4
BAB II LANDASAN TEORI
II.A. ETOS KERJA II.A.1. Pengertian Etos Kerja
Secara etimologis istilah etos berasal dari bahasa Yunani yang berarti ’tempat hidup’. Mula-mula tempat hidup dimaknai sebagai adat istiadat atau
kebiasaan. Sejalan dengan waktu, kata etos berevolusi dan berubah makna menjadi semakin kompleks. Dari kata yang sama muncul pula istilah Ethikos yang
berarti ’teori kehidupan’, yang kemudian menjadi ’etika’. Dalam bahasa Inggris Etos dapat diterjemahkan menjadi beberapa pengertian antara lain ‘starting point,
to appear, disposition hingga disimpulkan sebagai character. Dalam bahasa Indonesia kita dapat menterjemahkannya sebagai ’sifat dasar’, ’pemunculan’ atau
’disposisiwatak’. Aristoteles menggambarkan etos sebagai salah satu dari tiga mode persuasi selain logos dan pathos dan mengartikannya sebagai ’kompetensi
moral’. Tetapi Aristoteles berusaha memperluas makna istilah ini hingga ’keahlian’ dan ’pengetahuan’ tercakup didalamnya. Ia menyatakan bahwa etos
hanya dapat dicapai hanya dengan apa yang dikatakan seorang pembicara, tidak dengan apa yang dipikirkan orang tentang sifatnya sebelum ia mulai berbicara.
Disini terlihat bahwa etos dikenali berdasarkan sifat-sifat yang dapat terdeteksi oleh indera. Webster Dictionary mendefinisikan etos sebagai; guiding beliefs of a
person, group or institution; etos adalah keyakinan yang menuntun seseorang, kelompok atau suatu institusi. A. S. Hornby 1995 dalam The New Oxford
Advances Learner’s Dictionary mendefinisikan etos sebagai; the characteristic spirit, moral values, ideas or beliefs of a group, community or culture;
karakteristik rohani, nilai-nilai moral, ide atau keyakinan suatu kelompok, komunitas, atau budaya. Sedangkan dalam The American Heritage Dictionary of
English Language, etos diartikan dalam dua pemaknaan;
1.
the disposition, character, or attitude peculiar to a specific people, culture or a group that
distinguishes it from other peoples or group; fundamental values or spirit; mores; disposisi, karakter, atau sikap khusus orang, budaya atau kelompok yang
Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009 USU e-Repository © 2009
5 membedakannya dari orang atau kelompok lain; nilai atau jiwa yang mendasari;
adat-istiadat. Makna berikutnya yaitu
2.
The governing or central principles in a movement, work of art, mode of expression, or the like; Prinsip utama atau
pengendali dalam suatu pergerakan, pekerjaan seni, bentuk ekspresi, atau sejenisnya. Dari sini dapat kita peroleh pengertian bahwa etos merupakan
seperangkat pemahaman dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang secara mendasar mempengaruhi kehidupan, menjadi prinsip-prinsip pergerakan, dan cara
berekspresi yang khas pada sekelompok orang dengan budaya serta keyakinan yang sama.
Menurut Anoraga 1992 Etos Kerja merupakan suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja. Bila individu-individu dalam komunitas
memandang kerja sebagai suatu hal yang luhur bagi eksistensi manusia, maka Etos Kerjanya akan cenderung tinggi. Sebaliknya sikap dan pandangan terhadap
kerja sebagai sesuatu yang bernilai rendah bagi kehidupan, maka Etos Kerja dengan sendirinya akan rendah.
Dalam situs resmi kementerian KUKM, Etos Kerja diartikan sebagai sikap mental yang mencerminkan kebenaran dan kesungguhan serta rasa tanggung
jawab untuk meningkatkan produktivitas www.depkop.go.id. Pada Websters Online Dictionary, Work Ethic diartikan sebagai; Earnestness or fervor in
working, morale with regard to the tasks at hand; kesungguhan atau semangat dalam bekerja, suatu pandangan moral pada pekerjaan yang dilakoni. Dari
rumusan ini kita dapat melihat bagaimana Etos Kerja dipandang dari sisi praktisnya yaitu sikap yang mengarah pada penghargaan terhadap kerja dan upaya
peningkatan produktivitas. Dalam rumusan Jansen Sinamo 2005, Etos Kerja adalah seperangkat
perilaku positif yang berakar pada keyakinan fundamental yang disertai komitmen total pada paradigma kerja yang integral. Menurutnya, jika seseorang, suatu
organisasi, atau suatu komunitas menganut paradigma kerja, mempercayai, dan berkomitmen pada paradigma kerja tersebut, semua itu akan melahirkan sikap dan
perilaku kerja mereka yang khas. Itulah yang akan menjadi Etos Kerja dan budaya. Sinamo 2005 memandang bahwa Etos Kerja merupakan fondasi dari
Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009 USU e-Repository © 2009
6 sukses yang sejati dan otentik. Pandangan ini dipengaruhi oleh kajiannya terhadap
studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal abad ke-20 dan penulisan- penulisan manajemen dua puluh tahun belakangan ini yang semuanya bermuara
pada satu kesimpulan utama; bahwa keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja. Sebagian orang
menyebut perilaku kerja ini sebagai motivasi, kebiasaan habit dan budaya kerja. Sinamo 2005 lebih memilih menggunakan istilah etos karena menemukan
bahwa kata etos mengandung pengertian tidak saja sebagai perilaku khas dari sebuah organisasi atau komunitas tetapi juga mencakup motivasi yang
menggerakkan mereka, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, sikap-sikap, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan,
prinsip-prinsip, dan standar-standar. Melalui berbagai pengertian diatas baik secara etimologis maupun praktis
dapat disimpulkan bahwa Etos Kerja merupakan seperangkat sikap atau pandangan mendasar yang dipegang sekelompok manusia untuk menilai bekerja
sebagai suatu hal yang positif bagi peningkatan kualitas kehidupan sehingga mempengaruhi perilaku kerjanya.
II.A.2. Aspek-Aspek Etos Kerja
Menurut Sinamo 2005 setiap manusia memiliki spiritroh keberhasilan, yaitu motivasi murni untuk meraih dan menikmati keberhasilan. Roh inilah yang
menjelma menjadi perilaku yang khas seperti kerja keras, disiplin, teliti, tekun, integritas, rasional, bertanggung jawab dan sebagainya melalui keyakinan,
komitmen, dan penghayatan atas paradigma kerja tertentu. Dengan ini maka orang berproses menjadi manusia kerja yang positif, kreatif dan produktif. Dari ratusan
teori sukses yang beredar di masyarakat sekarang ini, Sinamo 2005 menyederhanakannya menjadi empat pilar teori utama. Keempat pilar inilah yang
sesungguhnya bertanggung jawab menopang semua jenis dan sistem keberhasilan yang berkelanjutan sustainable success system pada semua tingkatan. Keempat
elemen itu lalu dia konstruksikan dalam sebuah konsep besar yang disebutnya
Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009 USU e-Repository © 2009
7 sebagai Catur Dharma Mahardika bahasa Sanskerta yang berarti Empat Darma
Keberhasilan Utama, yaitu: 1.
Mencetak prestasi dengan motivasi superior. 2.
Membangun masa depan dengan kepemimpinan visioner. 3.
Menciptakan nilai baru dengan inovasi kreatif. 4.
Meningkatkan mutu dengan keunggulan insani. Keempat darma ini kemudian dirumuskan pada delapan aspek Etos Kerja
sebagai berikut: 1.
Kerja adalah rahmat; karena kerja merupakan pemberian dari Yang Maha Kuasa, maka individu harus dapat bekerja dengan tulus dan penuh syukur.
2. Kerja adalah amanah; kerja merupakan titipan berharga yang dipercayakan
pada kita sehingga secara moral kita harus bekerja dengan benar dan penuh tanggung jawab.
3. Kerja adalah panggilan; kerja merupakan suatu dharma yang sesuai
dengan panggilan jiwa kita sehingga kita mampu bekerja dengan penuh integritas.
4. Kerja adalah aktualisasi; pekerjaan adalah sarana bagi kita untuk mencapai
hakikat manusia yang tertinggi sehingga kita akan bekerja keras dengan penuh semangat
5. Kerja adalah ibadah; bekerja merupakan bentuk bakti dan ketaqwaan
kepada Sang Khalik, sehingga melalui pekerjaan individu mengarahkan dirinya pada tujuan agung Sang Pencipta dalam pengabdian.
6. Kerja adalah seni; kerja dapat mendatangkan kesenangan dan kegairahan
kerja sehingga lahirlah daya cipta, kreasi baru, dan gagasan inovatif. 7.
Kerja adalah kehormatan; pekerjaan dapat membangkitkan harga diri sehingga harus dilakukan dengan tekun dan penuh keunggulan.
8. Kerja adalah Pelayanan; manusia bekerja bukan hanya untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri saja tetapi untuk melayani sehingga harus bekerja dengan sempurna dan penuh kerendahan hati.
Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009 USU e-Repository © 2009
8 Anoraga 1992 juga memaparkan secara eksplisit beberapa sikap yang
seharusnya mendasar bagi seseorang dalam memberi nilai pada kerja, yang disimpulkan sebagai berikut:
1. Bekerja adalah hakikat kehidupan manusia
2. Pekerjaan adalah suatu berkat Tuhan.
3. Pekerjaan merupakan sumber penghasilan yang halal dan tidak amoral
4. Pekerjaan merupakan suatu kesempatan untuk mengembangkan diri dan
berbakti 5.
Pekerjaan merupakan sarana pelayanan dan perwujudan kasih Dalam penulisannya, Akhmad Kusnan 2004 menyimpulkan pemahaman
bahwa Etos Kerja menggambarkan suatu sikap, maka ia menggunakan lima indikator untuk mengukur Etos Kerja. Menurutnya Etos Kerja mencerminkan
suatu sikap yang memiliki dua alternatif, positif dan negatif. Suatu individu atau kelompok masyarakat dapat dikatakan memiliki Etos Kerja yang tinggi, apabila
menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut: 1.
Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia, 2.
Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur bagi eksistensi manusia,
3. Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan
manusia, 4.
Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita,
5. Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah.
Bagi individu atau kelompok masyarakat yang memiliki Etos Kerja yang rendah, maka akan ditunjukkan ciri-ciri yang sebaliknya Kusnan, 2004, yaitu;
1. Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri,
2. Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia,
3. Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh
kesenangan, 4.
Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan, 5.
Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup.
Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009 USU e-Repository © 2009
9 Dari berbagai aspek yang ditampilkan ketiga tokoh diatas, dapat dilihat
bahwa aspek-aspek yang diusulkan oleh dua tokoh berikutnya telah termuat dalam beberapa aspek Etos Kerja yang dikemukakan oleh Sinamo, sehingga penulisan
ini mendasari pemahamannya pada delapan aspek Etos Kerja yang dikemukakan oleh Sinamo sebagai indikator terhadap Etos Kerja.
II.A.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Etos Kerja
Etos Kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: a.
Agama Dasar pengkajian kembali makna Etos Kerja di Eropa diawali oleh buah
pikiran Max Weber. Salah satu unsur dasar dari kebudayaan modern, yaitu rasionalitas rationality menurut Weber 1958 lahir dari etika Protestan.
Pada dasarnya agama merupakan suatu sistem nilai. Sistem nilai ini tentunya akan mempengaruhi atau menentukan pola hidup para penganutnya. Cara
berpikir, bersikap dan bertindak seseorang pastilah diwarnai oleh ajaran agama yang dianutnya jika ia sungguh-sungguh dalam kehidupan beragama.
Dengan demikian, kalau ajaran agama itu mengandung nilai-nilai yang dapat memacu pembangunan, jelaslah bahwa agama akan turut menentukan jalannya
pembangunan atau modernisasi. Weber 1958 memperlihatkan bahwa doktrin predestinasi dalam protestanisme mampu melahirkan etos berpikir rasional,
berdisiplin tinggi, bekerja tekun sistematik, berorientasi sukses material, tidak mengumbar kesenangan - namun hemat dan bersahaja asketik, serta
menabung dan berinvestasi, yang akhirnya menjadi titik tolak berkembangnya kapitalisme di dunia modern.
Sejak Weber menelurkan karya tulis The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism 1958, berbagai studi tentang Etos Kerja berbasis agama sudah
banyak dilakukan dengan hasil yang secara umum mengkonfirmasikan adanya korelasi positif antara sebuah sistem kepercayaan tertentu dan kemajuan
ekonomi, kemakmuran, dan modernitas Sinamo, 2005. Menurut Rosmiani 1996 Etos Kerja terkait dengan sikap mental, tekad, disiplin dan semangat
kerja. Sikap ini dibentuk oleh sistem orientasi nilai-nilai budaya, yang
Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009 USU e-Repository © 2009
10 sebagian bersumber dari agama atau sistem kepercayaanpaham teologi
tradisional. Ia menemukan Etos Kerja yang rendah secara tidak langsung dipengaruhi oleh rendahnya kualitas keagamaan dan orientasi nilai budaya
yang konservatif turut menambah kokohnya tingkat Etos Kerja yang rendah itu.
b. Budaya
Selain temuan Rosmiani 1996 diatas, Usman Pelly dalam Rahimah, 1995 mengatakan bahwa sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja
masyarakat juga disebut sebagai etos budaya dan secara operasional, etos budaya ini juga disebut sebagai Etos Kerja. Kualitas Etos Kerja ini ditentukan
oleh sistem orientasi nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya maju akan memiliki Etos Kerja yang tinggi
dan sebaliknya, masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya yang konservatif akan memiliki Etos Kerja yang rendah, bahkan bisa sama sekali
tidak memiliki Etos Kerja. Pernyataaan ini juga didukung oleh studi yang dilakukan Suryawati, Dharmika, Namiartha, Putri dan weda 1997 yang
menyimpulkan bahwa semangat kerjaEtos Kerja sangat ditentukan oleh nilai- nilai budaya yang ada dan tumbuh pada masyarakat yang bersangkutan. Etos
Kerja juga sangat berpegang teguh pada moral etik dan bahkan Tuhan. Etos Kerja berdasarkan nilai-nilai budaya dan agama ini menurut mereka diperoleh
secara lisan dan merupakan suatu tradisi yang disebarkan secara turun- temurun.
c. Sosial Politik
Soewarso, Rahardjo, Subagyo, dan Utomo 1995 menemukan bahwa tinggi rendahnya Etos Kerja suatu masyarakat dipengaruhi oleh ada atau
tidaknya struktur politik yang mendorong masyarakat untuk bekerja keras dan dapat menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh. KH. Abdurrahman
Wahid 2002 mengatakan bahwa Etos Kerja harus dimulai dengan kesadaran akan pentingnya arti tanggung jawab kepada masa depan bangsa dan negara.
Dorongan untuk mengatasi kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan hanya mungkin timbul, jika masyarakat secara keseluruhan memiliki orientasi
Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009 USU e-Repository © 2009
11 kehidupan yang teracu ke masa depan yang lebih baik. Orientasi ke depan itu
harus diikuti oleh penghargaan yang cukup kepada kompetisi dan pencapaian achievement. Orientasi ini akan melahirkan orientasi lain, yaitu semangat
profesionalisme yang menjadi tulang-punggung masyarakat modern. d.
Kondisi LingkunganGeografis Suryawati, Dharmika, Namiartha, Putri dan weda 1997 juga menemukan
adanya indikasi bahwa Etos Kerja dapat muncul dikarenakan faktor kondisi geografis. Lingkungan alam yang mendukung mempengaruhi manusia yang
berada di dalamnya melakukan usaha untuk dapat mengelola dan mengambil manfaat, dan bahkan dapat mengundang pendatang untuk turut mencari
penghidupan di lingkungan tersebut. e.
Pendidikan Etos Kerja tidak dapat dipisahkan dengan kualitas sumber daya manusia.
Peningkatan sumber daya manusia akan membuat seseorang mempunyai Etos Kerja keras. Meningkatnya kualitas penduduk dapat tercapai apabila ada
pendidikan yang merata dan bermutu, disertai dengan peningkatan dan perluasan pendidikan, keahlian dan keterampilan, sehingga semakin
meningkat pula aktivitas dan produktivitas masyarakat sebagai pelaku ekonomi Rahimah, Fauziah, Suri dan Nasution, 1995.
f. Struktur Ekonomi
Pada penulisan Soewarso, Rahardjo, Subagyo, dan Utomo 1995 disimpulkan juga bahwa tinggi rendahnya Etos Kerja suatu masyarakat
dipengaruhi oleh ada atau tidaknya struktur ekonomi, yang mampu memberikan insentif bagi anggota masyarakat untuk bekerja keras dan
menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh. g.
Motivasi Intrinsik individu Anoraga 1992 mengatakan bahwa Individu yang akan memiliki Etos
Kerja yang tinggi adalah individu yang bermotivasi tinggi. Etos Kerja merupakan suatu pandangan dan sikap, yang tentunya didasari oleh nilai-nilai
yang diyakini seseorang. Keyakinan inilah yang menjadi suatu motivasi kerja. Maka Etos Kerja juga dipengaruhi oleh motivasi seseorang.
Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009 USU e-Repository © 2009
12 Menurut Herzberg dalam Siagian, 1995, motivasi yang sesungguhnya
bukan bersumber dari luar diri, tetapi yang tertanamterinternalisasi dalam diri sendiri, yang sering disebut dengan motivasi intrinsik. Ia membagi faktor
pendorong manusia untuk melakukan kerja ke dalam dua faktor yaitu faktor hygiene dan faktor motivator. Faktor hygiene ini merupakan faktor dalam
kerja yang hanya akan berpengaruh bila ia tidak ada, yang akan menyebabkan ketidakpuasan. Ketidakhadiran faktor ini dapat mencegah timbulnya motivasi,
tetapi ia tidak menyebabkan munculnya motivasi. faktor ini disebut juga faktor ekstrinsik, yang termasuk diantaranya yaitu gaji, status, keamanan kerja,
kondisi kerja, kebijaksanaan organisasi, hubungan dengan rekan kerja, dan supervisi. Ketika sebuah organisasi menargetkan kinerja yang lebih tinggi,
tentunya organisasi tersebut perlu memastikan terlebih dahulu bahwa faktor hygiene tidak menjadi penghalang dalam upaya menghadirkan motivasi
intrinsik. Faktor yang kedua adalah faktor motivator sesungguhnya, yang mana
ketiadaannya bukan berarti ketidakpuasan, tetapi kehadirannya menimbulkan rasa puas sebagai manusia. Faktor ini disebut juga faktor intrinsik dalam
pekerjaan, yang
meliputi pencapaian
suksesachievement, pengakuanrecognition, kemungkinan untuk meningkat dalam jabatan
Karieradvancement, tanggung
jawabresponsibility, kemungkinan
berkembanggrowth possibilities, dan pekerjaan itu sendirithe work itself. Herzberg, dalam Anoraga, 1992 Hal-hal ini sangat diperlukan dalam
meningkatkan performa kerja dan menggerakkan pekerja hingga mencapai performa yang tertinggi.
II.B. ORGANIZATION-BASED SELF-ESTEEM II.B.1. Pengertian Organization-Based Self-esteem
Secara sederhana self-esteem diartikan sebagai proses evaluasi diri seseorang baik dalam cara yang positif maupun negatif Greenberg, 2005. Hogg
Vaughan 2002 mendefinisikan self-esteem sebagai evaluasi dan perasaan tentang diri pribadi. Kreitner Kinicki 2000 mendefinisikan istilah self-esteem
Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009 USU e-Repository © 2009
13 sebagai suatu keyakinan nilai diri sendiri yang didasarkan pada evaluasi diri
secara keseluruhan. Rosenberg dalam Kernis 1995 dan para ahli lainnya telah membandingkan self-esteem dengan sikap, dan menemukan bahwa self-esteem
memiliki komponen afektif dan kognitif. Komponen kognitif mengacu pada keyakinan individu tentang keberhargaan dirinya.
Tory Higgins dalam Deaux, Dane, Wrightsman, 1993 mengajukan dua tipe diri potensial yang menempati konsep diri kita yaitu Ideal-Self dan Ought-
Self. Ideal-self mengacu kepada konsep diri yang ingin dicapai individu, sedangkan ought-self adalah konsep diri yang sebenarnya hadir. Ketika
kesenjangan antara ideal-self dan ought-self ini terlalu besar, maka akan timbullah perasaan yang tidak menyenangkan, suatu kondisi yang dihindari oleh setiap
orang. Setiap orang selalu berusaha memperoleh perasaan yang menyenangkan tentang dirinya. Biasanya tuntutan perasaan positif ini menimbulkan over-estimasi
terhadap evaluasi mengenai nilai-nilai baik seseorang, kemampuannya dalam mengatasi situasi atau kejadian atau terlalu optimis. Memiliki penilaian yang
akurat tentang diri memang penting, tetapi sepertinya tidak lebih penting daripada perasaan positif seseorang tentang dirinya Hogg Vaughan, 2002. Gambaran
diri yang positif dan self-esteem yang berhubungan dengannya merupakan tujuan penting untuk kebanyakan orang setiap waktu. Hal ini menunjukkan temuan
Rosenberg mengenai komponen afektif pada self-esteem. Harga diri yang tinggi, baik yang realistis maupun yang tidak merupakan suatu hal yang menyenangkan,
dan karenanya banyak ahli menganggapnya sebagai tujuan manusia yang utama Rosenberg dalam Deaux, Dane, Wrightsman, 1993.
Kita cenderung menduga bahwa unsur self-esteem yang tinggi akan menghasilkan perilaku positif, yang menandakan individu yang sehat secara
psikologis. Tetapi banyak studi yang menemukan bahwa tidak selamanya self- esteem yang tinggi menghasilkan individu yang percaya diri dan tidak
menampilkan sikap permusuhan. Baumeister dalam Hogg Vaughan, 2002 menemukan perilaku kekerasan yang dapat dikaitkan dengan harga diri yang
tinggi, dimana ketika individu yang memiliki gambaran diri yang menyenangkan merasa terancam, individu tersebut cenderung akan menampilkan sikap agresif.
Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009 USU e-Repository © 2009
14 Kernis dalam Hogg Vaughan, 2002 juga menemukan individu yang arogan,
angkuh dan terlalu asertif diantara orang-orang dengan harga diri yang tinggi. Rhodewalt dalam Hogg Vaughan, 2002 menemukan individu yang pada
dasarnya memiliki harga diri tinggi yang mudah hilang, dikenal dengan individu narsistik.
Harga diri yang rendah tidak selamanya juga memiliki konsekuensi negatif. Baumeister dalam Kernis, 1995 menemukan individu yang self-esteemnya
rendah menampilkan karakter tidak pasti namun netral daripada karakter negatif. Swann, Pelham, Krull dalam Kernis, 1995 menemukan individu dengan self-
esteem rendah memiliki strategi pertahanan diri tertentu yang cenderung berorientasi pada peningkatan diri.
Untuk dapat menjelaskan fenomena yang beragam terkait dengan harga diri yang tinggi dan rendah seperti yang telah dibahas diatas, Deci Ryan dalam
Kernis, 1995 mengajukan dua jenis harga diri yaitu contingent self-esteem dan true self-esteem. Contingent self-esteem mengacu pada perasaan tentang diri
seseorang yang dihasilkan oleh – dan bergantung pada – pencapaian harapan seseorang. Misalnya seseorang merasa dirinya adalah orang yang baik dan
berharga jika ia berhasil menyelesaikan suatu tugas. Jika ia terus dapat menyelesaikan tugas berikutnya yang serupa, maka ia akan terus memiliki harga
diri yang tinggi. Artinya harga diri ini bersifat labil dan hanya berpusat pada kepentingan pribadi. True self-esteem bersifat lebih stabil, didasari oleh perasaan
yang kuat tentang diri pribadi. Individu dengan true self-esteem yang tinggi juga memiliki tujuan dan aspirasi, dan akan merasa senang bila tujuannya tercapai, atau
sedih bila tidak tercapai. Tetapi perasaan mereka sebagai manusia yang berharga tidak berfluktuasi bergantung pada pencapaian, sehingga mereka tidak merasa
superior ketika berhasil, ataupun tertekan ketika gagal. Berdasarkan penulisan Baumeister dalam Hogg Vaughan, 2002 secara
umum individu dengan karakteristik self-esteem yang tinggi memiliki ciri-ciri: 1.
Gigih dan ulet dalam menghadapi masa depan 2.
Stabil secara emosi dan afektif 3.
Kurang fleksibel dan kurang lunak
Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009 USU e-Repository © 2009
15 4.
Tidak mudah dibujuk dan dipengaruhi 5.
Bereaksi positif pada kehidupan yang menyenangkan dan sukses 6.
Memiliki konsep diri yang stabil, teliti, dan konsisten 7.
Berorientasi motivasi pada peningkatan diri Sedangkan individu dengan self-esteem rendah memiliki ciri-ciri:
1. Mudah terluka pada tekanan yang ditemui sehari-hari
2. Mudah berubah dalam afeksi dan suasana hati
3. Fleksibel dan lunak
4. Mudah dibujuk dan dipengaruhi
5. Menginginkan kesuksesan dan persetujuan tetapi ragu-ragu akan
memperolehnya 6.
Bereaksi negatif terhadap kehidupan yang menyenangkan dan sukses 7.
Memiliki konsep diri yang sederhana dan tidak stabil 8.
Orientasi motivasi pada perlindungan diri. Terdapat beberapa tipe self-esteem yang telah dibahas para ahli, diantaranya
global self-esteem yaitu persepsi individu mengenai keberhargaan dirinya secara keseluruhan. Kemudian dikenal juga role-based self-esteem, yaitu harga diri
dikaitkan dengan peranan atau posisi seseorang. Ada juga task-based self-esteem yaitu harga diri yang dikaitkan dengan keberhasilan seseorang dalam
menyelesaikan tugas. Self-esteem sangat berhubungan dengan identitas sosial seseorang Hogg
Vaughan, 2002. Identitas sosial adalah bagian dari konsep diri yang berasal dari keanggotaan individu dalam kelompok sosial. Ketika individu mengevaluasi
dirinya, ia dipengaruhi oleh prestise dan status dalam suatu kelompok masyarakat yang dipersepsikannya juga melekat pada dirinya jika ia menganggap dirinya
bagian dari atau berorientasi kepada kelompok masyarakat tertentu. Penilaian ini juga akan dibandingkan dengan kelompok diluar kelompok masyarakat yang
dipersepsikannya sebagai kelompoknya. Organisasi adalah suatu kelompok masyarakat yang tentunya dapat memberikan pengaruh bagi seseorang dalam
menilai dirinya. Menjadi bagian dari suatu organisasi maka individu harus tunduk pada aturan, kebiasaan, norma, serta menyesuaikan diri dengan budaya dan iklim
Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009 USU e-Repository © 2009
16 organisasi. Organisasi memiliki tujuan dan cita-cita yang menjiwai setiap aspek
kehidupan organisasi, sehingga secara otomatis mempengaruhi setiap individu yang ada di dalamnya. Dari pemahaman ini muncullah kajian tentang harga diri
dalam konteks organisasi. Nilai yang dimiliki oleh seorang individu atas dirinya sebagai anggota organisasi yang bertindak dalam konteks organisasi disebut harga
diri berbasis organisasi atau Organization-based Self-esteem, yang disingkat dengan OBSE Kreitner Kinicki, 2000.
Dalam konteks organisasi, pengaruh self-esteem yang cukup signifikan telah terlihat melalui berbagai penemuan. Misalnya individu yang memiliki self-esteem
yang tinggi cenderung lebih sukses dalam upaya menemukan pekerjaan, sedangkan individu dengan self-esteem yang rendah, bila dipekerjakan akan lebih
tertarik pada organisasi yang besar dimana posisi mereka tidak terlalu diperhatikan. Pekerja dengan self-esteem yang tinggi cenderung secara aktif
berusaha menemukan materi yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah pekerjaan, dan menggunakan kemampuan serta keahlian mereka secara penuh
sehingga hasil kerjanya lebih maksimal. Cukup menarik untuk diperhatikan bahwa individu dengan self-esteem rendah kelihatannya sadar dengan
kemungkinan mereka memberikan hasil yang buruk. Mereka cenderung menilai dirinya secara negatif khususnya ketika penilaian terhadap performa mereka
ambigu dan pada dasarnya bertanggungjawab terhadap hasil buruk tersebut Greenberg, 2005.
II.B.2. Aspek-aspek Organization-based Self-esteem
Dalam konteks organisasi, penilaian seseorang terhadap dirinya terkait dengan bagaimana kondisi organisasi secara struktural, kerumitan pekerjaan yang
dihadapinya, serta adanya penghargaan dari pihak managerial. OBSE cenderung meningkat ketika individu mempersepsikan bahwa atasan mereka memiliki suatu
kepedulian pada mereka. Nilainya juga lebih tinggi pada organisasi dengan struktur yang organik fleksibel daripada yang kaku Birokratis. Pekerjaan yang
rumit dan menantang juga mendorong OBSE yang lebih tinggi daripada pekerjaan yang sederhana, berulang-ulang serta membosankan. Dan faktor-faktor ini juga
Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009 USU e-Repository © 2009
17 berhubungan dengan motivasi untuk tugas yang lebih besar Kreitner Kinicki,
2000. Tan Kim Sek 2003 menemukan bahwa metode sosialisasi yang efektif
dapat meningkatkan kompetensi pekerja dalam menyelesaikan tugasnya terkait dengan peranannya dalam organisasi, yang akan meningkatkan OBSE-nya. Dalam
konteks penulisan ini taktik sosialisasi yang digunakan adalah perencanaan pengembangan karier, interaksi yang positif dengan rekan kerja, dan interaksi
positif dengan pendatang baru di organisasi. Gardner, Dyne, Pierce 2004 menemukan bahwa tingkatan gaji turut mempengaruhi rasa berharga seorang
individu sebagai anggota organisasi, sehingga mereka menyarankan organisasi mempertimbangkan sistem penggajian berbasis kompetensi. Namun mereka juga
mengindikasikan bahwa sistem penggajian berbasis kompetensi tetap memiliki resiko dimana individu dengan tingkat gaji yang lebih rendah dapat menganggap
dirinya kurang berkompeten, sehingga berpeluang menjatuhkan self-esteemnya. Dalam studi replikasinya, Tang Gilbert 1992 menemukan bahwa OBSE
berhubungan dengan global self-esteem, need for achievement, organizational citizenship, komitmen organisasi, motivasi untuk meningkatkan potensi dan
pendidikan. Status subyek dalam organisasi tidak berhubungan dengan OBSE. Intinya, penemuan mereka menampilkan hubungan antara OBSE dengan banyak
variabel yang bernilai intrinsik tentang perasaan subyektif pekerja dalam organisasi.
Kreitner Kinicki 2000 menyebutkan ciri-ciri individu dengan nilai OBSE yang tinggi cenderung memandang diri mereka sendiri sebagai seorang
yang penting, berharga, berpengaruh, dan berarti dalam konteks organisasi yang mempekerjakannya. Untuk itu mereka menyarankan agar organisasi melakukan
upaya untuk membangun self-esteem karyawan, yaitu dengan; 1.
Mendukung dan menunjukkan kepedulian pada persoalan, kepentingan, status, dan kontribusi individu,
2. Menawarkan pekerjaan yang memiliki variasi otonomi dan tantangan yang
sesuai dengan nilai-nilai keahlian dan kemampuan individu,
Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009 USU e-Repository © 2009
18 3.
Berjuang untuk membangun ikatan antara karyawan dan manajemen didasari kepercayaan,
4. Menunjukkan keyakinan terhadap kemampuan pengendalian pribadi dan
memberi penghargaan pada keberhasilan. Greenberg 2005 juga memiliki empat point penting yang disarankannya
untuk meningkatkan self-esteem individu dalam organisasi, yaitu; 1.
Buatlah orang merasa berharga; ciptakan kesempatan bagi individu untuk merasa diterima dengan mencari cara untuk memanfaatkan pengalaman
dan keahlian unik mereka. 2.
Buatlah orang merasa kompeten; kenali hal-hal baik yang dilakukan individu dan pujilah mereka sesuai dengan hal itu.
3. Buatlah orang merasa aman; harga diri karyawan akan lebih meningkat
ketika harapan para manager tersampaikan dengan jelas dan terang- terangan pada mereka
4. Buatlah orang merasa mendapatkan wewenang; individu diberikan
kesempatan untuk memutuskan bagaimana mereka akan menyelesaikan pekerjaan yang menurut mereka baik bagi mereka dan pekerjaannya.
Dari berbagai penulisan dan pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa OBSE memiliki beberapa aspek Kreitner Kinicki, 2000; Greenberg,
2005 yaitu: 1.
merasa diterima dalam organisasi 2.
merasa aman dalam organisasi 3.
merasa berkompeten dalam organisasi 4.
merasa berpengaruh dalam organisasi 5.
merasa penting bagi organisasi 6.
rasa berharga bagi organisasi 7.
merasa berkembang dalam organisasi Aspek-aspek inilah yang akan menjadi indikator OBSE dalam penulisan ini.
Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009 USU e-Repository © 2009
19
II.C. HUBUNGAN ANTARA ORGANIZATION-BASED SELF-ESTEEM OBSE DAN ETOS KERJA
Untuk dapat meningkatkan Etos Kerja, diperlukan adanya suatu sikap yang menilai tinggi pada kerja keras dan sungguh-sungguh. Karena itu perlu ditemukan
suatu dorongan yang tepat untuk memotivasi dan merubah sikap Anoraga, 1992. Seperti yang sudah dipaparkan Anoraga sebelumnya bahwa motivasi merupakan
kunci untuk membangun Etos Kerja yang baik. Motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja. kuat lemahnya motivasi kerja
seseorang ikut menentukan besar kecilnya prestasi seorang pekerja. Tujuan organisasi yang ditanamkan dalam visi, misi, filosofi, dan motto
organisasi merupakan suatu nilai ideal yang harus dicapai individu. Dengan proses yang tepat organisasi berusaha menanamkan nilai-nilai ini pada para anggotanya.
Nilai ideal yang dipersepsikan oleh anggota akan mempengaruhi penilaiannya terhadap dirinya, sehingga membentuk OBSE-nya. Nilai-nilai ini ditanamkan oleh
organisasi dengan tujuan utama yaitu kinerja dan kualitas kerja yang meningkat. Kinerja dan kualitas kerja yang baik dapat dicapai dengan Etos Kerja yang baik,
maka organisasi secara tidak langsung berusaha untuk meningkatkan Etos Kerja anggotanya.
OBSE mempengaruhi beberapa aspek, antara lain global self-esteemharga diri secara keseluruhan, kepuasan secara keseluruhan, perilaku warga negara yang
baik, komitmen dan kepuasan organisasi, prestasi kerja, dan terakhir adalah motivasi intrinsik Kreitner Kinicki, 2000. Menurut Alderfer dalam Siagian,
1995 dengan teori motivasi ERG-nya, salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi adalah faktor R Relatedness yaitu kebutuhan akan pemenuhan rasa
puas dalam berhubungan dengan keluarga, teman, atasan, bawahan dan rekan sekerja, dimana hal ini melibatkan unsur cinta dan self-esteem.
Dengan meningkatnya self-esteem pekerja yang didasarkan pada keberadaannya sebagai bagian dari organisasi, maka motivasinya secara intrinsik
dalam bekerja meningkat. Herzberg dalam Anoraga, 1992 yang melakukan studi mengenai motivasi kerja menyatakan faktor intrinsik dalam bekerja yang meliputi
pencapaian sukses, pengakuan, kemungkinan untuk meningkat dalam jabatan
Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009 USU e-Repository © 2009
20 karier, tanggung jawab, kemungkinan berkembang, dan pekerjaan itu sendiri.
Dapat dilihat bahwa faktor-faktor intrinsik ini merupakan aspek-aspek yang akan tergambar pada OBSE. Faktor pengakuan dapat dilihat pada persepsi tentang
seberapa berharga dan pentingnya individu dalam organisasi, apakah ia merasa diterima sebagai anggota organisasi, dan merasa aman sebagai bagian dari
organisasi. Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat dilihat bagaimana OBSE
mempengaruhi motivasi intrinsik seseorang untuk bekerja. Ketika OBSE meningkat, motivasi intrinsik seseorang dalam bekerja turut meningkat, maka
seharusnya Etos Kerjanya akan meningkat juga. Artinya kebutuhan organisasi untuk mencapai hasil dan kinerja organisasi yang lebih baik dapat dicapai salah
satunya melalui upaya meningkatkan OBSE pekerjanya. Penelitian lain yang telah dilakukan mengenai OBSE yaitu penelitian
Lanford, Roe, Carson Carson 1997 pada teknisi unit gawat darurat. Mereka menemukan peningkatan OBSE berpeluang meningkatkan komitmen terhadap
karier, menurunkan kecenderungan menarik diri dari tugas, dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya kualitas perlakuan. Hal ini merupakan beberapa
indikasi perilaku yang mencerminkan Etos Kerja, seperti yang dikatakan Sinamo 2005, yaitu bekerja dengan integritas, bekerja dengan penuh tanggung jawab,
bekerja dengan sempurna. Secara umum dapat dikatakan bahwa bila seseorang merasa berharga dalam
organisasi dikarenakan berbagai faktor, ia akan cenderung memiliki motivasi yang lebih baik untuk mencapai tujuan yang ditetapkan organisasi tersebut, sehingga
Etos Kerjanya akan lebih baik daripada individu dengan OBSE-nya rendah.
Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009 USU e-Repository © 2009
21
Proses Alignment dalam organisasi; proses menanamkan
Filosofi, Visi, Misi, Goal, Policy
Dosen Sebagai salah satu komponen Organisasi Penilaian individu terhadap pribadi
Harga Diri dikaitkan dengan keberadaan individu dalam
organisasi
OBSE
Etos Kerja
Universitas Sebagai Organisasi
Faktor Intrinsik Dalam Bekerja yang menimbulkan Motivasi
Hubungan Antar Variabel
Kerangka berfikir dalam penulisan ini digambarkan secara skematis sebagai berikut:
Gambar 1 Kerangka Berfikir Penulisan
Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009 USU e-Repository © 2009
22
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN