Sahnya Perkawinan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

40 akibat dari kekurangsiapan para calon mempelai, baik dari segi biologi maupun dari segi psikologi. Sungguh pun demikian, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 masih memberikan kelonggaran untuk dilaksanakan suatu perkawinan yang menyimpang dari ketentuan sebagaimana tersebut di atas, sepanjang ada dispensasi dari Pengadilan berdasarkan permintaan dari kedua orangtua kedua belah pihak Pasal 7 ayat 2.

2. Sahnya Perkawinan

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 Perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorong pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian perkawinan tersebut dapat dirinci lagi, sebagai berikut : a. perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang - wanita sebagai suami isteri b. ikatan lahir batin itu ditujukan urituk membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia yang kekal dan sejahtera. c. dasar ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Undang-undang secara eksplisit melalui Pasal 2 ayat 1 menentukan: perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud Universitas Sumatera Utara 41 dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang perkawinan ini. Dari bunyi dan penjelasan Pasal 2 ayat 1 dapat dilihat dengan jelas bahwa sah tidaknya suatu perkawinan semata-mata ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang hendak melaksanakan perkawinan. Berarti setiap perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan hukum agama dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan. Ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 ini diperjelas dalam Penjelasan yang bunyinya: dengan perumusan pada Pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945; yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini. UUD 1945 Bab XI Pasal 29 ayat 2 menentukan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya”. Dari bunyi Pasal 29 ayat 2 UUD 1945, yang dimaksud dengan agama dan kepercayaan itu ialah agama dan kepercayaan yang dipeluk seseorang. Jadi untuk menentukan hukum agama yang mengatur pelaksanaan perkawinan sesuai dengan bunyi Pasal 2ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 ialah agama dan Universitas Sumatera Utara 42 kepercayaan, yang dipeluk oleh mereka yang hendak melakukan perkawinan. 42 Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, maka bagi warganegara Indonesia yang beragama Islam apabila hendak melaksanakan perkawinan supaya sah harus memenuhi ketentuan-ketentuan tentang perkawinan sebagaimana yang diatur di dalam Hukum Perkawinan Islam. Demikian juga halnya dengan bagi mereka yang beragama Kristen, Buddha dan Hindu, hukum agama merekalah yang menjadi dasar pelaksanaan yang menentukan sahnya suatu perkawinan. Ini berarti bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan hukum agama, dengan sendirinya menurut undang-undang Perkawinan ini dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan. 43 Kemudian Pasal 2 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974, menentukan: tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku, namun di dalam penjelasan Pasal Demi Pasal tidak dijelaskan lebih lanjut tentang perdaftaran ini. Selanjutnya setahun kemudian yaitu pada tahun 1975, diundangkan peraturan pelaksanaan dari UU No. 1 Tahun 1974 itu, yang dikenal dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan PP No. 9 Tahun 1975. Pasal 2 PP No. 9 Tahun 42 M. Yahya Harahap, hal. 13 43 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty : Jakarta, 1982, ha1.63 Universitas Sumatera Utara 43 1975, menentukan tentang lembaga Pencatatan Perkawinan yang berbeda bagi yang beragama Islam dan non-Islam. Bagi yang beragama Islam pencatatan perkawinannya dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Kantor Urusan Agama. Sedangkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Percatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang- undangan mengenai percatatan perkawinan. Penjelasan Pasal Demi Pasal dari Pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975 ini, menentukan: dengan adanya ketentuan tersebut dalam Pasal ini, maka pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk dan Kantor Catatan Sipil atau InstansiPejabat yang membantunya. Dengan demikian kedua lembaga itu, berfungsi hanya mencatatkan perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah. Bagi pasangan suami isteri yang melangsungkan perkawinan menurut tata cara Agama Islam, hampir semuanya dilakukan oleh Kadi yang juga Pegawai dari Kantor Urusan Agama KUA, yang kemudian akan mencatatkan perkawinan yang dilangsungkannya di Buku Daftar Pencatatan Perkawinan dan selanjutnya dikeluarkanlah buku nikah dan tercantum hari, tanggal dan tahun waktu perkawinan dilangsungkan, dalam arti tidak ada perbedaan antara waktu pelangsungan perkawinan dan waktu pencatatan. Universitas Sumatera Utara 44 Terhadap ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan 2 UU No. 1 Tahun 1974, sampai sekarang para ahli hukum baik di kalangan akademis maupun para praktisi hukum masih berbeda pendapat tentang pengertian yuridis formal sahnya perkawinan. Tentang hal ini ada dua pendapat yang berkembang, yaitu l bahwa perkawinan tersebut tidak dikategorikan sebagai nikah fasid sebab sahnya perkawinan itu cukup apabila dilaksanakan menurut ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu terpenuhinya rukun dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh agamanya. Sedangkan pencatatan itu merapakan tindakan administrasi saja, apabila tidak dilaksanakan tidak akan memengaruhi sahnya perkawinan yang telah dilaksanakan itu, 2 perkawinan dilaksanakan tersebut dapat dikategorikan sebagai nikah fasid dan bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan dari perkawinan tersebut dapat dimintakan pembatalan kepada Pengadilan Agama. Pasal 2 Ayat 1 dan Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dan harus dilaksanakan secara kumulatif, bukan alternatif secara terpisah dan berdiri sendiri. Akibat dari adanya perbedaan penafsiran terhadap ketentuan yang tersebut dalam Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu, maka berbeda pula putusan yang diajukan oleh para Hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara pembatalan nikah yang diajukan kepadanya. Bagi para Hakim Peradilan Agama yang menganggap Pasal 2 Ayat 1 dan Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan dan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, Universitas Sumatera Utara 45 maka perkawinan dianggap sah apabila telah dilaksanakan menurut ketentuan agama dan kepercayaannya itu serta dicatat sesuai ketentuan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan merupakan hal yang wajib dilaksanakan sebab hal ini sengat erat hubungannya dengan kemaslahatan manusia yang dalam konsep syariat Islam harus dilindungi. Oleh karena itu, perkawinan yang tidak dicatat merupakan nikah yang fasid karena belum memenuhi syarat yang ditentukan dan belum dianggap sah secara yaridis formal dan permohonan pembatalan perkawinan dapat dikabulkan. Sedangkan bagi para Hakim Pengadilan Agama yang menganggap Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan suatu hal yang berdiri sendiri, tidak saling berhubungan, maka perkawinan adalah sah apabila telah dilakukan menurut agama dan kepercayaannya, pencatatan bukan suatu hal yang mesti dipenuhi sebab pencatatan itu hanya pekerjaan administrasi saja. Perkawinan tersebut bukan nikah fasid dan bila ada pengajaran pembatalan perkawinan kepada Pengadilan Agama, perkawinan tersebut tidak perlu dibatalkan, permohonan pembatalan perkawinan haruslah ditolak. Mahkamah Agung RI tampaknya condong kepada pendapat yang pertama tersebut di atas. Dalam sebuah putusan kasasi Reg. No. 1948KPID1991 tentang perkara poligami, kawin di bawah tangan dan tidak.dicatat pada instansi yang berwenang mengemukakan bahwa yang dimaksud perkawinan yang sah adalah perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu perkawinan yang Universitas Sumatera Utara 46 dilaksanakan menurut ketentuan agama dan kepercayaannya, dan dicatat menurut ketentuan yang berlaku. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang telah terpenuhi ketentuan Pasal 2 Ayat 1 dan Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 secara kumulatif. Dalam perkara ini, Mahkamah Agung RI hanya mengakui sahnya perkawinan jika telah terpenuhinya sehingga segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh agama yang dianutnya, dilakukan di hadapan pejabat pencatat nikah dan dicatat oleh pejabat tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sejalan dengan apa yang telah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung RI sebagaimana tersebut di atas, para Hakim Pengadilan Agama mengikuti hal yang sama terhadap masalah nikah fasid, meskipun bukan suatu keharusan dalam mengikuti yurisprudensi. Hal ini penting untuk dilaksanakan guna mewujudkan standar hukum yang bersifat united legal frame work kesatuan kerangka kerja hukum dan united legal opinion kesatuan pandangan hukum dalam mewujudkan kebenaran dan keadilan. Pencatatan perkawinan merupakan syarat yang harus dipenuhi agar perkawinan tersebut sah menurut agama dan juga hukum positif. Kesatuan pandangan ini sangat penting untuk dilaksanakan agar dalam perkara yang sama tidak terjadi putusan yang berbeda. Di samping itu, dengan adanya kesamaan pandangan para Hakim Peradilan Agama ini diharapkan dapat memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat agar mereka patuh pada hukum dan menyadari bahwa perkawinan yang tidak dicatat sesuai dengan ketentuan yang berlaku akan membawa kemudaratan kepada pihak-pihak yang melakukannya dan juga kepada keturunannya. Pencatatan Universitas Sumatera Utara 47 perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah sangat jelas mendatangkan masalah bagi tegaknya rumah tangga dan hal ini sejalan dengan prinsipkaidah hukum Islam menolak kemudaratanlah didahulukan daripada memperoleh kemaslahatan. Adapun dampak perkawinan yang tidak dicatat itu antara lain suami istri tersebut tidak mempunyai akta nikah sebagai bukti mereka telah menikah secara sah menurut agama dan negara, anak-anak tidak dapat memperoleh akta kelahiran dari istri yang berwenang karena untuk mendapatkan akta kelahiran itu diperlukan akta nikah dari orang tuanya, anak-anak tidak dapat mewarisi harta orang tuanya karena tidak ada bukti autentik yang menyatakan mereka sebagai ahli waris orang tuanya, atau hak- hak lain dalam pelaksanaan administrasi negara yang mesti harus dipenuhi sebagai bukti diri. Dengan tidak dicatatkannya suatu perkawinan, maka akan membawa akibat hukum baik bagi status perkawinan itu sendiri, terlebih pada status anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut. dari hasil penelitian, perkawinan tidak dicatatkan di KUA atau di KCS oleh karena pada umumnya mereka menganggap bahwa perkawinan secara agama sudah sah, sehingga tidak perlu untuk dicatatkan. Menurut Ahmad Rafiq, pencatatan perkawinan bagi sebagian masyarakat tampaknya masih perlu disosialisasikan. Boleh jadi hal ini akibat pemahaman yang fiqh sentris, yang dalam kitab-kitab fiqh hampir tidak pernah dibicarakan, sejalan dengan situasi dan kondisi waktu fiqh itu ditulis. Namun apabila kita coba perhatikan ayat Al-Baqarah : 282 mengisyaratkan bahwa dalam ayat tersebut redaksinya dengan tegas menggambarkan bahwa pencatatan didahulukan daripada kesaksian, yang dalam perkawinan menjadi salah satu rukunnya tetapi sangat disayangkan, tidak ada sumber-sumber fiqh yang menyebutkan mengapa dalam hal pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah, tidak dianalogikan kepada ayat tersebut. Lebih lanjut Ahmad Rafiq mengemukakan Universitas Sumatera Utara 48 bahwa praktik pemerintah mengatur tentang pencatatan ini adalah sesuai dengan epistemologi hukum Islam dengan metode istishlah atau maslahat. Meskipun secara formal tidak ada ketentuan ayat atau sunnah yang memerintahkan pencatatan, kandungan maslahatnya sejalan dengan tindakan syara yang ingin mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pencatatan perkawinan merupakan ketentuan yang perlu diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak. Karena ia memiliki landasan yang cukup kokoh yang menurut Asy-Satibi maslahat mursalah ini merupakan dalil qath’i yang dibangun atas dasar kejadian induktif. 44 Di samping hal tersebut di atas, perlu diperhatikan juga tentang Maqashidus Syar’iyah dalam hukum Islam. Dalam konsep Maqashidus Syar’iyah diharapkan segala sesuatu yang dikerjakan oleh manusia tidak lepas dari kemaslahatan manusia itu sendiri dan manusia di sekitarnya. Oleh karena itu, segala hal yang tidak sejiwa dengan tujuan perbuatan baik itu haruslah dihindari. Demikian juga dalam hal perkawinan ini, haruslah dijaga kemaslahatannya bagi orang yang melaksanakannya dan ketiirunannya. Segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya kemudaratan dari perkawinan itu haruslah dihindari sebagaimana sabda Rasulullah SAW. bahwa dilarang menimbulkan kemudaratan pada diri sendiri maupun pada orang lain. Perkawinan yang tidak dicatat akan menimbulkan banyak kemudaratan bagi pihak- pihak yang melakukannya maupun pihak lain yang ada kaitannya dengan perkawinan tersebut. Dengan pertimbangan ini, maka persyaratan yuridis formal seperti kewajiban mencatat perkawinan adalah perbuatan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, bahkan hal tersebut sangat dianjurkan karena akan membawa manfaat kepada semua pihak terutama kepada kedua mempelai dan keturunannya kelak. 44 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Manajemen PT RajaGrafindo Persada : Jakarta, 1995, hal. 118-121. Universitas Sumatera Utara 49 Prinsip pencatatan perkawinan itu justru akan menguatkan tegaknya syariat Islam dan apabila tidak dilaksanakan, maka perkawinan tersebut akan fasid. Kemudian Pasal 2 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974, menentukan: tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku, namun di dalam Penjelasan tidak dijelaskan lebih lanjut tentang perdaftaran ini. Selanjutnya setahun kemudian yaitu pada Tahun 1975, diundangkan peraturan pelaksanaan dari UU No. 1 Tahun 1974 itu, yang dikenal dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan PP No. 9 Tahun 1975. Pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975, menentukan tentang lembaga pencatatan perkawinan yang berbeda bagi yang beragama Islam dan non-Islam. Bagi yang beragama Islam pencatatan perkawinannya dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Kantor Urusan Agama. Sedangkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Percatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang- undangan mengenai percatatan perkawinan. Dengan adanya ketentuan tersebut dalam Pasal ini, maka pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk dan Kantor Catatan Sipil atau InstansiPejabat yang membantunya. Universitas Sumatera Utara 50 Jadi kedua lembaga itu, berfungsi hanya mencatatkan perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah. Kemudian dalam Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan yang berlaku. Peraturan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954, sedangkan kewajiban Pegawai Pencatat Nikah diatur dalam Peraturan Menteri Agama RI Nomor 1 Tahun 1955 dan Nomor 2 Tahun 1954. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 bahwa pencatatan bagi mereka yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Apabil suatu perkawinan tidak dicatatkan, maka akan memberikan akibat- akibat hukum sebagai berikut : a. Perkawinan Dianggap tidak Sah Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan Anda dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil. b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu Pasal 42 dan 43 Undang- Undang Perkawinan. Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada. c. Anak dan Ibunya tidak Berhak atas Nafkah dan Warisan Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Namun demikian, Mahkamah Agung RI dalam perkara Nugraha Besoes melawan Desrina dan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara Heria Mulyani Universitas Sumatera Utara 51 dan Robby Kusuma Harta, saat itu mengabulkan gugatan nafkah bagi anak hasil hubungan kedua pasangan tersebut. 45

3. Status Hukum Perkawinan yang tidak dicatatkan

Dokumen yang terkait

Pembatalan Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974...

0 27 5

TINJAUAN YURIDIS PEROLEHAN TANAH WARIS OLEH ANAK YANG LAHIR DARI PERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA.

0 0 1

PERKAWINAN POLIGAMI YANG TIDAK DICATATKAN YANG DILAKUKAN OLEH PEJABAT NEGARA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERI.

0 0 2

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

0 1 75

Akibat Hukum Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Ketika Salah Salah Satu Pihak Meninggal Dunia Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

0 1 17

Akibat Hukum Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Ketika Salah Salah Satu Pihak Meninggal Dunia Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

0 0 2

Akibat Hukum Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Ketika Salah Salah Satu Pihak Meninggal Dunia Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

0 0 38

Akibat Hukum Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Ketika Salah Salah Satu Pihak Meninggal Dunia Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

0 1 47

Akibat Hukum Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Ketika Salah Salah Satu Pihak Meninggal Dunia Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

0 0 5

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN SKRIPSI

0 0 48