60
BAB IV PEMBAHASAN
Mengacu pada fokus penelitian dalam skripsi ini, maka penulis akan menganalisa dan menyajikanya secara sistematis tentang Nilai-nilai
pendidikan Islam dalam prosesi Tingkepan di desa Butuh, Tengaran, Semarang. Dalam penelitian yang bersumber wawancara Pejabat desa, Tokoh
Agama dan masyarkat yang penulis anggap mampu untuk memberikan keterangan yang relevan, dilengkapi dengan dokumen yang ada, Penulis
menemukan Nilai-nilai pendidikan Islam dalam prosesi Tingkepan dihubungkan dengan kajian teori, maka hasilnya sebagai berikut:
A.Tradisi Tingkepan Dalam Masyarakat Jawa 1.
Tradisi Tingkepan Sebagai Slametan Upacara Kandungan 7Bulan a. Deskripsi Slametan
Dalam keyakinan orang Jawa, kehidupan dipandang telah mengikuti suatu pola agung yang teratur dan terkoordinasi yang
harus diterima oleh mereka. Dengan demikian mereka harus menyelaraskan diri dengan apa yang lebih agung dari diri mereka
sendiri serta berusaha agar mereka tetap dalam keadaan damai dan tenteram slamet. Menurut M. Murtadho 2002:16:
“Maksud utama praktek sosio religius orang Jawa tidak lain kecuali mendapatkan keslametan di dunia ini.
Berangkat bahwa tujuan hidup adalah untuk mendapatkan keslametan, maka upacara keagamaan yang pokok adalah
slametan
. Upacara ini diselenggarakan bertepatan dengan waktu-waktu tertentu, seperti kelahiran, perkawinan,
kematian, dan momentum-momentum yang dianggap perlu”.
61 Sedangkan menurut Semo wawancara pada tanggal 11 Juli
2011 jam 09.00 Wib,“ Upacara slametan diselenggarakan bertepatan dengan waktu-waktu tertentu, seperti kelahiran,
perkawinan, kematian, dan momentum-momentum lainya”. Slametan
adalah suatu upacara yang biasanya diadakan di rumah suatu keluarga dan dihadiri oleh anggota-anggota keluarga,
tetangga-tetangga dekat, kenalan-kenalan yang tinggal tidak jauh, dan termasuk juga orang-orang yang mempunyai hubungan
dagang. Dalam
bukunya Darori
Amin 2002:160-161
menjelaskan: “Keputusan untuk mengadakan upacara slametan kadang-
kadang diambil berdasarkan keyakinan keagamaan yang murni, dan adanya suatu perasaan kuatir akan hal-hal yang
tidak diinginkan atau akan datangnya malapetaka, tetapi kadang-kadang juga hanya merupakan suatu kebiasaan
rutin saja yang dijalankan sesuai dengan adat keagamaan”. Ditambahkan oleh Minto wawancara pada tanggal 11 Juli
2011 jam 09.30 Wib Bahwa, “ Slametan adalah suatu upacara yang biasanya diadakan di rumah suatu keluarga dan dihadiri oleh
anggota-anggota keluarga, tetangga-tetangga dekat, kenalan- kenalan yang tinggal tidak jauh”.
Secara umum digambarkan oleh Wiryotondo wawancara pada tanggal 11 Juli 2011 jam 10.30 Wib, “Tujuan slametan adalah
untuk menciptakan keadaan sejahtera, aman dan bebas dari gangguan makhluk yang nyata maupun halus”.
62
b.Pengertian Tradisi Tingkepan
Pada umumnya upacara kehamilan diadakan selamatan. Mulai kandungan seorang wanita berumur satu bulan sampai
sembilan bulan. Dengan harapan agar selama mengandung
mendapat keselamatan, tidak ada kesulitan. Menurut Purwadi
2005:130: “Sapta Kawasa Jati adalah citra kehamilan pada bulan
ketujuh dalam pandangan dunia Jawa, ketika bayi berada dalam kandungan ibu. Sapta berarti tujuh, Kawasa berarti
kekuasaan, Jati berarti nyata. Pengertian secara bebas adalah jika kodrat yang maha kuasa menghendaki, dapat
saja pada bulan ini lahir bayi dengan sehat dan sempurna”.
Sedangkan Menurut Rifa’ah wawancara pada tanggal 11 Juli 2011 jam 11.30 Wib, “Tingkepan dilakukan setelah kehamilan
seorang ibu genap usia 7 bulan”. Orang jawa menyebut bayi yang lahir pada bulan ketujuh
sudah dianggap matang atau tua. Namun jika pada bulan ini bayi belum lahir, calon orang tua atau calon neneknya membuat
selamatan yang disebut dengan Mitoni atau Tingkepan”. Sedangkan menurut Subadi wawancara pada tanggal 11 Juli 2011
jam 13.00 Wib, “Mulai kandungan seorang wanita berumur satu bulan sampai sembilan bulan sering dilakukan slametan. Dengan
harapan agar selama mengandung mendapat keselamatan, tidak ada
kesulitan”.
63 Menurut Sutrisno Sastro Utomo 2005:7:
“Kata pitu juga mengandung doa dan harapan, semoga kehamilan ini mendapat pitulungan atau pertolongan dari
Yang Maha Kuasa, agar baik bayi yang dikandung maupun calon ibu yang mengandung tetap diberikan kesehatan dan
keselamatan. Mitoni juga disebut Tingkepan, karena acara ini berasal dari kisah sepasang suami isteri bernama Ki
Sedya dan Ni satingkeb, yang menjalankan laku prihatin brata sampai permohonannya dikabulkan oleh Yang
Maha Kuasa. Laku prihatin tersebut sampai sekarang dilestarikan menjadi acara yang sekarang kita sebut
Tingkepan
atau mitoni ini”. Sedangkan Menurut Jumi’ah wawancara pada tanggal 11
Juli 2011 jam 15.00 Wib, “Mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh. Semua sarana yang disajikan dalam selamatan dibuat
masing-masing sebanyak tujuh buah, orang yang memandikan pun dipilih sebanyak tujuh orang”. Ditegaskan oleh Nurhadi
wawancara pada tanggal 11 Juli 2011 jam 14.00 Wib, “Maksud upacara ini memberikan pengumuman kepada keluarga dan para
tetangga bahwa kehamilan telah menginjak masa tujuh bulan”.
c.Waktu Penyelenggaraan Tradisi Tingkepan
Menurut Purwadi 2005:134-135: “Untuk upacara tujuh bulan yang disebut dengan Mitoni
atau ningkebi
, penyelenggaraannya
harus menurut
peraturan adat yang berlaku, yaitu pada hari selasa atau sabtu dan jatuh pada tanggal gasal. Seyogyanya tanggal
tujuh, sebelum tanggal 15 menurut kalender jawa. Pemilihan tanggal gasal itu, melambangkan umur
kehamilan tujuh bulan yang hitungannya adalah gasal. Dilaksanakan pada siang hari, biasanya mulai jam 11 siang,
karena menurut tradisi jawa, pada saat itulah para bidadari turun dari kayangan untuk mandi”.
64 Sedangkan Menurut Istianah wawancara pada tanggal 13
Juli 2011 jam 10.00 Wib, “Untuk upacara tujuh bulan penyelenggaraannya harus menurut peraturan adat yang berlaku,
yaitu pada hari selasa atau sabtu dan jatuh pada tanggal gasal. Pemilihan tanggal gasal itu, melambangkan umur kehamilan tujuh
bulan yang hitungannya adalah gasal”. Ditambahkan oleh H. Jumeri wawancara pada tanggal 13 Juli 2011 jam 11.10 Wib,
“Tingkepan Dilaksanakan pada siang hari, biasanya mulai jam 11 siang, konon menurut cerita pada saat itulah para bidadari turun
dari kayangan untuk mandi”. Jadi, temuan dilapangan dengan kajian teori letak persamaanya pada waktu pelaksanaan dari
Tingkepan.
d.Perlengkapan Tradisi Tingkepan
Mitoni atau Tingkepan dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap usia 7 bulan atau lebih. Dilaksanakan tidak
boleh kurang dari 7 bulan, sekalipun kurang sehari. Menurut Clifford Geertz 1981:48-49, “Upacara tingkepan merupakan
upacara paling utama sehingga seringkali dibuat besar-besaran terutama bagi kehamilan pertama”.
Ditambahkan oleh Purwadi 2005:134-135: “Di kiri kanan ditancapi ikan asin gereh, kerupuk, sayur
mayur, kacang, kobis dan sebagainya, jajan pasar, tumpeng gundul nasi tumpeng tanpa sayuran, nasi asrep-asrepan,
makanan tanpa garam. Jlupak lampu yang sumbunya terbuat dari kapas, dengan minyak kelapa, seekor ayam
kecil yang masih hidup. Sebutir kelapa yang dibuang sabutnya. Lima macam bubur bubur baro-baro, bubur
merah, merah putih, bubur putih dan bubur palang. Kembang setaman, aneka macam bungabungaan, mawar,
kenanga, melati”.
65 Sedangkan Menurut Warno wawancara pada tanggal 14
Juli 2011 jam 10.00 Wib, ada beberapa perlengkapan saat Tingkepan:
a. Perlengkapan di tempat mandi: air bunga, yaitu air yang berasal
dari tujuh mata air diberi aneka bunga-bungaan ditempatkan di bak mandi.
b. Kelapa tabonan, yaitu dua buah kelapa biasa yang sedang
tidak tua, diikat jadi satu dengan cara diambilkan sedikit sabut dari keduanya. Dua buah kelapa yang masih utuh ini
dimasukkan ke dalam bak mandi. Pengambil air yang terbuat dari tempurung kelapa yang masih ada kelapanya dan
berlubang gayung. Air asam dan londho merang untuk mencuci rambut keramas.
c. Londho merang
adalah bahan pencuci rambut terbuat dari tangkai padi yang sudah dibakar direndam air. Air rendaman
itulah yang dipakai sebagai pencuci rambut. Klenthing, tempayan air terbuat dari tanah.
d. Bobok lulur
, yaitu semacam bedak dingin terbuat dari tepung berwarna tujuh macam dicampur mangir, daun pandan wangi
dan daun kemuning. e.
Dhingklik , yaitu tempat duduk tradisional dari kayu yang
dipergunakan sewaktu mandi. Di atas dhingklik diberi bermacam-macam daun-daunan, yaitu daun apa-apa, daun
66 kluwih, daun dadap serep, daun ilalang, daun kara. Di atas
dedaunan dibentangkan tikar yang di atasnya diberi beraneka macam lawe semacam benang tenun. Di atasnya lagi diberi
alas kain tujuh macam motif yaitu letrek, warna hijau ditengahnya putih, jingga, warna kuning biru di tengahnya
putih. Sindur, warna merah di tengahnya puith. Kain lurik puluh watu. Kain lurik yuyu sekandhang.
f. Cengkir gadhing
, kelapa kuning dan buah. Sampora, terbuat dari cairan tepung beras diberi santan kemudian dibentuk
seperti tempurung tengkurap di dalamnya diberi gula dimasak. Pring sedhapur, terbuat dari cairan tepung beras dibentuk
kerucut kecil tumpeng berjumlah 18 buah atau 9 pasang. Pada tumpeng-tumpeng kecil tersebut ditancapkan aneka macam
warna bulat-bulatan kecil dari tepung beras”.
e.Rangkaian Upacara Tingkepan
Ada tiga tahap pelaksanaan upacara mitoni Tingkepan, yang pertama siraman, dilanjutkan dengan brojolan dan yang
ketiga pemakaian busana. Siraman dilakukan di kamar mandi atau tempat yang dibuat secara khusus disebut krobongan dengan
hiasan yang indah. Siraman artinya memandikan. Ditambahkan oleh Sutrisno Sastro Utomo 2005:7-8, “Air yang dipergunkan
untuk memandikan diambil dari tujuh sumber, lalu ditaruh di jambangan sejenis ember dari tanah liat atau tembaga dan
67 ditambahi dengan bunga talon tiga, seperti bunga setaman atau
sritaman, yaitu mawar, melati, kantil dan kenanga”. Seperti dijelaskan oleh Sutrisno Sastro Utomo 2005:7-10
sebagai berikut: “Siraman dilakukan dengan menuangkan air yang telah
diberi bunga tadi ke tubuh calon ibu. Setelah selesai memandikan, dukun yang ditugasi tadi memberikan air terakhir untuk
membersihkan diri dari kendhi sejenis teko dari tembikar yang telah diberi mantra-mantra. Selesai membersihkan diri, kendhi lalu
dibanting oleh calon ibu. Setelah dikeringkan dengan handuk, calon ibu diberi busana dengan lilitan kain jarik yang diikat
secara longgar dengan letrek sejenis benang berwarna merah, putih dan hitam. Calon nenek lalu memasukkan tropong alat
tenun ke dalam lilitan kain tadi, kemudian dijatuhkan ke bawah.
Sementara itu acara dilanjutkan dengan memasukkan dua buah kelapa gading yang telah digambari lewat lilitan jarit yang
dikenakan ibu. Gambarnya bisa memilih Kamajaya dan Dewi Ratih atau Harjuna dan Sembrada, bisa juga Panji Asmara Bangun
dengan Galuh Candra Kirana. Acara ini disebut brojolan yang merupakan visualisasi doa orang Jawa agar kelahirannya nanti jika
laki-laki bisa setampan Kamajaya, Harjuna atau Panji Asmara Bangun, dan jika perempuan secantik Dewi Ratih, Sembrada atau
Galuh Candra Kirana. Upacara brojolan yang meluncurkan tropong dan kelapa kadang-kadang tanpa tropong, hanya dengan dua buah
kelapa saja. Tugas calon bapak adalah memotong letrek yang mengikat calon ibu dengan menggunakan keris yang ujungnya
ditutupi kunyit atau dapat juga dengan menggunakan parang yang telah diberi untaian bunga melati. Apa yang dikerjakan calon bapak
adalah menggambarkan kewajiban suami untuk memutuskan segala rintangan dalam kehidupan sekeluarga nanti. Calon bapak
melanjutkan tugasnya dengan memecah buah kelapa yang telah digambarti tadi, dengan sekali tebas. Jika buah kelapa bisa terbelah
menjadi dua bagian, maka seluruh hadirin akan berteriak:” perempuan”. Namun jika tidak terbelah dan hanya menyemburkan
air isinya saja, maka hadirin akan berteriak:”laki-laki”.
Sedangkan menurut Wirtyotondo wawancara pada tanggal 14 Juli 2011 jam 12.00 Wib Rangkaian acara dari Tingkepan
adalah sebagai berikut :
68 a.Siraman calon ibu.
Upacara Siraman dilakukan oleh sesepuh sebanyak tujuh orang. Bermakna mohon doa restu, supaya suci lahir dan batin. Setelah
upacara siraman selesai, air kendi tujuh mata air dipergunakan untuk mencuci muka, setelah air dalam kendi habis, kendi dipecah.
Mula-mula disiapkan air yang di dalamnya sudah diisi dengan kembang setaman . Calon ibu memakai kain batik yang dililitkan
kemben pada tubuhnya. Dalam posisi duduk, calon ibu mula- mula disirami oleh suaminya, lalu oleh orang tua dan sesepuh
lainnya. Maksud upacara ini adalah untuk mencuci semua kotoran, dan hal-hal negatif lainnya.
b.Memasukkan telur ayam kampung Setelah siraman, calon ayah memasukkan telur ayam kampung
di bagian dada dari kain yang dikenakan calon ibu, lalu mengurutkannya ke bawah, sampai ke luar. Ini melambangkan
permohonan, agar bayi lahir dengan lancar dan selamat. c.Santun busono atau Salin rasukan
Santun berarti berganti, busono adalah pakaian. Calon ibu secara bergantian memakai melilitkan pada tubuh 7 tujuh kain
batik, yang berbeda coraknya. Ini melambangkan, bahwa ibu calon bayi sadar, bahwa dalam membesarkan dan mendidik anak
nantinya, akan dijumpai berbagai corak kehidupan. Corak batik
69 yang dipakai urut, mulai dari yang terbaik sampai terjelek, yaitu:
a.Sidoluhur, Maknanya agar anak menjadi orang yang sopan dan berbudi
pekerti luhur terutama pada orang tuanya. Hal ini meupakan keinginan orang tua agar anaknya mempunyai sifat birrul
walidain. Allah berfirman agar anak selalu berbakti pada orangtua dalam surat An Nisa : 36:
Artinya: “Sembahlah
Allah dan
janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”
b. Sidomukti,
Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang mukti wibawa, yaitu berbahagia dan disegani karena kewibawaannya.
c. Truntum,
Maknanya agar keluhuran budi orang tuanya menurun tumaruntum pada sang bayi.
70 d.
Wahyu tumurun, Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang
senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mendapat petunjuk dan perlindungan dari Nya.
e. Udan riris,
Maknanya agar
anak dapat
membuat situasi
yang menyegarkan, enak dipandang, dan menyenangkan siapa saja
yang bergaul dengannya. f.
Sido asih, Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang selalu
di cintai dan dikasihi oleh sesama serta mempunyai sifat belas kasih
g. Lasem.
Bermotif garis vertikal, bermakna semoga anak senantiasa bertakwa pada Tuhan YME.
Setiap memakai corak kain, si calon ibu berlaku seperti peragawati di depan para tamu. Pada saat memakai sidomukti
sampai sido asih, para tamu mengatakan “Bagus, tapi tidak cocok”, atau “Mahal tapi tidak serasi”, tetapi pada saat memaki corak yang
paling sederhana, yaitu lasem, para tamu mengatakan:” Sederhana, tapi cocok”, “Biasa-biasa, tapi karena yang memakai cantik, ya
serasi”. Ini melambangkan, doa agar si bayi nantinya menjadi orang yang sederhana.
71 Angka 7 melambangkan 7 lubang tubuh 2 di mata, 2 di
telinga, 1 di mulut, 1 di dubur, dan 1 di alat kelamin, yang harus selalu dijaga kesucian dan kebersihannya. Ada pengertian lain dari
angka 7 ini yang disebut keratabasa . Angka 7, dalam Basa Jawa disebut pitu , keratabasa dari pitu-lungan pertolongan.
d.Membelah kelapa gading Selanjutnya, ibu dari si calon ibu menyerahkan kepada si calon
ibu, dua butir kelapa gading, yang masing-masing telah digambari Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih, atau Arjuna dan Sembodro.
Gambar tokoh wayang melambangkan doa, agar nantinya si bayi jika laki-laki akan setampan Dewa Kamajaya atau Arjuna, dan jika
wanita secantik Dewi Ratih atau Sembodro. Kedua dewa dan dewi ini merupakan lambang kasih sayang sejati. Oleh si calon ibu,
kedua butir kelapa diserahkan pada suaminya calon bapak, yang akan membelah kedua butir kelapa gading menjadi dua bagian
dengan bendo . Ini melambangkan, bahwa jenis kelamin apa pun, nantinya, terserah pada kekuasaan Allah.
e. Dodol dawet lan rujak
Pada awal upacara, para tamu diberi duwit kreweng . Kreweng adalah genting yang dipecah. Sekarang, ada duwit kreweng yang
dibuat khusus yang ornamennya, yang dijual di pasar-pasar tradisional. Beberapa perias penganten juga menyediakan uang
72 kreweng ini. Kemudian, para tamu membeli dawet dan rujak , yang
melayani menjual adalah si calon ibu dan calon ayah. Si calon ibu melayani pembelinya, sedang si ayah menerima uang untuk
disimpan. Jual beli dawet dengan duwit kreweng , melambangkan doa agar lancarlah rejeki yang akan diterima, dan niat calon ibu
dan ayah untuk bersama-sama menyimpan kekayaan. f.
Kembul bujana Kembul adalah bersama-sama, sedang bujana adalah makan,
maksudnya makan bersama. Lazimnya disediakan nasi tumpeng. Ini merupakan acara akhir dari Tingkepan”.
2. Makna Tradisi Tingkepan Perspektif Masyarakat Jawa
a. Tujuan Pelaksanaan Tradisi Tingkepan
Di desa Butuh Maksud penyelenggaraan rangkaian upacara kehamilan ialah agar embrio yang ada di dalam kandungan dan ibu
yang mengandung, senantiasa memperoleh keselamatan. Namun ada motivasi yang mendorong dilakukannya penyelenggaraan
rangkaian upacara kehamilan ini. Sang ibu harus mematuhi berbagai pantangan pemali, begitu pula sang suami berkewajiban
untuk mematuhi beberapa pantangan selama masa kehamilan isterinya. Pelanggaran terhadap pantangan yang dilakukan oleh
sang ibu dan bapaknya akan berakibat cacatnya bayi, cacat fisik atau mental atau kedua-duanya. Menurut Sumarno wawancara
pada tanggal 14 Juli 2011 jam 15.00 Wib, “Ada motivasi yang
73 mendorong dilakukannya penyelenggaraan rangkaian upacara
kehamilan ini, para warga meyakini bahwa melakukan tradisi itu khususnya tingkepan sebagai sarana agar bakal bayi dan ibu yang
hamil senantiasa terhindar dari malapetaka yang ditimbulkan oleh berbagai macam makhluk halus
Menurut Purwadi 2005:133-134: ”Mengabaikan adat-istiadat mengakibatkan celaan dan
nama buruk bagi keluarga yang bersangkutan di mata kelompok sosialnya. Karena ulahnya itu, bukan saja dinilai
tidak sesuai dengan etik status sosial golongan bangsawan, tidak menghormati pranatan dan leluhur, melainkan juga
dapat merusak keseimbangan tata hidup kelompok sosialnya”.
Menurut Maryoto wawancara pada tanggal 18 Juli 2011
jam 12.00 Wib, “Untuk sang suami berkewajiban untuk mematuhi beberapa pantangan selama masa kehamilan isterinya. Pelanggaran
terhadap pantangan yang dilakukan oleh sang ibu dan bapaknya akan berakibat cacatnya bayi, cacat fisik atau mental atau kedua-
duanya. Contoh: Tidak boleh memancing saat isterinya hamil, tidak boleh menyakiti binatang dsb”.
b.Tradisi Tingkepan merupakan suatu upacara ritual adat Jawa
Upacara Tingkepan oleh masyarakat Gintungan adalah merupakan penghayatan jiwa raga dalam mendekatkan diri kepada
Tuhan. Hal ini tercermin saat tradisi Tingkepan diadakan slametan, dengan harapan agar ibu yang mengandung dan juga bayi yang
akan dilahirkan memperoleh keselamatan dan tidak ada kesulitan.
74 Demikian penjelasan dari Heri, wawancara pada tanggal 18 Juli
2011 jam 15.00 Wib. Tradisi Tingkepan telah tertanam begitu kuat dalam
masyarakat yang menganut budaya tersebut. Melalui pewarisan yang turun temurun di lingkungan keluarga dan masyarakat, nilai
itu menghujam masuk dalam wilayah emosional seseorang karena sejak kecil telah dibiasakan dengan adat istiadat Jawa yang tumbuh
dalam keluarga maupun masyarakatnya. Oleh karena itu menurut Indah wawancara pada tanggal 20 Juli 2011 jam 11.00 Wib,
“Masyarakat Jawa menganggap bahwa tradisi Tingkepan merupakan suatu upacara ritual adat Jawa yang harus
dilaksanakan”.
c.Tradisi Tingkepan Sebagai Upacara Menyongsong Lahirnya Generasi Penerus.
Seorang wanita yang mengandung harus memperhatikan pantangan-pantangan. Pantangan-pantangan ini juga berlaku bagi
suami atau ayah bayi yang sedang dikandung. Pantangan- pantangan itu seperti dicontohkan oleh Suratno wawancara pada
tanggal 18 Juli 2011 jam 14.00 Wib, “Memakan buah yang melintang bijinya. Pantangan tersebut diartikan agar anak yang
sedang dikandung posisinya tidak melintang. Seorang lakilaki yang isterinya sedang mengandung dilarang menyakiti binatang atau
75 membunuhnya. Karena mereka beranggapan bahwa anaknya akan
menyerupai binatang itu. Ditegaskan oleh Purwadi 2005:131:
“Kalau permintaan wanita tersebut tidak dituruti, orang Jawa beranggapan bahwa kelak kalau bayinya sudah lahir
akan menimbulkan ekses kurang baik. Mislnya anak itu akan selalu mengeluarkan air liur ngiler. Keinginan
sesuatu bagi seorang wanita yang sedang hamil tidak terbatas pada buah-buahan saja, akan tetapi ada juga yang
mempunyai keinginan lain yang harus dituruti”. Rangkaian upacara masa kehamilan diselenggarakan mulai
diketahui bahwa seorang wanita hamil, selama masa kehamilan maka tiap bulan diselamati. Yaitu mulai kandungan berumur satu,
dua bulan, tiga bulan dan seterusnya pada tiap-tiap bulan. Pada bulan ketiga, ia sudah nampak kehamilannya dan wajib bagi calon
orang tua mentaati berbagai pantangan dengan harapan agar kelak bayi yang dilahirkan tidak mengalami cacat fisik atau mental dan
dengan harapan agar kelak anak yang dilahirkan mempunyai masa depan yang bagus. Harapan akan masa depan yang baik bagi
seorang manusia yang akan terlahir di muka bumi merupakan sesuatu yang memang seharusnya karena calon anak yang akan
lahir tersebut merupakan generasi penerus, sehingga jika generasi penerus itu baik akan membawa kebaikan bagi manusia secara
keseluruhan”.
76
B.Nilai-nilai pendidikan Islam dalam ritual Tingkepan
Hubungan antara ritual Tingkepan dengan Pendidikan Islam sebagai berikut:
1. Upacara peralihan sebagai sarana menghilangkan rasa was-was
menjelang kelahiran bayi. Tentunya calon ibu tidak akan merasa tegang.
2. Dengan adanya ritual seperti ini calon ibu dan ayah dapat menahan
emosional, mereka percaya jika dalam pantangan tersebut dilanggar akan berakibat buruk pada si bayi.
3. Sebagai sarana mutlak agar bakal bayi dan ibu yang hamil senantiasa
terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan dengan harapan sehat dan selamat.
4. Pengenalan kegenerasi muda yang akan mengalami kehamilan agar
hidup sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang berlaku seperti tidak menyakiti binatang pada waktu hamil dan menghindari pantangan-
pantangan untuk ibu hamil 5.
Ritual Tingkepan dapat dimanifestasikan sebagai salah satu sarana sosialisasi antar masyarakat sehingga tercipta kerukunan dan
kenyamanan. 6.
Melindungi calon Ibu dan Bayi dari rasa ragu dan bahaya dengan mengantisipasikan dan mengatasi secara simbolik.
7. Mendoa’akan si bayi agar lahir dengan sehat tanpa cacat dan agar
mempunyai masa depan yang baik 8.
Upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT .
77
BAB V PENUTUP