25
3. Interelasi Nilai Budaya Jawa dan Islam dalam aspek kepercayaan
dan ritual.
Agama dan masyarakat secara inherent mempunyai jalinan yang erat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Agama merupakan
sumber nilai dan norma yang bersifat universal sehingga dapat membentuk sikap dan perilaku manusia dalam menjawab tantangan
kehidupan. Bahkan dikatakan oleh Nielsen bahwa manusia sebagai makhluk sosial belum menjadi manusia sepenuhnya tanpa
agama”Suyuthi Pulungan, 2002:145. Dalam konteks ini agama sebagai sumber nilai dan pandangan hidup manusia dapat diperankan
dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya pembangunan dalam bangsa. Setiap agama dalam arti seluas-luasnya tentu memiliki aspek
fundamental, yakni aspek kepercayaan atau keyakinan, terutama kepercayaan terhadap sesuatu yang sakral, yaitu suci atau yang gaib.
Dalam agama Islam aspek fundamental itu terumuskan dalam istilah akidah atau keimanan sehingga terdapatlah rukun iman, yang di
dalamnya terangkum hal-hal yang harus dipercayai atau diimani oleh muslim. Menurut Suyuthi Pulungan 2002:42, “Pengertian dasar iman
adalah sikap percaya adanya Allah, manusia yang beriman mempunyai sikap hidup dan hanya mengabdi kepada-Nya, sedangkan tauhid
adalah keyakinan yang mengesakan Allah dengan diformulasikan dalam kalimat thoyyibah: la ilaha illa Allah, tiada Tuhan yang
disembah selain Allah sebagai pencipta dan sumber segala kehidupan.
26 Dengan demikian iman-tauhid adalah percaya kepada Allah dan
mengesakan-Nya, inilah aspek lahir akidah”. Sementara itu, dalam budaya Jawa pra Islam yang
bersumberkan ajaran agama Hindu terdapat kepercayaan tentang adanya para dewata, kitab-kitab suci, orang suci, roh-roh jahat,
lingkaran penderitaan, hukum karma dan hidup bahagia abadi. Pada agama Budha terdapat kepercayaan tentang empat kasunyatan
kebenaran abadi, yaitu dukha penderitaan, samudaya sebab penderitaan, nirodha pemadaman keinginan dan marga jalan
kelepasan. Menurut Darori Amin 2002:122, “Adapun pada agama primitif sebagai agama orang jawa sebelum kedatangan agama Hindu
ataupun Budha, inti kepercayaanannya adalah percaya kepada daya- daya kekuatan ghaib yang menempati pada setiap benda dinamisme,
serta percaya roh-roh ataupun makhluk halus yang menempati pada suatu benda ataupun berpindah-pindah dari suatu tempat lain, baik
benda hidup maupun benda mati animisme. Kepercayaan kepercayaan dari agama Hindu, Budha maupun kepercayaan
dinamisme dan animisme itulah yang dalam proses perkembangan Islam berinterelasi dengan kepercayaan dalam Islam”.
Agama Islam mengajarakan para pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik tertentu. Yang dimaksud dengan kegiatan
ritualistik itu adalah meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam rukun Islam, yakni syahadat, shalat, puasa, zakat
27 dan haji. Khusus mengenai shalat dan puasa wajib di bulan ramadhan,
terdapat pula shalat-shalat dan puasa-puasa sunnah. Intisari dari shalat adalah doa, oleh karena arti harfiah shalat juga doa yang ditujukan
kepada Allah SWT, sedangkan puasa adalah suatu bentuk pengendalian nafsu dalam rangka penyucian rohani. Aspek doa dan
puasa tampak mempunyai pengaruh yang sangat luas, mewarnai berbagai bentuk upacara tradisional orang Jawa. Secara luwes Islam
memberikan warna baru pada upacara-upacara itu dengan sebutan kenduren
atau slametan. Di dalam upacara slametan ini yang pokok adalah pembacaan doa donga yang dipimpin oleh orang yang
dipandang memiliki pengetahuan tentang Islam, apakah seorang modin, kaum, lebe,
atau kiai. Selain itu, terdapat seperangkat makanan yang dihidangkan bagi para peserta selamatan, serta makanan yang
dibawa pulang ke rumah masing-masing peserta slametan yang disebut dengan berkat. Dengan inilah nilai-nilai Islam telah memasuki
pelaksanaan upacara slametan dalam berbagai bentuknya, seperti upacara Tingkepan atau mitoni, upacara kelahiran, upacara sunatan,
upacara perkawinan, dan upacara kematian. Ibadah puasa
sebagaimana yang disyariatkan Islam telah mewarnai pula perilaku orang jawa, yakni sebagai bentuk penyucian rohani untuk melengkapi
doa-doa yang dipanjatkan kepada Tuhan. Puasa dalam Islam disebut dengan istilah shaum atau syiam,
dan kata siyam ini juga dipakai dalam ungkapan bahasa jawa halus
28 ketika orang jawa meng-krama-kan puasa. Dalam keadaan tertentu
ketika seseorang mempunyai suatu cita-cita, agar cita-cita itu terwujud, maka di samping berdoa ia juga melakukan puasa. Terdapat kebiasaan
di antara orang Jawa untuk melakukan puasa pada hari senin dan kamis, serta puasa sunah lain, kendatipun mungkin kewajiban-
kewajiban lain seperti shalat lima waktu tidak dikerjakan. Menurut Rahmat Subagya 1981:136:
“Puasa ini sering juga disebut dengan tirakat, yakni meninggalkan makan dan minum pada hari-hari tertentu,
bahkan juga tirakat diartikan sebagai tidak tidur jaga semalam suntuk. Meskipun demikian jika dilihat dari segi arti harfiah
tirakat ini sesungguhnya dari konsep Islam, yakni taraka, yang berarti meninggalkan. Dalam konteks puasa maka taraka
mempunyai pengertian yang tidak berbeda dengan apa yang disebut dengan siyam atau shaum”.
Nilai budaya Jawa dan Islam yang religius magis itu telah tertanam begitu kuat dalam jiwa masyarakat yang menganut budaya
tersebut. Melalui pewarisan yang turun-temurun di lingkungan keluarga dan masyarakat, nilai itu menghujam masuk dalam wilayah
emosional seseorang karena sejak kecil telah dibiasakan dengan adatistiadat Jawa Islam yang tumbuh dalam keluarga maupun
masyarakatnya. Oleh karena itu, menurut Koentjaraningrat 1984:42, “Upaya mengganti nilai budaya yang sudah mapan dengan nilai
budaya lain memerlukan waktu yang lama”.
B. Tradisi Tingkepan Dalam Masyarakat Jawa