompetisi dan
deregulasi.Selain itu, Pirie:1980 juga mengemukakan bahwa ide privatisasi melibatkan pemindahan
produksi barang dan jasa sector publik ke sector swasta. Pemindahan ini mengakibatkan perubahan
manajemen perusahaan sector publik ke mekanisme swasta. Privatisasi lebih merupakan metode,
bukan semata-mata kebijakan final. Sebuah metode regulasi yang memiliki kecenderungan untuk
mengatur aktivitas ekonomi sesuai mekanisme pasar. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
privatisasi merupakan perubahan kepemilikan perusahaan Negara menjadi milik swasta.
Privatisasi dapat diasumsikan dalam berbagai bentuk, akan tetapi terdapat tiga macam yan
paling umum, yaitu pertama, the sale of an existing state-owned enterprise. Bentuk ini banyak

terdapat di Eropa, di Negara-negara berkembang dan bentuk perencanaan di Negara-negara Eropa
Timur dan bekas Uni Soviet. Di Eropa Barat, privatisasi dilakukan terhadap perusahaan Negara
skala besar, seperti utilitas publik, transportasi dan industry berat. Di Eropa Timur dan bekas Uni
Soviet, privatisasi dilakukan terhadap perusahaan milik Negara dari skala kecil sampai skala besar.
Di antara Negara berkembang, juga ditemukan perusahaan kecil dan besar milik Negara yang
diprivatisasi. Kedua, use of private financing and management rather than public for new
insfrastructure development. Bentuk privatisasi , di mana kondisi perusahaan swasta di suatu Negara
lebih baik dari perusahaan sector publik tradisional dalam pengembangan infrastruktur. Situasi ini
menjadikan privatisasi cepat menjadi popular, setidak-tidaknya dalam experimental sense, hampir di

setiap tempat. Ketiga, outsourcing (contracting out to private vendor) yaitu bentuk privatisasi di
mana terjadi pelepasan fungsi sector publik konvensional seluruhnya dikontrakkan ke vendor swasta.
Salah satu tujuan privatisasi adalah peningkatan mutu pelayanan publik. Indikator mutu
pelayanan dapat dilihat melalui kemampuan perusahaan memenuhi keinginan dan kebutuhan
masyarakat. Artinya, masyarakat dapat memilih suatu pelayanan yang disediakan oleh perusahaan
sector publik dengan mempertimbangkan keberadaan kualitas pelayanan atau masyarkat lebih
tertarik pada kuantitas, biaya atau prioritas lainnya dalam menentukan pilihan. Selain kualitas yang
menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan pilihan, sesuatu yang berbeda dari berbagai macam
pelayanan merupakan alternative lain pilihan masyarakat. Privatisasi, dalam hal ini berperan sebagai
pendorong vendor swasta untuk menciptakan alternatif pelayanan sesuai dengan keinginan dan

kebutuhan masyarakat dengan mempertimbangkan kualitas atau kuantitas dalam memberikan
layanan.
Pemerintah yang melakukan privatisasi perusahaan sector publik dapat dipastikan
memiliki motif tertentu. Motivasi penjualan perusahaan Negara atau perusahaan Negara yang
dikontrakkan dengan pihak swasta adalah peningkatan efisiensi sector publik, selayaknya kinerja
efisiensi sector swasta. Selain itu, harapan kemungkinan laba, insentif yang lebih tinggi, efisiensi
dan berorientasi kepada konsumen merupakan berbagai motivasi tambahan bagi perusahaan yang
diprivatisasi. Keuntungan efisiensi akan menurunkan tingkat tariff yang perlu dibayar oleh pembayar
pajak, untuk menjaga kelangsungan pelayanan perusahaan bentukan milik Negara. Privatisasi akan
membentuk pihak pemenang dan kalah dalam proses kepemilikan. Investigasi penghematan biaya
dan tingkat efisiensi sering gagal untuk membedakan hasil penghematan ataukah hasil menstransfer
biaya ke segmen pasar yang lain. Diharapkan dengan privatisasi, focus pengendalian biaya dapat
dilakukan dengan lebih tajam dan sistematis. Selain itu, privatisasi meningkatkan tanggung jawab
lingkungan, keselamatan pekerja dan kualitas pelayanan yang diproduksi.
Berbagai pihak yang berkepentingan dengan privatisasi dapat dikelompokkan menjadi
pemerintah, organisasi atau perusahaan yang diprivatisasi dan calon investor. Pemerintah
mempunyai kepentingan dalam proses tersebut dengan tujuan meningkatkan efisiensi, menigkatkan
daya saing, transformasi ke sector privat dan mengajak partisipasi kerja secara luas dalam
kepemilikan perusahaan. Dengan demikian, efisiensi dan keuntungan harus dioptimalkan,
memperkuat manajemen, perubahan perilaku atau sifat dan internal organisasi yang kokoh.

Informasi ini dapat dipergunakan investor untuk menganalisis keuntungan jangka panjang program

privatisasi. Pengelompokan proses privatisasi dapat dilakukan dalam tiga bagian yaitu pertama,
struktur peraturan yang berlaku. Peraturan yang mengatur proses privatisasi seharusnya
dikembangkan dalam konteks tujuan nasional dan mendapatkan persetujuan DPR. Peraturan tersebut
sebaiknya mengakomodasi setiap langkah detail proses privatisasi, sehingga pelaksanaan proses
privatisasi dapat dilakukan dengan lebih efektif. Ketidaktepatan dan kurang rincinya peraturan
proses privatisasi telah mengakibatkan berbelitnya prosedur privatisasi dan akhirnya, waktu yang
dibutuhkan lebih panjang dari yang seharusnya. Kedua, stabilitas struktur dan konsistensi orientasi
organisasi harus dilakukan selama proses privatisasi berlangsung. Kemantapan organisasi dapat
berupa teknik mendapatkan karyawan yang berbakat, implementasi system baru dan implementasi
orientasi bisnis dengan peningkatan kualitas pelayanan konsumen. Bagian terakhir meliputi harga
penjualan kepemilikan pemerintah selayaknya mempertimbangkan kepentingan nasional terlebih
dahulu.
Pada tahun 1970-an, di Indonesia peranan BUMN ditingkatkan sebagai inti strategi
industrialisasi ekonomi Indonesia. Dalam proses industrialisasi itu, dibangun industry besar yang
padat modal dan berteknologi tinggi dengan rasio kerugian yang besar. Dalam periode tahun 1970an, muncul investasi Pemerintah dalam industry mesin dan alat-alat berat, seperti industry besi, baja,
pengolahan logam, petrokimia, pulp dan kertas. Kebijakan itu berlangsung sampai 1990-an,
termasuk pembangunan industry kapal, kereta api dan pesawat terbang. Beberapa alasan strategi
yang melatarbelakangi kebijakan tersebut adalah ada kekhawatiran pihak pemerintah, bahwa bila

dibiarkan bebas, alat produksi akan dikuasai oleh modal asing dan kelompok-kelompok pengusaha
etnis Tionghoa. Selain itu, BUMN cocok untuk melaksanakan program restrukturisasi ekonomi yang
berkembang di tahun 1970-an. Investasi oleh BUMN dapat diarahkan juga untuk menentukan arah
pembangunan ekonomi. BUMN juga dapat menjadi unsur stimulasi pengembangan sector swasta di
Indonesia. BUMN mempunyai kemampuan untuk masuk ke berbagai sector sekaligus memberikan
berbagai dorongan dan kemudahan kepada investor dalam bidang atau daerah yang kurang
menguntungkan. Tidak hanya itu, BUMN juga menyediakan infrastruktur dan bahan baku yang
relatif murah bagi sector swasta termasuk penyediaan dana dan mencari kontrak-kontrak.
Praktik yang terjadi menunjukkan BUMN berkembang menjadi sumber pendapatan bagi
kelompok elit politik dan militer tertentu. Kelompok tersebut menyalahfungsikan BUMN untuk
kepentingan pribadi dan kelompoknya antara lain melalui kontrak bisnis yang bernuansa KKN
(korupsi, kolusi, nepotisme), pengadaan barang dan dana yang tidak transparan, alokasi konsesi dana
bidang kehutanan, penyalahgunaan izin konsensi perminyakan dan pertambangan. Kinerja BUMN

semakin memburuk sejak 1980, ketika liberalisasi ekonomi Indonesia mulai dilaksanakan. Hal ini
disebabkan karena BUMN terbiasa mendapat fasilitas khusus pemerintah sehingga ketika liberalisasi
ekonomi pasar mulai, BUMN belum siap. Di tahun 1990-an, kondisi BUMN lebih parah dengan laba
rata-rata BUMN di tahun 1996 dan 1997 hanya 3% dari modal yang ditanamkan. Dibandingkan
swasta, tingkat keutungan tersebut hanya seperempat atau seperlima dari laba perusahaan swasta
sejenis. Akibatnya adalah ketidakmampuan untuk membiayai perluasan usahanya atau untuk

membayar utang BUMN.
Di tahun 1997, Indonesia dilanda krisis moneter pertengahan tahun 1997. Kondisi kinerja
BUMN semakinparah. Dengan rekomendasi IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia,
pemerintah lebih serius meningkatkan kinerja BUMN. Pemerintah menyebutkan langkah perbaikan
itu meliputi restrukturisasi, penggabungan usaha (merger)dan pelaksanaan kerja sama operasi (joint
operation). Proses reformasi itu juga diupayakan dengan meningkatkan partisipasi swasta melalui
penawaran saham perusahaan kepada masyarakat (go public), penempatan langsung investasi (direct
placement) dan trade sales. Rencana reformasi BUMN pada tahun 1998 itu kurang berhasil dalam
pelaksanaannya, misalnya: langkah pemerintah masih terbatas kepada perubahan status komersial
perusahaan BUMN tersebut.Seperti mengubah status beberapa perusahaan jawatan (Perjan) menjadi
perusahaan umum (perum) dan beberapa Perum menjadi Perseroan Terbatas ( Persero). Selain itu,
telah dilakukan penggabungan beberapa BUMN sesuai dengan criteria dan tujuan peningkatan
efisiensi perusahaan.
Istilah privatisasi yang dipakai di Indonesia bisa dilakukan dengan dua cara yaitu strategic
sales (penjualan langsung) dan go public (penjualan saham di Bursa Efek Indonesia/BEI). Kebijakan
Privatisasi sendiri diatur oleh Undang-Undang No. 5 tahun 1999. Seperti fungsinya sebuah kebijakan
privatisasi merupakan kebijakan yang diambil dari usulan yang di bawa atau diberikan oleh
pemerintah sebagai upaya untuk menstabilkan kondisi keuangan dan untuk meningkatkan devisa
atau penerimaan negara, dan harus mendapat persetujuan dari DPR RI terlebih dahulu baru
kebijakan tersebut bisa diambil. Oleh karena itu kebijakan privatisasi merupakan salah satu

kebijakan ekonomi politik Indonesia yang diharapkan dapat membawa manfaat yang besar bagi
Indonesia.
Kasus Privatisasi PT Telkomsel Tbk dan PT Indosat Tbk merupakan kebijakan ekonomi
politik yang diusulkan oleh pemerintah dan disetujui oleh DPR RI, yang telah dilaksanakan.
Telkomsel dan Indosat merupakan dua perusahaan yang bergerak dibidang informasi dan

telekomunikasi. Kedua perusahaan provider ini merupakan perusahaan yang mempunyai pangsa
pasar terbesar di Indonesia yaitu sekitar 80 persen di seluruh Indonesia. Pada kasus privatisasi ini,
penjualan saham hendaknya ditujukan kepada investor potensial sehingga negara masih menjadi
majority tetapi tidak dapat lagi melakukan kontrol sepenuhnya terhadap perusahaan tanpa
persetujuan pemegang saham lain. Dengan cara ini, pengendalian publik atau mekanisme check and
balance tetap berjalan sehingga pengawasan kepada management dapat dilakukan sebagaimana
mestinya.
Penjualan kepada single majority tidak selayaknya dilakukan khususnya untuk
perusahaan-perusahaan yang tergolong vital, karena dalam jangka panjang dapat menimbulkan
resiko bagi negara dalam mengelola hajat hidup orang banyak yang harus ditangani oleh BUMN.
Variasi investor yang membeli saham diprioritaskan berasal dari karyawan, rakyat banyak melalui
investment fund, public, institutional investor, financial investor dan strategic investor. Dengan
variasi investor ini memungkinkan saham negara terlikuidasi tetapi masih menjadi mayoritas.
Penjualan saham kepada strategic investor menimbulkan resiko kemungkinan terjadinya KKN,

walaupun itu dilakukan dengan cara tender terbuka, syak wasangka akan tetap muncul. Dalam
proses tender ini, faktor akses ke pemutus menjadi salah satu kunci dalam memenangkan tender.
Kebijakan privatisasi Telkom dan Indosat memiliki dampak positif dan dampak negatif.
Dampak Positif, Negara mendapat tambahan dana atau devisa dari hasil penjualan saham kedua
perusahaan tersebut, selain itu dengan masuknya kedua anak perusahaan Temasek, maka akan ada
perbaikan dan baik pada manajemen maupun peningkatan teknologinya, yang tentunya akan
berdampak perbaikan mutu dan pelayanan, dan juga bahwa privatisasi dapat memberikan manfaat
bagi publik, termasuk untuk hak publik mendapatkan jasa telekomunikasi dengan harga yang
kompetitif dari Telkom dan Indosat yang sudah diprivatisasi. Dampak negatifnya, adalah terjadinya
ekses yang mengindikasikan adanya monopoli pasar yang dilakukan oleh perusahaan induk dari
Singtel dan STT Singapore yaitu PT Temasek Singapura. Kondisi monopoli pasar ini merupakan
kondisi yang tidak diinginkan dalam suatu lingkungan industri, yang mana akan merusak iklim
bisnis di Indonesia. Walaupun tidak menguasai seluruh saham kedua perusahaan tersebut, tetapi
lebih dari sepertiga sahamnya dikuasainya dan secara langsung Temasek mempunyai andil yang
sangat besar dalam mengintervensi kebijaksanaan, strategi dan keuntungan yang didapat oleh kedua
perusahaan telekomunikasi Indonesia tersebut. Selain itu pemerintah akan mengalami kesulitan
untuk mengintervensi dan mengatur perusahaan-perusahaan ini secara langsung, karena selain
berhadapan dengan Temasek, tetapi juga akan perbahadapan dengan hukum Internasional.

Pemangku kepentingan (stakeholders) BUMN termasuk Telkomsel dan Indosat terdiri dari

banyak pihak yang tidak hanya politisi saja (Pemerintah dan DPR), tetapi juga karyawan, pelanggan,
dan regulator teknis dibidangnya. Karena kebijakan privatisasi merupakan kebijakan ekonomi
politik, maka Pihak-pihak yang termasuk dalam stakeholders ini hendaknya juga diberi kesempatan
untuk memberikan masukan dalam proses privatisasi. Dengan melibatkan segenap stakeholders,
diharapkan proses privatisasi mendapat dukungan dari banyak pihak sehingga proses privatisasi
tidak menimbulkan kontroversi tetapi justru dapat dipakai untuk memperbaiki image positif yang
terbentuk karena pola privatisasi memberi manfaat kepada banyak stakeholder, pemerataan, dan
pengawasan banyak investor atas perjalanan usahanya.
Terkait dengan keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang memvonis
Temasek melanggar Undang Undang Anti-Monopoli, karena melalui dua anak perusahaannya
melakukan kepemilikan silang atas PT Indosat Tbk dan PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel)
Tbk, maka ada signal bahwa ada proses yang tidak transparan dari privatisasi kedua perusahaan ini,
baik dari pihak pemerintah maupun pihak DPR yang menyetujuinya. Selain itu, keputusan KPPU
dan pemerintah untuk memberi peringatan dan ganjaran kepada Temasek untuk dapat menghormati
dan tidak merusak iklim bisnis di Indonesia serta mematuhi segala aturan dan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia harus dijadikan dalam rangka kebijakan privatisasi BUMN selanjutnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa privatisasi merupakan perubahan
kepemilikan perusahaan Negara menjadi milik swasta. Kebijakan privatisasi memberikan ruang
lebih luas bagi swasta untuk mengelola badan usaha milik Negara melalui mekanisme strategic sales
(penjualan langsung) dan go public (penjualan saham di Bursa Efek Indonesia/BEI). Kebijakan

ekonomi politik Indonesia dalam hubungannya dengan privatisasi, khususnya privatisasi Telkomsel
dan Indosat masih belum memihak kepada kepentingan dan kebutuhan publik. Hal ini disebabkan
karena masih lemahnya hukum dan perundangan yang berhubungan dengan kebijakan privatisasi
yang dilakukan pemerintah. Selain mendapat persetujuan Pemerintah dan DPR RI, kebijakan
privatisasi seharusnyanya melibatkan seluruh stackholders yang berhubungan dengan perusahaan
yang akan diprivatisasi. Privatisasi hendaknya melibatkan beberapa perusahaan atau investor dan
tidak ada perusahaan atau investor pembeli yang memiliki hak mayoritas atas saham perusahaan
yang diprivatisasi. Kebijakan privatisasi dari Telkomsel dan Indosat harus ditinjau kembali dan
pemerintah serta DPR RI harus belajar dari kasus privatisasi ini untuk lebih mengetatkan regulasi
dan pembuatan.

Merujuk pada kasus privatisasi tersebut, penulis beropini bahwa privatisasi di Indonesia
masih belum dapat dijadikan sebagai alternatif untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik
bagi masyarakat. Penyebabnya adalah dalam proses privatisasi tersebut, pemerintah belum memiliki
peraturan yang kuat yang mengatur tentang mekanisme privatisasi BUMN dan tidak adanya
komunikasi yang efektif dalam proses privatisasi antara pemerintah, stakeholders dan perusahaan
atau investor pembeli sehingga muncul single majority kepemilikan yang berakibat kepada
ketidakberhasilan Negara mengelola BUMN untuk mmenuhi hajat hidup orang banyak. Dengan
demikian, sebaiknya regulasi mengenai privatisasi di Indonesia perlu diperbaiki agar kebijakan
privatisasi tidak menimbulkan kerugian bagi Negara.


Daftar Pustaka
Bastian, Indra. 2002.Privatisasi di Indonesia: Teori dan Implementasi. Jakarta: Salemba Empat.
Azia.

2012.

Privatisasi

Sebagai

Kebijakan

Ekonomi

Politik

fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-49852-essay%20politik

Indonesia


.

http://azia-

Privatisasi%20Sebagai

%20Kebijakan%20Ekonomi%20Politik%20Indonesia.html diunduh pada Minggu, 10 Mei
2015 pukul 21.59 WIB.
Mungkasa, Oswar. 2012. http://www.slideshare.net/OswarMungkasa/makalah-dampak-privatisasi
diunduh pada Minggu, 10 Mei 2015 pukul 21.40 WIB.