Manajemen Laba, Apakah Legal dan Etis?

61 menjelaskan kejadian ekonomis dan melaporkannya dalam laporan keuangan perusahaan. Ketidakmampuan menganalisis fenomena bisnis menurut perspektif akuntansi mengakibatkan kesalahan dalam penyajian material laporan keuangan. Hasilnya, informasi yang salah akan merugikan orang lain walaupun didasari oleh motivasi dan kepentingan tertentu, Djakman 2003: 145 menyatakan bahwa manajemen laba yang dilakukan melalui manajemen akrual tidak sama dengan manipulasi laba. Manajemen laba dilakukan untuk memenuhi kepentingan manajemen dengan memanfaatkan kelemahan inheren dari kebijakan akuntansi akrual dan masih berada dalam koridor prinsip akuntansi berterima umum. Sedangkan, manipulasi laba merupakan tindak pelanggaran terhadap prinsip akuntansi berterima umum untuk menghasilkan kinerja keuangan perusahaan sesuai dengan kepentingan manajer atau perusahaan. Begitu pula dengan pernyataan Schroeder dan Clark 1998: 248 yang menyatakan bahwa apabila manejemen laba dilakukan atas dasar pertimbangan-pertimbanagan manajerial yang sehat atau melalui pemilihan metode dan prosedur akuntansi dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh standar akuntansi, manajemen laba bukanlah suatu tindak kecurangan fraud, meskipun manajemen laba dengan cara-cara tersebut dapat mempengaruhi keputusan stakeholder. Fischer dan Rosenweig 1994:436 pula mendefinisikan manajemen laba hanyalah upaya untuk “mempermainkan” angka laba diatas kertas. Dan tidak menimbulkan kerugian materi bagi siapapun. Permainan angka laba di atas kertas 62 ini dilakukan oleh manajer dengan memanfaatkan fleksibilitas standar akuntansi yang tersedia. Hal ini dimungkinkan karena standar akuntansi cukup memberikan peluang kepada manajer untuk mencatat fakta tertentu dengan cara yang berbeda, serta peluang untuk menggunakan subjektivitas dalam melakukan estimasi akuntansi. Worthy, 1984: 52 Pendapat ini juga senada dengan pendapat para akuntan pendidik, akuntan manajemen dan akuntan publik yang mengatakan bahwa manajemen laba dibenarkan sepanjang tidak melanggar standar akuntansi keuangan. Para pemangku kebijakan tidak dapat disalahkan karena manajemen laba dengan cara yang seperti itu bukan merupakan tindakan curang, kecuali manajer atau akuntan yang melanggar standar akuntansi dalam bentuk manipulasi data, perhitungan dan pelaporan. Pendapat ini juga mengatakan manajemen laba hanyalah bentuk pemanfaatan dari kebebasan memilih bentuk dari metode akuntansi. Pemilihan metode akuntansi ialah fleksibel walau pada akhirnya hal itu akan berpengaruh pada besaran angka laba, dan hal ini bukanlah praktik kecurangan, dalam hal ini mereka mengikuti teori akuntansi positif sehingga dengan mengikuti pendapat diatas maka praktik manajemen laba dengan menurut pendapat diatas menjadi boleh-boleh saja dilakukan. Pandangan diatas ialah berasal dari perspektif akuntan yang mengatakan bahwa praktik manajemen laba bukanlah tindakan kecurangan sepanjang dilakukan dalam koridor standar akuntansi. 63 Sebaliknya, dalam perspektif yang berbeda Mujianto penasihat investasi tidak membenarkan adanya praktik manajemen laba karena walaupun ia adalah bentuk intervensi yang disengaja oleh manajer atau akuntan pada proses pelaporan keuangan eksternal atas motif tertentu namun tanpa melanggar standar akuntansi, tetap saja hal itu adalah tindakan atau perilaku koruptif. Karena menurutnya, walaupun dilakukan dengan menggunakan strategi apa pun, dengan melanggar standar akuntansi ataupun tidak, praktik manajemen laba adalah tindakan koruptif. Dikarenakan praktik tersebut pasti didasari oleh motivasi dan kepentingan pribadi dengan cara mengesampingkan kepentingan pihak lain. Praktik manajemen laba menyebabkan angka laporan keuangan terpengaruh dan berpihak pada kepentingan manajer. 7 Seiring pula dengan pendapat Mujianto, IAI 2007 dalam KDPPLK paragraf 16 berkaitan dengan netralitas laporan keuangan, dan PSAK No. 1 Revisi 1998 paragraf 5 berkaitan dengan tujuan laporan keuangan yaitu Informasi harus diarahkan pada kebutuhan umum pengguna dan tidak bergantung pada kebutuhan dan keinginan pihak tertentu. Tidak boleh ada usaha untuk menyajikan informasi yang menguntungkan beberapa pihak, sementara hal tersebut akan merugikan pihak lain yang mempunyai kepentingan yang berlawanan. 8 Menurut penasihat investasi, Mujianto, tidak ada manajemen laba yang dilakukan tanpa motivasi atau kepentingan, baik kepentingan pribadi maupun 7 Ahmad Yusuf, “Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam”, Jurnal Dinamika Ekonomi dan Bisnis, Vol. 7, No. 1 Maret 2010. H. 8 8 KDPPLK Paragraf 16. 64 kepentingan perusahaan. “Untuk mencapai kepentingan tersebut, manajemen laba pasti dilakukan secara sengaja dan sist ematis” Karena menurutnya, bahwa pemilihan metode akuntansi seharusnya dilakukan tanpa motivasi dan kepentingan tertentu yang memberikan manfaat lebih unggul pada satu pihak daripada pihak lainnya. 9 Ia menyatakan bahwa praktik manajemen laba merupakan peilaku yang tidak dapat diterima, karena manajemen laba berimplikasi pada hilangnya kredibilitas laporan keuangan, menambah bias informasi dalam laporan keuangan, sehingga mengganggu pengguna laporan keuangan yang mempercayai angka laba tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa. Karena dengan adanya manajemen laba, investor tidak menerima informasi yang cukup akurat tentang laba dalam rangka mengevaluasi hasil dan risiko portofolio investasinya. 9 Riduwan, Akhmad. “Etika dan Perilaku Koruptif dalam Praktik Manajemen Laba: Studi Hermeneutika”. Jurnal Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia STIESIA Surabaya. h. 8 65

BAB IV TINJAUAN ETIKA BISNIS ISLAM TENTANG MANAJEMEN LABA

A. Bentuk Manajemen Laba menurut Syariah

Mengenai bentuk manajemen laba, tidak ada ketentuan dari Dewan Syariah Nasional mengenai bentuk manajemen laba yang diperbolehkan, karena nilai-nilai yang terkandung pada praktik ini belum sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Saat ini terdapat fatwa mengenai salah satu bentuk dari manajemen laba, yaitu Income Smoothing. 1 Namun fatwa ini memperbolehkan Income smoothing dengan pendekatan untuk melindungi lembaga keuangan dari risiko pengalihan dana besar- besaran, dan bukan dalam konteks ingin mengambil keuntungan, serta dengan seizin nasabah, bukan secara sembunyi-sembunyi. Dalam Fatwa Nomor 87DSN- MUIXII2012 tentang Metode Perataan Penghasilan Income Smoothing. Disebutkan bahwa Income smoothing, yaitu perataan laba, ialah pengaturan pengakuan dan pelaporan laba atau penghasilan dari waktu ke waktu dengan cara menahan sebagian labapenghasilan dalam satu periode, dan dialihkan pada periode lain dengan tujuan mengurangi fluktuasi yang berlebihan atas bagi hasil antara Lembaga keuangan Syariah LKS dan nasabah penyimpan dana Dana Pihak KetigaDPK. Fatwa menyebutkan bahwa dalam kondisi tertentu yang diduga kuat akan menimbulkan risiko pengalihanpenarikan dana nasabah dari Lembaga 1 FatwaDSN-MUI Nomor 87DSN-MUIXII2012 tentang Metode Perataan Penghasilan Income Smoothing Dana Pihak Ketiga. 66 Keuangan Syariah akibat tingkat imbalan yang tidak kompetitif dan wajar displaced commercial risk. Hal itu pun diperbolehkan, namun dengan ketentuan-ketentuan seperti yang disebutkan di dalam fatwa. 2 Dengan kata lain, tidak serta merta semua tenik income smoothing diperbolehkan, namun yang diperbolehkan ialah yang memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh fatwa. Salah satunya ialah bahwa praktik perataan laba hanya diperbolehkan dengan syarat apabila bagi hasil aktual melebihi tingkat imbalan yang diproyeksikan, dan dengan izin nasabah pemilik dana, serta dengan alasan kuat yang darurat dengan memperhatikan opini Dewan Pengawas Syariah. Sehingga dalam pelaksanaannya tetap menekankan kepada unsur transparansi dan keterbukaan terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap laporan keuangan. Hal ini tidak dapat digeneralisasikan untuk semua Lembaga Keuangan Syariah atau khususnya perbankan syariah kemudian boleh malaksanakan income smoothing, karena yang diperbolehkan itu ialah yang memenuhi syarat dan ketentuan-ketentuan tersebut. Namun pada praktiknya, tidak jarang ditemukan perbankan syariah yang melakukan praktik perataan laba ini. Padahal Allah telah berfirman dalam Surah Al- Maidah : 1      Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu…” 2 FatwaDSN-MUI Nomor 87DSN-MUIXII2012 tentang Metode Perataan Penghasilan Income Smoothing Dana Pihak Ketiga, h. 6-8, diakses tanggal 1 Juli 2015. 67 Begitu pula anjuran untuk menunaikan janji, karena janji itu akan dimintai pertanggungjawaban, seperti dalam Surat Al-Isra ayat 34:         Artinya: ….. Dan tunaikanlah janji-janji itu, Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawaban ….. “ Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. Untuk memenuhi tuntutan keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertanggungjawabkan tindakannya. 3 Tanggung jawab merupakan suatu prinsip dinamis yang berhubungan dengan perilaku manusia. Bahkan merupakan kekuatan dinamis individu untuk mempertahankan kualitas kesetimbangan dalam masyarakat. 4 Kaidah fikih juga menyebutkan, ه ي حت ى ع ٌ ي د دي أ اإ ح بإا ام ع ا ىف صأا. “ Pada dasarnya, segala bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengaramkannya.” لازي َّلا “Kemudharatan harus dihilangkan.” 3 Rafik Issa Beekun, Islamic Bussiness Ethics, Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1997, h. 26. 4 Muhammad dan Lukman Fauroni, Visi Al- Qur’an tentang Etika dan Bisnis, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, h. 16