51
dan Robby Kusuma Harta, saat itu mengabulkan gugatan nafkah bagi anak hasil hubungan kedua pasangan tersebut.
45
3. Status Hukum Perkawinan yang tidak dicatatkan
“Perkawinan dalam Islam menurut istilah ilmu Fiqih disebut dengan nikah atau ziwaj. Nikah adalah dham yang berarti menghimpit, menindih atau berkumpul,
sedangkan arti kiasannya adalah watha yang berarti bersetubuh atau aqad yang berarti mengadakan
perjanjian perkawinan”.
46
Perkataan ziwaj
diartikan sebagai
“kesepakatan antara seorang pria dan seorang wanita yang mengikatkan diri dalam hubungan suami isteri untuk mencapai tujuan hidup dalam melaksanakan ibadah
kepada Allah”.
47
Pengertian perkawinan adalah “akad yang sangat kuat mitsaaqan ghalidzam yang dilakukan secara sadar oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk
membenetuk keluarga
yang pelaksanaannya
didasarkan pada
kerelaan dan
kesepakatan kedua belah pihak”.
48
Berdasarkan pengertian ini maka perkawinan bukan sebagai ibadah, melainkan hubungan sosial kemanusiaan biasa, yang berarti
mempersempit makna perkawinan itu sendiri. Dengan menghilangkan dimensi ibadah mereka memanda perkawinan hanya sebagai sebuah akad perjanjian semata atas
kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak untuk membentuk keluarga.
45
http:www.lbh-apik.or.idfact-1420penct.20perkawinan.htm, Pentingnya Pencatatatn Perkawinan, diakses tanggal 1 Juni 2010
46
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Bulan Bintang : Bandung, 1984, hal. 1
47
Abdul Djamali, Hukum Islam Asas-asas, Hukum Islam I, Hukum Islam II, Mandar Maju : Bandung, 1992, hal. 74
48
Departemen Agama RI, Pembaharian Hukum Islam Counter Legal Draft Hukum Islam, Departemen Agama RI, Jakarta, 2004, hal. 15
Universitas Sumatera Utara
52
Apabila dibandingkan dengan ketentuan Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan KetuhananYang Maha Esa”, dan
diperkuat pada Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, bahwa “Perkawinan menurut hukum Islam adalah perkawinan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqan ghalidzan untuk
menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Dari kedua ketentuan ini menegaskan bahwa perkawinan menempatkan ikatan lahir batin yang
mengikat laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam Hukum Islam, perkawinan dipandang sebagai ibadah karena merupakan sunah Rasul dan penyempurnaan separuh dari agama. Dalam salah satu hadist
disebutkan bahwa “Apabila menikah seorang hamba, sesungguhnya ia telah
menyempurnakan separuh agama, dan takutlah kepada Allah pada separuh yang tinggal”. Jadi tidaklah tepat jika perkaiwnan hanya dipandang sebagai hubungan
sosial kemanusian saja. Karena dalam perkawinan tidak bisa terlepas dari nilai- nailai transdentalnya. Seseorang melakukan perkawinan bukan hanya ingin
meningkatkan status sosial dan memenuhi kebutuhan biologisnya, tetapi lebih dari itu yaitu mempunyai nilai ibadah yang sangat tinggi”.
49
Untuk menggapai kehidupan yang bahagia dalam sebuah perkawinan tidaklah cukup untuk meningkatkan status sosialnya di masyarakat. Tetapi lebih dari itu
kebahagiaan dalam rumah tangga tidak bisa terlepas dari kehidupan spiritual. Menurut Abdul Djamali bahwa tujuan perkawinan menurut hukum Islam
adalah :
49
Afdol, Eksistensi Hukum Keluarga Islam Pada Abada Modern, Yuridika, Vol. 19 No. 6, November-Desember, 2004, hal. 2
Universitas Sumatera Utara
53
a. Berbakti kepada Allah b. Memenuhi atau mencukupkan kodrat hidup manusia yang telah menjadi hukum
bahwa antara pria dan wanita itu saling membutuhkan. c. Mempertahankan keturunan umat manusia
d. Melanjutnkan perkembangan dan ketentraman hidup rohaniah antara pria dan wanita.
e. Mendekatkan dan saling menimbulkan pengertian antar golongan manusia untuk menjaga keselamatan hidup.
50
Di dalam praktik banyak dijumpai perkawinan yang hanya didasarkan pada hukum agamanya dan tidak dicatatkan. Perkawinan yang tidak dicatatkan menurut
hukum Islam lebih dikenal dengan perkawinan yang tidak dicatatkan. ‘Kata siri secara etimologi berasal dari bahasa Arab assirru yang artinya rahasia”.
51
”Pengertian tidak dicatatkan dapat diartikan sebagai nikah yang dilaksanakan hanya sesuai dengan ketentuan agama, tidak dilakukan pengawasan dan pencatatan
oleh KUA, atau perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama dan dilakukan pengawasan serta pencatatan oleh KUA tetapi tidak dipublikasikan dalam
bentuk walimah resepsi”.
52
Kedua pengertian tersebut mempunyai kekurangan apabila dilihat dari segi
hukum. Pengertian perkawinan yang tidak dicatatkan yang mengandung arti sembunyi atau tidak dipublikasikan, dalam ajaran Islam tidak dibenarkan karena
dapat menimbulkan fitnah, buruk sangka terhadap yang bersangkutan yaitu suami atau isteri. Selanjutnya pengertian tidak dicatatkan, sah secara agama
tetapi tidak dilakukan pencatatan oleh KUH, maka dapat dikatakan bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan tidak sah menurut hukum yang berlaku di
Indonesia karena melanggar ketentuan Pasal 1 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974.
53
50
Abdul Djamali, Op cit, hal. 75
51
Munawir dan Ahmad Warson, Kamus Al-Munnawir Arab Indonesia, Pustaka Progressif, Yogyakarta, 1999, hal, 55
52
Miftah Faridh, 150 Masalah Nikah Keluarga, Gema Insani : Jakarta 2009, hal. 54
53
Ibid, hal. 55
Universitas Sumatera Utara
54
Pengertian perkawinan yang tidak dicatatkan memiliki arti yang berbeda- beda. Oleh masyarakat umum perkawinan yang tidak dicatatkan sering diartikan
dengan: 1. Pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia siri
dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu
syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; 2. Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga
pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang
karena faktor biaya, atau tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang
pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya.
3. Pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang
terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan- pertimbangan
rumit yang
memaksa seseorang
untuk merahasiakan
pernikahannya.
54
Menurut Kyai Ma’ruf, Ketua Komisi Fatwa MUI bahwa ”perkawinan yang tidak dicatatkan atau nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah
perkawinan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh hukum Islam. Namun, nikah ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang
sebagaimana diatur dalam perundang-undangan”.
55
Lanjut Kyai Maruf ”apabila perkawinan yang tidak dicatatkan itu itu hanya nikah berdua saja, tanpa ada saksi dan sebagainya. Kalau pengertian perkawina tidak
54
http:hizbut-tahrir.or.id20090314hukum-islam-tentang-nikah-siri, Hukum Islam Tentang Perkawinan yang tidak dicatatkan, diakses tanggal 24 Februari 2010
55
http:www.hukumonline.comberitabacahol15651pencatatan-nikah-akan-memperjelas- status-hukum, Nikah Di Bawah Tangan , Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum,
dipublikasikan tanggal 26 Oktober 2006, diakses tanggal 1 Juni 2010
Universitas Sumatera Utara
55
dicatatkan itu dianggap hanya berdua saja, tidak pakai syarat dan rukun nikah lainnya, bisa dipastikan perkawinan semacam ini tidak sah”.
56
“Dalam masa sekarang, pengertian perkawinan yang tidak dicatatkan tidak hanya menyangkut tentang tidak tercatatnya perkawinan, namun juga tidak diketahui
oleh masyarkat
banyak. Pengertiannya
bahwa perkawinan
yang tidak
dicatatkannikah di bawah tangan adalah perkawinan yang dilakukan dalam ruangan yang terbatas dan tidak dilakukan pencatatan maupun pengawasan oleh Petugas KUA
sehingga tidak memperoleh akta nikah”.
57
Terkait dengan masalah haram jika ada kemudharatan, Kyai Maruf menegaskan bahwa hukum nikah yang awalnya sah karena memenuhi syarat dan rukun nikah,
menjadi haram karena ada yang menjadi korban. Jadi, Haramnya itu datangnya belakangan. Perkawinannya sendiri tidak batal, tapi menjadi berdosa karena ada
orang yang ditelantarkan, sehingga dia berdosa karena mengorbankan istri atau anak. Sah tapi haram kalau sampai terjadi korban. Inilah uniknya nikah dibawah
tangan atau perkawinan yang tidak dicatatkan’.”
58
Dalam Islam perkawinan yang tidak dicatatkan sesungguhnya tidak dikenal, sebab nikah dalam Islam mewajibkan adanya dua orang saksi, selain mereka yang
menikahkan. Adanya saksi itu sendiri berarti bahwa nikah dalam Islam tidak rahasia. Adanya saksi itu sendiri berarti bahwa perkawinan seseorang telah
diumumkan. Sementara walimah tidak wajib tetapi dianjurkan agar perkawinan tersebut diketahui oleh masyarakat luas. Berbeda dengan pengertian perkawinan
yang tidak dicatatkan dewasa ini di Indonesia. Perkawinan yang tidak dicatatkan adalah perkawinan yang tidak dicatatkan pada catatan sipil. Padahal perkawinan
di Indonesia nikah wajib untuk dicatat sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1974. Masalahnya adalah bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan nikah yang tidak
dicatat telah menjadi tradisi atau kebiasaan di banyak tempat seperti di pesantren, di lokasi yang jauh dari KUA, atau karena alasan tidak mampu membayar biaya
perkawinan”.
59
56
Ibid
57
Husen Muhammad, Fiqh Perempuan, LKIS : Yogyakarta, 2008, hal. 74
58
http:www.hukumonline.comberitabacahol15651pencatatan-nikah-akan-memperjelas- status-hukum, Loc cit
59
Urip Santoso,
Poligami, Perkawinan
yang tidak
dicatatkan, Nikah
Kontrak, http:uripsantoso.wordpress.com20100308poligami-nikah-siri-dan-nikah-kontrak, diakses tanggal
1 Juni 2010
Universitas Sumatera Utara
56
Perkawinan yang tidak dicatatkan sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; perkawinan tanpa wali. Perkawinan semacam ini dilakukan
secara rahasia siri dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah perkawinan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan
nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua
, perkawinan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak
mencatatkan perkawinannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang
disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga, perkawinan yang
dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu
perkawinan yang tidak dicatatkan; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan perkawinannya”.
60
Dalam perkawinan tidak dicatatkan, peran wali dan saksi kerap diabaikan, begitupun
terhadap syarat-syarat
yang seharusnya
dipenuhi di
dalamnya. Diperbolehkannya praktik perkawinan yang tidak dicatatkan oleh banyak kalangan
ulama biasanya merujuk pada ada atau tidaknya wali dan saksi. Jika tidak ada, maka akad perkawinan itu dianggap tidak sah karena kedua aspek tersebut merupakan
bagian dari rukun yang harus ada dalam perkawinan.
61
Selain harus terpenuhinya semua rukun perkawinan, di dalam melakukan perkawinan yang tidak dicatatkan juga disyaratkan harus ada mahar atau mas kawin.
Mahar adalah pemberian sejumlah uang atau barag yang wajib diberikan oleh mempelai
laki-laki kepada
mempelai perempuan.
Al-Qur’an secara
tegas memerintahkan agar calon pengantin laki-laki memberikan mahar ”Berikanlah mas
60
http:hizbut-tahrir.or.id20090314hukum-islam-tentang-nikah-siri, Hukum
Islam Tentang Perkawinan yang tidak dicatatkan, diakses tanggal 1 Juni 2010
61
Happy Susanto, Perkawinan yang tidak dicatatkan Apa Untungnya ?, Visimedia : Jakarta, http:books.google.combooksppenerbit_agromedia_pustaka2?id=_iqMk_sd_SoCprintsec=frontco
verdq=nikah+siricd=1v=onepageqf=false, diakses tangal 23 Juli 2010
Universitas Sumatera Utara
57
kawin mahar kepada wanita-wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan” An-Nisa : 4.
Mahar sebenarnya mempunyai makna penting sebagai lambang kesiapan dan kesediaan calon suami untuk menafkahi isteri dan anak-anaknya. Mahar tidak
menentukan sah atau tidaknya perkawinan karena memang tidak termasuk dalam rukun nikah, namun hal itu wajib dibayakan sebagai lambang perkawinan, jumlah
mahar yang harus dibayarkan tidak ditentukan karena tergantung sejauh mana kemampuan calon mempelai laki-laki.
Adapun hukum syariat atas perkawinan yang tidak dicatatkan adalah sebagai berikut.
62
Pertama
, yakni perkawinan tanpa wali; dalam agama Islam telah dilarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan ini didasarkan pada sebuah hadits yang
dituturkan dari sahabat Abu Musa r.a; bahwasanya Rasulullah saw bersabda; “Tidak sah suatu perkawinan tanpa seorang wali.”. Makna ini dipertegas dan
diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda: “Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin
walinya, maka perkawinannya batil; perkawinannya batil; perkawinannya batil”. Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda: ”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita
pezina itu adalah seorang wanita yang menikahkan dirinya sendiri”. Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa perkawinan tanpa
wali adalah perkawinan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum
menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam perkawinan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus perkawinan tanpa wali dimasukkan
ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy hakim. Seorang hakim boleh
menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain Kedua
, perkawinan tidak dicatatkan adalah perkawinan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil;
62
Ibid
Universitas Sumatera Utara
58
sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni 1 hukum perkawinannya; dan 2 hukum tidak mencatatkan perkawinan di lembaga
pencatatan negara.
Dari aspek perkawinannya, perkawinan yang tidak dicatatkan tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak
kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika
perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah
mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.
Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh
dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi
kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
Oleh karenanya Perkawinan yang tidak dicatatkan dilembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak
mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Hal ini dikarenakan perkawinan yang dilakukan telah memenuhi rukun-rukun perkawinan yang digariskan oleh agama.
Adapun rukun-rukun perkawinan adalah sebagai berikut; 1 wali, 2 dua orang
Universitas Sumatera Utara
59
saksi, dan 3 ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka perkawinan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan perkawinan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.
63
Pertama
, pada dasarnya, fungsi pencatatan perkawinan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti bayyinah untuk membuktikan
bahwa dirinya benar-benar telah melakukan perkawinan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy bayyinah
syar’iyyah adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika perkawinan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah
memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti bayyinah di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan
dengan perkawinan, maupun sengketa yang lahir akibat perkawinan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja,
dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy.
Kesaksian dari
saksi-saksi perkawinan
atau orang-orang
yang menyaksikan perkawinan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat
bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan perkawinan seseorang adalah dokumen tertulis.
Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan iqrar, dan lain sebagainya.
Berdasarkan
penjelasan ini
dapatlah disimpulkan
bahwa, orang
yang meperkawinan yang tidak dicatatkan tetap memiliki hubungan pewarisan yang
sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari perkawinan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri perkawinan yang tidak dicatatkan
tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’i. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena perkawinan tersebut tidak dicatatkan
pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan
tersebut.
Kedua , pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang
dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan perkawinan yang tidak
dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan perkawinan tanpa dicatat di lembaga
pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks
63
Ibid
Universitas Sumatera Utara
60
keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan perkawinan bukanlah
wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan perkawinan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas perkawinan beliau, atau beliau
mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan perkawinan mereka; walaupun perintah untuk menulis mencatat beberapa muamalah telah disebutkan di dalam
al-Quran, misalnya firman Allah swt;
ِﺗﺎَﻛ ْﻢُﻜَﻨْﯿَﺑ ْﺐُﺘْﻜَﯿْﻟَو ُهﻮُﺒُﺘْﻛﺎَﻓ ﻰﻤَﺴُﻣ ٍﻞَﺟَأ ﻰَﻟِإ ٍﻦْﯾَﺪِﺑ ْﻢُﺘْﻨَﯾاَﺪَﺗ اَذِإ اﻮُﻨَﻣاَء َﻦﯾِﺬﱠﻟا ﺎَﮭﱡﯾَأﺎَﯾ َﺐُﺘْﻜَﯾ ْنَأ ٌﺐِﺗﺎَﻛ َبْﺄَﯾ ﺎَﻟَو ِلْﺪَﻌْﻟﺎِﺑ ٌﺐ
َﯿْﻟَو ﱡﻖَﺤْﻟا ِﮫْﯿَﻠَﻋ يِﺬﱠﻟا ِﻞِﻠْﻤُﯿْﻟَو ْﺐُﺘْﻜَﯿْﻠَﻓ ُﮫﱠﻠﻟا ُﮫَﻤﱠﻠَﻋ ﺎَﻤَﻛ ﱡﻖَﺤْﻟا ِﮫْﯿَﻠَﻋ يِﺬﱠﻟا َنﺎَﻛ ْنِﺈَﻓ ﺎًﺌْﯿَﺷ ُﮫْﻨِﻣ ْﺲَﺨْﺒَﯾ ﺎَﻟَو ُﮫﱠﺑَر َﮫﱠﻠﻟا ِﻖﱠﺘ
ِﻦْﯾَﺪﯿِﮭَﺷ اوُﺪِﮭْﺸَﺘْﺳاَو ِلْﺪَﻌْﻟﺎِﺑ ُﮫﱡﯿِﻟَو ْﻞِﻠْﻤُﯿْﻠَﻓ َﻮُھ ﱠﻞِﻤُﯾ ْنَأ ُﻊﯿِﻄَﺘْﺴَﯾ ﺎَﻟ ْوَأ ﺎًﻔﯿِﻌَﺿ ْوَأ ﺎًﮭﯿِﻔَﺳ ﺎَﻧﻮُﻜَﯾ ْﻢَﻟ ْنِﺈَﻓ ْﻢُﻜِﻟﺎَﺟِر ْﻦِﻣ
َر ُﺄْﻟا ﺎَﻤُھاَﺪْﺣِإ َﺮﱢﻛَﺬُﺘَﻓ ﺎَﻤُھاَﺪْﺣِإ ﱠﻞِﻀَﺗ ْنَأ ِءاَﺪَﮭﱡﺸﻟا َﻦِﻣ َنْﻮَﺿْﺮَﺗ ْﻦﱠﻤِﻣ ِنﺎَﺗَأَﺮْﻣاَو ٌﻞُﺟَﺮَﻓ ِﻦْﯿَﻠُﺟ
ُءاَﺪَﮭﱡﺸﻟا َبْﺄَﯾ ﺎَﻟَو ىَﺮْﺧ ْﻢُﻜِﻟَذ ِﮫِﻠَﺟَأ ﻰَﻟِإ اًﺮﯿِﺒَﻛ ْوَأ اًﺮﯿِﻐَﺻ ُهﻮُﺒُﺘْﻜَﺗ ْنَأ اﻮُﻣَﺄْﺴَﺗ ﺎَﻟَو اﻮُﻋُد ﺎَﻣ اَذِإ
ﺎﱠﻟَأ ﻰَﻧْدَأَو ِةَدﺎَﮭﱠﺸﻠِﻟ ُمَﻮْﻗَأَو ِﮫﱠﻠﻟا َﺪْﻨِﻋ ُﻂَﺴْﻗَأ َﻨُﺟ ْﻢُﻜْﯿَﻠَﻋ َﺲْﯿَﻠَﻓ ْﻢُﻜَﻨْﯿَﺑ ﺎَﮭَﻧوُﺮﯾِﺪُﺗ ْﻢُﻜَﻨْﯿَﺑ ﺎَﮭَﻧوُﺮﯾِﺪُﺗ ًةَﺮِﺿﺎَﺣ ًةَرﺎَﺠِﺗ َنﻮُﻜَﺗ ْنَأ ﺎﱠﻟِإ اﻮُﺑﺎَﺗْﺮَﺗ
اَذِإ اوُﺪِﮭْﺷَأَو ﺎَھﻮُﺒُﺘْﻜَﺗ ﺎﱠﻟَأ ٌحﺎ ﺎَﻟَو ْﻢُﺘْﻌَﯾﺎَﺒَﺗ
ُﮫﱠﻠﻟاَو ُﮫﱠﻠﻟا ُﻢُﻜُﻤﱢﻠَﻌُﯾَو َﮫﱠﻠﻟا اﻮُﻘﱠﺗاَو ْﻢُﻜِﺑ ٌقﻮُﺴُﻓ ُﮫﱠﻧِﺈَﻓ اﻮُﻠَﻌْﻔَﺗ ْنِإَو ٌﺪﯿِﮭَﺷ ﺎَﻟَو ٌﺐِﺗﺎَﻛ ﱠرﺎَﻀُﯾ ٌﻢﯿِﻠَﻋ ٍءْﻲَﺷ ﱢﻞُﻜِﺑ
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang akan ditulis itu, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya,
dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu
jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat
menguatkan
persaksian dan
lebih dekat
kepada tidak
menimbulkan keraguanmu,
Tulislah mu`amalahmu
itu, kecuali
jika mu`amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi
kamu, jika kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan
yang demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu”.[TQS AL Baqarah 2:
Universitas Sumatera Utara
61
Ketiga , dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak
menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang
diangkatnya mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara
pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur
urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan
dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan
berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang
masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi
sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.
Keempat , jika perkawinan yang tidak dicatatkan dilakukan karena faktor biaya;
maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak
mencatatkan perkawinannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara
tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan
gratis kepada
orang-orang yang
tidak mampu
mencatatkan perkawinannya di lembaga pencatatan Negara.
Kelima ,
pada dasarnya,
Nabi saw
telah mendorong
umatnya untuk
menyebarluaskan perkawinan
dengan menyelenggarakan
walimatul ‘ursy.
Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan sunnah muakkadah. Nabi saw bersabda;
ٍةﺎَﺸِﺑ ْﻮَﻟَو ْﻢِﻟْوَأ ﺎَﻨَﺛﱠﺪَﺣ “Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.HR. Imam Bukhari dan
Muslim
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran perkawinan; di antaranya adalah ; 1 untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah
masyarakat; 2 memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak
ada persoalan-persoalan
yang menyangkut
kedua mempelai;
3 memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau
belum.
Universitas Sumatera Utara
62
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan perkawinan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan siri. Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika
perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; perkawinan yang tidak dicatatkan
juga
akan menyulitkan
pelakunya ketika
dimintai persaksian
mengenai perkawinannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus
yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi perkawinan yang tidak dicatatkannya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya.
Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan perkawinan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami
isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.
Perkawinan yang tidak dicatatkan adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai
nikah KUA bagi yang beragama Islam, KCS bagi yang non-Islam. Perkawinan yang tidak dicatatkan ini tidak ada diatur secara khusus dalam perundang-undangan di
Indonesia, namun secara sosiologis istilah ini diberikan bagi perkaiwnan yang tidak dicatatkan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang
berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan. Secara garis besar, perkawinan yang tidak dicatatkan sama saja dengan
membiarkan adanya hidup bersama di luar perkawinan, dan ini sangat merugikan para pihak yang terlibat terutama perempuan, terlebih lagi kalau sudah ada anak-
anak yang dilahirkan. Mereka yang dilahirkan dari orang tua yang hidup bersama tanpa dicatatkan perkawinannya, adalah anak luar kawin yang hanya mempunyai
hubungan hukum dengan ibunya, dalam arti tidak mempunyai hubungan hukum dengan bapaknya. Dengan perkataan lain secara yuridis tidak mempunyai bapak”.
64
Dengan demikian meski secara agama atau adat istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat
nikah tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah dimata hukum.
64
Valentina Sagala, Perihal Perkawinan, http:institutperempuan.blogspot.com 200706perihal-perkawinan.html, dipublikasikan tanggal 26 Juni 2007, diakses tanggal 1 Juni 2010
Universitas Sumatera Utara
63
Perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum agamanya, bagi pasangan suami isteri yang melangsungkan perkawinan, namun perkawinan tersebut belum
dicatatkan masih ada kemungkinan untuk mengesahkan perkawinannya melalui permohonan isbath nikah. Mengenai isbath nikah ini dapat dijumpai dalam ketentuan
Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut : 1 Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh
Pegawai Pencatat Nikah 2 Dalam hal perkawinan tidak dapt dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat
diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama 3 Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-
hal yang berkenaan dengan : a. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh
Pegawai Pencatat Nikah b. Dalam hal perkawinan tidak dapt dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat
diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama c. Isbat nikah hanya dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai
hal-hal berkenaan dengan : a Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian
b Hilangnya akta nikah c Adanya keterangan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan
Universitas Sumatera Utara
64
d Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya undang- undang No. 1 Tahun 1974; dan
e Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974.
d. Yang berubah mengajukan permohonan isbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan
dengan perkawinan itu.
B. Latar Belakang Dilakukannya Perkawinan yang tidak dicatatkan
Saat ini banyak dijumpai pasangan yang lebih memilih untuk melakukan perkawinan yang tidak dicatatkan atau nikah di bawah tangan. Hal ini dipengaruhi
dengan keterbatasan pengetahuan mengenai hukum dan akibat yang akan di timbulkan. Perkawinan yang tidak dicatatkan dalam pandangan agama diperbolehkan
sepanjang hal-hal yang menjadi rukun terpenuhi. Namun perbedaannya tiak adanya bukti otentik apabila telah menikah atau dengan kata lain tidak mempunyai surat sah
sebagai seorang warga negara yang mempunyai kedudukan yang kuat di dalam hukum.
Walaupun diperbolehkan oleh agama namun banyak kekurangan dan kelemahan meperkawinan yang tidak dicatatkan antara lain bagi pihak wanita akan
sulit bila suatu saat mempunyai persoalan dengan sang suami sehingga harus berpisah misal sedangkan pihak isteri mempunyai kuat secara hukum. Di samping itu bagi
Universitas Sumatera Utara
65
anak-anak kelak yang nanti memerlukan kartu identitas dan surat-surat keterangan lain akan mengalami kesulitan bila orang tua tak mempunyai surat-surat resminya.
“Perkawinan yang tidak dicatatkan ini memberikan dampak negatif, baik kepada isteri, suami dan anak hasil perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut.
a. Terhadap isteri, perkawinan yang tidak dicatatkan ini berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun
sosial. Dari segi hukum isteri tidak dianggap sebagai isteri yang sah, dengan demikian isteri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika suami
meninggal dunia. Jika terjadi percerian maka isteri tidak berhak atas harta gono- gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan anda dianggap
tidak pernah terjadi. Dari segi sosial, isteri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah tangan sering dianggap telah
tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan alias kumpul kebo atau anda dianggap menjadi istri simpanan.
b. Terhadap suami, tidak ada dampak mengkhawatirkan atau merugikan bagi diri laki-laki atau suami yang menikah bawah tangan dengan seorang perempuan.
Yang terjadi justru menguntungkan dia, karena suami bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya yang di bawah tangan dianggap tidak sah dimata
hukum, suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah baik kepada istri maupun kepada anak-anaknya, dan tidak dipusingkan
dengan pembagian harta gono-gini, warisan dan lain-lain.
c. Terhadap anak, tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yaitu :
1 Status anak
yang dilahirkan
dianggap sebagai
anak tidak
sah.
Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap
ayahnya pasal 42 dan pasal 43 UU Perkawinan, pasal 100 KHI. Di dalam akte kelahirannyapun hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya.
2 Ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya
menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya. 3 Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan
pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya”.
65
65
http:webcache.googleusercontent.comsearch?q=cache:pzRwrBsmUzwJ:www.lbh- apik.or.idfact51-bwh20tangan.htm+kawin+sirihl=engl=idct=clnkcd=4, Dampak Perkawinan
Bawah Tangan Bagi Perempuan, diakses tanggal 1 Juni 2010
Universitas Sumatera Utara
66
Perkawinan dibawah tangan dari segi hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang diperoleh oleh suami atau istri sangat berbeda cenderung banyak merugikan pihak
si istri, terutama jika terjadi perceraian. Apabila dibandingkan dengan perkawinan yang tercatat, maka jika terjadi perceraian kedua belah pihak memperoleh hak dan
kewajiban yang sama. Perbedaan utama dalam kedua macam perkawinan ini adalah soal pencatatan. Pada perkawinan dibawah tangan karena perkawinan itu
tidak tercatat, maka kalau terjadi perceraian pun hanya dilakukan menurut tata cara agama, yaitu pengucapan talak yang disaksikan oleh dua saksi. Jadi tidak
perlu melalui proses pengadilan sebagaimana perkawinan yang tercatat.
66
Karena perkawinan yang tidak dicatatkan, maka dari perceraian itu si istri tidak akan mendapatkan hak apapun. Menurut pasal 6 Kompilasi Hukum Islam,
perkawinan yang tidak tercatat atau yang tidak dapat dibuktikan dengan surat nikah, tidak mempunyai akibat hukum apapun. Artinya jika suami atau istri tidak memenuhi
kewajibanya, maka salah satu pihak tidak dapat menuntut apapun ke pengadilan, baik mengenai nafkah termasuk kedua anaknya atau harta bersama yang mereka
peroleh selama perkawinan berlangsung. Bahkan jika salah satu pihak meninggal dunia suamiistri maka ia tidak dapat mewaris dari si istri atau suaminya itu.
Perkawinan dibawah tangan ini risiko hukumnya sangat tinggi dan sangat merugikan kaum perempuan terutama pada anak-anak yang telah dilahirkan.
Meskipun masalah pencatatan perkawinan telah terisolasikan dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan selama 23 tahun
lebih, tetapi sampai saat ini masih didasarkan adanya kendala dalam pelaksanaannya. Hal ini mungkin sebagian masyarakat Muslim masih ada yang berpegang teguh
kepada perspektif fikih tradisional. Menurut pemahaman sebagian masyarakat bahwa
66
http:www.asiamaya.comkonsultasi_hukumperkawinanperk_dibawahtangan.htm Perkawinan di Bawah Tangan, di akses tanggal 23 Agustus 2010
Universitas Sumatera Utara
67
perkawinan sudah sah apabila ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam kitab-kitab fikih sudah terpenuhi, tidak perlu ada pencatatan di Kantor Urusan Agama dan tidak
perlu surat nikah sebab hal itu diatur pada zaman Rasulullah dan merepotkan saja. Sebagai akibat dari pemikiran tersebut di atas, banyak timbul perkawinan
secara siri tanpa melibatkan Pegawai Pencatat Nikah sebagai petugas resmi mengenai urusan perkawinan. Adapun faktor-faktor penyebab mereka melakukan perkawinan
secara diam-diam siri tersebut antara lain 1 pengetahuan masyarakat terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam perkawinan masih sangat kurang, mereka masih
mengganggap bahwa masalah perkawinan itu adalah masalah pribadi dan tidak perlu ada campur tangan pemerintahnegara; 2 adanya kekhawatiran dari seseorang akan
kehilangan hak pensiun janda apabila perkawinan baru didaftarkan pada pejabat pencatat nikah; 3 tidak ada izin istri atau istrinya dan Pengadilan Agama bagi orang
yang bermaksud kawin lebih dari satu orang; 4 adanya kekhawatiran orang tua terhadap anaknya yang sudah bergaul rapat dengan calon istrisuami, sehingga
dikhawatirkan terjadi hal-hal negatif yang tidak diinginkan, lalu dikawinkan secara diam-diam dan tidak dicatat di Kantor Urusan Agama; 5 adanya kekhawatiran orang
tua yang berlebihan terhadap jodoh anaknya, karena anaknya segera dikawinkan dengan suatu harapan pada suatu saat jika sudah mencapai batas umur yang
ditentukan terpenuhi, maka perkawinan baru dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Dari hasil wawancara dengan salah satu informan, mengenai alasan dilakukannya perkawinan yang tidak dicatatkan ini yaitu orang tua pihak suami tidak
Universitas Sumatera Utara
68
merestui perkawinan tersebut. Oleh karena tidak adanya restu orang tua tersebut, maka dilakukanlah perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut. Selain itu juga
mempelai laki-laki masih berumur 19
sembilan belas tahun. Pada saat
dilaksanakannya perkawinansiri tersebut, pihak mempelai laki-laki memberikan mas kawin kepada pihak mempelai perempuan, hanya saja perkawinan tersebut tidak
diwalimahkan.
67
Jika diperhatikan ketentuan Pasal 6 angka 2, ditentukan bahwa ”Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 dua
puluh satu tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya”. Namun oleh karena dalam agama Islam, seseorang telah dianggap dewasa apabila is telah aqil balig, maka
perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut dapat dilaksanakan. Orang yang akil baligh disebut mukalaf. Akil berarti berakal, yang ditandai dengan kesanggupan untuk
membedakan yang baik dan yang buruk untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Baligh berarti sampai pada usia tertentu dan telah dibebani tanggung jawab terhadap
segala perbuatannya. Sebenarnya sejak lahirnya Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
kawin paksa telah dihapus. Orang tua tidak dapat lagi mencampuri jodoh anaknya. Pasal 6 Undang-undang perkawinan menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat
dilangsungkan jika terdapat persetujuan antara calon suami atau istri. Apabila izin untuk menikah tidak diberikan oleh orang tua maka, pengadilan dapat memberikan
izin tersebut berdasarkan permohonan dari orang yang akan melangsungkan perkawinan. Sehingga tidak sampai terjadi perkawinan dibawah tangan.
67
Hasil wawancara dengan Wati bukan nama sebenarnya, 28 tahun, ibu rumah tangga, tanggal 1 Juni 2010
Universitas Sumatera Utara
69
Informan lainnya yang bernama Darwin bukan nama sebenarnya, melakukan perkawinan yang tidak dicatatkan oleh karena menurutnya perkawinan secara agama
saja sudah sah, sehingga tidak perlu didaftarkan ke Kantor Catatan Sipil. Dari hasil perkawinan di bawah tangannya tersebut diperoleh 3 tiga orang anak. Selanjutnya 4
empat tahun setelah perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut, diadakan perkawinan ulang yang dilakukan secara sah yaitu dengan melakukan pencatatan
nikah di Kantor Catatan Sipil.
68
Masih terdapat di anggota masyarakat yang perkawinannya dilaksanakan tanpa sepengatahuan Pegawai Pencatat Nikah. Adakalanya orang tua yang menganggap
dirinya adalah seorang kyai atau pemuka agama, merasa bahwa tanpa kehadiran aparat yang berwenang juga sudah sah, menurut hukum agama Islam serta mereka
menganggap hal tersebut hanyalah hal yang sifatnya administratif saja.
Diantaranya terdapat berbagai alasan yang mendasari perkawinan di bawah tangan adalah:
1. Tidak terpenuhinya syarat-syarat untuk berpoligami terutama tidak adanya persetujuan dari isteri sebelumnya, maka orang tersebut melaksanakan
perkawinan di bawah tangan, cukup dihadapan pemuka agama. 2. Dengan adanya PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990, dalam Pasal
4 ayat 1 diantaranya menyebutkan, bahwa pria yang berstatus Pegawai Negeri Sipil tidak boleh beristri lebih dari seorang, apabila itu terjadi wajib melapor
dan memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat atau pimpinannya. Dengan adanya PP No. 10 Tahun 1983 tersebut, mereka beranggapan bahwa dengan
sulitnya persyaratan untuk poligami, maka terdapat walaupun sedikit pegawai negeri yang melaksanakan perkawinan dengan tidak melalui prosedur yang
sebenarnya.
3. Dikarenakan mereka masih awam, jadi adanya perasaan takut untuk berhadapan dengan pejabat nikah dan menganggap mereka lebih baik
perkawinannya dilaksanakan di depan pemuka agama. 4. Agama sering dijadikan dalil untuk melegitimasi keinginan – keinginan
tertentu yang subjektif. “Padahal aturan agama juga sama jelasnya, bahwa
68
Hasil wawancara dengan Darwis bukan nama sebenarnya, 50 tahun, wiraswasta tanggal 3 Juni 2010
Universitas Sumatera Utara
70
Undang – Undang No.1 tahun 1974 berlaku untuk semua umat Islam, Keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia MUI yang mensahkan pernikahan
di bawah tangan. Pengesahan ini dihasilkan dari Forum Ijtima’ yang dihadiri lebih dari 1000 ulama dari berbagai unsur di Indonesia. Acara tersebut digelar
beberapa waktu lalu di kompleks Pondok Modern Darussalam Gontor, Pacitan, Jawa Timur
5. Anggapan orang Indonesia pada umumnya wanita yang tidak menikah ataupun belum menikah itu “kurang dihargai”. Daripada tidak menikah lebih baik
menikah meskipun dengan pria yang sudah beristri walaupun tidak dicatat di Kantor Urusan Agama
.
69
Hal-hal itulah yang menjadi dasar perkawinan di bawah tangan di samping faktor sosial, budaya, ekonomi, agama, dan juga tingkat pendidikan yang masih
rendah. Dilihat dari latar belakang dilakukannya perkawinan yang tidak dicatatkan
ini, banyak mengakibatkan kerugian pada pihak isteri dan anak. Bagi masyarakat yang mapan, isteri dari perkawinan yang tidak dicatatkan ini umumnya
merupakan isteri simpanan dimana perkawinan tersebut biasanya disembunyikan. Hal ini dikarenakan sang suami telah memiliki isteri sebelumnya, sehingga untuk
dapat menikah dengan isteri kedua ini maka perkawinan dilakukan tanpa adanya pencatatan. Sedangkan bagi PNS, perkawinan ini dilakukan karena adanya
peraturan yang melarang melakukan poligami. Jika dilihat dari segi Hukum Islam, masih terbuka jalan untuk melakukan
poligami bagi suami yang ingin menikah lagi. Hal ini lebih baik dibandingkan dengan perkawinan yang tidak dicatatkan ini, oleh karena dengan melakukan
69
http:intanghina.wordpress.com20080527analisis-yuridis-status-hukum-istri-yang- menikah-di-bawah-tangan-berdasarkan-ketentuan-yang-berlaku-tentang-perkawinan
Analisis Yuridis Status Hukum Istri yang Menikah di Bawah Tangan Berdasarkan Ketentuan yang Berlaku Tentang Perkawinan, diakses tanggal 23 Agustus 2010
Universitas Sumatera Utara
71
poligami maka isteri dan anak dari isteri kedua merupakan isteri dan anak yang sah dari sang suami. Hal ini tentu saja melindungi hak dan kepentingan isteri dan
anak tersebut khususnya di bidang hukum. Di dalam Hukum Islam ada beberapa syarat bagi orang yang akan
berpoligami, di antaranya punya kemampuan secara materi dan berlaku adil. Untuk menguji bahwa seseorang itu mampu bukan dinilai oleh dirinya sendiri, melainkan
pengadilan. Bagi yang beragama Islam tentu saja Pengadilan Agama. Yang dipermasalahkan, kata Kadir, bukan poligaminya tapi melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan poligami. Dalam arti tanpa melalui Pengadilan Agama. UU No 1 tahun 1974 itu berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia, dan
berlaku efektif sejak dikeluarkan PP No 9 Tahun 1975. Bagi PNS yang hendak poligami, ada aturan tambahan, misalnya harus dapat izin dari atasannya. Ini suatu hal
yang wajar karena atasan harus mengetahui permasalahan yang terjadi terhadap stafnya. Selain atasan, tentu saja yang utama adalah izin dari istri. Ini suatu
keharusan. Kepala Subdit Kepenghuluan dan KUA Direktorat Bimbingan Islam, Abdul
Kadir mengatakan bahwa : Pernikahan yang dilakukan KUA adalah pernikahan secara agama Islam dan telah
diangkat menjadi hukum positif. Pernikahan yang dilakukan orang Islam tapi di luar KUA, misalnya pernikahan yang tidak dicatatkan, atau perkawinan di bawah
tangan, ada pendapat yang bermacam-macam. Namun peraturan yang diangkat menjadi hukum positif, itulah yang harus ditaati oleh warga negara. Pada pasal 2
UU No 1 tahun 1974 dikatakan bahwa perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat
menurut perundang-undangan yang berlaku. Kalau orang Islam harus berdasarkan ketentuan hukum agama Islam, dan pencatatannya di KUA, karena kantor inilah
yang diberi kewenangan oleh negara.
Universitas Sumatera Utara
72
Perkawinan yang tidak sah sesuai hukum positif, akan berdampak terhadap istri dan anak-anak. Misalnya, apabila di suatu hari hak-hak istri ditelantarkan maka
istri tidak bisa menuntut hak-haknya. Begitu pun anaknya, misalnya dia tidak akan mendapatkan hak-hak waris karena di mata hukum dia tidak tercatat sebagai
anak dari ayah yang melakukan perkawinan menurut hukum positif tersebut.
70
70
http:mrlekig.wordpress.com20070620poligami-itu-pintu-darurat, Poligami Itu Pintu Darudat, diakses tanggal 23 Agustus 2010
Universitas Sumatera Utara
73
BAB III KEDUDUKAN HUKUM ATAS ANAK YANG LAHIR DARI
HASIL PERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKAN
A. Pengertian Anak
“Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti. Anaka memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Anak sebagai penyambung
keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia senja. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan dengan orang
tuanya, termasuk ciri khas, baik maupun buruk”.
68
Dalam bahasa Indonesia kata anak mengandung beberapa pengertian. Secara umum kata anak dalam Hukum Keluarga mengandung 2 dua pengertian dasar,
yaitu: anak dalam pengertian orang yang belum dewasa dan anak dalam pengertian orang yang memiliki hubungan hukum dengan ibu atau kedua orang tuanya baik
akrena dilahirkan olehnya atau karena memperoleh status sebagai anak. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, mengenai pengertian
anak juga belum terdapat keseragaman. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pengertian anak sebagaimana diatur dalam Pasal 1
ayat 1 adalah “Seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Batasan umur 18 delapan belas tahun pada UU
No. 23 Tahun 2002 berbeda dengan batasan yang ditetapkan dalam Pasal 1 ayat 1
68
Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, Jabal : Bandung, 2007, hal. 229
Universitas Sumatera Utara
74
UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang menyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun dan belum
pernah kawin”. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa batas umur 21 dua puluh satu tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha
kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kemetangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut. Batas umur 21 dua puluh satu
tahun tidak mengurangi ketentuan batas umur dalam peraturan perundang-undangan lainnya, dan tidak pula mengurangi kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh
ini mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku. “Dalam hukum Islam seorang anak masih belum dewasa minderjarig
apabila ia belum berumur 15 lima belas tahun, kecuali jika ia sebelumnya itu sudah memperlihatkan telah matang untuk bersetubuh geslachtsrijp, tetapi tidak
kurang dari usia 9 sembilan tahun. Orang yang belum dewasa ini dalam hukum Islam biasanya disebut saghir atau sabi, sedangkan orang yang sudah dewasa
dinamakan baligh”.
69
“Hukum Adat tidak mengenal usia tertentu untuk mengatakan apakah seorang belum atau sudah dewasa. Hal ini tergantungkan pada keadaan dalam
mana dilihat apakah seorang anak sudah matang untuk bersetubuh dengan seorang dari jenis kelamin lain geslachtsrijp atau apakah seorang anak itu
sudah cukup “kuat gawe” kerja untuk mencari nafkah sendiri secara menggarap sawah atau sebagainya. Dan biasanya ini terjadi pada usia lebih
69
Martiman Prodjohamidjojo, Op cit, hal. 56
Universitas Sumatera Utara
75
kurang 16 enam belas tahun”.
70
Di beberapa tempat di pulau Jawa juga diambil sebagai ukuran, apakah seorang anak itu masih berdiam dengan orang tuanya
atau sudah mencar keluar. Dalam Pasal 330 KUH Perdata menentukan bahwa yang dinamakan orang
belum dewasa minderjarig itu adalah orangorang yang belum berusia 21 tahun dan belum kawin. Apabila ia sebelum berusia 21 dua puluh satu tahun
melakukan perkawinan dan perkawinannya putus juga ia sebelum umur 21 dua puluh satu tahun maka ia tetap dianggap sudah dewasa meerderjarig.
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak secara tegas memberikan pengertian tentang istilah “anak luar nikah” tetapi hanya menjelaskan
pengertian anak sah dan kedudukan anak luar nikah. Hal ini sebagaimana bunyi Pasal 42 – 43 yang pada pokoknya menyatakan : “Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat pernikahan yang sah. Anak yang dilahirkan di luar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya”. Dilihat dari bunyi pasal tersebut di atas kiranya dapat ditarik pengertian
bahwa anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan diluar pernikahan dan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya saja.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata anak luar nikah merupakan anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
diluar pernikahan yang sah. Predikat sebagai anak luar nikah tentunya akan melekat
70
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1960, hal. 63, lihat juga Martiman Prodjohamidjojo, Ibid
Universitas Sumatera Utara
76
pada anak yang dilahirkan diluar pernikahan tersebut. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata pengertian anak luar nikah dibagi menjadi dua macam yaitu sebagai
berikut: a. Anak luar nikah dalam arti luas adalah anak luar pernikahan karena perzinahan
dan sumbang. Anak zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah, antara
laki-laki dan perempuan dimana salah satunya atau kedua-duanya terikat pernikahan dengan orang lain sementara Anak Sumbang adalah Anak yang
dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling
menikahi. Sebagaimana diketahui, Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan melarang Perkawinan antara dua orang yang: 1 berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
2 berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan
saudara neneknya; 3 berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibubapak tiri;
4 berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibipaman susuan;
5 berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
Universitas Sumatera Utara
77
6 mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang nikah.
b. Anak luar nikah dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan diluar
pernikahan yang sah.
Anak zina dan anak sumbang tidak bisa memiliki hubungan dengan ayah dan ibunya. Bila anak itu terpaksa disahkan pun tidak ada akibat hukumnya Pasal
288 KUHPerdata.
Namun pada
prakteknya dijumpai
hal-hal yang
meringankan, karena biasanya hakikat zina dan sumbang itu hanya diketahui oleh pelaku zina itu sendiri.
B. Hak-hak Anak 1. Hak Anak Dalam Pendidikan
Mengenai hak anak atas pendidikan ini dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa :
1. Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 sembilan tahun untuk semua anak;
2. Negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan;
3. Pendidikan diarahkan pada: a. pengembangan
sikap dan
kemampuan kepribadian
anak, bakat,
kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal.
b. Pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi. c. Pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa
dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional dimana anak bertempat tinggal. Darimana anak berasal, dan peradaban-peradaban yang berbeda-
beda dari peradaban sendiri.
d. Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan e. Pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.
Universitas Sumatera Utara
78
4. Anak yang menyandang cacat fisik danatau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan
pendidikan luar biasa. 5. Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas
untuk memperoleh pendidikan khusus. 6. Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan danatau
bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.
7. Pertanggungjawaban pemerintah termasuk pula mendorong masyarakat untuk berperan aktif.
8. Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya
di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.
71
Pendidikan anak bukan saja berupa pendidikan formal, tetapi juga pendidikan informal. Hendaknya anak juga diberikan pendidikan informal yang dapat
mengembangkan bakat anak sehingga meningkatkan kreatifitas dan daya saingnya di masa yang akan datang.
Tanggung jawab pendidikan terletak pada 3 tiga pihak yaitu keluarga, masyarakat dan sekolah. Dalam pengajaran dan pendidikan di sekolah adalah penting
untuk memberikan pendidikan sebagai berikut : 1. Pendidikan iman
Pendidikan iman ini dimaksudkan mengikat anak dengan dasar-dasar iman, rukun Islam dan dasar-dasar syariah sejak anak mulai mengerti dan dapat
memahami sesuatu.
2. Pendidikan moral Pendidikan moral dimaksudkan pendidikan tentang prinsip dasar moral dan
keutamaan sikap serta watak yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak ia masih pemula hingga ia menjadi seorang mukallaf, yakni siap
mengarungi lautan kehidupan.
3. Pendidikan rasio akal Pendidikan rasio dimaksudkan membentuk pola pikir anak dengan segala
sesuatu yang bermanfaat seperti ilmu-ilmu agama, kebudayaan dan peradaban,
71
Pasal 48 – Pasal 54 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Universitas Sumatera Utara
79
dengan demikian pikiran anak menjadi matang, bermuatan ilmu, kebudayaan dan sebagainya.
4. Pendidikan kejiwaan Pendidikan kejiwaan dimaksudkan mendidik anak agar bersikap berani terbuka,
mandiri, suka menolong, dapat mengendalikan amarah dan senang kepada seluruh bentuk keutamaannya dan moral secara mutlak. Tujuan pendidikan
kejiwaan adalah membentuk, membina dan menyeimbangkan kepribadian anak sehingga ketika ia dewasa ia dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepadanya dengan baik.
5. Pendidikan seksual Pendidikan seksual ini dimaksudkan sebagai upaya pengajaran, penyadaran dan
penerangan tentang masalah-maslah seksual kepada anak, sejak ia mengenal masalah-masalah yang berkenaan dengan naluri seks dan perkawinan. Hal ini
dimaksudkan agar jika ia telah tumbuh menjadi seorang pemuda dan dapat memahami urusan-urusan kehidupan, ia telah mengetahui masalah-masalah
yang diharamkan dan dihalalkan.
72
2. Hak Dalam Kesehatan