Tebal Pembentukan Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah

dentin tertier oleh odontoblas primer yang masih ada setelah terjadi injuri pada gigi, dentin ini sering ditemui pada injuri yang intensitasnya rendah, contohnya karies pada enamel dan lesi dentin yang berkembang secara perlahan-lahan. Dentin reparatif merupakan pembentukan dentin tersier setelah kematian odontoblas primer akibat injuri. Dentin reparatif terbentuk setelah terjadinya injuri yang intensitasnya besar dan mewakili urutan yang lebih kompleks dalam aktivitas biologis, melibatkan kehadiran sel progenitor dan diferensiasi serta regulasi yang meningkat dalam proses sekresi sel. 8

5.1 Tebal Pembentukan Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah

Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan Mahajan P dkk. 2006 menyatakan bahwa rata-rata tebal pembentukan dentin tertier pada gigi permanen adalah 1.5µ, dinyatakan juga kalsifikasi yang terjadi adalah respon dari pulpa terhadap injuri yang mendepositkan jaringan keras didalam saluran akar. 39 Menurut penelitian Filipovic V 2003 telah melakukan penelitian mengenai pembentukan dentin tertier pada gigi dengan kavitas yang dalam, diperoleh tebal dentin tertier tertinggi sebesar 348µm dan nilai paling rendah 219µm. Dilaporkan juga bahwa kedalaman kavitas mempengaruhi ketebalan dentin tertier, semakin dalam kavitas, semakin tebal pembentukan dentin tertier. 40 Menurut penelitian Anthony J.S 2005 jika stimulus masih awal dan ringan terbentuk dentin tertier sedikit dan dinamakan sebagai dentin reaksioner manakala stimulus yang berat akan membentuk dentin tertier yang dinamakan dentin reparatif karena pembentukannya lebih banyak. 41 Sementara pada penelitian ini menunjukkan tebal dentin tertier tertinggi adalah 765µm dan ukuran tebal dentin tertier terendah adalah 129µm, dimana nilai rata-rata tebal dentin tertier adalah 317.9µm. Hal ini menunjukkan bahwa pada penyirih mempunyai tebal dentin tertier lebih tinggi daripada penelitian Filipovic pada kavitas gigi. Hal ini menunjukkan pada penyirih: lamanya menyirih, frekuensi menyirih, komposisi menyirih, dan umur penyirih berperan meningkatnya derajat atrisi pada gigi penyirih. 4 Dengan adanya stimulus atrisi yang semakin betambah maka bertambah pembentukan dentin tertier sebagai respon pertahanan gigi. Laporan penelitian Ginting R dan Permana B 2012 yang melakukan penelitian terhadap penyirih wanita di Pancur Batu Medan, melaporkan bahwa derajat atrisi meningkat sejalan dengan meningkatnya frekuensi menyirih. Semakin bertambah frekuensi menyirih yaitu menyirih lebih dari 3 kali sehari, semakin banyak dijumpai atrisi derajat 3 pada gigi penyirih. Dijumpai atrisi derajat 3 pada gigi penyirih dalam linkungan umur 23-36 dan 50-69 yang menyatakan bahwa bertambahnya usia mempengaruhi derajat atrisi yang terjadi. Begitu juga komposisi menyirih yang merupakan bahan yang kasar seperti pinang, daun sirih, tembakau berpengaruh terhadap derajat atrisi yang terjadi. Dinyatakan juga penyirih dengan komposisi sirih, kapur, gambir dan pinang derajat atrisinya lebih tinggi dibandingkan dengan penyirih dengan komposisi sirih, kapur dan gambir. 42 Dengan adanya atrisi yang parah, respon pertahanan pulpa terhadap stimulus atrisi adalah pembentukan dentin tertier. Semakin tinggi stimulus yang diterima, semakin tebal pembentukan dentin tertier. 41 5.2 Pembentukan Kristal, Diameter Dentin Tertier, dan Tipe Margin Tubulus Dentin Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan Menurut penelitian Madhura M.G 2006 yang meneliti pada gigi premolar 10 gigi yang atrisi, 6 gigi yang abrasi dan 4 gigi normal di India mengenai perubahan pada dentin karena atrisi dan abrasi diamati dibawah Scanning Electron Microscope. Pada semua sampel penelitian kasus gigi atrisi dan abrasi pada penelitian Madhura dijumpai Kristal dengan variasi bentuk rhomboid dan variasi ukuran juga terlihat di tubulus dentin. Menurut Madhura hal ini terjadi karena adanya stimulus atrisi dan abrasi. Kalsifikasi globular terjadi untuk membentuk kristal sebagai mekanisme pertahanan untuk menghambat masuknya bakteri dan antigen yang merusak jaringan dan menutup akses ke pulpa. 20 Menurut penelitian Cesar AGA dkk 2004 yang meneliti mengenai efek agen desensitifikasi terhadap tubulus dentin pada gigi molar 3 yang telah dicabut dan diberikan agen desensitifikasi Gel-OXA Potasium oxalate-based. Pada penelitian tersebut ditemui adanya pembentukan kristal pada tubulus dentin dimana variasi ukuran kristal ditemui sehingga ada kristal yang sama diameternya dengan tubulus dentin. Pembentukan kristal ini adalah sebagai efek untuk mencegah terjadinya dentin hipersensitif derajat berkurangnya nyeri atau sakit. 43 Pada penelitian ini menunjukkan seluruh spesimen terdapat pembentukan kristal di tubulus dentin tertier 100. Pada penelitian ini dapat diasumsikan bahwa frekuensi pengunyahan, lamanya pengunyahan, komposisi sirih, usia, atrisi, abrasi dan erosi merupakan stimulus yang kuat terhadap pembentukan kristal dalam tubulus dentin sesuai dengan penelitian Madhura M.G 2006 dan Cesar AGA dkk 2004. Pada penelitian ini hanya melihat pembentukan kristal tidak mengukur tebal kristal dan jumlah kristal. Jadi perlu penelitian selanjutnya untuk mengukur jumlah dan besarnya kristal yang terbentuk. Tubulus dentin tertier berbeda dari tubulus dentin normal karena pada tubulus dentin tertier diameter tubulusnya tidak teratur dan kurang daripada yang normal, diameter tubulus dentin tertier berbeda-beda dan kebanyakan tubulus ditutupi oleh kristal karena terjadinya kalsifikasi globular. 31 Menurut penelitian Madhura M.G 2006 diameter tubulus dentin yang normal adalah 2.13µ pada tubulus yang dekat dengan pulpa dan 1.55µ pada tubulus di dentino-enamel junction dan nilai rata-rata diameter tubulus dentin pada dentin tertier yang terbentuk akibat atrisi adalah dari 0.83µ pada tubulus yang berdekatan dengan lesi dan 1.38µ pada tubulus yang dekat dengan pulpa. Secara mikroskopis tubulus dentin tertier lebih irregular, dan pada beberapa kasus tidak menunjukkkan adanya pembentukan tubulus dentin. 43 Derajat irregularitas dentin tertier tergantung pada beberapa faktor seperti besarnya inflamasi yang terjadi, sampai mana terjadinya injuri selular dan kadar differensiasi odontoblas pengganti. Pada penelitian ini diperoleh nilai rata-rata diameter dentin tertier adalah 750.4nm yang menunjukkan diameter lebih kecil pada penyirih dibandingkan dengan penelitian Madhura pada kasus atrisi dan abrasi, pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa diameter tubulus dentin penyirih lebih kecil dari diameter tubulus dentin normal sesuai yang dilaporkan pada penelitian Madhura. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa semakin besar stimulus, semakin kecil diameter tubulus dentin pada dentin tertier. Penyempitan tubulus dentin adalah karena kristal menempel di tubulus dentin dan akhirnya tubulus menjadi sempit. Tubulus tertutup sehingga tidak ada rangsangan ke pulpa, jadi tidak ada sensitivitas dentin karena terhambatnya cairan masuk ke pulpa. Pada penelitian Madhura M.G 2006 margin tubulus dentin yang diamati kasar dan irregular pada kedua kasus yang ditelitinya yaitu gigi yang atrisi dan abrasi. Hal ini terjadi adalah karena terjadinya kalsifikasi pada dinding tubulus dentin yang menyebabkan margin dinding tubulus dentin kasar dan irregular. Kristal rhomboid yang terbentuk di dinding tubulus dentin juga menyebabkan terjadinya perubahan pada tubulus dentin tertier. 20 Pada penelitian ini, seluruh gigi menunjukkan margin tubulus yang kasar dan irregular 100 karena terjadinya kalsifikasi globular yang menghasilkan kristal akibatnya tubulus dentin menjadi irregular karena adaanya pembentukan kristal yang melekat pada dinding tubulus. 20 5.3 Tipe Tubulus Dentin Yang Terbentuk Pada Dentin Tertier Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan Menurut Bjorndal L 2002 dikenal ada 5 tipe tubulus dentin yaitu tipe normal, tipe tubulus sedikit, tipe irregular, tipe osteodentin dan tipe kombinasi. Pada penelitian ini diperoleh 60 tipe tubulus sedikit, 30 tipe kombinasi, 10 tipe irregular dan tidak dijumpai tipe osteodentin. Teori mengenai kenapa hal ini terjadi belum diperoleh dari literatur. Oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut mengenai tipe tubulus dentin. Tidak seperti dentin fisiologis, mikrostruktur dari dentin tertier sangat bervariasi dan biasanya tidak beraturan. Bentuk tubular-tubular dari dentin tertier berubah-ubah dan sangat tidak teratur mulai dari tubular yang terputus-putus sampai pada dentin reparatif yang tidak memiliki tubular sehingga permeabilitas dari dentin tertier menurun dan difusi dari agen yang berbahaya dari tubulus dapat dicegah. Secara histologi dentin tertier merupakan dentin yang paling sedikit memiliki tubulus. 10

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN